Khamis, 28 April 2011

AIN dan TENTARA

OLEH: DASRIELNOEHA

Namanya Ain.
Ain itu nama panggilan saja. Nama aslinya Sahril.
Ia pintar mengaji. Sahril masih kelas satu SMA di Padangpanjang sewaktu persitiwa PRRI pecah.
Ayah Ain adalah seorang tentara TNI yang bertugas di Bengkalis Riau. Namanya Pak Khaidir. Pak Khaidir sudah berpangkat Kapten waktu itu. Dan ia menjadi kepala staff sebuah Kodim di kepulauan Riau.

Ain dan ibunya tinggal di kampung di Guguak, sebuah nagari dalam kecamatan 2 x 11 Enam Lingkung.

Waktu peristiwa PRRI pecah, Ain terpaksa libur sekolahnya. Karena ada juga guru yang ikut lari jadi tentara PRRI.
Ain hanya membantu ibunya dikampung. Ibu Ain mempunyai sebuah kedai kopi di Guguak, yang sering jadi tempat perhentian pedati dari Pariaman dan Sungai Sarik.

Pada saat kedatangan pasukan pertama tentara pusat ke Padangpanjang. Ain ingat betul waktu itu banyak panser menderu di jalan aspal depan kedai ibunya.
Jam lima pagi panser itu begerak dengan iringan tentara berbaju loreng. Di badan dan di topi waja mereka bergantungan daun-daun untuk penyamaran.

Jam lima itu kedai sudah buka. Karena banyak ajo tukang pedati telah memasangkan pasangan pedati ke pundak kerbaunya. Biasanya habis sembahyang subuh, pedati akan bergerak ke Padangpanjang membawa kerambil untuk dijual di pasar. Dan besoknya kembali dengan muatan kapur dari Bukik Tui.

Pagi itu pedati ini ditahan oleh tentara tidak boleh bergerak.
Ajo pedati dengan ketakutan dikumpukan di kedai ibu Ain. Ada sepuluh orang banyaknya. Dengan berselimutkan kain sarung karena pagi masih berkabut dan dingin, para ajo ini menggigil kedinginan dan ketakutan kalau ditembak tentara.

Tetapi para tentara itu tidak mennganggu para ajo pedati.
Mereka hanya minta dimasakkan kopi dan goreng pisang oleh ibu Ain.
Nenek Ain yang sudah biasa dengan tentara karena menantunya ayah Ain juga seorang tentara tidak canggung menghadapinya.

”Mari ibu masakan kopi buat ananda”, kata nenek Ain.

Ibu Ain sedikit ketakutan menggoreng perancis dan pisang di dapur.

Ain juga sudah bangun. Ia kembali dari Surau Lakuak habis sembahyang subuh.
Ain terkejut karena melihat banyak tentara dan panser berhenti di halaman.

Seorang tentara yang curiga memeganginya. Ia bertanya.
”Dari mana kamu. Kamu pemberontak ya”, tanya tentara itu.
”Tidak pak, saya baru dari surau”, kata Ain yang masih berselimut kain sarung.
”Oh itu Ain cucu ibu nak”, kata nenek Ain.
”Betul kamu bukan ikut pemberontak”, tanya tentara itu lagi.
”Betul pak, saya anak sekolah”, kata Ain lancar.

Tidak ada ketakutan di wajah Ain. Biasanya kalau ada pemuda ditanyai tentara waktu perang itu, sudah pasti terkencing di celana. Karena biasanya pertanyaan disertai dengan bentakan dan tamparan.
Apalagi kalau yang bertanya OPR. Saking takutnya pemuda yang ditanya akan menggigil. Dan ada yang melarikan diri. Dan senapan akan meletus. Tamatlah riwayat si pemuda karena ditembus peluru dari belakang.

Ain tidak ada takut sedikitpun.
Ia adalah anak tentara juga. Ain pernah tinggal bersama ayahnya di asrama tentara di Senapelan waktu ayahnya bertugas di Pekanbaru. Ain sekolah SMP di Pekanbaru itu. Setelah ayahnya dipindahkan ke Riau Kepulauan, Ain pulang bersama ibunya ke kampung. Dan Ain melanjutkan ke SMA di Padangpanjang.

Sekarang lima orang temannya sudah mengepung Ain. Nenek Ain mendekat.

”Bukan nak, Ain itu tidak ikut berontak. Ia sekolah SMA di Padangpanjang. Ayahnya tentara di Riau. Itu fotonya tergantung di dinding”, kata nenek Ain menjelaskan.

Para tentara yang mengerubuti Ain jadi tertegun.
Mereka melihat gambar seorang perwira TNI Angkatan Darat dengan pangkat Letnan dengan emblem Siliwangi tergantung didepan pintu kamar ibu Ain.
Akhirnya tentara itu melepaskan Ain.

Mereka langsung jadi ramah. Mereka bertanya kepada nenek Ain dimana sekarang ayah Ain. Nenek Ain menjawab bahwa menantunya sekarang bertugas di kepulauan Riau, sedang BKO dengan Tentara Teritorial Sumatera Tengah. Dan ia tidak ikut berontak.

Seorang komandan yang juga berpangkat letnan masuk ke kedai.
Ia mengusir anak buahnya keluar.
Letnan Sumarno, demikian namanya tertulis di dadanya meminta maaf atas kelancangan anak buahnya.

”Mak, dimana Letnan Khaidir bertugas”, tanya letnan Sumarno pada nenek Ain.

”Menantu mak bertugas di kepulauan Riau. Semarang di Bengkalis”, kata nenek Ain.

”Berapa semua belanja pasukan ini mak”, tanya letnan Sumarno ramah.

”Tidak usah bayar nak, kalian mak anggap anak mak sendiri. Mak sudah biasa dengan tentara”, kata nenek Ain lancar.

Letnan Sumarno memanggil seorang anak buahnya. Sersan mayor Bagio datang mendekat.

”Siap Let”, Bagio memberi hormat.

”Yo, kamu tandai rumah ini. Jaga jangan sampai PPRI menghancurkan rumah mak. Ini rumah rekan kita seorang perwira Siliwangi yang bertugas BKO di Riau. Dia berarti atasanmu juga.
Juga jaga adik Ain, jangan sampai PPRI menculiknya”, kata letnan Sumarno sambil menunjuk Ain yang berdiri di belakang ibunya yang masih menggoreng pisang di dapur.

”Siap let, laksanakan”, Bagio langsung ke pasukannya. Ia memberi perintah singkat.

”Mak, ini uang buat mak. Kami akan segera berangkat”, kata Letnan Sumarno sambil memberikan segumpal uang kepada nenek Ain.

”Tidak usah nak”, kata nenek Ain.

”Tidak apa-apa mak ambil uang itu. Nanti saya akan tinggalkan pasukan satu regu di sini. Saya mohon ijin untuk mendirikan pos di sebelah kedai mak. Pasukan saya pasti akan makan di kedai ini. Akan saya minta perbekalan dari Padang mencatat perbelanjaan mereka. Mak tidak usah kawatir. Akan kami jaga kampung ini dari gangguan PRRI”, kata letnan Sumarno.

*
Hari sudah mulai terang. Orang-orang sekitar sudah banyak yang bangun. Beberapa bapak-bapak, pak Mandur, pak Jumat, buya Azis, sudah berjalan ke sawah dengan pangkul di bahu mereka.
Mereka kelihatan berwajah kuyu ketakutan melihat begitu banyak tentara berbaju loreng.
Tentara itu duduk-duduk di pinggir jalan. Sebagian ada yang mengendap di pinggir sawah arah ke baruh. Dan di jalan kereta api juga ada tentara yang berjaga.
Dan banyak panser serta truck, jeep tentara berbaris di jalan lebuh itu.
Suasana perang sungguh kelihatan pagi itu.

Ibu-ibu juga mulai ada yang ke bandar di belakang rumah untuk mencuci.
Etek Saimar malah mendekat ke tentara yang berbaris disitu.
Tidak heran, etek Saimar adalah isteri tentara juga. Suaminya sekarang bertugas di Jawa. Berita terakhir ia berdinas di Jakarta bagian perlengkapan DPLAD.

Ajo pedati masih duduk di palanta kedai. Mereka masih kelihatan ketakutan. Karena ratusan tentara loreng dengan emblem raider Siliwangi mulai naik ke panser dan truk reo. Dua buah jeep di depan dengan dua senapan mitraliur di atas kapnya.
Mereka dengan senjata siap tembak.

Pelan-pelan pasukan itu bergerak kearah Kandang Empat untuk menuju Padangpanjang melalui kelok Lembah Anai dan Singgalang.

Ajo Burhan mendekati nenek Ain.

”Cu, kami mohon ijin tidur semalam lagi di sini. Kami takut siang ini ke Padangpanjang. Biarlah besok saja”, kata ajo Burhan tukang pedati dari Sungai Sariak yang jadi kepala rombongan. Ia memanggil Acu ke nenek Ain. Itu panggilan kehormatan yang artinya kakak perempuan.

”Biarlah jo, seenak ajo sajalah”, kata nenek Ain.

Sementara itu diseberang jalan di lapangan bekas Ain dan temannya main sepakbola limau, dua belas orang raider mendirikan bivak pasukan. Rupanya Sersan Bagio dan regunya tinggal di kampung itu untuk menjaga dari tentara PRRI.

Sejak itu mereka tinggal di sana. Dengan bantuan orang kampung mereka mendirikan pos di lapangan itu.

Kampung itu aman dari gangguan OPR. Sedangkan kampung sebelah seperti Kayutanam, Kepala Hilalang dan Anduring, selalu di patroli oleh OPR.
Banyak yang korban keganasan OPR. Orang sedang mairiak padi di sawah di Anduring di tembaki OPR, karena dicurigai akan memberi pasokan padi ke PPRI.
Di Kepala Hilalang beberapa orang hilang malam karena di ciduk OPR. Kabarnya mereka ditembaki di Talantam, dipinggir sungai aliran batang Nanguih.

*
Mulai saat itu Ain sering main ke pos tentara itu. Ia sekarang dianggap adik oleh para prajurit Siliwangi yang bertugas di situ.
Ia juga ikut main voley dengan tentara sore hari.
Ia dilatih main voley oleh kopral Sutisna.
Kopral Sutisna suka dengan Ain.
Ain sudah bisa main voley dengan baik. Maklum badannya yang tinggi amat enteng melompat waktu smesh.

”Kamu harus masuk tentara setelah lulus SMA In”, kata Sutisna suatu hari.

”Ndaklah kang Na”, kata Ain.

”Kenapa, kamu kan juga anak tentara”, tanya Sutisna.

”Aku tidak mau jadi tentara hanya untuk membunuhi orang seperti OPR itu”, kata Ain.

”Kalau kamu jadi perwira setelah lulus akademi, ya kamu tidak seperti tentara OPR itu. Kamu akan jadi pimpinan. Kamu akan jadi pembela negara ini. Seperti kami dari Siliwangi, datang ke Sumbar ini karena melaksanakan tugas untuk membasmi pemberontak PRRI. Kami bukan datang untuk membunuhi orang kampung”, kata Sutisna menjelaskan.

”Jadi kenapa OPR menembaki orang kampung yang tidak berdosa. Teman sepermainan saya Sofyan ditembak di rel kereta api sewaktu mengembalakan kerbau. Pada hal ia ketakutan lari karena dikejar OPR. Tapi malahan ditembak dari belakang”, kata Ain.

”Aku tidak tahu dengan kerja OPR In. Kami prajurit Siliwangi tidak seperti itu. Kami datang melindungi orang kampung dari pemerasan PRRI. Kami dapat laporan bahwa tentara PRRI suka memeras orang kampung dengan meminta beras, ternak dan uang untuk perbekalan mereka. Mereka juga merampok dan membakar kampung. Itu yang akan kami basmi”, kata Sutisna menjelaskan.

”Jadi OPR tidak sama dengan teman kang Tisna”, tanya Ain.

”Ya tidak sama In. Kamu lihat kan komandanku tempo hari Letnan Sumarno. Ia orang Jawa. Tapi ia bertugas di Siliwangi. Orangnya baik. Karena ia lulusan Akademi Militer Magelang. Tapi di medan tempur ia galak sekali. Ia selalu berteriak dan memburu PRRI sampai ke hutan. Ia komandan regu panser Artileri yang sekarang bermarkas di Bancah Laweh Padangpanjang. Besok dia ke sini. Kamu bisa tanya dia. Pasti ia menjawab bahwa prajurit Siliwangi dekat dengan rakyat Sumbar. Dan tidak akan pernah membunuhi rakyat. Musuh kami hanya PRRI”, kata Sutisna makin menjelaskan keberadaan pasukannya.

*

”Ain, kamu hati-hati kalau main dengan tentara di situ”, kata ibunya suatu hari.

”Ya mak, awak hanya sekadar bercakap-cakap saja dengan mereka”.

”Ya jangan kamu buka rahasia pula”, kata ibunya lagi. Kamu kan tahu makciak mu kan anggota PPRI.

Maksud ibu Ain adalah paman Ain yang paling kecil, Amir adik ibunya yang ikut ijok ke hutan.

”Ndaklah mak. Awak tidak akan bercerita tentang itu”, kata Ain.

”Apa saja yang kamu cerita-cerita dengan tentara itu”, tanya maknya.

”Mereka baik mak, mereka kan tentara Siliwangi juga, sama dengan apak awak”, kata Ain.

”Ha, mereka juga dari Siliwangi”, tanya Ibu Ain.

”Ya, mak kata kang Sutisna, Siliwangi itu tentara baik. Mereka hanya menjaga kampung agar tidak dibakar dan diperas oleh PRRI”, jelas Ain.

”Sykurlah kalau begitu. Berarti kampung kita akan aman dari gangguan. Mak lihat tentara OPR suka kurang ajar. Terutama kepada para wanita. Mak dengar di Kayutanam banyak isteri urang ijok disuruh untuk melapor ke kantor Puterpra. Dan anak gadis disuruh menari dan menghibur tentara. Juga suka dibawa oleh OPR. Mak tidak mau terjadi di kampung kita. Kalau akan seperti itu, biarlah mak telegram ayahmu suruh jemput kita. Biar kita di Bengkalis saja. Atau di pulau Uban atau di Bintan. Lebih aman disitu. Mak takut”, kata ibunya Ain.

”Mak tidak usah takut. Kita sebenarnya aman. Ayah kan tentara Siliwangi yang masih aktif. Sedangkan kita ada becking juga di pihak PRRI. Jadi tidak ada yang akan mengganggu kita. Tentara yang di depan rumah semuanya baik. Komandannya pak Bagio itu juga baik. Malahan kata Pak Bagio, bulan puasa ini akan ada latihan tari untuk sandiwara hari Lebaran di SD Guguak”, kata Ain.

Sebenarnya ibu Ain juga mengakui itu. Tentara Siliwangi ini orangnya sopan-sopan. Dapat dipahami mereka kan berasal dari Jawa Barat. Orang Jawa Barat agamis. Sama dengan rakyat Sumatera Barat.

Ibu Ain pernah diminta oleh Pak Sersan Mayor Bagio untuk membujuk isteri tentara PRRI untuk meminta suaminya pulang dari hutan dan menyerah. Tidak baik lari ke hutan. Mereka di cap pemberontak. Pemberontak akan dimusnahkan oleh tentara Pusat. Kalau mereka menyerah akan diperlakukan dengan baik. Kalau mereka sadar akan bisa kembali jadi tentara biasa. Demikain Pak sersan mayor Bagio menerangkan kepada ibu Ain.

”Saya tidak mau melakukan itu pak. Kalau mereka pulang nanti ditangkap OPR dan di bedil. Kan teman saya akan kehilangan suaminya”, kata ibu Ain ke pak Bagio.

”Bukan begitu bu. Ibu kan juga anggota Persit Siliwangi. Kita prajurit yang patuh pada Sapta Marga. Kita prajurit rakyat. Kita bertugas untuk melindungi rakyat. Kalau para PRRI itu sadar dan kembali kepangkuan republik, akan diperlakukan dengan baik. Dan tidak akan ditembak. Tapi kalau tetap dihutan, akan dioperasi terus. Kalau ketemu pasti diperangi. Dan pasti akan banyak korban. Sekarang kan suasana perang. Hukum perang tetap berlaku”, demikian suatu hari Pak Bagio bicara dengan ibunya Ain sewaktu makan siang di kedai.

”Bagaimana dengan OPR. Mereka seakan dendam dengan orang kampung. Katanya mereka preman yang berpaham komunis. Banyak orang siak yang mereka tembaki. Orang siak ini dituduh mata-mata PRRI. Pada hal orang siak tahunya kesurau saja. Mereka tidak mengerti perang. Tetap saja mereka jadi korban. Ini yang saya tidak mau terjadi dengan kampung saya Pak Sersan”, ibu Ain mulai berani berterus terang kepada orang Siliwangi itu.

”Nanti saya akan coba buat laporan ke komandan saya mengenai informasi dari ibu ini. Besok Letnan Sumarno akan inspeksi ke sini. Mudah-mudahn dia bisa memberi masukan kepada komandan OPR Pariaman Letnan Bahar tentang hal ini. Ini saya rasa masukan yang penting. Karena ini menyangkut etika peperangan. Baik bu terima kasih”, kata Sersan Mayor Bagio.

*

Tahun berikutnya, terjadi perubahan pasukan APRI di Sumatera Barat.
Ada pergantian pasukan induk. Siliwangi akan menyerahkan tugas kepada pasukan baru dari Kodam Diponegoro dari Jawa Tengah. Meraka akan menuntaskan pembersihan semua pasukan PRRI.
Hanya ada dua kata yang membarengi tugas pasukan baru ini. Bertempur dan musnahkan PRRI.

”Dik Ain, besok aku tidak bertugas lagi di sini”, sore itu sehabis main voley kopral Sutisna memberi tahu Ain.

”Mau kemana kang Na”, tanya Ain.

”Kami mau balik ke Jawa Barat. Akang akan ke Ciamis pusat kavaleri Siliwangi . Siliwangi akan diganti dengan Diponegoro. Mereka sekarang sudah mendarat di Padang”, kata Sutisna.

”Terus kita tidak main voley lagi kang”, tanya Ain.

”Ain, kalau kamu mau, kamu bisa ikut aku ke Jawa Barat. Kirim telegram ke ayahmu. Kamu kan bisa meneruskan SMA mu di sana. Dan lulus SMA kamu bisa masuk ke ITB. Kamu kan tahu itu sebuah perguruan tinggi ternama di Indonesia”, kata Sutisna.

”Betul kang, aku mau ikut kakang. Aku juga punya cita-cita untuk ke ITB. Mau kang. Aku bilang mak dulu. Dan aku akan telegram ayah. Kebetulan sekali kang, ayah tidak mau aku masuk jadi tentara di akademi Magelang. Dia mau aku jadi insinyur”, kta Ain riang sekali.

*
Benar saja. Minggu depannya Ain dilepas ibunya di Teluk Bayur naik kapal perang yang membawa pasukan Siliwangi balik ke Jawa.
Ain bisa ikut karena ia didaftar sebagai anak tentara Siliwangi yang akan sekolah di Jawa.
Memang, persaudaran dan kekeluargaan Siliwangi yang paling terkenal keakrabannya diantara pasukan TNI dan keluarganya di Indonesia.

Oleh kopral Sutisna ia dibantu untuk masuk di SMA Belitung Bandung.
Ain membawa serta rapornya saja. Dan itu sudah cukup untuk ia bisa diterima sekolah di sana.
Dan Ain numpang kos di Jalan Banda dirumah seorang perwira Siliwangi yang kebetulan kenal dengan ayahnya sewaktu di Tasikmalaya.
Ain membawa sepucuk surat yang dikirm ayahnya dari Tanjung Uban untuk memudahkan urusannya di Jawa Barat.
Oleh ibu kosnya, yaitu isteri perwira Siliwangi itu ia diperlakukan sebagai anak sendiri.
Jadilah Ain, seorang remaja kampung di Sumatera Barat yang mengalami peristiwa pemberontakan PRRI, sekarang bernasib baik sekolah di Bandung berkat pertolongan seorang prajurit TNI-Siliwangi yang bernama Kopral Sutisna.

Akhirnya Ain lulus SMA Belitung tepat peristiwa PPRI usai tahun 1961.
Dan ia masuk kuliah di ITB jurusan teknik mesin.

Dan nasib baiknya berakhir dengan diterimanya ia bekerja di sebuah perusahaan raksasa minyak di Sumatera Tengah yaitu Caltex setelah lulus dari ITB tahun 67.

Sekali lagi Ain mengalami peristiwa nasional yaitu meletusnya G 30 S tahun 1965.

Ia yang mahasiswa ITB turut demontrasi di Jakarta menurunkan PKI yang jadi dalang G 30 S.

Itulah kisah Ain, seorang anak tentara yang mengalami beberapa peristiwa penting di Indonesia semasa ia remaja.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan