Jumaat, 29 April 2011

KISAH URANG BUNIAN

OLEH: DASRIELNOEHA

Urang Bunian artinya orang yang bersembunyi. Mereka adalah semacam makhluk manusia rimba dan suka bersembunyi dan tidak mau kelihatan sama orang, dipercaya tinggal dihutan-hutan di kaki Gunung Tandikek di Sumatera Barat.
Keberadaan mereka oleh orang tua-tua dahulu sekitar tahun enampuluhan dipercaya memang ada. Tapi belum pernah ada yang bertemu. Mereka suka dijadikan untuk pertakut kepada anak kecil.
Tahun enempuluhan dulu kampung kami di Kandang Ampek masih lengang. Kendaraan bermotor atau oto disebutnya tidak seramai sekarang. Hanya satu-satu bus dan parahoto lewat di jalan raya. Saya ingat mereknya Chevrolet, dan menghidupkannya searang sitokar atau keneknya menggunakan sebatang besi yang ujungnya bengkok, dan dimasukkan kecelah yang ada didepan grill mobil. Disebut dengan engkol. Si kenek mobil mengengkol beberapa kali sampai mobil berbunyi menderum, dan barulah mesinnya hidup. Kalau mati lagi, akan diengkol ulang oleh sitokar. Kasihan sitokar ini, kalau hari panas dia akan bermandi keringat mengengkol mobil berulang kali. Kalau hari hujan terpaksa ia berbasah-basah mengengkol mobil.

Pada waktu itu listerik belum masuk kedesa. Penerangan memakai lampu minyak tanah atau dibuat dari sebatang bambu sariak yang diberi sumbu dari ijuk atau sabut kelapa yang disebut colok.

Kalau mau tidur, lampu colok ini dimatikan. Kalau dibiarkan hidup, selain memboroskan minyak tanah, ia juga menghasilkan abu atau jelaga yang membuat lubang hidung menjadi hitam pada pagi harinya.

*

Anak kecil tidak boleh main jauh dari rumah. Takut diculik oleh orang Bunian kata nenek.
« Siapa urang Bunian itu nek », tanya saya.
”Urang Bunian yang berumah ditengah hutan diatas sebatang pohon, dia suka dengan anak kecil. Kalau ketemu anak kecil akan diculiknya dan dijadikan budak untuk pengusir ayam dan pengayak beras”, kata nenek saya menakuti saya.

Biasanya kami langsung ciut kalau mendengar cerita nenek ini. Tidak berani lagi pergi ke hutan atau ke Batang Anai untuk menangkap burung atau ikan.
Tapi kadang kami acuhkan saja. Dan memang kami tidak pernah diculik oleh Urang Bunian, karena kami belum pernah berjumpa dengan mereka sekalipun.

Nenek saya lalu menceritakan kisah Urang Bunian yang menculik Nenek Timah di Subarang.

Subarang adalah sebuah kampung dibalik Batang Anai yang terletak di pinggir hutan dan kaki bukit. Penduduknya jarang, tapi disana banyak sawah dan luas sekali piringnya. Saya suka ke sana karena ada Anduang saya yang ibu dari ayah saya tinggal di Subarang. Nenek ada saya dua, satu saya panggil Mak Angih, yaitu ibu dari ibu saya. Mak Angih yang memelihara saya sejak kecil karena ibu masih mengikuti ayah saya yang seorang tentara yang tinggal dan suka berpindah-pindah di daerah Riau Kepulauan. Nenek saya dari pihak ayah yaitu yang saya panggil Anduang. Anduanglah yang menceritakan kisah ini.

Kembali ke cerita penculikan nenek Timah.
Sambil memperbaiki letak suginya atau tembakau isap, Anduang menghirup kopinya sehabis shalat maghrib.
Saya dan seorang teman saya si Amir yang suka tidur di rumah saya mendengar kisah yang sering diceritakan Anduang. Saya pergi ke Subarang dari Kandang Ampek bersama ayah saya dan Amir yang ikut. Kebetulan besok hari minggu kami tidak sekolah. Saya menginap di rumah Anduang.
Begini kisahnya.
Suatu hari nenek Timah sakit. Ia terbaring lemah di rumahnya di pinggir sawah di Subarang. Nenek Timah hidup hanya berdua dengan cucunya yang masih sekolah dasar. Ibu si anak atau anak dari nenek Timah sudah meninggal dunia.
Pada saat tengah hari tepat, kira-kira jam duabelas, matahari bersinar dengan teriknya. Nenek Timah masih mengerang sakit karena badannya panas.
Tiba-tiba pintu rumahnya terbuka. Ia biarkan saja. Ia sangka cucunya si Nur yang pulang dari sekolah.
Tapi rupanya bukan si Nur yang datang. Tetapi seorang anak muda berpakaian serba hitam dengan sebuah destar hitam menutupi kepalanya. Anak muda yang tampan itu tersenyum kepada nenek Timah.
Dengan lemah nenek Trimah menegur si pemuda.
”Ada apa anak datang kemari?
“Assalamualaikum nek, saya Bujang Selamat datang kesini disuruh raja Dang Putera untuk mengundang nenek ke istananya. Raja mau menikahkan putrinya dengan putra raja dari Jambi. Ia mau minta tolong nenek untuk menghias pengantin”, jelas sang pemuda.
Memang nenek Timah adalah seorang perias penganten di Subarang dan juga sering diundang ke Kandang Ampek kalau ada orang baralek.
“Tapi nenek sedang sakit, tidak mungkinlah nenek meninggalkan rumah, badan nenek masih lemah dan kepala sangat terasa sakit”, kata nenek Timah.
“Tidak usah kawatir nek, saya membawa obat untuk nenek”, katanya sambil menyerahkan sebotol kecil yang berisi cairan bewarna cokelat kepada si nenek. Minumlah air itu niscaya sebentar sakit nenek akan hilang dan badan terasa segar”, kata si pemuda menjelaskan.
“Baiklah, nenek minum”, kata nenek Timah sambil ia membuka tutup botol dan meminum isinya. Rasanya pahit-pahit manis. Rupanya obat itu terbuat dari remasan daun sicerek yang dicampur dengan madu dan pinang sinawa.
Si nenek lalau duduk. Ia merasa heran. Badannya agak terasa enakan. Kemudian si pemuda memberikan sebuah bungkusan kecil buat nenek Timah.
“Makanlah beras itu buat penguat tubuh nenek supaya siap untuk berangkat”, kata si pemuda lagi.
Nenek Timah menerima bungkusan itu dan ia membuka isinya. Tapi nenek Timah heran melihat butiran beras yang halus dan mengkilat putih bersih. Ini bukan beras kata hatinya, tapi ini adalah telur semut.
Dengan ragu nenek meletakkan bungkusan itu diatas meja.
“Makanlah nek jangan ragu, itu adalah beras penguat tubuh”, kata Bujang Selamat lagi.
Akhirnya beras itu dimakan juga oleh nenek Timah. Rasanya manis dan enak serta gurih di lidah.
Benar juga, setelah beras yang telur semut itu masuk perut, sebentar kemudian tubuh terasa kuat dan nenek bisa turn dengan enteng dari tempat tidurnya.
“Mari kita berangkat nek”, kata Bujang Selamat.
“Tapi bagaimana dengan cucu saya yang segera pulang sekolah”, kata nenek.
“Tinggalkan saja dia barang sebentar, nanti sebelum maghrib kita juga sudah kembali kesini. Nanti nenek akan saya antar dengan kereta kuda lagi”, jelas Bujang Selamat.
Kereta kuda? Pikir si nenek. Anak muda ini kesini naik bendi? Kenapa tidakkedengaran ringkik kudanya pikir si nenek lagi.
”Sebenarnya anak siapa ya?, tanya nenek Timah lagi. Ia merasa ragu dengan tampilan si anak muda itu. Belum pernah ia melihat orang muda dan sebaik anak ini di Subarang.
“Saya utusan raja nek”, jelas Bujang Selamat.
“Raja? Raja dimana? Apa raja dari Pagarruyung?, pikiran si nenek mulai dikacaukan mendengar penjelasan si anak muda.
”Bukan raja Pagarruyung, tapi raja negeri kami di kerajaan Beringin Keramat namanya”, kata si anak muda lagi.
”Kerajaan Beringin Keramat?, belum pernah saya mendengar nama kerajaan seperti itu, heran si nenek.
”Iya nek, kerajaan kami ada di atas angin dibalik awan limbubu di puncak sebuah beringin rimbun dan yang paling tinggi di kaki Gunung Tandikek”, jelas si anak muda.
”Nenek tidak mengerti dimana daerahnya itu”, kembali nenek bertanya dengan heran.
”Sekarang memang nenek belum tahu, karena kan belum pernah kesana. Nanti juga nenek akan tahu dan nenek akan menjadi tamu istimewa raja Dang Putera dengan isterinya Dewi Kayangan di istana Beringin nan Indah itu”, jelas si pemuda.
”Baiklah kata nenek Timah, mari kita berangkat”.
Nenek Timah mengambil bungkusan peragatnya untuk menghias penganten yang selalu ia bawa. Ia juga membawa sebuah peti yang berisi alat-alat suntiang dan kembang goyang lengkap dengan inai dan gincu untuk mempercantik seorang penganten.
Ia juga membawa sirih tanya-tanya untuk membantu ia membaca jampi-jampi agar si penganten kelihatan sangat cantik waktu ia hias.

Setelah mengunci pintu, ia dan Bujang Selamat naik kesebuah bendi yang rupanya telah disiapkan di bawah pohon durian di depan rumah.
Bendinya dihias dengan cantik sekali. Kepala kuda yang putih bersih dihias dengan jambul yang terbuat dari benang tujuh ragam. Pegangan kuda dari kayu jati yang mengkilat dengan gagang dari emas. Rumah bendi terbuat dari kayu yang berukir indah sekali. Tempat duduknya dari kapas tebal yang dibungkus kain beledru bewarna biru dan kelihatan masih baru. Nenek Timah naik ke bendi itu. Peragatnya di letakkan di lantai bendi. Bendi itu tercium harum sekali, seperti bau kesturi bercampur kayu kenanga.
Nenek Timah heran. Belum pernah ia melihat bendi demikian indah. Kalau ia ke Padangpanjang, ia juga naik bendi ke pasar. Tapi bendi di Padangpanjang kelihatan kotor dan jorok. Selalu tercium bau ciik kuda. Ini beda sekali. Bendi indah dan harum milik siapa ya? Pikir nenek Timah tidak habis mengerti.
”Nek, kita akan berangkat, tolong nenek duduk yang tenang, karena perjalanan kita cukup jauh, dan bendi ini akan terbang sekali-sekali untuk mempercepat sampai”, kata Bujang Selamat.
Nenek Timah makin bingung mendengar perkataan anak muda itu. Ia hanya diam saja. Bendi akan terbang? Bendi apa pula ini pikirnya. Bagaimana caranya kuda bisa terbang bersama bendinya, tidak mungkinlah. Memang, dulu pernah ia mendengar cerita tentang kuda terbang, atau semacam binatang yang bersayap dan bisa terbang. Burak namanya. Kabarnya burak inilah kendaraan nabi Muhammad sewaktu beliau isra’ dan mi’raj. Terbangnya secepat angin. Apa kuda ini keturunan burak?, pikir nenek Timah. Tapi kelihatannya ia tidak punya sayap. Ia kuda biasa. Tapi memang badannya tegap dan ramping, kepalanya tegak dan pandangan lurus kedepan.
Ah, terserahlah, yang penting aku akan lihat kemana bendi ini berjalan ke kerajaan Beringin Keramat itu.
”Hua...huaa..ayo berangkat Gumarang, kita harus cepat sampai”, kata Bujang Selamat ke kuda putih itu.
”Hiik..hiik..hiik”, kata kuda itu tiga kali.

Bendi terangkat. Nenek Timah terkejut dan ia berpegang erat-erat ke tonggak dibelakang tempat duduknya. Kuda Gumarang itu melompat dan ia melewati pohon durian dengan mudah, dan hup..ia melompati tabek di belakang pohon durian dan melewati sawah dengan kencangnya.
Benar juga bendi ini bukan berjalan di jalan biasa. Tapi bendi ini terbang dan melayang diatas persawahan dan ladang.
Pelan-pelan dan samar-samar Nenek Timah melihat dua sayap muncul dari sebelah kiri-kanan pinggang kuda itu. Ini dia burak itu. Atau ini mungkin cucunya burak itu, pikirnya.
Tidak lama mereka telah berada diatas batang Anai. Samar-samar kelihatan airnya yang memutih dibawah sana. Oh ya itu dia jembatan gadang di dekat bukik pekuburan Pasar Kerambil. Kuda dan bendi itu melayang terbang ke arah mudik mengikuti alur batang Anai. Tak lama kelihatan Bukik Rambai yang juga merupakan pandam pekuburan orang Kampung Apa dan Kandang Ampek. Kemudian kuda itu terbang melintasi batang Anai dan melewati stasiun kereta api Kandang Ampek terus ke barat menuju bekas perkebunan Belanda Bern.
Di bawah kelihatan lubuk jernih mata air Bulakan yang memancarkan air dari celah batu yang berasal dari perut Gunung Tandikek. Mata air ini adalah sumber air bagi orang Kandang Ampek, Kampung Apa, Pasa Kerambil, Guguak, Pasar Surau, Pasar Jua dan terus ke Kayutanam. Airnya jernih sekali. Ia mengairi sawah, tabek, dan mengalir melalui Batang Tarok dan Banda Gadang.
Airnya bisa langsung di minum.

Tidak lama kuda terbang ini telah melewati hutan lebat di kaki gunung Tandikek.
“Nek, siap-siaplah, sebentar lagi kita akan sampai”, kata Bujang Selamat lagi.
Kuda dan bendi itu terbang agak meninggi sekarang. Mereka memasuki awan putih seperti kapas. Udara terasa makin dingin. Nenek Timah memasang baju hangatnya dan melilitkan selendangnya kelehernya. Ia terbatuk-batuk sekarang.

Kemudian kuda itu menukik turun. Dibawah kelihatan samar-samar banyak rumah-rumah yang cantik-cantik. Tapi, modelnya aneh. Semuanya seperti bulat telur. Rumah siapa ini?, pikir nenek Timah.

Tak lama kemudian mereka telah berada di atas tanah lapang dengan rumput hijau dan indah sekali. Kuda dan bendi itu berjalan pelan sekarang. Di kiri kanan kelihatan berjejer tanaman puding segala macam warna. Ada puding gerai dengan warna daunnya kuning campur merah yang cantik sekali. Ada puding gadang dengan warna daun lebar cokelat dan hitam diselingi warna ungu yang kelihatan anggun. Disana bermain kupu-kupu yang sedang mengisap madu dari bunga ros merah, kuning, jingga, ungu, putih yang berkelompok ditanam sesuai dengan warna. Ada juga bougenville yang bewarna merah darah dan bewarna ungu yang sanagt cantik. Semua ditanam di halaman sebuah istana yang dicat putih bersih, di belakang sebuah pohon beringin raksasa dengan daun yang lebat sekali. Ada dua buah pohon beringin ini, dikiri kanan seakan ditanam sebagai tiang gapura pintu masuk ke istana itu.

”Nenek turun di sini, nanti akan dijemput oleh dayang-dayang istana”, kata Bujang Selamat.
Memang, kemudian kelihatan dua orang putri dayang-dayang dengan pakaian sulaman yang indah datang menghampiri.
Nenek Timah turun dari bendi. Peragatnya di berikan oleh Bujang Selamat ke salah seorang dayang –dayang.
“Nenek Timah, mari masuk ke istana. Putri Mayang Taurai telah menunggu”, kata salah satu dayang-dayang.
Dengan dibimbing kiri kanan oleh dua dayang-dayang itu nenek Timah berjalan memasuki istana melalui karpet merah menyala. Serambi istana telah dihiasi dengan umbul-umbul pucuk kelapa dan pucuk enau. Sesampai di serambi ia dibimbing memasuki sebuah pintu di samping kiri.
“Nek, kita ke kamar ganti dulu”, kata seorang dayang-dayang.
Di dalam kamar ganti itu banyak sekali bergantungan baju-baju yang indah-indah. Ada baju kurung, ada baju adat berenda-renda. Ada bermacam selendang beraneka warna.
Nenek Timah di pakaikan sebuah baju kurung dari sutera bewarna kuning gading dengan bunga-bunga suplir melingkar. Cantik sekali. Rambutnya disisirkan oleh dayang-dayang tadi. Badannya disemproti dengan minyak parfum dari Arab yang harum sekali. Kepalanya ditutupi dengan sebuah selendang panjang dengan warna yang sama. Dia dipakaikan sebuah terompah dari beledru dengan warna kuning yang sama. Di lehernya digantungkan kalung-kalung emas bercampur batu akik yang dirangkai indah sekali. Juga dipakaikan gelang-gelang keroncong dari emas yang kalau tangannya digerakkan akan berbunyi gemerincing.
Nenek Timah menjelma menjadi seorang wanita yang cantik anggun. Sebenarnya nenek Timah belum tua amat. Umurnya baru empat puluh lima tahun. Namun karena kemiskinan dan turun kesawah tiap hari serta mencari kayu bakar buat memasak, badannya jadi kurus kering dan kelihatan sangat tua.
“Nek, sekarang kita akan memasuki kamar ganti Tuan Putri Mayan Taurai”, kata seorang dayang-dayang.
Melalui sebuah lorong dibalik kamar itu, mereka keluar dan belok ke kiri. Disana ada ruangan yang luas sekali. Ada banyak wanita disana. Mereka merangkai bunga dan menggunting kain paco untuk hiasan kamar penganten putri. Semuanya berpakaian baju kurung warna putih seragam. Belum pernah nenek Timah menyaksikan persiapan perkawinan semeriah ini. Ia membathin, benar-benar raja yang kaya yang sedang bermenantu. Pantas semeriah ini.
Seorang dayang membuka sebuah pintu berukir yang indah sekali. Mereka memasuki sebuah kamar yang luas yang penuh dengan hiasan bergelantungan. Lampu kristal besar kelihatan menggantung persis di tengah ruangan. Mepet ke dinding belakang menempel sebuah tempat tidur besar dari kayu jati dengan ukiran kepala naga dan ular yang sedang berkejaran. Pinggir-pinggir tempat tidur telah ditempeli kain beledru warna pink dan biru selang seling warna hijau lembut. Kasurnya kelihatan tebal sekali dengan bantal-bantal besar dn kecil berselang seling diatus diatas kasur. Rupanya ini kamar pengantenya. Pikir nenek Timah.
Di sebelah kanan menempel lemari besar dan juga dari kayu jati berukir.

Diatas sehelai permadani Persia yang mahal dan indah duduklah seorang putri cantik yang sedang ditemani oleh lima orang dayang-dayang yang sedang mengipasi dan membersihkan kuku-kuku kaki si putri.

Melihat nenek Timah datang, sang putri menoleh.

“Selamat datang nek di kerajaan, nenek sudah lama saya tunggu”, suara lembut merdu sekali.
“Perkenalkan saya Putri Mayang Taurai, anak raja Dang Putera dan putri Ibunda Dewi Kayangan”, kembali sang putri memperkenalkan.
“Ijinkan hamba yang jelek ini memasuki istana tuan putri. Kalau hamba lancang tolong dimaafkan, maklum hamba hanya orang kampung Subarang yang miskin.
”Nek, kami sudah tahu siapa nenek, dan kami telah menganggap nenek keluarga kami juga”, jelas sang putri.
Supaya nenek tidak canggung akan saya terangkan pada nenek sebuah peristiwa dimana sejak itu nenek masuk orang yang harus diperhatikan oleh ayahanda hamba Raja Dang Putera.

Nenek mungkin ingat, sewaktu suami nenek masih hidup, pak Haji Ahmad yang guru ngaji di Subarang, dia pernah tidak pulang satu hari. Dan kemudian satu bulan setelah itu ia jatuh sakit, dan Tuhan memanggilnya.
Sewaktu beliau hilang satu hari, sebenarnya beliau kami undang kemari atas perintah ayahanda. Saya waktu itu masih kecil. Juga Pangeran Dang Kelana kakak saya masih remaja. Kakak saya punya peliharaan seekor murai yang pandai bicara. Sewaktu kami main-main ke negeri bawah angin, begitu kami menyebut kampung nenek, terjadi sebuah kecelakaan kecil. Karne asyiknya saya main-main di lubuk jernih dipinggir ladang nenek, dan pangeran dang Kelana sedang asyik berburu seekor anak kancil, burung murainya juga terbang bermain-main. Rupanya seorang anak kampung sedang mencari burung dengan katapelnya. Dan ia membedik murai kami. Kenalah sayapnya dan patah.
Pengeran marah sekali. Untung saya bisa menyabarkan.
Saya bilang kita tarok murai ini diatas batu dipinggir lubuk. Sebentar lagi haji Ahmad akan datang dan ia akan mengambil udhuk di sini. Kami bersembunyi dibalik pohon langsat disamping lubuk.

Benar, pak haji Ahmad suami nenek datang. Ia melihat seekor burung murai batu terletak sakit sayapnya patah diatas sebuah batu. Ia nampaknya kasihan. Ia bersihkan luka sayap burung kami. Kemudian ia beri obat daun singkong yang ia kunyah dan dibalutnya dengan sobekan serban hajinya sayap burung itu.
Perbuatannya tidak lepas dari pandangan kami berdua.

Tidak lama setalah pak haji selesai berwudhuk, burung kami siuman dan melompat kebalik pohon. Lalu kami ambil. Kami melihat pak haji tersenyum puas dan ia pulang kerumah nenek.

Kami kembali ke kerajaan dan melapor kepada ayahanda. Ayahanda kelihatannya simpati dengan perbuatan haji Ahmad dan menyuruh pesuruh istana datang ke rumah nenek untuk mengundang pak haji ke istana.
Nah, setelah Pak Haji kami jamu di istana, dan ayahanda berpesan supaya Pak Haji jangan menceritakan pengalamannya di kerajaan kami. Mungkin nenek melihat setelah pulang kembali kerumah, Pak Haji berubah jadi pendiam.

Namun, kami juga turut sedih setelah kemudian Pak Haji meninggal. Nenek mungkin tidak menyadari bahwa pada hari Pak Haji meninggal sebenarnya saya dan kakak saya datang kerumah nenek. Kami membawa bunga tanda dukacita. Namun kehadiran kami pasti tidak terlihat oleh orang kampung Subarang. Karena memang demikianlah takdir kita masing-masing.

Demikian sebagai pembuka pembicaraan sang Putri Mayang Taurai menceritakan beberapa kejadian yang tidak disadari oleh Nenek Timah selama ini.
”Jadi nak Putri ini dari suku mana ya”, tanya nenek Timah.
”Nek, ceritanya panjang sekali”, kata Putri. Dulu kami ini adalah keluarga kerajaan Pagarruyung yang pertama. Karena sesuatu yang tidak terelakkan, karena sudah menjadi nasib pula, maka jadilah kami kaum yang terbuang. Dan karena sumpah kerajaan oleh Raja Pagarruyung yang pertama Dang Tuanku, maka anak keturunan dari nenek kami ”diminta supaya tidak terlihat” oleh semua rakyat Pagarruyung.
”Kenapa demikian tuan Putri”, tanya nenek Timah pula.
”Nenek kami dulunya adalah seorang selir raja Pagarruyung, yang tidak diakui oleh istana. Karena nenek kami adalah seorang dayang-dayang yang diambil dari tanah jajahan kerajaan diseberang sana, dari sebuah pulau di kerajaan Melayu.
Karena kecantikan dayang-dayang itu, diam-diam raja menaruh hati. Dan raja lalu menjadikannya selirnya, tanpa diketahui oleh Bundokanduang sang permaisuri raja.
Ketika diketahui bahwa sang selir hamil, maka ributlah Bundokanduang. Ia menyuruh untuk mengusir si selir. Rajapun cepat mengambil sikap. Ia segera menikahkan sang dayang-dayang yang telah ia peristeri dengan seorang bujang perawat kuda istana, Pandeka Kilek namanya.
Pandeka Kilek dan Sang dayang-dayang diungsikan ke sebuah hutan laranganan di kaki Gunung Tandikek. Dan karena kesaktian sang raja yang bersumpah supaya anaknya yang dikandung oleh si selir diselamatkan, ia menyumpah keturunannya itu tersembunyi dari penglihatan orang banyak.
Suatu saat si selir mau melahirkan, dan terjadilah patuih tungga di siang hari.
Gelegar petir mengagetkan orang semua. Karena hari panas betinting, tidak ada setetes pun hujan, tapi petir tengah hari itu keras luar biasa. Sebatang pohon kelapa sampai hangus terbakar.

Lahirlah seorang putri yang cantik sekali. Dan sejak itu keturunan kami tersembunyi di tengah hutan dan tidak terlihat oleh orang banyak.

Jadilah kami Orang Bunian. Keturunan kami bermukim disini. Dan kami juga sering menjemput orang kampung yang kami nilai baik, namun sering dikucilkan oleh masyarakat karena kemiskinannya. Kami bawa mereka kemari dan kami beri penghidupan di kerajaan Beringin ini. Tapi, mereka segera menjadi orang Bunian juga.

Demikianlah nek, kerajaan ini berkembang. Kami juga sering datang kepasar ke tempat orang biasa berdagang. Kami juga sering ke Malalak, ke Kayutanam, ke Kandang Ampek, ke Padangpanjang, ke Silaing, ke Batipuh, dan ke Sungai Limau dan ke Singkarak.

Cuma kaum kami tidak boleh ke tanah Agam. Karena tanah Agam adalah tanah sakti dan mulia. Ilmu Bunian akan tertolak disini. Kalau ada yang berani keluar dan memijak tanah Agam, maka dirinya akan terlihat dan ia akan mengalami malapetaka.

Dan itu pernah kejadian, seorang pemuda kami memburu kijang sampai ke batas Sungai Buluah, dan rupanya ia terpikat seorang gadis cantik yang sedang menyiang sawah disana. Ia mendekati si gadis, tanpa ia ketahui bahwa dirinya telah nyata, dan ia ditangkap orang kampung, karena penampilannya berbeda. Untunglah ia diselamatkan oleh orang tua si gadis, dan ia akhirnya menikah dengan gadis itu dan tidak pernah balik lagi ke Beringin.

”Nek, mari hiaslah diri saya, karena nanti sore calon suami saya akan datang dari tanah Jambi”, sang Putri raja meminta nek Timah untuk menghias dirinya.
”Baiklah”, kata nenek Timah.

Sang Putri Mayang Taurai di dandani oleh nenek Timah dengan eloknya. Mukanya yang cantik dan putah itu diberi pupur dari bedak beras halus yang dicampur dengan bungatanjung sehingga harum dan membuat muka si putri raja makin bercahaya. Pipinya dimerahi dengan halusan bunga kesumba dicampur dedak beras pulut yang dihaluskan. Bahan ini diracik oleh nenek Timah sendiri. Itulah kelebihan nenek Timah dalam merias penganten. Ia selalu dicari orang. Bibir sang putri diberi gincu, yang dibeli oleh ayahnya di Persia sewaktu beliau menunaikan ibadah haji.
Jadilah Putri Mayang Taurai seperti seorang dewi yang baru turun dari kayangan.
Ia adalah Putri Raja Urang Bunian.

Demikianlah nenek Timah menghias putri raja Bunian di kerajaan Beringin di kaki Gunung Tandikek, yang segera melangsungkan perkawinannya dengan seorang anak Raja dari Jambi yang juga keturuan dari orang Bunian yang mendiami hutan keramat Bukit Dua Belas.

Sorenya menjelang maghrib ia kembali diantar oleh kuda terbang dan Bujang Selamat kembali ke rumahnya di Subarang. Nenek Timah di hadiahi kalung dan gelang emas buat cucunya oleh sang Putri Raja.

Pagi-pagi sekali si Upik cucu nenek Timah terkejut melihat neneknya teridur di depan tangga rumah.
Ia bangunkan neneknya.
”Nek, bangun hari sudah shubuh. Kenapa nenek tidur di luar”, tanya Upik.
Nek Timah bangun, ia ke pancuran. Ia diam saja. Kemaren ia dipesankan oleh Putri Mayang Taurai, supaya tidak menceritakan kerajaan Bunian itu.

Cerita Nek Timah tetap tersimpan rapat sampai ia menghembuskan napas terakhirnya, dan cucunya Upik tetap menyimpan rahasia ini.
Hidup Upik Nur kini telah berubah, dan setelah ia menikah dengan Udin petani teman sekampung di Subarang. Perhiasan hadiah kerajaan Bunian yang ia simpan selama ini setelah neneknya meninggal, kemudian ia jual. Dan uangnya mereka pakai untuk modal dagang dan mereka pindah ke Pekanbaru. Disinilah Upik hidup bersama suaminya. Cerita tentang neneknya yang hilang seharian tetap ia simpan, karena ia tidak tahu sampai sekarang kemana neneknya pergi dan dari mana nenek dapat perhiasan itu. Itu tetap jadi teka teki sampai sekarang.

Demikian nenek saya mengakhiri ceritanya.
Dan memang kami tidak berani ke hutan sendirian sejak saat itu. Kami takut diambil oleh Orang Bunian.

MENJALA IKAN

OLEH: DASRIELNOEHA

Dikampung ada sungai yang cukup besar yaitu Batang Anai. Batang Anai masih mengandung banyak ikan, ada garing, kulari, talingan-lingan, dan ada juga yang lebih kecil seperti baung, mungkuih, dan sitokah. Ikan ini sering ditangkap oleh penjala ikan. Penjala ikan ini adalah orang yang menangkap ikan disungai dengan menggunakan jala, atau jaring yang dijalin dari benang nilon kemudian diberi pemberat timah diujungnya.

Jala ini kemudian dilemparkan ketengah sungai yang ada ikannya. Ikan akan tersangkut di jala, dan lalu diambil dan dimasukkan kedalam keranjang.
Ada beberapa penjala ikan yang terkenal di kampung saya tahun enampuluhan dulu.
Ada Pak Sapar, ada Pak Labai namanya. Sering mereka menjual ikan garing, ikan kulari, ikan mungkuih hasil jala mereka ke ibu saya.

Waktu itu Batang Anai masih banyak ikannya. Belum kena racun atau ditangkap orang nakal dengan memakai strum.
Kalau mereka menjala ikan di malam hari biasanya hasilnya agak banyak. Bisa semalam mengumpulkan ikan sampai sepuluh kilo. Lumayan mereka jual bisa buat beli beras untuk makan keluarga mereka.

Kami juga dulu suka menangkap ikan di Batang Anai. Tapi kami tidak menggunakan jala. Selain susah, harga jala mahal, dan menangkap dengan jala kurang mengasikkan.
Kami menangkap ikan menggunakan kawat yang diruncingkan depannya dan ditembakkan dengan semacam pestol yang kami buat sendiri dari sebuah dahan kayu, dan diberi karen benen ban sebagai pelenturnya. Kami sebut penangkap ikan model ini dengan Panembak. Kalau menangkap ikan dengan jala, cukup melemparkannya saja ke air dari sebuah batu tempat berdiri. Tapi kalau menggunakan panembak, kita harus menyelam kedalam air mencari ikan dengan menggunakan sebuah teropong yang kami buat sendiri dari potongan dahan kayu dengan dilobangi dan diberi sebuah kaca untuk lensa yang akan digunakan dalam air. Modelnya harus disesuaikan dengan besarnya lekukan mata kita. Kayu yang digunakan biasanya dahan kayu surian, semacam kayu yang terkenal untuk pembuat perabot.

*
Di kampung dulu ada dongeng atau cerita lama mengenai penjala ikan yang selalu menjala malam hari.
Namanya Mak Haji orang kampung menyebutnya. Ia memang telah menunaikan ibadah haji ke Mekah.
Ia terkenal karena sering dapat menangkap ikan yang banyak dan besar-besar.

Ceritanya memang agak unik. Mak Haji sering menangkap ikan kalau hari hujan, sementara penjala lain takut turun ke Batang Anai kalau hari hujan, karena jangan-jangan nanti air gabuak atau air deras karena hujan di hulu. Bisa hanyut penjala kalau air terlalu gabuak.

Kabarnya Mak Haji berani turun kalau hari hujan lebat karena ia ditemani oleh seekor harimau peliharaannya. Inyiak Balang dipanggil namanya.
Kalau Mak Haji mau menangkap ikan malam hari, maka Mak Haji naik di punggung si belang. Ia bisa melompati batu-batu di tengah sungai untuk membantu Mak Haji menebarkan jala. Walau ditengah hujan deras Mak Haji bisa juga menangkap ikan.
Biasanya kalau air gabuak ikan akan keluar dari sarangnya karena suara air yang bergemuruh. Dan juga air akan menghanyutkan sampah dari arah Padangpanjang yang banyak membawa sisa makanan yang digemari ikan. Ikan baung besar-besar, ikan panjang, ikan gariang besar, dan ikan kulari ikan banyak keluar kalau air gabuak. Dan jala Mak Haji akan penuh dengan ikan yang bergelantungan.

Kalau sudah banyak ikan didapat, biasanya Mak Haji istirahat di pinggir Batang
Anai dan berteduh di balik batu besar, yang sekitarnya ditumbuhi oleh pohon tibarau atau sejenis bambu yang batangya rimbun dan kecil-kecil.
Dulu aku ingat kalau main ke Batang Anai, aku suka sekali mengambil batang tibarau ini untuk dibuat tongkat.

Si Belang ikut berteduh dibelakang batu itu. Ia menjaga Mak Haji. Mak Haji melemparkan beberapa ekor ikan baung besar kegemaran si Belang. Mak Haji biasanya membawa nasi bungkus dan beberapa telor ayam. Ikan akan dibakar dan dimakan dengan rebus telor ayam. Nikmat sekali kata Mak haji.

Mereka akan pulang kerumah kalau hujan telah teduh dan berhenti. SI Belang akan pulang kesarangnya di semak belukar di Baruah dan Mak Haji pulang ke rumahnya di pinggir ladang di Pasar Kerambil.

Cerita Mak Haji berteman dengan si Belang sang harimau itu juga unik.
Suatu hari di hutan dekat ladang Mak Haji di pinggir Batang Anai, ia mendengar suara mengaum namun lebih merupakan suara keluhan seekor harimau.
Mak Haji mendekat keareah suara dari rumpun bambu yang tumbuh di pinggir sungai Batang Anai. Disitu kelihatan seekor harimau besar sedang duduk dengan kaki terjulur dan telapaknya penuh dengan darah. Rupanya ia terinjak potongan batang bambu yang runcing dan langsung menusuk telapak kakinya.
Mak Haji mendekat dengan berani, karena ia kasihan pada harimau itu dan ia berkata.

”Oh, kau rupanya, kakimu berdarah tertusuk bambu. Kau mengejar babi kesini, rupanya babi lebih cerdik darimu. Kan kakinya kecil dan berkuku tidak akan tertusuk pancang ini. Kakimu besar dan tapakmu lembut pastilah akan mudah tertusuk”, kata Mak Haji.

”Tapi kamu janji dulu, aku tolong mengobati kakimu, tapi jangan engkau makan aku ya” kata Mak Haji lagi.

”Grmmmm, kata harimau itu, kelihatan air matanya meleleh menahan sakit.

”Baiklah tunggu sebentar, aku kepondok dulu mengambil kain paco untuk membalut lukamu, kamu tunggu disini”, kata Mak Haji lagi.

”Grmmmmm”, kata harimau itu lagi.

Mak Haji kembali ke pondoknya. Ia membuat obat luka dari gilingan daun tembakau dicampur daun si cerek dan daun singkong.
Ia tetesi minyak makan. Minyak ikan ini dibuat sendiri oleh Mak Haji.

Bila habis menjala dapat ikan situkah yang hitam besar dan ikan talingan-lingan jantan, biasanya selalu disisihkan, tiga ekor tiga ekor. Ikan ini dijemur. Dan bila telah kering, akan dicampur dengan ulat kelapa dan ditumbuk halus. Kemudian akan dilumuri dengan minyak kelapa yang dibuat sendiri. Itu dijadikan obat luka. Obat luka minyak ikan buatan Mak Haji ini manjur sekali.

Dan Mak Haji membawa beberapa lembar kain paco atau potongan kain yang bersih.
Kemudian ia datangi lagi rumpun bambu itu ketempat si harimau kejebak duri ranjau potongan bambu.

”Aden akan mencabut ranjau ini, kamu tahan sakitnya ya”, kata Mak Haji ke harimau itu.

”Grmmmmm”, kata harimau itu.

Dengan sekuat tenaga Mak Haji mencabut ranjau itu. Darah memancar dari luka di telapak kaki si harimau. Luka itu disiram oleh Mak Haji dengan air bekas gilingan tembakau yang dicampur dengan minyak kelapa. Ajaib, darah itu berhenti mengalir. Luka itu dalam dan ditumbok oleh Mak Haji dengan gilingan tembakau campur daun tadi. Dan kemudian diolesi minyak obat luka.
Lalu ia tutup dan balut dengan kain paco.

Kelihatan si harimau sudah bisa menyeringai dan tidak kesakitan lagi.
Si harimau kemudian menjilat kaki Mak Haji.

”Pergilah ke sarangmu, dan selama tiga hari kamu tidak boleh jalan dulu, atau kalau mau jalan, jangan kamu injakkan dulu telapak kananmu ini. Biar lukanya kering dan sembuh dulu”, kata Mak Haji lagi.

”Grmmmmm”, kata harimau itu sambil menghilang kedalam semak.

Mak Haji pulang kembali ke pondoknya.

Setelah dua minggu, pada malam hari bulan purnama, sewaktu Mak Haji mau tidur di pondok, ia kemudian mendengar auman suara harimau di belakang pondok dan suara ranting yang terpijak.
Ia kemudian keluar pondok. Dan ia melihat kembali si harimau tempo hari datang. Dan kakinya tidak pincang lagi. Rupanya telah sembuh lukanya. Anehnya di mulutnya ia menggunggung seekor anak kijang yang telah sekarat. Rupanya ia telah menangkap anak kijang itu.
Harimau itu membawanya kedepan pondok. Dan disana anak kijang itu dilepasnya.
Harimau itu melihat ke Mak Haji. Ia mengibaskan ekornya.

”Grmmmm”, katanya sambil kakinya mengaiskan anak kijang tadi.

”Oh, kamu mau berterima kasih dan memberikan anak kijang ini padaku ya”, tanya Mak Haji.

”Grmmmm”, aum harimau itu lagi, kemudian ia melompat dalam keremangan cahaya bulan di balik pohon durian dan terus masuk ke semak.

Mak Haji kemudian menyembelih anak kijang itu, dikuliti dan dagingnya dibakar serta dibuat dendeng untuk persiapan lauk.
Besoknya, sebagian dendeng itu ia letakkan di pinggir semak buat si Belang. Dan si Belang malam hari mengambilnya dan memakan dendeng itu.

Begitulah akhirnya antara Mak Haji dan si Belang terjalin persahabatan yang baik dan mereka saling tolong menolong.

Suatu hari Mak Haji akan menjala ikan ke Batang Anai. Namun rupanya hari gelap dan akan turun hujan. Ia jadi mengurungkan niatnya untuk menjala sore itu. Sehabis waktu maghrib hujan turun dengan lebatnya. Kemudian dibalik pondok ia mendengar auman si Belang. Ia lihat rupanya harimau sahabatnya itu sedang duduk menjolorkan kakinya. Mak Haji mendekat. Si harimau menggeserkan punggungnya ke Mak Haji.

”Oh kamu akan mengajak saya menaiki punggungmu ya”, tanya Mak Haji.

”Grmmm”, aum si harimau.

”Baiklah kalau kamu mau mengendong saya, ayok kita pergi untuk menjala ke Batang Anai. Kalau hujan begini biasanya banyak ikan yang mabok dan dengan mudah kita jala. Nanti kamu kan bisa makan baung yang banyak”, demikian kata Mak Haji.

Demikianlah, akhirnya Mak Haji terbiasa digendong oleh si Belang pergi menjala ikan kalau hari hujan lebat.
Dan mereka selalu dapat ikan yang banyak.

Bila orang kampung menanyakan, kenapa Mak Haji selalu mendapat ikan yang besar dan banyak, maka selalu dijawab oleh Mak Haji bahwa itu rejeki si Belang harimau peliharaannya.

Orang kampung hormat kepada Mak Haji dan juga agak takut kepadanya.
Pak Sapar dan Pak Labai pandai menjala ikan, karena diajari oleh Mak Haji bagaimana cara menjala ikan yang baik.
Tapi tidak diijinkan untuk ketemu si Belang.

”Nanti kalian takut, karena si Belang adalah harimau yang besar”, kata Mak Haji.

Sewaktu Mak Haji meninggal, di kuburannya di Rambai, selama tiga hari orang kampung tidak berani mendekat kesana, apalagi kalau sehabis waktu shalat Isya orang yang melewati kuburan itu agak takut.
Karena waktu itu si Belang ada di sana dan ia mengaum sejadi-jadinya.
Ia rupanya sedih ditinggal sahabatnya Mak Haji yang baik.

Itulah si Belang sang harimau yang bersahabat dengan seorang penjala malam hari, Mak Haji yang juga orang baik.

Sehabis itu kadang-kadang orang kampung suka melihat si Belang muncul di belakang rumah Mak Haji dan duduk di belakang dapur. Ia mengaum tiga kali dan kemudian menghilang.
Ia masih setia, sampai beberapa saat. Namun, sesudah itu ia tidak muncul lagi. Mungkin ia telah mengikuti Mak Haji menemui Sang Pencipta.

BARALEK

OLEH: DASRIELNOEHA

Di kampung saya dulu sekitar tahun enampuluhan, lingkungan alamnya masih amat bagus dan disebut sebagai masih lestari. Banyak pohon di hutan, dan semak-semaknya masih asri yang dihuni oleh binatang seperti rusa, babi, kancil, juga harimau. Sungainya masih jernih. Batang Anai adalah sebuah sungai berair deras yang agak besar mengalir di tengah kampung. Sumber airnya berasal dari gunung Singgalang di daerah Padang Panjang.
Di kampung saya, di perut Batang Anai masih banyak ditemukan ikan garing, ikan kulari, ikan panjang, ikan mungkuih, situkah, kapareh, baung dan lain-lain.
Kalau ada mau perhelatan di kampung, biasanya pada tiga hari sebelum hari pesta, pemuda kampung mengadakan musyawarah untuk menangkap ikan untuk membuat pangek ikan. Pangek ikan merupakan lauk yang wajib ada sewaktu pesta pernikahan.
Di sepanjang Batang Anai biasanya ada cabang sungai yang disebut Anak Aie yang bisa panjangnya samapi tiga kilometer.
Nah, para pemuda ini esok harinya akan ”mengalah” atau menangkap ikan di Anak Aie ini.
Di hulunya atau ditempat air masuk yang biasanya lebarnya sampai 10 meter dipokok atau disumbat dengan menyusun batu-batu yang kemudian ditutup dengan lumpur sawah dan daun-daun. Anak Aie dikeringkan dengan menyumbat hulunya itu.
Setelah kering, mulailah beramai-ramai pemuda ini menangkap ikan yang terperangkap karena kekeringan. Biasanya dengan mudah dicokok ikan gariang, kulari, baung, mungkuhi biasanya yang paling banyak, udang, juga ikan panjang.
Dari hulu sampai kemuaranya Anak Aie ini ditelusuri untuk menangkap ikan.
Banyak juga yang dapat biasanya bisa sekitar lima puluh kilo. Setelah dirasa cukup untuk keperluan alek, sumbat di hulu kembali dibuka dan air akan mengalir lagi ke Anak Aie. Anak Aie ini biasanya digunakan untuk mengairi sawah.
Pada saat mengalah inilah kegiatan gotong royong dan kekompakan pemuda kelihatan. Biasanya kegiatan mengalah ini diberitahukan sekitar satu bulan sebelumnya ke semua anak negeri. Pemuda yang belajar di kota seperti di Padang, Padangpanjang, Bukittinggi akan pulang dan beramai-ramai mereka mengikuti acara mangalah ini.
Pada malam harinya, biasanya pangek ikan hasil mengalah ini sudah matang oleh ibu-ibu.
Dan pangek ikan kecil-kecil biasanya akan dimakan beramai-ramai oleh pemuda yang mengikuti acara mangalah siang harinya. Nah, malam hari ini akan meriah sekali, karena para gadis-gadis akan ikut ”menating” atau mengantarkan piring yang berisi lauk pauk kedepan para pemuda.
Dan kegiatan ini biasanya akan diiringi dengan meniup saluang oleh tukang saluang dan diiringi oleh dendang atau nyanyian oleh penyanyinya.
Nyanyiannya biasanya bernada sedih, kisah kasih asmara, kisah perantauan seperti lagu Singgalang, Mudiak Arau, Ondeh Mandeh, dan lain-lain.
Basaluang bisa sampai waktu subuh. Dan usainya biasanya setelah terdengar azan subuh.
Pada malam harinya akan dilanjutkan dengan acara “malam bainai”, yaitu memberi warna kuku si pengantin perempuan dengan inai, yaitu daun inai yang digiling halus dan kemudian ditempelkan ke kuku jari si perempuan.
Pada malam bainai ini rumah pengantin wanita akan ramai oleh para gadis-gadis, yang mencandai pengantin perempuan yang amat beruntung telah mendapatkan jodohnya.
Bila kebetulan pengantin laki-laki adalah memang pilihan hatinya, akan terdengarlah canda ria sipengantin dengan para teman-temannya.
Namun, bila seandainya si pengantin perempuan hanya dijodohkan oleh keluarganya yang merupakan laki-laki yang kurang disenanginya, biasanya pengantin perempuan akn merengut dan menangis. Ia akan dihibur oleh teman-temannya dengan nyanyian penganten.
Malam-malam ka tigo yo mamak,
Malam-malam ba inai, yo sayang,
Anak Daro yo mamak,
Jo Marapulai

Dan di rumah penganten laki-laki akan ramai oleh para pemuda teman-temanya karena diadakan acara batagak gala.
Batagak gala adalah pemberian gelar sesuai adat Minang terhadap seorang pemuda yang telah mendapatkan jodoh dan dinikahkan dengan seoraong wanita.
Gala atau gelar yang diberikan biasanya dicarikan oleh Mamak atau Datuak Suku si penganten, yang diambilkan dari gelar suku bapaknya. Dicarilah gelar yang sudah lama terletak atau si pemilik gelar sudah meninggal. Misalnya gelar Sutan Makhudum dari suku Koto. Sutan Bandaro dari suku Jambak, Sutan Rajo Ameh dari suku Jambak, sutan Pamuncak dari suku Panyalai, dan lain-lain.
Ada Sutan Mangkuto, Sutan Diateh, Sutan Pamenan, Rajo Sutan, namun semuanya diawali dengan sebutan Sutan, yang menandakan bahwa itu gelar orang Minang.
Setelah menikah dan mendapat gelar, laki-laki Minang akan dipanggil gelarnya, dan nama kecilnya akan jarang di sebut orang.

Baralek atau pesta dalam adat Minang memang suatu kegiatan bersama dan disebutnya dengan gotong royong.
Bila telah disepakati oleh kedua belah pihak kapan diadakan pesta pernikahan, maka disusunlah acara yang harus ditempuh.
Maka acara pertama adalah “mangalah”, kemudian diikuti dengan “batagak gala”, kemudian baru “baralek” atau pesta pernikahan.
Untuk memberi tahu orang kampung, maka akan diutus dua orang pemuda untuk penganten laki-laki dan dua orang gadis untuk penganten perempuan.
Si “pemanggil” mereka disebutnya, akan mendatangi semua rumah untuk memberi tahu akan acara pernikahan tersebut sekalian mengundang untuk datang.
Kami diutus oleh Datuk Rajo Khatib, penghulu kami untuk mengundang bapak/ibu/saudara/saudari datang untuk acara pernikahan anak kemenakan kami si Fulan dengan si Wati, tanggal lima hari Kemis untuk mengalah, hari Jum’at menikah dan batagak gala, serta hari Sabtu malam Minggu pesta pernikahan.
Demikian kalimat yang diucapkan oleh si pemanggil sambil ia mengeluarkan sirih dan kapurnya yang ia bawa.
Si empunya rumah, akan mengambil sirih atau hanya memegang dan menyobek saja sebagai syarat telah menerima berita.
Pada hari perhelatan biasanya ibu-ibu akan membawa beras 1 liter yang diserahkan ke rumah si penganten.
Dan satu hari sebelumnya para ibu-ibu akan datang ramai-ramai kerumah si penganten untuk “mamasak” lauk pauk seperti; pangek ikan, rendang, kalio, goreng taruang, gulai cubadak, gulai kamumu, pargedel, nasi kuniang, ayam singgang, wajik.
Suasana kekeluargaan akan terasa kental sekali saat ini. Semuanya bergembira. Dapur khusus dibuat di luar rumah untuk memasak makanan sebanyak itu.
Pada acara ini yang jadi raja sehari ”Marapulai” sebutan untuk penganten pria, dan ”Anak Daro” sebutan untuk penganten perempuan.
Pakaian marapulai adalah pakaian datuk dengan deta di kepala, sedangkan anak daro memakai suntiang di kepalanya.
Tamu undangan akan datang dengan masing-masing pihaknya.
Untuk urang sumando, ninik mamak, alim ulama dan cadaik pandai (orang terpandang di kampuan) akan datang pada malam sebelum acara perhelatan.
Semua hidangan diletakkan secara ”adat”.
Induk jamba biasanya, ikan besar yang digoreng tanpa dipotong-potong, ayam singgang, semur daging, pangek dagiang, akan diletakkan di pangka dan khusus untuk para ninik mamak dan alim ulama.
Mereka duduk dibawah tirai yang dipasang dilangik-langik, dan dinding ruangan ditutup tabir, dan lantai dialasi dengan permadani.
Hidangan yang lain seperti pangek ikan, gulai kamumu, goreng taruang, randang, goreng talue, kalio, akan diatur di bawahnya, yang diselang selingi dengan wajik dan nasi kuniang (beras ketan yang diwarnai dengan kunyit dimasak sehingga bewarna kuning).
Sebelum makan akan didahului oleh petatah petitih yang disebut dengan ”acara pasambahan”, yaitu berjawab kata yang disusun rapi menyangkut penyampaian terima kasih pada undangan yang telah datang, dan supaya makanan dimakan serta air minta diminum.
Namun, acara ini bisa memakan waktu samaoiu 1 jam lebih karena akan ada bumbu kata-kata dalam bahasa Minang yang diucapkan secara kias.
Pesambahan dimulai dengan kata pembukaan oleh si pangka auat tuan rumah, dan diteruskan oleh pengetua adat atau datuk, dan akan disambut oleh wakil alek atau tamu undangan.
Ada kata-kata seperti berikut:
Indak dikami pihak sipangka, anak kemenakan datuak Rajo Khatib, mahaturkan sambah kabakeh alek kami, kok dari lurah alah mandaki, dari bukik alah manurun, tampak jauah lah lah jaleh bana, tampak dakek lah tacogok, alah sanang hati kami, alah sajuak malah kiro-kiro, salam jo sambah kami haturkan kabakeh niniak mamak, alim ulama cadiak pandai, basa batuah, sarato alek kasadonyo.
Maminta ijin kami ka Datuak, yang mulie Datuak Rajo Khatib, ateh namo si pangka, sasudah baiyo kami badunsanak, tungku nan tigo sajarangan, kok bulek lah buliah di golongkan, kok picak nak dilayangkan, mamohon kami ka alek, untuak mamintak kasadiaan mancicipi hidangan kami, nan sangajo kaki katangahkan, mamanuhi aturan adat jo limbago iyo adat kita urang Minang nan kito junjuang pacik arek, indak kalapuak dek hujan, indak ka lakang dek paneh, adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah, ka nan Satu juo kito pulangkan. Sakian sambah kami hantakan, untuak alek nan kami muliakan.
Kemudian untaian kata pembuka ini akan disambut oleh yang dituakan di pihak tamu undangan.
Ka bakeh datuak Rajo Khatib, kami sampaikan sambah kami..
Dek kami lai baduo batigo, sanak sudaro nan a;ah rapek papek tangah rumah, ijinkanlah kami nak baiyo, buliah nak bulek kato jo mufakat,
Kemudian mereka berembuk sebentar, menyangkut kelengkapan hidangan dan susunan yang diketengahkan, apa ada salah janggalnya. Kemudian ia akan mnelanjutkan sembahan sebagai berikut.
Ka bakeh Datuak Rajo Khatib..
Sudah baiyo kami basamo, manilai alue jo patuik, bak kain salarai banang, pusek jalo tumpuan ikan, angin mandaru tandonyo badai, gabak dihulu tando ka hujan, alah patuik dek baturuik, alah rancak dek batali, tali dielo nyo manuruik, rancak basusun jari nan sapuluah, alah sanang hati kami, alah sero di kiro-kiro, kok duduak yo lah baselo, kok sanda yo lah babanta, alah tapek bana dek alek nan datang nangko, kami mandanga himbau dari jauah, kami mndanga barito dunsanak kami, urang sadang baralek, anak nan dapek jo jodohnyo, nan maundang kami kamariko, ka rumah rang kayo Siti Aminah, kamanakan dek Datuak Rajo Khatib, kan iyo baitu mah yo Datuak.

Iyolah, tapek bana dek Kari Marajo, baitu bana mukasuik kami, iyo gadang hati kami, alah datang urang kampuang alah datang dunsanak sadonyo, mamanuhi undangan kami, baitu ba adaik limbago kito. Adaik nan indak buliah kito langga, adaik nan diparadikkan, sajak enek moyang kito, turun tamurun sampai kini, kito junjuang tinggi kito hormati.
Bapulangkan sambah baliak ka Kari Marajo..

Ka bakeh Datuak Rajo Khatib..
Dek baitu bana putiahnyo hati Datuak sarato rangkayo nan punyo rumah, kok dipihak kami, nan sangajo mamijak janjang, basalam masuak rumah, iyo mangambirakan alek nangko, alah tapek dimato kami, indak ado lai salah janganyo, lah sasuai jo adaik kito, alah manuruik limbago nan dipusakoi, kami manunggu titah dari Datuak.

Ka bakeh Kari Marajo jo alek kasadonyo..
Kok baitu baritonyo, iolah sanang hati kami, alah sajuak malah kiro-kiro, hanyo kami mamintak bakeh Kari, kok ado ulama kito, mambacokan Bismillah kito samo-samo, kok hidangan mintak dimakan, kok aie mintak diminum.
Jungkekkanlah dek Kari, bia nak dipatiangkan pulo disiko.

Bismillah,...

Maka mulailah acara makan bersama dengan undangan semuanya.
Sedangkan untuk pesta esok harinya, itu mengikuti acara hidangan ala prasmanan biasa.
Yang menarik adalah saling kunjung antara keluarga penganten pada keesokan harinya.
Acara ini dimulai dengan ”acara jemputan”, yaitu datangnya utusan penganten perempuan pada malam hari untuk menjemput penganten laki-laki keesokan harinya.
Utusan ini biasanya ada tiga orang, yaitu dua orang dewasa laki dan perempuan serta seorang remaja yang bertugas membawa sirih dengan carano.
Utusan ini disambut oleh para ninik mamak penganten laki-laki secara adat, karena utusan juga datang secara adat dengan membawa sirih di carano.
Acara jemputan di akhiri dengan makan malam bersama, dan kemudian utusan minta diri pulang, dan mereka akan melapor kepada Datuak mereka, bahwa jemputan telah dilaksanakan dan telah disambut baik oleh pihak [enganten laki-laki.

Keesokan harinya, sekitar jam 10 pagi, datanglah arakan penganten laki-laki ke rumah penganten perempuan. Kalau dekat dengan jalan kaki yang dimeriahkan dengan musik rebana. Kalau jaraknya jauh misalnya antar kota, akan menggunakan mobil yang dihias.
Rombongan penganten laki-laki ini juga akan disambut dengan acara pasambahan, dan sepasang penganten akan bersanding di pelaminan.
Kemudian sebelum zuhur penganten laki-laki akan pulang kembali bersama rombongan.

Setelah waktu zhuhur, rombongan penganten perempuan akan berkunjung kerumah penganten laki-laki.
Mereka tinggal sampai lewat waktu ashar. Dan kemudian kedua penganten akan kembali kerumah anak daro dan marapulai dengan ”anak kabau” atau pengiringnya seorang lelaki remaja akan tinggal di rumah si anak daro.

Malamnya mulailah ”malam pertama” anak daro jo marapulai tersebut.
Dan resmilah mereka menjadi suami-isteri.
Selesailah alek ini.

Dan setiap baralek dikampuang saya dulu, selalu didahului oleh ”acara mangalah” di Batang Anai.

BANG SAMIN SI TUKANG OJEK

OELH: DASRIELNOEHA

Di depan sebuah bank yang terkenal di Jakarta, tepat di seberang jalan ada sebuah jalan lagi yang agak kecil, gang disebutnya. Disana mangkal abang becak dan abang tukang ojek, ada belasan jumlahnya. Demikian juga di setiap mulut jalan di Jakarta dan juga di kota-kota besar lainnya di Indonesia akan kita temui hal yang sama. Si abang ojek menunggu penumpang untuk diantar kerumah di jalan-jalan yang sempit yang tidak dimasuki oleh bis kota atau taksi.
Siang itu Bang Samin seorang tukang ojek tengah terkantuk-kantuk menunggu nona-nona atau ibu-ibu pengunjung bank yang rumahnya tidak terlalu jauh dari dari situ. Perutnya keroncongan minta diisi, karena tadi dari rumah memang ia belum makan sama sekali, hanya minum kopi pahit di warung depan rumah yang itupun masih ia hutang. Bang Samin nanar menatap orang yang hilir mudik dan keluar masuk pintu bank. Alangkah enaknya kalau punya uang banyak demikian ia ngelamun, tidak usyah susah narik ojek atau mencari makan kesana kemari. Susah hidup di Jakarta sudah banyak ia alami, ia pernah jadi pemulung, pernah jadi tukang sapu pasar, pernah jadi kenek mobil sampah, semuanya penghasilannya hanya pas-pasan buat ia hidup dengan isterinya dan dua orang anak yang telah mulai masuk sekolah dasar. Sekarang ia narik ojek milik seorang tetangga orang kaya Ncim Linda dipanggil orang, juga tempat isterinya jadi buruh cucian. Untung masih ada orang kaya sebaik Linda, yang mempercayakan motor Yamaha bebek miliknya buat ia pakai mengojek. Ia harus setor tiga puluh ribu satu hari diluar uang bensin. Ia masih bersyukur dengan sedikit susah payah menunggu penumpang dan modal kehati-hatian dan sedikit pakaian rapi ia masih bisa dapat penumpang nona atau ibu-ibu yang minta diantar kesekitar daerah itu dengan biaya tarikan antara lima sampai sepuluh ribu. Ia pulang jam sembilan malam hari, dan masih dapat memberi uang sekitar dua puluh lima ribu buat isterinya setelah dipotong uang setoran buat Encim Linda dan beli bensin lima liter buat narik esok harinya. Masih lumayan pikirnya. Namun hatinya tergetar juga melihat orang kaya yang keluar masuk bank, pasti mereka banyak uang dan pasti hidupnya enak, demikian ia melamun.
Kapan aku bisa seperti itu, ah.. hidupku akan seperti ini terus? Namun cepat ia hapus lamunan itu dengan mengucap Astagfirullah...karena Bang Samin adalah seorang Muslim yang baik.
“Alhamdulillah” ucapnya, saya masih dapat rejeki dari Allah.
Ia mau menjadi seorang hamba yang baik, mencari rejeki dengan halal walaupun harus mandi keringat. Ia tahu dalam kitab juga di beri isyarat bahwa hidup bukanlah diukur dengan banyaknya harta, Allah tidak memandang makhluknya dari segi banyak sedikitnya harta mereka, namun akan dibedakan dengan ketaqwaan meraka.
Bang Samin kemudian berdoa’a “ Ya Allah teguhkanlah iman hamba, jauhkanlah hamba dari godaan syetan yang terkutuk, jauhkanlah hamba dari godaan harta dunia, relakanlah rejeki yang hamba terima dari Engkau, jadikanlah rejeki ini untuk membawa hamba dan keluarga hamba kesyurgamu, ya Allah ampunilah hamba yang naif ini, yang kadang-kadang dengan kelemahan hamba, hamba mengeluh hidup dalam kemiskinan, jadikanlah hamba orang yang pandai membaca isyarat-Mu ya Allah, ya Allah restuilah kehidupan hamba”, do’a Samin setiap sehabis sholat magrib dan pada setiap senja di mushola lantai dasar bank itu. Ia numpang shalat di situ, karena ia berteman baik dengan satpam bank itu.
Bang Samin mengakhiri lamunannya, karena ia tahu bahwa yang didepannya banyak godaan terbentang adalah sebagai isyarat Tuhan bagi hambanya yang mau membaca ayat-ayat-Nya. Sehabis itu ia merasa lega hatinya, karena ia tahu bahwa Allah masih sayang kepadanya.
“ Bang”, tiba-tiba ia dipanggil oleh Anita seorang pegawai bank langganannya. “Tolong antar aku kerumah dan nanti kita balik lagi, ya bang, sambil tangannya menyodorkan lembaran uang lima puluh ribu.
“Baik Non, tapi uangnya kebanyakan, non”, jawab bang Samin.
“Ah, gak itu buat abang”.
“Alhamdulillah, mari Non”.
Sewaktu kembali ke bank Anita menawarkan sesuatu kepada bang Samin.
“Bang, nanti temui saya di rumah sepulang dari kantor, saya akan bantu abang untuk mendapatkan bantuan kredit motor buat abang, jangan lupa ya bang”. “Baik non”, dan Bang Samin berdo’a dalam hatinya, “Ya Allah terima kasih atas rejekimu ini, peliharalah keselamatan Nona Anita, dan limpahkanlah rejekinya, Ya Allah Rabbalalamin”. Bang Samin sungguh bersyukur karena segera ia akan punya motor sendiri.
Sorenya sehabis sholat maghrib bang Samin denagn ditemani oleh isterinya datang menemui Anita, di rumah kontrakan Anita yang tak jauh dari kamar kontrakan Samin.
“Assalamulaikum”.
“Waalaikum salam”’ masuk bang jawab Anita. Bang Samin datang kerumah Anita dengan isterinya Salmah.
“Bang, ini kunci motor, dan itu motornya di samping rumah”, abang mulai hari ini narik ojek milik sendiri. Namun, buat sementara STNK atas nama saya, sampai cicilannya lunas. Abang kan bisa nyari uang dua puluh ribu setiap hari, minimum, dan setorkan kepada saya, uang itu buat nyicil kredit motor itu ke bank. Namun, bila abang bisa nyetor lebih banyak dari itu, alhamdulillah, nanti kreditnya bisa cepat lunas, dan STNK serta BPKB akan kita balik nama ke abang, abang ngerti kan? Anita menjelaskan kepada Samin.
“Ngerti Non, abang terima kasih banyak telah Non Anita bantu”, Samin suaranya bergetar karena menahan tangis bahagia di kerongkongannya.
“Ada lagi, ibu kan bisa buat kue jajan pasar, buat sarapan kawan-kawan kita di bank?, tanya Anita ke isterinya Samin.
“Bisa, non, dulu di kampung saya juga membuat kue buat di jual ibu saya di pasar”.
“Nah, cocok kalau begitu, mulai besok ibu buat kue apa saja seperti serabi, pastel, onde-onde, lima puluh bungkus setiap hari. Saya kasih ibu harga lima ribu perbungkus, terserah ibu buat berapa potong perbungkusnya. Ini uang persekot lima ratus ribu buat ibu belanja. Itu uang dari saya buat ibu, gak usyah dikembalikan, pakai buat modal, yang penting besok saya melihat ibu ngantarkan kue ke bank”. Setiap sore ibu ambil uangnya dari saya di sini.
“Terima kasih banyak non”, isteri Samin langsung merunduk mencium lutut Anita. Non Anita sungguh baik membantu keluarga kami.
“Bang dan ibu, kalian sudah saya anggap saudara saya sendiri. Dulu juga saya punya saudara seusia kalian. Tapi mereka berumur pendek. Mereka itu pedagang sayur di Jawa. Suatu hari mobil yang mereka tumpangi kecelakaan. Kakak saya dan suaminya itu meninggal. Saya ke hilangan mereka.
Sekarang, saya seakan melihat mereka hadir kembali melalui sosok abang Samin dan mpok Salmah. Saya serasa mempunyai saudara kembali.
“Non, kami merasa terhormat non Anita anggap sebagai saudara. Kami akan bela non Anita sebagai adik kami sendiri, percayalah non, nih si Samin orang yang dihormati di gang sini, akan jadi saudara yang akan membela non kalau ada orang yang mau jahatin, kata Samin sambil mencium tangan Anita.
“Mulai hari ini baju non biar saya yang nyuci ya, kata mpok Salmah.
“Jangan mpok, mpok hanya membuat kue yang enak saja. Saya punya pembantu mbak Karti yang mengurus urusan saya”.
“Baiklah, non”.
Begitulah bang Samin dan isterinya Salmah telah dirubah Tuhan nasibnya perantaraan seorang pegawai bank yang baik yang bernama Anita.
Tuhan Maha Penolong umatnya yang pandai bersyukur dan hidup ikhlas serta berbakti pada-Nya.

Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling taqwa dari neraka itu,
Yang menafkahkan hartanya di jalan Allah untuk membersihkannya,
Pada hal tidak ada seorangpun yang memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya,
Tetapi dia memberikan itu semata-mata karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi,
Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.
(AlQur’an surat Al Lail, ayat 17,18,19,20,21).

Tawassaw Bil Haaq:
• Keikhlasan dalam hidup berarti berserah diri pada hukum-hukum Allah sambil berusaha mendapatkan yang terbaik, itulah prinsip hidup sebagai seorang hamba Tuhan yang baik (abdillah).
• Dengan ikhlas hidup akan terasa lebih bermakna dan akan menjadi nilai lebih karena dapat memberikan makna yang sama buat orang lain.

PENCUCI MOBIL

OLEH: DASRIELNOEHA

Sebelum harga tiket pesawat diturunkan harganya oleh perusahaan penerbangan yang sedang berkompetisi dengan perang tariff murah, perjalanan dari Padang ke Jakarta pulang pergi biasanya menggunakan bis. Tarifnya sekitar Rp 250,000 sekali jalan. Lama perjalanan sekitar dua hari. Perjalanan yang jauh itu memang melelahkan. Biasanya bis berhenti di tempat peristirahatan yang ada rumah makannya atau restoran Padang. Sekalian penumpang pergi ke toilet, mandi, makan, dan sopir bisa istirahat tidur barang sejam. Dan bis biasanya di cuci oleh para pencuci yang tersedia di sana.
Disebuah tempat perhentian mobil dan bis yang ramai karena disana terkenal banyak airnya dan jernih, ada seorang bapak separoh baya yang kerjaannya mencuci bis dan mobil lain yang brehenti di rumah makan disitu. Tiap hari ia lakukan pekerjaan itu. Ia bersama tiga orang pemuda merupakan pencuci mobil yang telah dikenal para sopir disitu. Seakan ada pembagian tugas, kalau bis dikerjakan oleh ketiga pemuda tersebut, dan mobil kecil atau mobil pribadi dicuci oleh bapak tersebut.
Namun sewaktu shalat shubuh di mushala disamping rumah makan ia selalu shalat tepat pada waktunya. Ia menjadi imam yang makmumnya semua penumpang dan penduduk sekitar.
Suatu hari seorang laki-laki gagah dan isterinya turut shalat dan menjadi makmun. Rupanya mereka adalah dua suami isteri yang pulang kampung dari Jakarta dengan mengendarai mobil sendiri sebuah mercedez seri E-300 SE, bewarna putih mengkilat. Mobil itu barusan selesai dicuci oleh si bapak tukang cuci mobil tersebut. Sang suami terkejut dan ia sangat terkesan dengan bacaan imam yang lancar, merdu dan bersih, sehingga sang laki-laki meneteskan air mata dalam shalatnya. Sehabis shalat ia mengamit isterinya. Isterinya datang mendekat.
“Ma, kalau tidak salah yang menjadi imam adalah bapak yang mencuci mobil kita tadi ya”, katanya setengah berbisik ke isterinya.
“Ah, masak”, kata isterinya tidak percaya.
“Iya, kelihatannya beliau, coba perhatikan”.
Mereka berdua memperhatikan si imam yang masih asyik berzikir di depan. Ia membelakangi mereka. Ia telah memakai baju koko putih dengan kopiah haji putih dan memakai kain sarung hitam. Pada mulanya isterinya tidak percaya, karena yang mencuci mobil mereka adalah seorang lelaki tua yang memakai celana sebetis dan kaos hitam, dan kopiah yang hitam juga. Pagi itu masih samar-samar kira-kira jam setengah enam. Para makmum telah meninggalkan mushala itu dan telah menuju warung untuk memesan kopi atau nasi goreng. Ada juga yang memesan ketupat sayur gulai paku yang menjadi spesifik restoran Padang di perhentian bis itu. Makan ketupat sayur dengan mendaruk kerupuk jangek atau kerupuk kulit khas Minang dan menghirup segelas kopi di pagi itu memang nikmat sekali. Apalagi udara pegunungan yang berembus sepoi dan agak dingin menerbitkan selera penumpang bis. Di situ berhenti sekitar sepuluh bis, dan belasan mobil pribadi silih berganti. Ada yang ke Jakarta dan ada yang menuju Padang dari Jakarta.
”Apa betul ya pa, itu beliau.
“Coba saya akan panggil bapak itu”.
“Tunggu ia selesai zikir pa”.
Kemudian si suami memanggil bapak itu.
“Pak, mohon maaf, saya mau bertanya”, katanya sambil beringsut kesamping si imam.
”Oh ya ada apa pak?”
“Mmm, apa tadi bapak yang mencuci mobil saya ya”.
“Mobil bapak yang mercedez warna putih itu?”
“Iya pak”, yang saya parkir disamping bis ALS”.
“Ya saya yang mencucinya, dan sudah selesai pak. Cuma angin bannya sebelah kiri depan agak kurang, saya lihat. Nanti bapak bisa pompa di tukang ban di sudut tempat parkir. Disitu ada keponakan saya yang jadi montirnya. Cek semua tekanan ban pak. Kan bapak sudah menempuh perjalanan jauh, lebih baik cek ulang ban. Murah aja pak, cuma lima ribu saja satu mobil.
“Ya, baiklah pak nanti saya periksa dan pompakan bannya.
“Pak, mohon maaf saya, saya sungguh terkesan dengan bacaan shalat bapak. “Apa Bapak selalu jadi imam shalat shubuh disini?
”Iya pak.
”Terus bapak juga menjadi pencuci mobil disini. Sudah lama bapak menjadi tukang cuci mobil?
“Kira-kira baru satu setengah tahun ini, sejak saya pensiun dan menetap di kampung saya ini”.
“Sebelumnya bapak kerja dimana?

Kemudian dengan malu-malu Pak Ahmad, menceritakan nasibnya, bahwa ia hanya seorang pensiunan pegawai Balaikota DKI yang pulang kampung dan sekarang hidup di desa ini sambil siangnya kesawah dan malam hari mencuci mobil yang berhenti di rumah makan. Dulu semasa di Jakarta ia punya rumah kecil yang dicicil dan setelah pensiun ia jual dan ditabung buat biaya kuliah dua anak di perguruan tinggi di ibukota. Dan bersama isterinya ia balik ke kampung di Sumatera Barat.
Berhubung mereka membutuhkan biaya yang banyak, makanya ia bekerja dengan keras untuk mereka dan makannya suami isteri. Isterinya malam hari mengajar ngaji ibu-ibu di kampung sini.
“Begitulah pak, saya bekerja sambil berdo’a supaya badan tetap sehat, dan diusahakan jangan sakit. Kalau sakit biayanya mahal sekali pak, sedangkan saya telah pensiun”.

Setelah mendengar cerita si bapak tukang cuci mobil itu, sang laki-laki menawarkan pada Pak Ahmad kalau ia mau pindah ke Padang untuk diangkat menjadi kepala gudang di Telukbayur dan Kepala Bengkel dengan tugas mengontrol para pekerja dan mekanik di pool. Sang lelaki rupanya punya perusahaan ekspor hasil bumi dan bengkel mobil di Padang dan hari itu ia pulang kampung untuk melihat perkembangn usahanya dan sekalian melihat peluang usaha baru. Dan kebetulan juga ia mendapat laporan dari sekretaris perusahaan bahwa kepala gudang sekarang orangnya kurang jujur dan malas serta sering tidak masuk kerja. Ganti saja pak dengan orang yang lebih baik, demikian nasihat sekretaris itu.
Di Jakarta ia adalah juga punya usaha ekspor dan logistik.

“Apa saya sanggup ya pak”.
“Saya percaya bapak sanggup, bagaimana apa bapak bersedia. Nanti bapak boleh pulang setiap dua hari seminggu kesini lihat ibu, dan bapak juga boleh sekali-kali bawa ibu ke Padang. Di gudang juga ada kamar kosong bisa ditempati. Nanti saya akan suruh orang untuk membersihkan”

Pak Ahmad lalu sujud dan air matanya meleleh, dan sambil menyalami tangan laki-laki itu ia berdo’a, “Ya Allah, terima kasih atas rejeki-Mu yang engkau limpahkan melalui tangan laki-laki didepan hamba ini”, Engkau anugerahkanlah keselamatan kepada orang ini, dan Engkau berkatilah jalanku”, Amin.

“Baik pak saya bersedia, tapi tolong ajarin saya tentang apa yang saya harus kerjakan”.
“Ya, nanti sekretaris saya akan mengajari bapak, kerjanya tidak susah kok”.
“Pak ini buat bapak dan ibu, sekalian buat ongkos bapak ke Padang”, kata isteri saya sambil menyodorkan beberapa lembar uang ke tangan si imam.
“Bu, jangan bu, ini banyak sekali”.
”Ah, bapak terima saja, sekalian sampaikan salam kenal saya sama ibu, nanti saya akan belajar ngaji dengan beliau”, kata isteri saya lagi.
”Terimalah pak, kalau bisa bapak ke Padang sore nanti, atau besok pagi, biar saya kenalkan dengan pegawai saya di sana”, kata sang lelaki.
”Baik, pak saya akan usahakan sore ini juga”.

Sang lelaki dan isterinya beranjak ke warung. Mereka merasa bahagia sekali pagi itu. Mereka menemukan seorang lelaki yang baik dan jujur. Mereka duduk dimeja disudut. Mereka melihat Pak Ahmad berbicara dengan seorang anak muda di tempat tempel ban. Mungkin ia mengatakan kepada ponakannya itu, agar memeriksa ban mobil mercedez putih dengan benar. Karena pemiliknya adalah seorang malaikat yang diutus Tuhan untuk memperbaiki hidup mereka. Ia melihat si pemuda mengnganggu sambil menoleh ke warung.

”Saya serasa melihat Bapak di wajah pak imam tadi”, kata silelaki pada isterinya.
”Iya pak, saya juga, kelembutan matanya mengingatkan saya kepada beliau”, kata isterinya.
Rupanya ayah dari si lelaki sudah meninggal beberapa tahun lalu.
”Ma, rupanya Tuhan Maha Besar, Ia telah memeprtemukan kita dengan orang yang baik diantara banyak orang yang tidak baik di dunia ini.
”Saya mau memesan ketupat sayur, mama mau pesan apa?
”Saya mau pesan soto, sudah lama saya tidak merasakan gurihnya goreng daging soto Padang”.
”Bu, saya pesan ketupat sayur, dan isteri saya ini mau soto. Tolong sekalian kerupuk jangek ya bu”.
”Baik, pak, bu, tunggu sebentar ya”.
Mereka makan dengan lahap sekali. Karena pagi itu mereka beroleh berkah dari Tuhan.

Sejak itu Pak Ahmad pindah ke Padang dan tugas mencuci mobil dilanjutkan oleh keponakannya yang kebetulan ada dikampung menjadi ketua pemuda disana. Ia sekarang menjadi Kepala Gudang perusahaan si bapak yang kebetulan mampir di tempat peristirahatan mobil itu. Allah menyuruh seorang laki-laki kaya yang punya mercedez untuk berhenti disitu. Karena ada hambanya yang pandai bersyukur dan hidup jujur serta penuh kepasrahan kepada-Nya sedang mengais rejeki dengan hanya menjadi pencuci mobil. Namun ia juga seorang khalifah-Nya yang menjadi imam shalat di waktu shubuh. Ia telah di beri karunia oleh Allah karena kepasrahannya dalam hidup namun tetap berjuang sesuai perintah-Nya melalui tangan seorang pemilik perusahaan impor-ekspor dan logstik yang kebetulan pagi itu menjadi makmun dalam shalat shubuh yang ia imami.
Aku kutipkan ayat AlQur’an dibawah ini:
Barang siapa yang mengerjakan kebaikan walau sebesar zarrah (atom)pun, niscaya dia akan melihat balasannya,
Dan barang siapa yang mengerjakan keburukan walau sebesar zarrah (atom)pun, niscaya dia akan melihat balasannya pula, (Al Zalzalah ayat 7,8).

AYAHKU TELAH PERGI

OLEH: DASRIELNOEHA

Melepas kepergian ayah yang aku cintai.

Ayah yang aku sayangi
Ayahku meninggal tanggal 27 July tahun 1996 dalam usia 69 tahun. Ia lahir tahun 1927, disebuah kampung kecil bernama Kandangampek di Sumatera Barat.
Ini tanggal bersejarah dalam kehidupanku. Karena hari itu aku kehilangan orang yang aku cintai dan aku hormati. Ayahku yang mengajarkan aku anaknya yang paling tua untuk hidup dengan berjuang.
Hidup ini penuh perjuangan anakku, suatu hari ayah menasihatiku, sewaktu aku lulus SD dan ia masih tentara waktu itu. Oleh karena itu hidup tidak boleh malas. Nasihatnya ini selalu aku ingat dan aku camkan. Inilah pemicu semangat waktu aku bekerja.
Ayah yang jadi tentara sejak jaman Jepang. Ia dan empat saudaranya laki-laki semuanya masuk menjadi tentara. Yang bungsu menjadi polisi dan disekolahkan ke Sekolah Polisi Sukabumi. Ayah menjadi infanteri bersama kakaknya. Kakaknya meninggal dalam kedinasan. Sedangkan adiknya polisi meninggal di Jakarta saat ada pertemuan di Markas Kepolisian Jakarta. Sedangkan tugasnya terakhir di Kupang Timor.
Namun, aku ingat aku test masuk ke Akabri tahun 1971 setelah lulus SMA, ayah tidak mengijinkan. Ia tidak mau aku mati tertembak di medan pertempuran. Aneh, padahal ia sendiri seorang tentara. Ia mau aku menjadi seorang insinyur, agar ibuku yang miskin bisa terbantu. Karena gaji insinyur lebih besar dari gaji seorang tentara, demikian kata ayahku.
Pada saat aku bekerja di Balikpapan, Kalimantan Timur pada sebuah perusahaan perminyakan, kira-kira jam sepuluh pagi tanggal 23 July, 1996, ada telpon dari Uni Nen kakak isteriku di Padang, yang mengabarkan ayah saya sakit dan sekarang sedang dirawat di Rumah Sakit Yarsi Padangpanjang. Uni Nen mengatakan ayah meminta saya supaya pulang.
Pada saat itu saya merasakan ada perasaan risau dihatiku. Pada hal sebulan yang lalu ada telpon dari adikku yang nomor tiga mengatakan ayah sakit, aku biasa-biasa saja. Namun sekarang perasaanku tidak enak. Aku memberi tahu bagian personalia perusahaan, bahwa aku harus ke Padangpanjang melihat ayahku yang sedang sakit. Hari itu juga aku mencari tiket pesawat Balikpapan-Jakarta-Padang. Aku berangkat sendiri, karena isteriku harus menjaga anak-anakku di Balikpapan.
Jam lima sore dengan taksi dari Pelabuhan Udara Tabing Padang aku sampai di rumah sakit Yarsi di Padangpanjang. Aku dapati ibuku, adikku Yasril yang nomor tiga, adikku Nusyirwan yang nomor empat atau yang bungsu, sedang duduk disamping ayahku yang terbaring antara sadar dengan tidak. Melihat aku datang, ibuku membisikkan ketelinga ayah. Aku lihat beliau membuka matanya. Ia berkata lemah; ”Anakku telah datang, kenapa telat nak? ”Yah aku menempuh perjalanan dengan berganti pesawat, bagaimana keadaan ayah?, tanyaku. Kulihat ia tersenyum. ”Ayah sudah shalat?, tanyaku.
”Ayah belum shalat ashar”, kata ibu.
”Yah, kataku mari kita shalat, aku akan mengambil udhuk dulu”, kataku.
Selesai mengambil udhuk aku mendekati ayah, dan aku berbisik ketelinganya.
”Yah, ikuti aku shalat, ayah gerakkan mata ayah saja, aku akan jadi imam”, kataku.
Aku ingat dulu waktu aku masih di SMP aku sering diajarkan kakek jadi imam, dan ayah serta kakek jadi makmumku. Untuk latihan kata kakek.
Aku shalat ashar disamping ranjangnya. Sambil aku berdo’a, ”Ya Allah kuatkan ayahku untuk shalat bersamaku. Ijinkan ia shalat sambil berbaring dalam sakitnya. Ia sedang sakit Ya Allah. Kalau engkau ijinkan ia sembuh, maka sembuhkanlah ia, namun, bila Engkau takdirkan ia harus segera menghadap-Mu, kembalikanlah ia kepada Engkau dalam keadaan husnul khatimah”.
Selesai berdo’a aku usap wajahnya. Aku urut kakinya, dan aku rasakan kakinya telah mulai dingin. Tidurlah yah bisikku. Ibuku mencoba meneteskan bubur kebibirnya yang cenderung terkatup, ia telan sedikit, dan sisanya meleleh kembali keluar bibirnya. Ayahku rupanya sudah lemah badannya.
Aku tanya ibu, apa yang diderita ayah sebelum masuk rumah sakit. Ibu bilang dua hari yang lalu ayah mengeluh badannya lemah dan selera makannya patah. Dia tidak mau makan, dan ibu merasakan badannya panas. Dan langsung dibawa ke rumah sakit. Di rumah sakit ayah di periksa dan dokter memutuskan ayah harus transfusi darah karena Hbnya turun banyak. Keesokan harinya ayah membaik dan ia bisa jalan dengan dibimbing ibu ke mushala belakang untuk shalat. Namun malam kemaren kembali ayah melemah dan kembali dipasang slang transfusi dan infus. Aku paham bahwa organ dalam ayahku kelihatannya mulai kehilangan fungsinya. Apakah karena umur ayah yang tua? Rasanya belum tua benar. Umur ayah tahun ini adalah 69 tahun. Tapi aku kembali teringat bahwa dalam AlQur’an Allah mengatakan bahwa soal umur tidak bisa diatur manusia, hanya Allah yang Maha Kuasa. Umur seseorang bisa panjang bisa pendek tergantung ajalnya atau masa tempuhnya di dunia yang juga Allah yang Menentukan. Rupanya masa perjalanan ayahku di dunia ini mendekati selesai. Jadi ia kemungkinan sedang dalam proses kembali ke Tuhan.
Jam enam aku temui dokter jaga rumah sakit untuk menanyakan bagaimana sakit ayahku. Dokter mengatakan, bahwa ayah lemah dan organ dalamnya juga lemah. Sudah dicoba untuk transfusi darah, karena Hbnya turun. Aku tanyakan apakah bisa dibawa ke rumah sakit yang lebih besar supaya bisa dirawat lebih intensif, ke Padang atau ke Jakarta misalnya. Dokter bilang kita coba dulu merawat pak, kalau keadaannya agak kuat bisa kita bawa. Sekarang beliau lemah sekali.
Pada keesokan harinya keadaan ayah tidak membaik juga. Aku menasihati ibuku supaya bersabar dan merelakan bila ayah memang akan dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Ibuku hanya diam, namun air mata meleleh dipipinya. Aku tahu ibuku sangat mencintai ayahku. Ibuku kawin masih sangat muda dengan ayahku. Ibu baru berusia lima belas waktu tahun 1950 mereka menikah, dan ayah sudah berusia 23 tahun dan menjadi tentara muda yang gagah. Ia disuruh pulang kampung oleh komandannya waktu itu untuk segera beristeri agar bisa menemani ayah yang bertugas di Bengkalis Kepulauan Riau. Setahun kemudian pada tahun 1951 bulan Nopember lahirlah anak mereka seorang bayi laki-laki yang cakap sekali kata ibuku. Bayi itu adalah aku anak pertama mereka. Sejak saat itu ibuku selalu ikut kemanapun ayah pergi. Mereka pindah-pindah tempat sesuai kemana ayah ditugaskan. Ayah dan ibuku tidak pernah berpisah.
Malam harinya saya, ibu, adikku yang bungsu, kami membaca surat yasiin untuk mendo’akan kesembuhan ayah.
Tiba-tiba ada suara ribut-ribut di teras rumah sakit. Banyak orang menggotong orang-orang yang luka-luka. Aku keluar dan menanyakan ke seorang perawat, ada apa sebenarnya. Ada kecelakaan di Batipuh pak, kira-kira 10 kilo kearah Timur Padangpanjang. Sebuah bis antarkota, menabrak tiang jembatan dan terjun kesungai. Ada yang mati, dan banyak yang luka-luka. Sebagian yang luka dibawa ke RSU dan sebagian ke Yarsi.
Malam itu aku ikut membantu merawat para penumpang yang luka, ada sekitar lima belas orang, mereka dibaringkan saja di lantai, karena Yarsi rumah sakit kecil ini kehabisan tempat tidur.
Tengah malam aku sudah kelelahan dan aku mencari penginapan, untuk istirahat.
Paginya, aku kembali ke rumah sakit untuk melihat ayah. Keadaan ayah makin buruk. Ia kehilangan kesadaran. Dan slang transfusinya telah dicabut dokter, karena pembuluh darahnya mengecil dan cenderung darah tidak mau masuk lagi. Sedangkan slang infus masih jalan. Aku raba kaki ayah. Kakinya benar-benar telah dingin. Aku tahu ayahku sedang menghadapi kematiannya. Aku kembali berdo’a pada Allah agar diberikan kemudahan jalan bagi ayahku untuk pergi.
Jam sembilan malam kurang sedikit, setelah aku ajak ayah dengan berbisik untuk shalat isya, aku lihat ayah tersenyum, tangannya menggapai sesuatu. Oleh ibuku diangsurkan kopiah putih hajinya kekepalanya. Tangannya kembali diam. Ayahku bersama ibu sempat pergi menunaikan ibadah haji pada tahun 1993. Waktu enam bulan keberangkatan, ibu menelpon ke Balikpapan. Ia mengabarkan kalau ayah juga ingin pergi bersama ibu ke Mekah. Sekarang ayah mulai sakitan. Namun, kata ibu setelah diperiksa kerumah sakit, dokter mengatakan bahwa ayah cukup kuat untuk berangkat haji tahun ini. Ibu menanyakan kalau aku ada uang untuk membiayai ayah sekalian alangkah senangnya hatinya. Dengan gembira aku jawab, ”Tolong katakan pada ayah, bahwa aku akan segera kirim biaya. Berangkatlah ibu berdua ayah”, kataku.
Dirumah aku diskusikan dengan isteriku menyangkut telpon ibu. Isteriku mengatakan, segera kirim uang ke Padang, kapan lagi kita menyenangkan hati orang tua kita, demikian kata isteriku menegaskan. Aku mengucapkan terima kasih atas persetujuan isteriku. Demikianlah rupanya selama melaksanakan rukun haji ayah sehat-sehat saja. Sejak saat itu ayah tidak pernah melepaskan kopiah hajinya. Rupanya pada saat terakhirnya ini beliau juga mau mengenakan kembali kopiahnya.
Aku melihat napas ayah sudah dilehernya. Aku bisikkan kalimah shahadat ketelinganya. Dan ia tersenyum. Dan napas terakhir itu keluar dari bibirnya yang masih tersenyum. Lalu ia diam untuk selama-lamanya. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiuun. Ayahku telah tiada rupanya. Hari ini tanggal 27 Juni tahun 1996. Aku tutupkan kedua mata ayah, dan kedua tangannya aku lipatkan kedadanya. Aku berbisik, pergilah dengan tenang ayah yang kami cintai, pergilah engkau pahlawan keluarga, maafkanlah segala kesalahan kami, terutama aku yah, aku anakmu yang pertama, kalaulah aku tidak sempat menyenangkanmu, kalau aku kurang berbakti kepadamu, dan selama ini aku selalu jauh dari ayah, dan kurang memperhatikan ayah, maafkan aku ya yah. Pergilah ayah dengan damai. Temuilah Tuhan dengan senyum wahai ayahku tercinta. Tidak terasa air mata meleleh dipipiku. Aku menggigit bibir menahan kesedihan karena kepergian orang yang aku sayangi, orang yang aku hormati, ayah yang aku banggakan.
Aku lihat ibu terisyak. Ia menahan tangisnya. Ibu mencium pipi ayah.
”Uda, maafkan awak. Kalau awak banyak berdosa pada uda, maafkanlah awak ya da. Uda sudah awak maafkan, walau awak tahu uda tidak ada salah pada awak, ataupun pada orang lain. Uda orang baik di masyarakat”.
Lalu ibuku menangis. Kecintaannya yang terbawa ayah yang telah pergi tidak kuasa ia tahan di dadanya. Kesedihannya ia tumpahkan dalam tangisan di kamar rumah sakit Yarsi Padangpanjang.
”Pak, maafkan Wan ya pak, awak banyak bersalah pada apak, maafkan Wan pak”, kata adikku yang bungsu dalam tangisannya. Kami memanggil apak pada ayah kami.
Kemudian aku mencari dokter. Rupanya ia telah pulang. Aku menemui kepala perawat. Aku mengabarkan bahwa ayahku telah tiada jam sembilan tepat tadi. Perawat itu datang ke kamar. Ia menyenter mata ayah yang sudah tidak berkedip lagi. Memang, ayah telah pergi katanya. Lalu ia kekantor untuk membuat surat kematian. Aku menanyakan ambulan untuk membawa ayah pulang ke Kandangampek, kira-kira dua belas kilometer kerah selatan PadangPanjang. Kebetulan ambulan lagi terpakai. Setelah menyelesaikan pembayaran rumah sakit, baru tiga jam kemudian, dengan ambulan rumah sakit, kira-kira jam duabelas tengah malam jenazah ayah kami bawa pulang.
Jam satu tengah malam jenazah ayah sampai di rumah disambut oleh tangisan adikku perempuan Dadiarti dan Yasril.

Menyiapkan pekuburan
Dinihari itu saya dan adik-adik dengan dibantu oleh tetangga, kami menyiapkan penyelenggaran penguburan ayah kami.
Rumah ibu saya yang sempat saya renovasi ukurannya kecil. Sekarang rumah ini terasa sempit dengan kedatangan tetangga untuk melayat jenazah ayah.
Sebagian mereka membantu segala sesuatu yang perlu dikerjakan. Semangat gotong royong di kampung kami ini masih terasa kental. Apalagi kebanyakan mereka juga saudara dan tetangga dekat.
Sehabis shalat shubuh, saudara-saudara kami, Pudin, uda Tius, Win suami adik saya, dan beberapa pemuda pergi menggali kuburan di bukik Rambai tempat pekuburan keluarga kami. Di Bukik Rambai banyak di kuburkan nenek, kakek, bapak, ibu dan saudara yang telah mendahului menghadapnya dikuburkan. Disana dikuburkan nenekku yang aku panggil Amak, Darama namanya. Juga kakak nenek yang aku panggil Mak Ayang, Ramalah namanya. Juga kakak Mak Ayang yang aku panggil Nek Tuo Tan. Juga di sana dikuburkan kakak mereka Datuak Rajo Khatib Tuo. Ada kuburan Inyiak, kuburan gaek Lenggang, kuburan Tuo Ana, kuburan uda Nipon Ketek, pak tuo Aripin, kuburan Darnalis anak Tuo Ana, kuburan si ’Ai, adik Darnalis yang meninggal ketika masih sekolah SD. Ada juga kuburan adikku Syafril yang meninggal karena infeksi diarhea berat waktu masih berumur tiga tahun, dan kuburan lainnya.
Kuburan untuk ayah digali persis disamping kuburan nenek.
Jam tujuh pagi saya, Yasril, Wan, dan seorang kakak isteri saya yang bernama Uda Ambo, kami memandikan ayah. Kami bersihkan tubuh beliau untuk terakhir kalinya, sambil berdoa pada Allah agar dosanya diampuni dan arwahnya diterima Disisi-Nya.
Ibu duduk disamping saya, ia ikut menggosok tubuh ayah.
”Tek Nian (aku memanggil etek pada ibu, kebiasaan sejak kecil) jangan menangis, relakan kepergian apak”, kataku.
Jam setengah sembilan, jenazah selesai kami bungkus atau dikapani dengan kain putih. Jenazah diletakkan di ruang tengah untuk memberi kesempatan pelayat melihat ayah terakhir kalinya. Banyak yang datang, karena beliau banyak punya teman sampai kedesa tetangga Kayutanam. Bekas teman-temannya seperjuangan dulu yang masih hidup pada berdatangan. Kira-kira jam sebelas kuburan sudah siap digali.
Tiba-tiba sebuah bis berhenti di depan rumah. Rupanya isteri saya telah datang dari Balikpapan. Karena kemaren malam juga ia saya telpon memberi tahu kalau ayah telah tiada. Ia langsung berlari mendapatkan jenazah ayah yang terbaring di ruang tengah. Ia menangis. Karena ia sangat sayang pada ayah saya. Ayah semasa hidupnya juga sangat sayang pada isteri saya.
”Pak, maafkan kesalahan Idai ya pak, kalau Idai kurang memperhatikan apak, maklum kami jauh. Sekarang apak telah pergi. Cucu apak juga minta dimaafkan. Ma, sampaikan maaf kami pada gaek, kata mereka”.
Anak-anakku yang tiga orang perempuan memanggil gaek pada kakeknya.
Isteriku memberikan sebuah surat ucapan belangsungkawa dari kantorku Total E&P Indonesie Balikpapan yang diberikan pada ibu. Isteriku langsung memeluk ibu. Mereka bertangisan berdua.
Kemudian jenazah diusung ke halaman rumah, untuk upacara pemberangkatan ke mesjid atau mushala tempat ayah sering jadi imam shalat.
Aku mulai berpidato untuk melepas jenazah.
”Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuuh. Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rojiuun. Sesungguhnya semua yang bernyawa akan kembali kepada-Nya.
Aku anak ayah yang tertua, dan atas nama keluarga kami, kami mengucapkan terima kasih atas bantuan yang telah bapak/ibu, saudara/saudari berikan selama penyelenggaraan jenazah ayah saya.
Atas nama keluarga, saya menyampaikan maaf dari ayah saya, bila seandainya semasa hidup beliau, beliau ada berbuat keteledoran dan kesalahan baik sengaja maupun yang beliau tidak sengaja, dan mungkin tanpa beliau sadari, telah menyakiti hati bapak/ibu saudara/saudari, saya mohonkan rasa maafnya.
Dan bila ada beliau mempunyai utang yang rasanya belum beliau bayar, mohon ditagihkan kepada saya. Saya mohonkan semua ini agar supaya arwah ayah saya tidak punya beban untuk menghadap hari pengadilan-Nya, supaya ia diterima-Nya. Wassalamulaikum warahmatullahi wa barakatuuh”.
Kemudian jenazah ayah diangkat oleh saudara-saudaranya menuju ke mushala.
Dimushala itu saya bertindak jadi imam shalat jenazah. Dalam bacaan shalat, saya terisak menangis. Terbayang ayah saya ditempat ini jadi imam waktu saya pulang kampung dua tahun lalu. Sekarang ia telah terbujur kaku didepan kami orang yang turut menyalatkan beliau sebelum tubuhnya dikembalikan ketanah tempat asal semua manusia.
Selesai shalat jenazah jenazah diangkat ke kuburan yang berjarak kira-kira lima ratus meter dari situ. Sesampai di Bukik Rambai, jenazah diturunkan. Aku melompat dan turun ke dalam lobang kuburan, aku dan adikku Yasril dan Pudin, menerima jenazah ayah. Aku miringkan wajah beliau ke arah kiblat, karena begitu perintah agama, aku buka ikatan kain kafan, ditutup dengan sehelai papan, dan kemudian pelan-pelan ditimbun dengan tanah. Kembali aku berdo’a dan meminta maaf ke ayah. Aku naik, dan mulailah kami bergantian menimbun lobang kuburan itu sampai selesai. Selesai pulalah tugas ayahku di dunia ini. Ia telah menutup ceritanya di dunia ini sejak tanggal 27 Juni tahun 1996, untuk seterusnya aku lanjutkan karena aku yang kemudian bertanggung jawab kepada keluargaku sebagai anak beliau yang tertua.
Saya, isteri saya, ibu, adik-adik, kami masih tinggal dikuburan kira-kira sejam kemudian. Kami membaca AlQur’an Surat Yasiin yang dipimpin isteriku. Selesai membaca AlQur’an aku memimpin do’a. Dan kembali kami beringsut pulang.
”Yah, Apak, kami pulang, tidurlah dengan tenang, sampai hari kiamat tiba sesuai janji-Nya pada kita.
Assalamualaikum. Dan Bukik Rambaipun kami tinggalkan.

Disana ayah kami tinggalkan buat selamanya.

Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rojiuun.

SI PENCABUT NYAWA

OLEH: DASRIELNOEHA

Pagi itu kami kembali melakukan kegitan rutin. Mengukur panjangnya jalan Gading Raya, kata bapak As.
“Pak, lihat rumah ini sepi ya, kata bapak M sambil ia menunjuk sebuah rumah yang cukup besar di sudut jalan itu.
“Ya, kelihatannya sepi saja, jawabku.
“Sekarang kan cuma tinggal ibunya dan seorang anak gadisnya yang bekerja sebagai sales perusahaan assuransi”, kata bapak G.
“Anaknya yang lain pada kemana?, tanya saya.
“Bapak tidak tahu ya, kan anaknya cuma dua, yang tua laki-laki kan sudah meninggal lima tahun lalu”, kata bapak M lagi.
“Ah saya tidak tahu, yang saya tahu bapak ini meninggal tahun lalu”, kata saya.
"Sekarang hanya tinggal isterinya di rumah besar ini".
“Anaknya itu meninggal karena narkoba”, kata bapak E.
“Gimana ceritanya?, tanya saya.
“Anak laki-lakinya kuliah di Depok. Ia anak yang paling dimanja oleh ibunya dan juga ayahnya sayang padanya. Maklum anak pejabat di DKI, ia dibelikan motor dan ia kos di Depok. Saat ia tingkat tiga ia ditelpon oleh temannya yang mengatakan bahwa anaknya itu lagi dirawat di Fatmawati. Ia dan isterinya bergegas kesana. Dan mereka mendapati anaknya lagi menggeliat-geliat di ruang gawat darurat. Ia bertanya kepada dokter, kenapa anaknya. Dokter mengatakan bahwa anaknya sedang keracunan obat. Ia kebanyakan nyuntik.
Deer, terasa disambar petir rasanya ketika itu. Rupanya anaknya telah terlibat narkoba tanpa setahu dia. Sebenarnya ia telah diberi tahu oleh Rina anaknya yang kedua.
“Pa, kelihatannya abang sudah mulai sakaw, papa harus mengawasinya, jangan-jangan nati ia makin gawat dan di tangkap polisi, suatu hari Rina pernah memberi tahu keadaan Billy anaknya yang tua itu.
Tapi ia tidak percaya waktu itu. Ia anggap itu pengaruh teman-temannya. Nanti suatu saat ia pasti akan baik, begitu pikirannya waktu itu.
Diatas ranjang ruang gawat darurat, kelihatan Billy meronta, dan tubuhnya mengejang, matanya membelalak, dan ia berteriak, lalu diam. Billy rupanya telah menghembuskan napasnya yang penghabisan di rumah sakit itu.
Bapaknya itu terjatuh, dan ibunya langsung pingsan.Sejak saat itu ia kelihatan linglung dan sering sakitan. Ia terpaksa pensiun satu tahun sebelum waktunya. Dan karena stress ia sering ke rumah sakit. Kadar gulanya naik, akhirnya ginjalnya gagal menjalankan fungsinya. Dan ia anfal, dibawa kerumah sakit, tiga hari dirumah sakit ia meninggal.
“Demikian dahsyat akibat narkoba itu ya, kata bapak As.
“Itulah pak, karena ia menyerang pusat syaraf, karena senyawaan kimia di kandungan oabt-obat itu memang untuk menenagkan syaraf. Kalau ia dipakai berlebihan, maka ia akan melumpuhkan syaraf, dan itu bisa mengakibatkan kematian, kata saya.

Saya ingat cerita hal yang sama. Seorang anak buah saya juga meninggal akibat obat-obatan. Saya sebagai atasannya waktu itu merasa kecolongan waktu itu. Betapa tidak saya tidak mengetahui bahwa ia pencandu obat terlarang.
Anak buah saya itu bernama M. Ia adalah seorang petugas security perusahaan di Balikpapan. Anaknya sebenarnya baik. Ia suka membantu orang. Dan ia belum kawin waktu itu.
Sore itu ia bertugas di sebuah komplek perumahan perusahaan. Ia bertugas sampai jam lima sore. Kata temannya ia masih sempat mendorong mobil seorang pegawai yang mogok. Ia sehat-sehat saja sore itu.
Malam itu, kira-kira jam sepuluh telpon di rumah saya berdering. Rupanya dari posko security.
“Halo, ada apa, kata saya.
“Pak, lapor pak, si M sudah meninggal, barusan di rumahnya, kata anak buah saya yang piket dan bertugas di posko malam itu.
“Ah, kenapa ia, kecelakaan”, tanya saya.
“Bukan kecelakaan pak, sakit kata kakaknya.
“Baik, saya akan lihat”, kata saya.
Saya ambil mobil dan langsung menuju rumahnya di Karang Rejo. Orang sudah ramai di rumah itu. Saya langsung masuk. Rupanya teman-temannya yang semuanya anak buah saya telah datang di rumah itu. Saya membuka muka mayatnya yang telah terbujur kaku. Saya lihat wajahnya menghitam. Dan pangkal lengannya juga menghitam. Perkiraan saya ia meninggal karena serangan jantung. Saya tanya Panjaitan, kenapa ia. Panjaitan membisikkan kepada saya, bahwa ia tadi minum-minum dengan teman-temannya grup Vespa tua Balikpapan di pantai Melawai. Ia meminum Sprite campur dengan obat batuk Benadril, kata temaanya. Tapi menurut saya ia kembali makan obat-obatan pak, kata Panjaitan. Panjaitan menerangkan lebih lanjut bahwa sebenarnya sudah enam bulan M sebagai pemakai.

Di sebuah tempat kos di Bandung saya kenal dengan bapak dan ibu kos disana. Sang bapak adalah seorang pejabat negara yang kebetulan dipindah tugaska ke Jakarta. Mereka punya anak tiga orang. Dua perempuan dan satu orang laki-laki yang paling bungsu. Kalau aku ke Bandung melihat anakku yang kuliah di ITB, aku suka mampir kerumah mereka, karena mereka adalah teman baik kami. Aku suka mengajak anaknya yang laki-laki jalan-jalan mencari makanan yang banyak di Bandung. Anaknya ganteng dan baru naik kelas tiga SMA. Suatu hari Vito, demikian namanya mengatakan bahwa ia akan pindah ke Jakarta. Ia mengikuti ayahnya yang bertugas di Jakarta. Aku bilang tidak usyah pindah, dan sekolah saja di Bandung, toh sebentar lagi Vito kan akan kuliah. Ia ingin masuk ke ITB, namun ayahnya meminta ia untuk mendaftar ke Akabri, karena ayahnya adalah seorang lulusan Akabri juga.
Saya terkejut, suatu ketika anak saya memberi tahu bahwa Vito meninggal. Ia meninggal karena kena virus meningitis atau demam tinggi. Aku tahu, Vito baru saja pindah ke Jakarta, dan ia tiga bulan lagi akan lulus SMA. Aku sedih mendengar kematiannya.
Belakangan aku mendapat berita bahwa kematian Vito bukanlah karena meningitis, tapi OD (over dosis) obat-obatan. Rupanya ia terpengaruh teman-temannya sesama anak orang kaya yang suka pakai obat-obatan. Inilah sebenarnya yang aku sarankan kepada kedua orang tuanya supaya Vito jangan pindah ke Jakarta. Aku kuatir ia terpengaruh pergaulan bebas Jakarta. Namun ibunya yang paling sayang kepadanya, memaksa anak bungsunya ini untuk pindah ke Jakarta. Jakarta adalah kota ini sudah sangat bebas dengan peredaran obat terlarang. Sudah ratusan anak muda mati terpaksa karena menelan obat-obat syetan itu. Termasuk Vito, nyawanya telah dicabut paksa oleh iblis laknat yang bernama narkoba. Vito, semoga Tuhan mengampunimu.

AHLI BIOLOGI

OLEH: DASRIELNOEHA

Ia memang seorang ahli bilogi. Oleh sekolahnya ia digelari Mahaguru. Mahasiswanya mengakuinya sebagai Mbahnya Hayati. Di rumah ia seorang suami, seorang bapak, dan seorang pesuruh dirinya sendiri. Isterinya berkata,
"Sudahlah Pa, masuklah kerumah, hari sudah mulai hujan, lama betul Papa di kebun itu".
Namun, ia tetap saja mencongkel tanah, ia asyik mengaduk dan menggembur tanah dengan pupuk yang dibuatkan oleh rekannya seorang Mahaguru Kimia yang kepalanya telah lama botak dimakan rumus-rumus. Ia asyik menghadapi tanaman kesayangannya; sebatang tebu, sebatang pohon cabe rawit, sebatang singkong, sebatang pohon apel, dan sebatang pohon mangga. Ditangannya ada pula sebuah buku tebal yang sudah lusuh karena bertahun-tahun ia bolak balik, untuk menemukan yang dicarinya. Ia ingin buah apelnya semanis tebu, dan buah cabe rawitnya semanis apel, dan umbi singkongnya tumbuh di dahan singkong dan bukan di tanah, sehingga ia tidak perlu menggali tanah kalau isterinya menginginkan menggoreng singkong. Namun penantian itu tidak kunjung tiba, cabe rawit tetap pedas, tebu tetap pohonnya manis, apel tetap kurang manis, dan mangga tetap tidak mau secantik buah apel. Ia berpikir percuma aku seorang Mahaguru Bilogi karena mengatur empat jenis pohon ini saja aku tidak becus, pada hal aku tanam di tanah yang sepuluh meter persegi ini. Sang professor lupa, bahwa makhluk Allah yang tumbuh ditanah itu telah Ia Beri dengan Sunah-Nya sendiri-sendiri. Proses tumbuhnya tebu dan kapan batang tebu itu mengumpulkan gula hanya Ia yang sanggup Mengaturnya. Buah cabe yang kelihatan merah menyala diisi oleh Allah dengan semacam zat asam yang berasa pedas namun berkhasiat menyembuhkan penyakit. Ia tidak akan menyerap gulanya tebu walaupun mereka tumbuh dan hidup pada tanah yang hanya satu meter persegi dan pohonnya berdekatan, dan sebaliknya tebu tidak akan pedas rasa pohonnya, tetap saja manis. Itulah Kuasanya Tuhan, Allah Maha Tinggi.

Maka apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana unta diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan, dan bumi bagaimana ia dihamparkan, maka berilah peringatan, karena kamu sesungguhnya hanyalah orang yang memberi peringatan, Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka (QS Al Ghaasiyah ayat 17-18-19-20- 21-22).

Ia baru tersadar setelah isterinya berteriak, " Kesini, hai professor sinting hujan begini deras masih saja di kebon", dan ia lari masuk rumah dengan basah kuyup.
Dengan wajah bengong sang professor, masuk ke kamar mandi, dan ia menyambar handuk yang tergantung di kapstok yang di pakukan ke dinding kamar mandi yang mengkilat karena telah dipasangi dengan dinding keramik merek Essenza yang bewarna putih mengkilat dan diselang selingi dengan bunga.
“Aha..ha…besok aku cabuti semua tanaman yang tidak mau aku atur itu, lebih baik aku tanami bunga saja, biar cantik bewarna pekaranganku”, kata pak professor dalam hatinya.
Byur..ia sirami tubuhnya dengan air selagi masih berpakaian.
Hi…hi,,dinginnya air ini, keluhnya.
Malamnya sang professor yang ahli biology itu bermimpi. Ia didatangi seekor burung yang hinggap mematok kepalanya sampai rambutnya gugur dan tercabut semua. Ia berteriak, jangan, jangan cabut rambutku. Burung itu terbang, namun ia kemudian hinggap lagi. Kali ini ia hinggap di hidung si professor. Lalu burung itu mematuk giginya. Aduuh, sakit jerit si professor. Kemudian ia terbangun, hari sudah mulai terang. Ia kemudian ke kamar mandi. Ia gosok gigi, dan teng sebuah giginya jatuh karena telah lapuk akarnya. Gigi itu kuning. Hah, heran si professor, kemaren kan kamu saya kasih obat pemutih, kenapa kamu tetap kuning, kamu menyalahi aspek organic dan pertumbuhan sel, katanya lagi. Air di wastafel agak susah turun dari discharge-nya. Rupanya ada segumpal rambut yang menyumbat disitu. Rambut professor rupanya banyak gugur pagi itu. Sekarang kepalanya benar-benar sudah botak.
Apa ya obat yang bagus untuk kembali menanam rambut ini, keluhnya sambil ia berlari ke laboratoriumnya.

AYAHKU PEJUANG

OLEH: DASRIELNOEHA

Di sebuah gubuk di pinggir rel kereta api. Sudah lama ada cerita duka. Cerita duka antara seorang gadis kecil dan neneknya.

“Nek, kata orang hari ini hari raya, apa maksudnya ya nek”.

Seorang anak perempuan umur lima tahunan bertanya kepada seorang tua yang ia panggil nenek. Mereka tinggal dalam sebuah rumah gubuk dipinggir rel kereta api sekitar Tanah Tinggi di Senen. Si nenek tiap hari akan datang ke proyek Senen untuk mengumpulkan plastik bekas yanng berserakan di pasar rakyat Jakarta Pusat itu. Si anak perempuan kemudian ikut membantu neneknya membersihkan plastik itu untuk kemudian ia jual ke seorang pengepul yang setiap minggu datang dengan gerobaknya. Tidak banyak penghasilan nenek itu, hanya sekitar seratus ribu rupiah tiap minggunya. Namun, uang itu cukup buat makan mereka berdua. Biasanya neneknya membawakan sebungkus nasi Padang yang ia dapat dari sebuah warung Padang di tengar pasar itu. Karena si nenek juga suka membantu mencuci piring di situ. Nasi sebungkus itu cukup untuk makan malam mereka berdua.
“Ya hari kan hari lebaran, orang-orang bergembira setelah puasa satu bulan penuh”, jawab si nenek.
“Jadi hari ini nenek tidak ke pasar?”
“Tidak, kan pasar tutup, biarlah nenek di rumah, sekalian istirahat, kata nenek lagi.
“Oh ya, saya boleh main dengan si Mira ya nek”. Mira adalah sahabat Aisyah tetangga gubuk sebelah yang juga anak pemulung yang tinggal di tepi rel itu.
“Nduk, sini tukar bajumu, kata neneknya sambil mengambil sehelai blus dari dalam kardus. Nduk ini pakai baju pembelian mamamu, sebelum ia pergi.
“Nek, aku kangen sama mama”, Aisyah memandang neneknya, dan suaranya melemah.
“Nenek juga kangen nduk”, nenek membelai rambut Aisyah. Dan air matanya mulai meleleh. Ia teringat akan putrinya Retno yang telah tiada.
Retno, ibunya Aisyah sudah dua tahun meninggal. Ia meninggal karena kecelakaan di Mangga Besar tempatnya bekerja sebagai seorang pramuria sebuah Karaoke. Malam itu setelah selesai tugas, ia akan diantar pulang oleh tukang ojek langganannya. Namun, malang seorang anak muda mabuk yang mengendarai mobil dengan kencang menabrak motor ojek yang ia tumpang. Tukang ojek dan Retno meninggal di tempat itu juga.
Retno adalah seorang wanita cantik. Mereka tadinya tinggal di Malang Jawa Timur. Retno lulusan SMA di kota itu. Ia tidak sekolah lagi, karena ia berpacaran dengan Sartono teman sekelasnya. Sartono masuk tentara setelah lulus SMA. Kemudian mereka kawin. Setahun setelah itu lahirlah Aisyah. Pada saat Aisyah berumur enam bulan, Sartono dikirim oleh kesatuannya ke Aceh untuk tugas tempur melawan GPK.
Tepat pada saat Aisyah ulang tahun pertama, datanglah kabar yang menyedihkan dan sekali gus meruntuhkan cinta Retno. Sartono gugur dalam tugas. Ia tertembak oleh GPK pada saat terjadi kontak senjata di pinggir kota, disebuah bukit kecil di Lhok Sukon. Akhirnya, mereka Retno, ibunya dan Aisyah menuju Jakarta untuk mengadu nasib. Pada tahun pertama kehidupan mereka, baik-baik saja. Retno yang cantik dengan cepat mendapat pekerjaan sebagai pramuria disebuah pusat karaoke, dan ibunya berjualan kue. Mereka menyewa sebuah kamar kecil di Johar dekat dengan pasar Senen. Retno mulai berkenalan dan berpacaran dengan Budi seorang satpam yang bertugas di karaoke itu.
Begitulah takdir mereka, setahun setelah itu terjadilah peristiwa kecelakaan yang merenggut nyawa Retno. Tinggallah Aisyah dan neneknya berdua. Akhirnya mereka pindah ke gubuk di rel kereta api, dan nenek lalu menjadi pemulung di pasar.
“Nenek kenapa menangis, tanya Aisyah.
“Ah, tidak, nenek tidak menangis nduk, Nenek senang lihat kamu cantik memakai baju itu, persis ibumu”.
“Ibuku cantik ya nek”.
“Iya, cantik sekali”.
“Kenapa ibu tidak pulang-pulang nek, Aisyah kangen ibu”.
“Nduk, ibumu pergi jauh, jauh sekali”.
“Ibunya Mira kalau pergi, selalu pulang kerumah, kenapa ibu Aisyah tidak pulang-pulang nek, pergi kemana ia”.
Ah, cucuku yang malang, hati nenek runtuh dengan kesedihan. Ia sangat risau memikirkan nasib cucunya ini. Cucunya yang telah yatim piatu. Sedangkan ia telah tua, dengan siapa cucuku tinggal nanti, bila umurku habis dan aku dipanggil oleh Yang Maha Kuasa?, air mata kembali meleleh dipipi nenek itu.
« Nek, ayahku mana ya nek?, Aisyah bertanya lagi.
“Ayahmu sedang berjuang nduk, dan ia tetap akan jadi pejuang”.
“Kalau begitu aku anak pejuang ya nek, hore aku anak pejuang teriak Aisyah sambil lari ke sebelah menemui temannya Mira.
Ya, sayang, kamu adalah anak pejuang. Ibu dan ayahmu adalah pejuang dan mereka telah berjuang menghadapi hidup dan nasibnya masing-masing. Moga-moga engkau akan besar dengan jiwa mereka, dan moga-moga Allah memeliharamu nduk, do’a si nenek sambil merebahkan dirinya di sebuah bangku kayu di dalam gubuk itu.