Khamis, 28 April 2011

BADU dan BATU EMAS

OLEH: DASRIELNOEHA

Ini kisah jaman dulu. Ini kisah anak alam.
Kisah ini diceritakan oleh kakek saya.
Waktu saya masih kecil, saya hidup di kampung. Kampung saya terletak di kaki gunung Tandikat di Sumatera Barat. Kandang Ampek nama kampung itu.
Kakek saya sudah tua juga waktu itu. Anaknya ada empat. Ayah saya adalah anaknya yang nomor dua.

Pada waktu telah tua itu, kakek hidup sendirian, karena ia telah bercerai dengan nenek, dan sudah lama. Kakek tidak kawin lagi seingatku. Sedangkan nenek kawin lagi dan masih mendapat anak tiga orang.

Ayah saya juga hidup di kampung sebagai petani setelah ia pensiun dari dinas ketentaraan.

Kakek membuat pondok di sebuah sungai yang bernama Batang Tarok. Sungai itu jernih dan banyak ikan seperti garing, mungkuih, udang, ikan panjang, kapareh di dalamnya.
Kakek suka menangkap ikan untuk ia buat lauk dengan memakai tikalak semacam perangkap untuk menangkap ikan yang terbuat dari bambu yang dibelah dan dianyam bilahnya dengan rotan.
Kakek menanam padi di ladang yang cukup buatnya untuk makan. Ia juga menanam sayuran seperti singkong, ketela rambat, jagung, bayam, dan dipinggir sungai ditanam sayur lalidi namanya.

Kalau aku sudah pulang sekolah kira-kira jam satu siang, saya suka ke ladang kakek yang tidak jauh dari rumah saya. Dengan berjalan menyeberang jalan kereta api, dan lalu melewati pematang sawah, lalu menuruni jalan ke Batang Tarok, dan aku seberangi, menaiki jalan bebatuan sampailah aku ke pondok kakek. Jaraknya dari rumah hanya sekitar setengah kilometer saja.
Aku suka diajari kakek membaca AlQur’an dan sekalian tafsirnya. Dan juga kakek suka bercerita.

Suatu hari kakek bercerita.
Ceritanya mengenai seorang anak yang miskin disebuah kampung. Sebutlah namanya Badu.
Badu adalah anak alam yang tinggal di ladang orang tuanya. Kerjanya hanya membantu orang tuanya. Badannya tegap dan berisi. Itu karena suka berlari naik turun bukit diladang ayahnya mengejar ayam hutan dan menangkap burung dengan jerat yang dipasang ditengah hutan.

Itu kerja Badu hari-harian, karena ia tidak sekolah. Atau kadang ia memancing ikan limbek dan baung di sungai. Dan ia paling senang memancing ikan kapareh dengan umpan cacing.
Goreng kapareh sangat gurih dan lezat. Juga goreng udang sungai yang kulitnya bewarna hitam. Kalau digoreng kulitnya akan bewarna merah. Dibalik kulitnya terdapat dagingnya bewarna putih yang lembut dan gurih sekali.

Badu bila sedang memasang jeratnya, ia akan lupa waktu. Ia tidak peduli walaupun hari hujan. Tetap ia asyik mengintai ayam hutan yang masuk jeratnya dari balik pohon.

Di kampung itu ada seorang guru ngaji di sebuah surau yang mengajar anak-anak membaca AlQur’an dan juga diajarkan ilmu agama.
Anak-anak diserahkan orang tua mereka ke tuan guru untuk diajari.
Tuan guru dibayar bulanan, memang tidak besar, biasanya seliter beras setiap bulan dan uang ala kadarnya. Kalau tidak ada beras dan uang memang tdak bisa ikut mengaji.

Akan halnya Badu, ia sangat ingin ikut ngaji.
Badu anak seorang petani miskin di kampung itu. Orang tuanya tidak punya uang buat menyekolahkan Badu, dan juga tidak punya beras dan uang buat mengaji dengan tuan guru.

Setiap waktu ngaji yaitu setelah shalat zhuhur, Badu selalu datang ke surau. Ia hanya duduk di pintu mendengarkan anak-anak mengaji. Ia hanya menyimak dalam hati. Bila anak-anak pulang ia juga ikut pulang ke pondok orang tuanya. Ia sudah menyimak kata-kata Allah dan Muhammad yang ia dengar disebut berulang-ulang dalam pengajian itu. Namun ia tidak tahu siapa dan apa arti kata yang telah masuk kedalam hatinya itu.

Akhirnya tuan guru kasihan juga melihat Badu.
Suatu hari setelah selesai ia memanggil Badu masuk ke dalam surau. Badu sangat gembira sekali. Pasti aku diajarkan mengaji oleh bapak guru, kata hatinya.
Ia tidak diajarkan membaca AlQur’an oleh guru. Ia tidak bisa diajarkan karena ia belum mengenal huruf Arab, karena memang Badu tidak sekolah sama sekali.
Ia hanya diajarkan secara lisan oleh pak guru ngaji. Pelajaran pertama buat Badu adalah “kul hu Allah hu Ahaad”, yang di katakan kepadanya artinya “Allah itu satu”.

“Kamu hapalkan kajian ini ya”, kata pak guru.
“Ya pak, kata Badu gembira sekali.

Ia berlari ke pondoknya. Ia mengatakan pada kedua orang tuanya, bahwa ia diajar mengaji oleh pak guru. Kedua orang tuanya heran, tidak mungkin kata mereka, dari mana Badu dapat uang dan beras untuk membayar ongkos ngaji.

“Yah, bu, saya tidak bayar”, katanya.

“Trus, tanya ayahnya.

“Saya diajar pak guru tadi membaca dan menghapalkan kalimat”.

“Kalimat apa?, tanya ayahnya.

“Kul hu Allah hu Ahaad”, artinya Allah itu satu.

“Hah, bagus itu nak, kata ayahnya.

Demikianlah Badu terus membaca dan menghapal kalimat itu. Kemanapun ia pergi ia selalu membacanya.

Ayah dan ibu Badu berladang. Mereka juga menanam padi, sayur-sayuran dan ubi, serta juga menanam jagung. Dipinggir ladang masih hutan. Di hutan itu banyak dihuni oleh babi, ada juga rusa, dan ada juga harimau.
Di ladang itu ada seekor induk babi dengan dua anaknya. Mereka suka datang mencuri ubi yang ditanam ayah Badu. Mereka selalu diusir oleh ayah Badu. Badu kasihan pada babi-babi itu. Diam-diam ia juga menanam singkong dan talas di pinggir hutan. Bila babi itu datang, biasanya sehabis hujan, Badu pergi menemui mereka. Induk babi itu seakan mengerti bahwa Badu senang pada mereka. Badu biasanya akan mendekat dan induk babi itu tidak akan lari.

Badu suka mengambil beberapa ubi kayu ayahnya dan ia berikan kepada babi-babi itu. Badu senang dan gembira sekali melihat kedua anak babi itu berebutan singkong yang dilemparkannya. Badu suka membelai bulu halus anak babi itu. Anak babi itu juga senang dan mendekat ke Badu.

Sambil mengaji kul hu Allah hu ahaad, Badu membelai badan anak babi kesayangannya.

“Makanlah singkong ini ya, kata Badu. Nanti kalau yang aku tanam sudah bisa dibangkit ubinya, akan aku berikan pada kalian dan kalian akan makan sepuasnya ya, katanya. Kul hu Allah hu ahaad.

“Grhmm”, kata induk babi seakan mengerti.

“Ngeriiciit”, kata kedua anaknya. Mungkin mereka mengatakan terima kasih pada Badu.

Suatu hari hujan turun dengan lebatnya. Badu tahu babi temannya pasti sudah menunggu ia dipinggir ladang. Dengan menenteng sebungkus ketela Badu menerobos hujan deras itu. Sambil menghapal Kul Hu Allah Hu Ahaad ia berlari ke pinggir ladang. Badannya basah kuyup. Sore itu ia mendapati induk babi dan kedua anaknya kumpul bersama di bawah pohon alaban di pinggir ladang.
Badu melemparkan ketela ke mereka, dan kembali kedua anak babi dan induknya itu berebut ketela itu.
Kul Hu Allah Hu Ahaad, kembali Badu mengucapkan hapalannya.

Tiba-tiba induk babi itu mendekati Badu yang berteduh dibawah rumpun pohon alaban. Ia menekuk kedua kaki depannya. Moncongnya ia garukkan ke tanah di bawah pohon alaban yang lebat itu. Dengan taringnya yang panjang ia menggali tanah dibawah pangkal pohon itu.
Lama kelamaan terbukalah sebuah lubang di balik akar kayu alaban yang bersilangan di tanah yang basah oleh air hujan yang lebat.

Byaaar, plaar, terdengar bunyi patuih atau petir dalam bahasa kampung itu. Di langit kelihatan cahaya terang bercampur cahaya kuning pelangi petang itu.
”Kul Hu Allah Hu Ahaad”. Badu merapal bacaannya, karena ia terperanjat dengan dahsyatnya suara petir.

Dan dari lubang yang digali babi itu muncul cahaya kuning berkilauan disela-sela tanah lumpur bercampur air hujan bekas galian yang dibuat moncong induk babi itu.

“Grhmmmm”, kembali induk babi itu menggeram sambil melihat ke pada Badu. Kaki depannya ia julurkan ke arah lobang di tanah. Ia mengangkat kaki itu kembali, dan sebongkah batu kuning berkilauan bercampur lumpur terpental dan jatuh ke dekat kaki Badu.

“Grhmmmm, sekali lagi induk babi itu, menggeram. Seakan ia mengatakan ambillah batu itu pada Badu.

Kul Hu Allah Hu Ahaad, kembali Badu menghapal. Dan ia lalu mengambil batu itu.
Hujanpun lalu berhenti. Kedua anak babi itu berlari kecil mengikuti induknya masuk kembali ke hutan dipinggir ladang. Badu tersenyum melihat kedua anak babi sahabatnya itu meliuk-liukkan ekornya yang pendek kecil sambil berlari kecil dibelakang induknya.

Badu lalu pulang ke pondoknya. Ia membawa batu yang diberi oleh induk babi itu.

“Yah, aku dapat ini, kata Badu sambil menyerahkan batu itu kepada ayahnya sesampainya di pondok.

“Apa ini, dimana kamu dapat?, tanya ayahnya.

« Tadi di lobang yang di gali oleh induk babi di bawah pohon alaban di sana”, kata Badu.

“Kamu kembali bermain dengan babi-babi itu ya”, kata ayahnya.

Ayah Badu mengamati batu dua kali sebesar ibu jari kaki itu. Batu itu berkilauan dan agak kotor bercampur lumpur. Oleh ayah batu itu dicuci. Kelihatanlah kuningnya dan batu itu makin mengkilat. Batu itu berbentuk kepala kuda.

“Hah, ini kelihatan seperti emas.

“Emas, emas apa yah”, tanya ibu Badu.

“Kul Hu Allah Hu Ahaad”, kembali Badu menghapal kajiannya.

“Ini bu, Badu mendapatkannya di pangkal batang alaban”, kata ayah Badu.

“Bukan dapat yah, tapi diberikan oleh induk babi itu. Kul Hu Allah Hu Ahaad”, Badu menjelaskan.

“Mungkin ini peninggalan kerajaan jaman dulu, yang terkubur di sini”, kata ayah.

“Kenapa babi itu tahu disitu ada emas yah”, tanya Badu.

“Tak tahulah kita nak, mungkin Tuhan yang memberi petunjuk kepada babi itu. Kamu telah memberi anak-anaknya makanan, dan ia membalas budi baikmu itu. Tapi itu semuanya pasti atas ijin Allah”, kata ayah Badu menerangkan.

“Kamu merapal ajain apa tadi?, tanya ayah.

“Kul Hu Allah Hu Ahaad, yah”, kata Badu.

“Hapal terus nak, itu ayat umul Al Qur’an”, kata ayah lagi.

Besoknya ayah dan ibu Badu membawa emas itu ke kota. Di sebuah toko emas batu itu diperlihatkan oleh ayah Badu.

“Bapak mau menjual emas ini”, tanya Pak haji Ahmad pemilik toko emas.
“I..iya pak, kata ayah Badu gagap. Rupanya benar bahwa batu yang didapat Badu dari induk babi itu rupanya memang emas.

“Semuanya, ini berat sekali pak”, jelas pak Ahmad.

“Secukupnya saja’, kata ayah Badu.

“Baik, ini beratnya setengah kilo, wasiat ya pak, tanya Pak Haji Ahmad.

“I..iya pak, kembali ayah Badu gagap.

Ayah Badu mengucapkan syukur dalam hati pada Allah yang telah memberinya rejeki perantaraan babi hutan dan anaknya Badu.

“Baiklah, kalau bapak setuju, saya beli 100 gram saja, dan sisanya simpan saja di sini, kalau bapak masih memerlukan uang nanti emasnya kita timbang lagi dan kita uangkan. Bagaimana bapak setuju.

“Bbbaik, pak”, ayah Badu tetap gagap.

Hari itu ayah Badu belanja banyak sekali. Ia membeli atap seng untuk memperbaiki pondoknya yang selama ini selalu bocor kena hujan. Ia membeli beberapa potong pakaian untuknya, ibu Badu, dan buat Badu. Ibu Badu juga membeli bahan makanan, daging, dan ikan. Mereka sudah setahun tidak memakan daging, karena tidak sanggup membelinya. Sekarang mereka akan menikmatinya.

Masih banyak sisa uangnya. Ayah bermaksud untuk menyisakan untuk memasukkan Badu ke sekolah dan bayar uang ngaji ke tuan guru. Juga disisakan buat bantuan memperbaiki surau tempat ngaji.

Tuan guru akhirnya menerima Badu sebagai murid resmi. Mulailah ia belajar huruf Arab. Ia juga mulai sekolah di SD. Namun, Badu tetap beteman dengan induk babi dan kedua anaknya itu. Anak babi itu mulai besar. Dan mereka tetap berteman dengan Badu. Dan Badu mulai memberikan ketela dan singkong yang banyak ke mereka, karena singkong dan ketela yang ditanamnya sudah menghasilkan umbi yang besar.

Demikianlah cerita kakekku. Kakek menutup ceritanya dengan mengatakan bahwa Allah akan membantu umatnya yang bersyukur dan tahu berterima kasih, serta tetap bersahabat dengan alam. Rejeki itu tidak ada pintunya, kata kakek.

“Mari kita makan”, kata kakek sambil mengansurkan singkong rebus yang dicampur kukuran kelapa yang diberi gula enau.

“Hmm, enak kek, kata ku.

“Ya itulah pemberian Tuhan yang wajib kita syukuri”.

Dan makanan ini halal, dan sehat, moga-moga makanan ini akan mengisi darah dan dagingmu, sehingga kelak kalau sudah besar engkau akan menjadi orang yang berguna. Dan jangan sekali-kali melupakan Tuhan Sang Pemberi Rejeki, kata kakek.

“Alhamdulillah, kata saya dan kakek serempak.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan