Selasa, 3 Mei 2011

SANG KOMANDAN

OLEH: DASRIELNOEHA

Sang Komandan bukanlah seorang jenderal.
Dan bahkan kopral pun tidak.
Ia memang tidak punya pangkat apapun tersandang di bahunya. Ia orang sipil dan hanya orang biasa saja. Bila seorang jenderal, yang tentara, mengepalai sebuah pasukan komando. Biasanya sang jenderal memegang sebuah tongkat komando.Tanda kekuasaannya adalah sebuah pagar atau garis merah yang memagari sebuah bintang atau dua buah bintang pangkat di pundaknya. Tanda ini adalah memang tanda “kekuasaan” seorang tentara di republik kita ini. Ia akan kita jumpai pada pundak seorang kepala Staff Angkatan, Komandan Tentara Daerah, Komandan Rayon, Komandan Distrik, Komando Armada, Komandan Pangkalan, atau Komando Kapal Perang. Semuanya dilengkapi pula dengan tongkat komando masing-masing

Komandan kita ini tidak mempunyai semua atribut itu. Karena ia bukanlah seorang komandan tentara.
Lalu komandan apa ia? Dan apakah ia juga mempunyai anak buah? Apakah ia juga bisa memerintah anak buahnya seperti seorang komandan tentara?

Baiklah, kita kupas sedikit tentang kawan kita ini. Tentang kenapa ia dipanggil anak buahnya Komandan. Anak buahnya selalu menjawab “Siap Komandan”, bila ia menyuruh mengerjakan sesuatu. Persis seperti jawaban seorang prajurit tentara bila menerima perintah dari komandannya.

Komandan kita ini, sebut sajalah ia sebagai Bapak X. Ia adalah seorang sipil biasa yang tentu saja bukanlah seorang militer. Kalaulah ia “menyerupai” seorang militer, itu karena dalam cara ia dan bagaimana ia mengatur anak buahnya. Itu “mungkin” karena pengaruh darah militer yang memang mengalir di pembuluhnya.
Ayah dari Bapak X adalah seorang tentara benaran. Ia pernah memegang jabatan seorang komandan, beliau kini sudah alamrhum. Beliau adalah bekas seorang pejuang yang ikut membela negara semasa penjajahan Jepang di republik ini.

Pada saat Bapak X, si komandan kita kelas tiga SMA di sebuah kota di Sumatera Barat sana, ia pernah mengikuti testing masuk AKABRI. Di tingkat daerah ia lolos dan terus ke Magelang. Namun sayang ia tidak jadi masuk akademi militer meneruskan pendidikan ketentaraannya itu. Ia tidak mendapat ijin dari ayahnya yang memang masih aktif dinas waktu itu. Kenapa bisa begitu? Dulu itu untuk mendaftar masuk Akabri, bisa menggunakan ijin wali. Bapak X mendapatkan ijin wali itu dari seorang komandan batalyon tentara yang kebetulan sangat kenal dengan ayahnya. Komandan tentara ini kebetulan bertugas di kota yang sama. Dan kebetulan pula adalah bekas anak buah beliau. Namun, di Magelang untuk meneruskan ke akademi harus mendapatkan ijin asli secara tertulis dari orang tua. Dan bapak X tidak mendapatkannya, dan malahan ayahnya mencabutnya dari calon prajurit taruna dengan sebuah TR atau telegram rahasia. Dan batallah bapak X menjadi prajurit.
Ayahnya tidak mau anaknya menjadi tentara. Karena menurut ayahnya yang tentara itu, menjadi tentara akan hidup menderita. Tugas berat sedangkan imbalan gaji kecil sekali. Tugas tentara adalah berhadapan dengan maut. Kamu tidak boleh menjadi tentara kata ayahnya sewaktu bapak X masih di SMP.

"Kamu adalah anakku yang pertama dan harus bisa maju dan menjadi orang berguna. Kamu saya harapkan mendapat penghasilan lumayan. Semoga kamu untuk menghidupi keluarga kita, adik-adikmu dan ibumu. Kita ini keluarga miskin. Saya menjadi tentara sejak jaman Jepang adalah karena saya dan pakcikmu susah mendapatkan makan di kampung. Kakekmu adalah petani biasa. Kami mendaftar menjadi tentara karena harus mendapat makan.
Kamu harus mejadi seorang insinyur. Kamu harus menjadi orang kaya. Kamu harus bisa membangkitkan batang terandam”, demikian wejangan ayahnya sebelum berangkat ke Riau tempat ia bertugas.

Demikianlah, ia telah gagal di Magelang. Akhirnya dengan menumpang sebuah truk yang membawa buah dan bawang ia menuju Bandung. Di Bandung ia menumpang di sebuah asrama mahasiswa. Kemudian ia siap-siap mendaftar ke ITB dan Unpad. Dengan bekal uang yang sangat tipis, dan berhemat dengan hanya makan sekali sehari, ia mengikuti testing masuk perguruan tinggi. Dengan pertolongan Tuhan dan modal kepintaran akhirnya ia diterima di ITB.
Hatinya kembali bertunas setalah sempat kuncupnya layu saat ia tidak jadi masuk akademi ketentaraan.

Dengan pertolongan pamannya yang bekerja di Caltex Riau, ia berhasil mendapatkan beasiswa perusahaan minyak itu. Di Bandung ia tetap berjuang mencoba bisa bertahan dengan uang pas-pasan dari beasiswa untuk bisa terus kuliah. Caranya ialah dengan bekerja menjadi tenaga Satpam di sebuah gudang, selama tiga hari dalam seminggu. Ia berdinas malam hari, karena siang ia harus kuliah. Dengan demikian ia berhasil menamatkan kuliahnya dengan nilai yang cukup baik. Dan bahkan ia berhasil mendapatkan pekerjaan di perusahaan minyak yang memberinya bea siswa dulu.

Hidupnya sekarang berubah. Dari seorang mahasiswa miskin yang hidup senin-kamis di Bandung, akhirny ia dilantik pada sebuah acara wisuda. Ia sekarang menjadi seorang insinyur. Kemudian ia bekerja di sebuah perusahaan minyak asing dengan gaji yang lumayan.
Ia mengakui dalam hatinya, bahwa ayahnya benar. Kalau ia tetap di akademi militer dan dilantik menjadi perwira tentu saja gajinya tidak sebesar yang ia terima sekarang. Dengan gajinya sebagai seorang drilling engineer ia bisa mengirim ibunya dan ayahnya yang sudah pensiun saat itu.
Dan setahun kemudian iapun menikah.

Demikianlah perjalanan hidup sang komandan kita. Setelah bertugas sekitar sepuluh tahun dalam bidang pengeboran di beberapa perusahaan minyak, baik di Indonesia dan luar negeri, akhirnya ia bekerja disebuah perusahaan minyak di Kalimantan.
Pada perusahaan terakhir ia diserahi tugas untuk mengepalai sebuah pasukan pengaman perusahaan.
Itulah mulanya Bapak X “menjabat sebagai Komandan” di unit kerja di sebuah perusahaan minyak. Jadilah ia sebagai Bapak satu unit pasukan pengamanan yang beranggotakan sekitar 200 orang satuan pengaman perusahaan yang dalam istilah umum disebut Satpam, sedangkan perusahaan minyak itu menyebutnya sebagai Unit Security Perusahaan.

Pada saat ia memasuki unit kerja yang baru ini, ia memang dipanggil oleh Presiden perusahaan, dan dimintakan kesanggupannya.
Pada mulanya ia menyatakan bahwa ia tidak punya pengalaman memimpin anggota pengamanan, hanya ia punya pengalaman memimpin anggota logistics perusahaan dalam hal melaksanakan tugas bidang trasportasi, logistics base, impor-export, mobilisasi drilling equipment, yang mempunyai anggota sekitar 100 orang.

Presiden perusahaan mengatakan bahwa pengalamannya dalam memimpin anggota logistics itulah yang dibutuhkan perusahaan untuk memimpin unit yang lebih besar dan tanggung jawab yang lebih besar yaitu untuk mengamankan aset perusahaan.
Demikianlah dengan berbekalkan pengalaman lapangan dibidang pengeboran dan logistics itulah sebagai modal baginya untuk memimpin unit kerja baru ini, yang berintikan anggota satpam.

Jadilah ia Kepala Satpam.
Sejak itulah ia disapa anak buahnya dengan sebutan “Komandan”
Jadilah ia Sang Komandan.

SELAMAT DATANG KOMANDAN

Pada pagi itu ia datang dan hadir di kantor barunya. Kantor Unit Pengaman Perusahaan yang waktu tahun 1994 itu masih berstatus Services Security. Di perusahaan ini ada hierarchy unit kerja atau rantai komando, mulai dari komando tertinggi dibawah Presiden perusahaan yaitu, Divisi, Departemen, Service, dan Section.
Service Security waktu itu berada dibawah Departemen Administrasi. Kepala Departemen Administrasi.

Service Security ini tadinya dipimpin oleh seorang bekas perwira Angkatan Laut. Bapak E, dipindahkan oleh perusahaan ke kantor pusatnya di Jakarta. Bapak E sekitar enam bulan lagi akan memasuki masa pensiun.

Operasi Security sehari-hari dilaksanakan oleh seorang Kepala Operasi. Ia juga bekas seorang perwira Angkatan Laut. Bapak RM namanya.
Pada saat Sang Komandan datang, Bapak RM seakan “tidak suka”. Diam-diam Bapak RM rupanya berambisi menjadi pimpinan Service Security.

“Selamat datang Komandan”, itu sapaan pertama Bapak RM pagi itu.

“Selamat pagi Pak RM”, balas Sang Komandan.
Wajah tegang kelihatan di wajah Bapak RM. Sang Komandan paham akan situasi ini. Pernah Bapak E mengingatkan hal ini padanya.
Sang Komandan rupanya lebih bijaksana.

“Bapak RM yang terhormat”, Sang Komandan mulai pengarahannya.

“Pagi ini saya memulai tugas saya yang dibebankan oleh perusahaan. Saya mengerti bahwa saya tidak menguasai ilmu security. Saya hanyalah orang sipil biasa. Dibanding Bapak RM, saya ini tidak ada apa-apanya. Namun, saya yakin, dengan adanya Bapak E dan Bapak RM yang akan membimbing saya, kita bersama dapat mencapai misi yang dibebankan perusahaan ini kepada unit kerja ini. Mulai hari ini saya mengangkat Bapak RM sebagai guru saya. Dalam jabatan boleh saja Bapak RM bawahan saya. Namun dalam menghadapi pasukan dan langkah kemajuan yang diharapkan, Bapak adalah Mentor dan Penasehat saya. Bagimana pendapat bapak.

Pada mulanya Bapak RM kelihatan agak gugup. Ia terdiam. Susah kelihatannya ia untuk berbicara.
“Komandan”, demikian Bapak RM memulai. Mohon maaf saya mengutarakan isi hati saya. Sejak saya mulai masuk keperusahaan sejak lima tahun yang lalu, memang saya bercita-cita untuk menjadi kepala unit kerja security ini”, demikian Bapak RM memulai kisahnya.

“Dulu Bapak berdinas di Angkatan Laut kata Pak E pada saya, benarkah Pak?

“Benar”.

“Terus kenapa Bapak tidak melanjutkan kedinasan”.

“Waktu itu saya diperbantukan sebagai perwira pengawas pada sebuah perusahaan konstruksi lepas pantai di Batam. Itu kira-kira delapan tahun yang lalu. Pangkat saya adalah Mayor Pelaut. Saya sempat bertugas selama tiga tahun. Kemudian saya harus kembali pe pangkalan TNI AL di Jakarta. Satu bulan sebelum saya mengkahiri tugas saya, seorang superintendent perusahaan yang orang Kanada, menawarkan kepada saya untuk tetap bekerja sebagai Liason Officer perusahaan ke Kantor Pemerintahan. Akhirnya tawaran itu saya terima. Dan saya resmi mengundurkan diri dari kesatuan. Sayang setelah proyek pembangunan sebuah jacket atau platform pesanan sebuah perusahaan minyak di Kalimantan itu selesai, selesai pulalah kerja saya. Karena perusahaan hanya me-stand-by kan buruh ahli yaitu para insinyur untuk proyek baru yang akan datang. Kami sebagai tenaga “support”, mereka “release” dengan uang pesangon. Saya masih bernasib baik waktu itu. Seorang pengawas perusahaan minyak itu, seorang insinyur muda tamatan ITB Bandung, menasihatkan saya untuk mencoba melamar ke perusahaannya.

Demikianlah Pak, saya melamar kesini. Dan setelah melewati beberapa wawancara, saya diterima menjadi Kepala Operasi Security dibawah pimpinan Bapak E”, demikian cerita Bapak RM.

“Bapak benar adalah orang terhormat dimata saya”, Bapak X mulai memasukkan pengaruh psikologis kepada Bapak RM.

“Kenapa Bapak berpendapat begitu”, Bapak RM mulai tertarik. Ia menggeser kursinya agak merapat ke meja pimpinannya itu. Ia mulai serius mendengarkan atasannya kini. Dalam hatinya ia mulai merasakan getaran panas. Perasaan yang tadinya akan memfrontalkan ia dengan atasannya, kini mulai pelan-pelan memudar dari relung hatinya. Hatinya juga sudah mulai mendingin. Dan bahkan serasa ada angin sejuk mulai menghembus pada sudut yang tadi panas itu. Sudut itu kini mulai terasa sejuk. Matanya terasa lebih terang kini.

“Mohon maaf saya bertanya, umur Bapak sdudah berapa sekarang?, tanya Bapak X dengan nada yang lembut namun tetap sebagai nada seorang Komandan.

“Sudah memasuki lima puluh empat, dua tahun lagi saya akan pensiun”, Pak RM menjawab dengan suara yang lembut dan terdengar seperti kebapakan.

“Pantas saya memanggil Bapak, karena saya lebih muda dua puluh tahun dari Bapak. Dan ayah saya hanya lebih tua tujuh tiga tahun dari Bapak. Ayah saya dulu juga seorang tentara. Ia terakhir berdinas di Riau sebagai Komandan Distrik Militer. Ia kemudian meminta pensiun dini dari dinas aktif.

Ayah saya dari rumpun Angkatan Darat”, Bapak X mulai mendekati Bapak RM dengan jurus yang langsung mematikan.

“Oh, sampaikan salam hornat saya kepada beliau”, Bapak RM langsung berdiri dan mengangkat tangan kanannya dan merapatkan kesisi dahi kanannya. Ia melakukan salut militer.

“Terima kasih Pak, saya balaskan salam hormat ayah saya juga pada Bapak”, kata Bapak X sambil mengacungkan tangannya. Bapak RM menyambutnya dan mereka bersalaman. Mereka sekarang telah menjadi akrab. Akrab antara “seakan anak” dengan “seakan bapak”. Akrab antara seorang Koandan dengan Bawahan. Itulah keakraban yang terjadi karena ada pendekatan persudaraan. Tidak ada lagi sekat diantara mereka kini.

Terlihat ada titik kecil air bening menggantung disudut mata Bapak RM. Ia menoleh keluar jendela. Ia kini berdiri. Ia berjalan mendekati jendela itu.
Sementara itu Nani masuk keruangan. Nani adalah sekretaris Service Security. Orangnya cantik dan lincah.

“Bapak mau minum apa”, tanya Nani.

“Tanya Bapak RM dulu, beliau harus Nani layani dulu, baru saya. Beliau kan lebih senior dari saya”.

Bapak RM membalikkan badannya. Ia menyorotkan mata kekaguman pada Komandannya.

“Saya minta kopi ya Nan”, kata Bapak RM.

“Kalau begitu saya juga kopi deh, saya harus mengikuti “bapak saya”, kembali tembakan mitraliur psikologis meluncur dari bibir Sang Komandan.

“Baik pak”, Nani keluar ruangan.

Tiba-tiba Bapak RM mendekati Bapak X. Dia merangkul Sang Komandan.

“Pak maafkan saya, tadi saya sudah berniat tidak baik pada Bapak. Terus terang hati saya tadinya tidak mau menerima Bapak sebagai Kepala Security. Namun kini semuanya rupanya itu adalah sebuah kesalahan besar. Bapak memang pantas memikul tanggung jawab pengamanan perusahaan ini. Walau Bapak masih muda, tapi jiwa Bapak jauh lebih tua dan agung dari saya. Jiwa saya terasa kerdil. Itu mungkin karena “kebiasaan” prajurit saya. Sekali lagi maafkan saya”, Bapak RM kembali duduk.

“Bapak adalah guru saya. Saya yang masih muda ini adalah pantas menjadi murid Bapak. Bapak adalah guru besar saya dalam bidang Security. Bimbing dan ajarilah saya. Tegur saja bila saya salah dalam memimpin anak buah. Ibaratnya saya seorang Jenderal Muda yang akan memimpin pasukan ke medan perang. Bapak adalah Jenderal Besar yang akan memberikan saya peta medan dan kompas untuk mengatur perjalanan pasukan. Mari kita pimpin pasukan kita bersama-sama. Target saya adalah mengangkat Service Security ini menjadikan levelnya lebih tinggi. Security harus menjadi sebuah Departemen. Sehingga kita bisa mengkordinasikan kekuatan pasukan kita yang ada di lapangan dan yang bertugas dikantor dan perumahan. Tolong buatkan saya skematik alur operasinya. Siapkan juga orang-orang yang pantas untuk memimpin regu. Tunjuk wakil Bapak untuk mengkoordinasikan semua satuan tugas”, langsung Bapak X memberikan komando.

“Siap pak, laksanakan”, kembali Bapak RM memberikan salut militer.

Nani masuk membawa dua cangkir kopi. Harumnya kopi pagi itu. Membangkitkan selera minum pagi “dua komandan” yang telah menjadi bapak dan anak dalam ruangan itu.

Nani merasa heran. Tidak biasanya ia melihat wajah Pak RM seperti yang ia saksikan barusan.

“Ada apa ya”, pikir Nani dalam hatinya. Yang ia tahu Bapak RM adalah orangnya garang, dan katanya selalu ketus dan bahkan sering kasar.

“Hmm”, Nani bergumam. “Mungkin “otak” pak RM telah dicuci oleh Bapak X”, Nani kembali ke mejanya.

“Baik Pak, silahkan Bapak kembali melanjutkan tugas”, Bapak X memerintah dengan lembut berwibawa.

“Siap, kembali. Assalamualaikum”.

“Selamat Pagi Komandan”

“Selamat tugas, Wassalamualaikum.

CERITA NANI

Nani adalah sekretaris departemen security. Berarti Nani adalah sekretaris Sang Komandan.
Tiba-tiba Nani memasuki ruangan saya.

“Permisi pak, apa boleh saya duduk”,

Nani langsung menghenyakkan pantatnya yang seksi itu di kursi di depan meja kerja saya. Nani memang seksi. Ia adalah seoran wanita asal Jawa Tengah yaitu Solo. Solo memang gudangnya wanita ayu. Ayu dan lembut serta langkahnya gemulai.
Sang Komandan teringat masa kuliahnya du lu di Bandung.

“Kamu pasti suka kalau sudah tahu keunggulan wanita Solo”, demikian kata Wahyu teman kuliah saya waktu di Bandung. Ketika kami membicarakan tetangga sebelah kos di Kubang Sekeloa. Dyah, demikian nama gadis anak Hukum Unpad yang sering jadi pembicaraan kami waktu itu. Dyah, memang gadis ayu, hitam manis dengan rambut lebat terurai. Tubuhnya tinggi semampai. Wajahnya itu, yang sering membuat aku bermimpi bermain di rerumputan di depan kampusku di Ganesha. Sayang, aku tidak punya kekuatan untuk mendekati Dyah. Sebenarnya aku menyenanginya. Cuma, aku takut kalau dia tidak menerima cintaku. Maklum, aku mahasiswa miskin. Walau aku punya merek yang bisa aku banggakan di depan gadis-gadis Bandung. Aku ganteng, dan juga mahasiswa ITB. Namun, semua itu gak cukup buat aku bawa sebagai modal untuk menjemput Dyah lari ke pangkuanku. Walau Wahyu yang juga anak Solo selalu mendorong agar aku pacaran dengan Dyah. Tetap saja aku tidak berani

“Kamu anak Sumatera yang penakut rupanya”, demikian kata Wahyu tentang ketidak beranianku untuk menyatakan cinta pada Dyah.

“Bukan begitu Yu”, jawabku membantah.

“Terus, kenapa, biasanya pemuda Sumatera itu agresif. Apalagi bila berurusan dengan cewek. Mereka pasti merayu dengan maut. Tapi kamu memang lain”, kata Wahyu lagi.

Demikianlah ketika itu. Akhirnya Dyah berlabuh kepangkuan seorang mahasiswa Unpad calon dokter. Dan sewaktu aku diwisuda, pada saat yang sama aku menerima undangan perkawinan mereka.

“Kok melamun pak”, tiba-tiba Nani mengagetkanku.
Memang aku lagi melamun.


AKU SANG KOMANDAN ITU

Sang Komandan itu adalah aku.
Aku sedang melamun ke masa remaja sewaktu di bangku kuliah.

Aku melamunkan seorang gadis Solo yang bernama Dyah semasa aku masih mahasiswa di Bandung. Sekarang seorang gadis Solo lain ada di depanku. Nani memang bukan Dyah. Nani adalah Nani. Dan Nani adalah sekarang menjadi sekretarisku. Nani memang bukan Dyah yang dulu aku kagumi.

Sekarang aku bukan lagi seorang perjaka yang mahasiswa ITB. Sekarang aku adalah seorang bapak dengan tiga anak gadis kecil yang masih sekolah dasar.
Namun, aku masih lelaki yang dulu. Lelaki yang masa mudanya menderita karena kemiskinan. Laki-laki yang waktu itu penuh semangat untuk maju. Uang bukanlah hambatan bakiku kala itu. Hambatanku adalah untuk melahirkan hasrat seorang lelaki muda kepada seorang gadis yang disenanginya. Aku tidak punya keberanian untuk mendekati gadis. Aku hanya mengagumi mereka dari jauh.

Kalau sekarang Nani yang juga gadis Solo ini amat dekat denganku. Ia selalu berada di ruangan di depan kantorku. Kalau aku memandangnya ia senyum dengan amat manis. Karena ada lesung pipit di pipinya. Senyum yang lebih manis ia merkahkan dari bibirnya manakala ia membawakan secangkir kopi diwaktu pagi aku sampai di kantor.

Nani memiliki sesuatu yang berbeda dengan Dyah dimataku. Nani rambutnya dipotong pendek, lebih membuatnya anggun. Dandanan Nani rapi. Dyah dandanannya acuh. Itu karena waktu itu ia mahasiswi yang memang bernuansakan acuh bei-bei.

Dalam bidang pekerjaan Nani amat baik. Ia selalu mencatat keperluan departemen dan catatan penting mengenai persoalan yang harus aku tangani esok hari, ataupun hal mendadak yang memerlukan penanganan segera.

Ia juga punya hubungan baik dengan bidang eksternal kesekuritian seperti dengan Polda, Polresta, dan Kodim. Ia disegani oleh bagian ketentaraan ini, karena ayahnya Nani adalah pensiunan perwira Angkatan Darat yang pernah bertugas di Kodam Diponegoro Jawa Tengah. Jadi Nani adalah keluarga militer juga.
Nani tidak merasa canggung untuk datang ke kantor-kantor tersebut kalau ada keperluan yang aku suruh dia yang mengerjakan.

“Pak, jangan terus melamun dong, masak saya bapak acuhin”, Nani kembali mengagetkanku.

“Oh, maafkan, aku lagi memikirkan lapangan Tunu yang luas. Aku memikirkan sistem pengamanan yang paling efektif untuk melindungi sumur minyak yang ratusan itu”, kataku sekenanya.

“Oh, begitu, saya sangka Bapak masih memikirkan Bapak RM”, tanya Nani.

“Emangnya kenapa dengan Bapak RM”, tanyaku.

“Ah, nggak saya lihat kok wajah bapak RM agak lain dari biasanya. Apa Bapak telah cuci otaknya ya Pak”, tanya Nani.

“Apa Nani merasa seperti itu”, tanya saya.

“Memang tidak biasanya dia begitu”, jawab Nani. Dia berdiri. Nani mencoba merapikan kotak tissue yang ia sediakan untuk saya. Ia letakkan kotak issue itu dengan rapi. Ruangan ini masih terasa segar dan harum. Nani menyemprotnya dengan Glade pengharum ruangan setiap pagi. Ia selalu datang lebih pagi dari saya. Jam 6.30 ia sudah berada di kantor. Ia satu jam lebih pagi. Jam kantor adalah jam 7.30. Kalau mengacu akan kerajinan seorang pegawai yang diukur dengan kedatangannya, maka

Nani harus diberikan nilai B+, karena ia melebihi dari standar yang ditetapkan untuk seorang pegawai yang baik. Dan pegawai yang baik akan dinilai B.

“Coba Nani ceritakan mengenai Bapak RM”, kata saya.
Nani lalu duduk di kursi di depan saya. Dan sambil tetap senyum ia memulai ceritanya.

“Saya mulai dari mana ya pak”, tanya Nani.

“Yah, mulai dari mana saja, tentu tentang bapak itu yang Nani ketahui, baik dalam kedinasan, ataupun di luar kedinasan”, kata saya.

“Bapak RM sudah empat tahun dinas di sekuriti. Dia datang dari Surabaya. Dia adalah salah satu anggota AL dari Armada Timur. Satu kesatuan yang kita kenal sangat baik reputasinya dalam mengamankan teritori perairan di Indonesia. Pada saat beliau join kita, kepala disini adalah bapak ED yang juga bekas orang AL yang setahu saya adalah minta pensiun dipercepat. Secara kebetulan pangkat mereka sama, cuma bapak RM kalah senioritas dari bapak ED. Dan kelebihan bapak ED adalah karena beliau dari Akademi AL, sedangkan bapak RM dari ex. Wamil”, demikian permulaan cerita Nani.

Nani kemudian kembali ke ruangannya. Dia membuka laci file dan kemudian menarik sebuah map biru. Lalu ia kembali ke ruangan saya.

“Ini CV-nya bapak RM”, Nani menyodorkan map itu ke saya.

Saya membuka map itu, dan membaca CV bapak RM dengan cepat.

“Pada mulanya bapak RM disenangi oleh anggota. Itu karena beliau sedikit agamis. Namun saya juga heran setelah sekitar satu tahun beliau berdinas, mulai kelihatan ada keanehan sifat beliau, dihadapan anggota”, lanjut Nani.

“Kenapa, bisa begitu?, tanya saya.

“Saya juga kurang mengerti pak. Namun pak S yang merupakan perwira operasi pernah mengatakan kalau ia sekarang bingung dengan tindakan Bapak RM.
Beliau sering mencoba mengkotak-kotakan anggota. Bila anggota tersebut yang sering diminta bantuan datang kerumah beliau untuk mengerjakan sesuatu, maka dia disenangi oleh Bapak RM. Tapi yang kurang berkenan dan memberikan alasan karena sibuk membantu isteri di rumah, maka akan disisihkan olehnya,” demikian cerita Nani tentang bekas atasannya.

“Trus, kemudian apa yang dilakukan Bapak S?, tanya saya.

“Bapak S tetap melakukan tugasnya untuk memberikan pengarahan setiap apel pagi. Tapi anggota mulai ada yang tidak memperhatikan lagi arahan bapak S, dan mereka acuh tak acuh. Hal itulah yang menjadi kebingungan bapak S”, lanjut Nani.

“Menarik juga informasinya. Terus bagaimana tentang kekompakan anggota?”, tanya saya lebih dalam.

“Anggota mulai tidak kompak. Dan muaranya adalah waktu penilaian akhir tahun lalu. Bapak RM mengajukan promosi dan kenaikan gaji beberapa anggota. Ternyata anggota yang diajukan adalah yang kerjanya kurang bagus”, cerita Nani makin menarik.

“Menarik juga ceritanya. Terus Bapak ED bagaimana sikapnya?, tanya saya.

(TO BE CONTINUED)

1 ulasan: