Isnin, 25 April 2011

SENJA ITU BELUM REDUP

SENJA ITU BELUM REDUP

Suatu senja.
Kerlipan lampu di tiang listrik sepanjang jalan ini mulai menampakkan terangnya. Anjing-anjing liar masih berlarian dibawahnya. Mereka mengais sampah yang teronggok begitu saja di tiang lampu yang paling dekat kerumahku.
Seekor kucing belang meringkuk dibawah pohon ki hujan yang daunnya tidak lagi begitu lebat. Sesuai namanya phon ini akan berdaun hijua pekat manakala air hujan yang cukup membasahi tanah di urat-uratnya. Namun, karena Jakarta sudah dua bulan dilanda kekeringan, pohon ini turut merasakan, Daunnya mulai kekuningan.
Si kucing amat benci melihat dua ekor anjing yang saling kais di serakan sampah itu. Ia juga pingin dapat bagian, walaupun hanya remah bekas makan para pramuria di bar seberang sana cukuplah untuk pengganjal perut.

Ketika itu mataku menerawang jauh melintasi jendela kayu lapuk pondok kami, beribu kenangan melintas bebas di kepalaku. Kami menyebutnya pondok, karena rumah ini adalah rumah tua milik seorang pak haji orang Betawi yang sudah ditinggalkannya. Dan rumah itu kami bersihkan. Cukup dibersihkan dan tidak usah disewa, kata pak haji waktu itu.

Jendela ini satu-satunya saksi bisu kalau aku mulai melintasi dengan pandanganku yang akhir-akhir ini mulai melayu. Aku hidup sendirian di rumah tua ini.
Sejak setahun yang lalu, aku merasa kesepian karena ditinggal suamiku untuk selamanya. Untuk penyambung hidup aku masih melanjutkan buka warung di seberang jalan disudut sebuah bar.

Jendela yang telah tua dan lapuk. Sama tuanya dengan umurku yang telah mulai menuju senja yang dulu aku takutkan. Ketakutan seorang wanita akan usia senja adalah ketakutan yang wajar. Namun ketakutan itu terasa sangat menyentuh relung hatiku. Apakah aku menjadi penakut dibanding wanita lain seumurku. Rasanya tidak juga.

Menurut teman ibu-ibu sekitar rumah, umurku belumlah tua benar. Sekarang umurku telah tiga puluh tiga tahun.
Setahun yang lalu umurku tiga puluh dua tahun. Pada umur inilah sesuatu yang berharga hilang dari hidupku.
Aku kehilangan sebuah cinta yang diberikan oleh seorang laki-laki yang menjadi suamiku. Cinta itu dibawa mati olehnya.
Empat tahun yang lalu aku juga kehilangan sebuah cinta yang lain. Yaitu cinta kepada anakku satu-satunya yang meninggal karena sebuah kecelakaan disekolah. Tujuh tahun umrunya saat itu. Dan umurku menginjak usia dua puluh delapan tahun ketika itu.
Aku melahirkannya pada saat aku berumur dua puluh satu tahun, tepat setahun setelah perkawinanku.

*
Malam kemaren aku masih ada di tempat yang orang lain boleh mengatakan itu tempat yang memang menakutkan. Tempat para preman mengangkangkan kakinya diantara bangku tempat duduk yang selalu sempit karena banyaknya preman yang ingin santai sambil ngobrol di tempat itu.
Sesekali mata mereka yang nakal melirik paha mulus pramuria bar yang mulai berdatangan. Senja yang temaram karena tadi siang di Jakarta matahari dengan garang memaancarkan panasnya ke seantero kota.
Hari memang panas terik dan menambah sesak napas penduduk kota metropolitan ini. 

Kalau senja ini menjadi temaram adalah senja yang kemaren juga. Senja yang dinantikan para pramuria dengan rok ketat pendek dan baju kaus tanpa lengan yang menampakkan kerampingan tangan wanita putih mulus dan kelihatan bertambah lembut dengan kehijauan cahaya neon di pintu masuk bar Melati yang terletak paling pojok di jalan itu.

Para preman yang tugasnya menjaga keamanan lingkungan hanya bisa berisuitan dengan jakun turun naik melihat pemandangan yang tersuguhkan setiap senja itu.
Hanya sebatas jakun yang didalam kerongkongannya telah kering karena berkali-kali ludahnya ditelan setiap satu pramuria melewati pintu itu setelah turun dari bajay yang datang dari segenap arah dimana para pramuria itu mondok.

Tidak satupun preman itu berani menggoda lebih jauh para wanita pramuria itu. Kalau mereka lakukan sedikit kejahilan misalnya dengan berani meraba atau mencubit misalnya, niscaya tamatlah riwayat keberadaan mereka disitu.
Sedangkan mereka sadar bahwa mereka harus berada disitu. Untuk tetap menjaga perut terisi. Mereka yang dibayar bulanan oleh bos, akan terpental dengan mudah bila bos mendapat laporan dari para boneka kesayangan bahwa mereka diganggu.

Bos yang punya bar dan yang memberi mereka kehidupan sangatlah mereka takuti. Namun bos juga memberi sedikit keleluasaan bila ada para pramuria memberikan tips kepada para preman yang menjaga lingkungan disitu. Sering pramuria memberikan uang tips sekadar lima puluh ribuan buat preman bilamana mendapatkan uang tips yang gede dari tamu yang booking mereka.

Kalau aku pada malam kemaren ada disitu, bukanlah karena aku juga anggota preman. Aku yang wanita biasa diberikan tempat untuk meletakkan sebuah meja tua dibawah pohon mangga yang tumbuh dipinggir kali disamping bar itu.
Di situ aku berjualan rokok dan kacang serta kueh kecil untuk dimakan para preman serta sopir bajay dan tukang ojek yang mangkal.

*
Di suatu malam waktu dulu. Setahun sudah lamanya masa itu.
Malam ini aku tidak berjualan di sudut bar itu.
Aku duduk menemani suamiku yang sudah lama tergolek menikmati sakitnya.
Dia menikmati sakitnya karena ia masih tersenyum dalam kesakitannya.

” Honey, aku sakit ini adalah karena Tuhan masih sayang padaku”, demikian ia selalu berucap sambil menggenggam tanganku.

Ia yang aku cintai. Ia yang amat gagah diwaktu mudanya.
Kami yang datang dari kampung yang sama. Ia yang menikahiku dan menjemput cinta di hatiku. Ia yang tentara dengan baju seragamnya sangatlah mempesona aku kala itu.
Setelah kami kawin aku diajak pindah ke ibukota ini. Ia berdinas di sini.
Perjalanan cinta kami membawa sebuah buah anak lelaki yang juga gagah seperti bapaknya.
Namun, rupanya kami masih di cobai oleh Tuhan. Umur anak kami yang satu-satunya itu tidaklah panjang. Sewaktu ia kelas dua SD ia tertabrak sebua motor yang lagi dikebut oleh anak muda di depan sekolahnya.
Seja saat itu aku sangat terpukul. Ditambah lagi karena perintah suamiku harus bertugas di daerah konflik di Aceh sana.
Sementara aku di Jakarta hidup sendiri. Rumah satu kamar yang disewa terasa sempit. Hatiku yang tadinya berbunga sekarang mulai melayu. Kematian anakku dan kepergian suami jauh meninggalkanku membuatku gamang hidup di ibu kota yang keras ini.

Untunglah suamiku rajin menulis surat buatku, Berita yang mengatakan bahwa ia baik-baik saja cukup menghiburku.
Pada setiap suratnya letnan Ahmad suamiku, ia selalu menyelipkan kata-kata cintanya.

”Ketahuilah honey (ia selalu memanggilku dengan Honey, panggilan kesayangannya), dalam setiap langkahku menyusuri semak dalam pencaharian sarang pemberontak aku menemui bunga hutan yang tersenyum. Pada saat itu muncul wajahmu wahai bidadariku”, demikian puisi cintanya membiusku dalam setiap suratnya.

Di Jakarta sering aku menghadapi godaan laki-laki yang iseng. Mereka tahu aku jauh dari suamiku. Mereka ingin agar aku bisa menemani keisengan mereka.
Beberapa tukang bajay sering ingin memelukku.
Mereka mengatakan wajahku masih cantik. Tak kalah molek dengan para parmuria di bar itu.
Aku tahu itu rayuan gombal.

Untunglah ada preman yang mangkal di situ. Mereka yang memanggil Mba padaku seakan menjadi pelindungku bila mulai menghadapi para lelaki iseng tersebut.
Mereka aku bahwa aku isteri seorang tentara yang lagi bertugas di daerah konflik adalah untuk membela negara.
Mereka juga segan dan takut dengan suamiku.

Dulu sebelum suamiku berangkat tugas, mereka menganggap suamiku abang mereka. Suamiku yang memang selalu menasihati mereka. Malahan kalau hari minggu suamiku tidak ke asrama, mereka diajak shalat maghrib berjamaah di rumah kami. Suamiku mereka panggil abang ustadz.
Memang, suamiku dari muda adalah seorang yang taat beragama. Ia keluaran surau di kampung kami. Setamat SMA ia mendaftar jadi tentara. Kebiasaannya shalat tahajud di tengah malam sering penginspirasi komandannya untuk memperkuat mental pasukan. Komandan merintahkan jangan lupa berdoa’a menurut kepercayaan masing-masing sebelum bertugas. Suamiku yang memimpin do’a bagi yang beragama Islam.

*

Hari ini suamiku tergolek lemah di pembaringan sebuah dipan kayu di kamar sewaan di sudut bar itu.
Setahun yang lalu suamiku yang telah selesai bertugas pulang ke Jakarta.
Ia mendapat sakit sejak ia bertugas di daerah.
Oleh karena itu ia dibebas tugaskan oleh kesatuannya.
Sudah satu tahun ini ia tergolek. Setiap minggu aku menemaninya periksa ke RS Gatot Subroto. Ia di jemput Ambulance karena sudah tidak bisa berjalan. Ia menderita hepatitis yang akut.

Malam ini ia aku bantu berwudhuk untuk shalat isya.

”Honey, temani aku shalat untuk mengucapkan syukur pada Tuhan. Temani aku dengan segenap rasa cintamu”, demikian selalu ia ucapkan.
Air mataku meleleh. Namun ia tersenyum.

Senja malam ini terasa pekat di mataku. Angin sepoi yang membawa bau harum got disamping rumah terasa menyesakkan dadaku.

”Aku minta maaf honey, karena malam ini engkau tidak bisa berjualan”, katanya.

”Bang, aku tidak perlu berjualan malam ini. Aku mau menemani abang saja. Cintaku kembali menelisik relung paling tersembunyi di sudut hatiku. Cinta itu terasa kembali dan muncul seperti dulu pertama kali kami menumpahkannya. ”Abang ingat ketika kita bercumbu di kampung dirumah ayahku setelah menikah”, kataku.

”Yah, kenangan yang tak kan pernah hiang dari dadaku honey”.

”Bang malam ini aku merasakannya kembali”, kataku lirih.

”Mh ya, aku juga. Apa ada uang buat beli beras untukmu besok”, katanya.

”Ada bang, besok kan abang harus periksa lagi ke Gatot”, kataku.

”Rasanya tidak perlu lagi honey”, katanya.

Sir, dadaku terasa di amburi ombak darah yang menghempas memilukan di sudut tempat yang kami berdua telah kunci. Tempat di mana dua cinta telah terpatri. Hatiku mulai tidak enak. Kulihat cahaya mata suamiku mulai meredup. Ya Allah, kembalikanlah cahaya kehidupan di mata suamiku. Jangan ambil ia sekarang. Kalau Engkau bawa dia, sudah pasti aku akan sendirian mengharungi kehidupanku. Aku tidak kuat Ya Allah. Air mataku menetes deras seiring do’aku.
Tangannya semakin erat mengenggam tanganku.

”Rasanya aku tidak memerlukan pengobatan lagi. Serasa tubuhku ringan sekali malam ini. Mual dan sesak napasku rasanya menghilang”, katanya masih tetap tersenyum.

”Tidak bang, dada abang masih kembang kempis. Abang masih sakit. Besok kita harus kembali ke rumah sakit untuk berobat”, kataku.

”Hapus air matamu honey. Aku telah ditunggu oleh para temanku yang dulu gugur mendahuluiku. Mereka telah berbaris disana. Mereka dengan seragam perjuangan kami”.
Anehnya suamiku malahan tersenyum.
Aku pernah diceritakan oleh para ustadz pengajian ibu-ibu asrama, bahwa orang yang matinya tersenyum berarti dia akan dibimbing malaikat ke syurga sana. Mereka yang termasuk pejuang di jalan Allah. Suami yang memelihara isteri dan membelanjainya dengan segenap keringat perjuangannya adalah termasuk mereka yang natinya matinya di redahai Allah dan dibimbing oleh malaikat, demikian kata ustadz.

Apakah suamiku termasuk kedalam golongan itu?
Aku tidak hendak memikirkannya sekarang. Namun aku lihat senyumnya indah sekali. Tangannya tetap menggenggam tanganku.
Air mataku makin mengalir deras. Apakah ini pertanda bahwa suamiku akan segera pergi?

”Ya Allah berilah yang terbaik buat suamiku yang aku cintai ini. Sembuhkan penyakitnya ya Allah. Kalu Engkau menjemput dia, dengan siapa aku harus tinggal di sini. Aku tidak unya siapa-siapa”, mataku kabur salam do’aku.

Tangan suamiku membawa genggamannya kedadanya.

”Honey, aku minta maaf padamu. Aku ternyata tidak diberi kesempatan lama untuk membahagiakan kamu. Juga aku minta maaf karena tidak bisa memelihara anak kita dengan baik”, katanya.

Suaranya melemah.

”Abang, jangan banyak bicara”, kataku sambil mengangsurkan sesendok air ke bibirnya.

”Honey, rasanya waktuku telah sampai. Kamu harus relakan kepergianku. Bila nanti kamu merasa kesepian, aku ijinkan kamu agar mencari pemdamping yang baru. Aku rela. Cuma satu syaratnya akau pinta. Carilah lelaki yang taat shalat. Lelaki yang bertanggung jawab hanya karena Allah”.

”Abang jangan berbicara begitu”, suaraku hilang ditelan tangisku sendiri.

”Hon, lailla ha illallah...”.
Kulihat kepala suamiku tekulai. Namun senyumnya masih membaris di bibirnya. Dalam pandanganku kumisnya yang kukagumi selama ini, merunduk layu dan merapat ke bibirnya.

”Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rojiuun”, aku menggumam disebelah suamiku.

Suamiku telah tiada.
Di kamar rumah sakit gatot Subroto ini ia melepaskan napasnya yang terakhir.

Seorang perawat masuk. Ia mengetahui bahwa suamiku telah tiada. Jasad suamiku ia tutupi dengan kain penutup mayat rumah sakit.
Saat itulah hatiku tergoncang sehebat-hebatnya.
Cintaku telah pupus buat selama-lamanya.
Akan kemana aku menggapai lagi? Wahai suami yang aku cintai. Engkau pergi buat selama-lamanya.
Engkau bawa cintaku dengan kematianmu.
Kenangan akan cinta dan kesenduanku membawa hatiku berdo’a kepada-Nya.

”Ya Tuhan, Engkau menjanjikan dalam Kitab-Mu, bahwa isteri yang shalih itu akan bertemu suaminya yang juga shalih kelak di akhirat, Ya Allah kelak bila aku menyusul suamiku, akau akan menagih janji itu Ya Allah. Berikan kepadaku suamiku dengan kelak kami bertemu ya Allah”, aku berdo’a dalam hatiku.

*

Pintu terkuak.
Serombongan preman masuk. Mereka ada lima orang semuanya.
Aku masih terpaku di depan tubuh suamiku. Tidak tahu apa yang akan aku perbuat.

Satu persatu mereka mencium tanganku. Mereka minta ijin untuk mengurus jenazah suamiku. Aku tahu mereka telah menganggap suamiku abang mereka sendiri. Aku hanya mengangguk. Toh tidak ada siapa-siapa di sini. Merekalah saudara kami. Untung mereka ada.
Wajah suamiku masih terbuka. Badannya ditutupi dengan kain sarung milik suamiku yang sering dipakainya shalat.
Satu persatu preman itu mencium kening jasad suamiku.

”Selamat jalan bang”, kami akan jaga mba yu dengan baik”, Amir sang kepala preman itu mengucapkan janji di hadapan mayat orang yang mereka hormati.
Rupanya mereka barusan saja datang setengah jam sebelum kepergian suamiku.
Aku hanya diam mendengar janji mereka.

Merekalah yang mengurus mayat suamiku untuk dibawa ke rumah.
Mereka jugalah dengan bantuan pak RT yang menyelenggarakan pemakaman jenazah besok harinya di Menteng Pulo.
*

”Mba yu, kok melamun. Minta Gudang Garam satu bungkus dong”, suara Amir mengejutkanku. Lamunanku jadi buyar.

”Eh ya Mir, ambil saja”, kataku.

”Mba yu kok menangis”, tanya Amir. Ia melihat aku menyeka mataku dengan ujung jilbabku.

”Mba yu masih ingat abang lagi ya”, tanya Amir.

”Wajar kan Mir aku mengingat suamiku. Kan tanggal ini genap ia setahun meninggalkanku”, kataku.

”Oh ya, aku juga ingat”, kata Amir.

”Mba yu sudah mengunjungi kuburan abang”, tanya Amir.

”Sudah Mir, tadi siang. Aku juga bawa ustadz sekalian mendo’akan arwah beliau agar dilindungi Allah”, kataku.

”Kenapa mba tidak mengingatkanku. Aku kan mau menziarahi kuburan abang juga”, tanya Amir.

Aku tahu Amir adalah orang yang paling disayangi oleh almarhum suamiku. Ia anak pemberani. Ia adalah anak seorang haji keturunan Betawi. Amir jago silat dari kampung nelayan Muaa Baru.
Dan Amir telah menganggap suamiku sebagai abang kandungnya.
Ia pernah diselamatkan oleh suamiku waktu berkelahi di Jembatan Gunung Sahari. Kala itu ia dikeroyok orang sepuluh. Suamiku yang menyelamatkannya. Para pengeroyok kabur karena melihat seorang tentara datang. Mereka meninggalkan Amir yang penuh luka-luka. Suamiku membawa Amir ke  rumah sakit.

Dua orang pramuria datang. Mereka turun dari sebuah bajay. Duanya kelihatan berdandan menor sekali. Dan wajahnya cantik-cantik.

”Mir, kamu belum juga berniat untuk menikah”, aku coba mengalihkan perhatianku. Sekalian mencoba menghibur kesedihanku.

”Mba yu, sudah kubilang, aku belum mau. Lagian siapa yang mau denganku. Seorang preman miskin sepertiku tidak akan pernah ada gadis melirik”, kata Amir.

”Mir, kamu kan belum mencoba. Tuh, lihat banyak gadis cantik seperti yang barusan datang”, godaku kepada Amir.

”Pramuria, ha tidak mba yu. Selagi aku masih berpikiran normal aku tidak akan kawin dengan seorang pramuria mba yu”, kata Amir.

”Trus sampai kapan kamu akan begini Mir”, tanyaku.
”Tak tahulah aku mba, sampai suatu saat Tuhan akan memberi aku jodoh, barulah aku mengakhiri masa lajangku”, kata Amir sedikit berpilosofis.

Tiba-tiba datang tiga orang pramuria.

”Mba, aku mau permen Hexos mba”.

”Mba, GG merah satu bungkus Mba”.

”Mba aku bayar utang yang minggu lalu”, kata Nita yang paling cantik diantara mereka.

Nita adalah seorang mahasiswa yang setahun lagi menyelesaikan kuliahnya di salah satu perguruan tinggi di Jakarta.
Nita orangnya baik. Ia anak Palembang. Nasib yang membawanya menjadi pramuria. Menurut ceritanya ia telah tidak punya uang kiriman dari orang tuanya. Ayahnya mencerikan ibunya dan kawin lagi dengan seorang janda di Palembang.
Jadilah Nita seorang pramuria untuk menyambung hidup dan kehidupannya sebagai seorang mahasiswa di Jakarta.

Nita, menurut temannya yang lain adalah mahasiswa alim. Ia tadinya pakai jilbab. Sayangnya, kekerasan hidup di Jakarta telah membeli jilbab Nita dan menukarnya dengan sebuah kaos ketat hitam yang membalut tubuh atasnya yang seksi. Roknya yang juga bewarna hitam, hanya dipotong tinggi diatas dengkul. Memperlihatkan keindahan bentuk dua pahanya yang mulus.
Kebanyakan perempuan dari Palembang, tubuh Nita putih mulus dan seksi.
Itu cukup modal untuk menjadi seorang pramuria di kota metropolitan ini.

Dulu Nita, sering hanya makan sekali sehari. Itu waktu ia kuliah dengan biaya pas-pasan.
Tapi, sekarang setelah ia menjadi wanita malam, ia mendadak jadi kaya.
Nita sekarang menjadi peliharaan seorang pejabat tinggi sebuah kabupaten di daerah. Sang pejabat setiap bulan datang ke Jakarta, dan pastilah menemui Nita sebagai wanita idamannya.
Hari-hari biasa bila sang pejabat tidak sedang berada di Jakarta, biasanya Nita datang ke bar ini untuk cari hiburan. Namun yang ia dapat adalah dobel. Hiburan dan uang. Ia menjadi primadona di bar ini. Ada empat orang diantara dua puluh wanita penghibur yang menjadi primadona di bar ini. Dan Nitalah yang paling cantik.

Sekarang Nita sudah memiliki sebuah apartment di Kuningan. Dia dibelikan oleh sang pejabat. Nita juga sudah punya sebuah mobil Honda Jazz merah metalik.

Nita menaruh hati pada Amir. Ini lucu. Nita seorang mahasiswa kaya peliharaan seorang penggede malahan menaruh hati pada seorang preman penjaga bar seperti Amir.
Itulah sisi kehidupan manusia. Sisi kehiduoan dua anak manusia yang wanita dan yang laki-laki. Keanehan yang kadang-kadang tidak bisa dinalarkan dengan akal sehat. Memang, naar sehat kadang tercampak dengan gampangnya oleh akal kurang waras. Apalagi yang menimpa kehidupan manusia sekitar bar dan tempat biliyar di Jakarta sini. Sering ketidak warasan mendominan kehidupan gelap diantara remag-remang lampu yang menghias tempat-tempat seperti itu.

Amir memang seorang pemuda ganteng. Tubuh tinggi atletis dengan bewok tidak terlalu lebat menghiasi pipi dan dagunya. Ini membuat tampang Amir di gandrungi oleh para pramuria di situ.
Sayangnya, Amir hanya tamatan SMA.

Ah, persetan kata Nita, yang penting dia ganteng.

Namun, Amir tidak sedikitpun menaruh hati kepada Nita.
Kau bodoh Mir, kata temannya yang empat orang lagi. Wanita yang secantik Nita malah kau acuhin.

”Sayang dia tidak mau denganku”, kata Agus.

”Kenapa denganmu yang pendek Gus, dengan aku dong kata Sibarani yang Batak”.

”Bang Amir, gimana khabar, apa abang sudah makan”, sapa Nita dengan ramah.

”Sudah Nit, saya sudah makan”, kata Amir dengan sopan.

Amir memang seorang preman yang sopan. Preman Ustadz para pramuria menyebutnya.

”Bang kita masuk ya”, kata Nita lagi.

”Baik, hati-hati kalian”, kata Amir.

”Ya bang”, kata mereka serempak.
*
”Assalamualaikum”. Amir telah berdiri di pintu.

”Wa alaikum salam, masuklah”, aku menjawab sambil merapikan jilbabku.

Hari masih jam lima sore. Satu jam lagi akan masuk waktu maghrib.
Jam segini aku biasanya sudah selesai mandi. Mematut diri sebentar di cermin kecil yang kugantung di kamar mandi yang juga kecil. Aku bedakkan tipis sekadar menjaga agar kulit wajahku tidak kusam. Lipstik juga selayang.

Aku patut rupaku. Aku masih cantik. Rambutku pada usia kepala tiga begini masih hitam lebat. Aku urai rambutku yang melewati bahu. Masih seperti perawan saja jatuhan rambutku yang sedikit ikal. Ikal mayang kata orang di kampungku dulu. Aku bahkan tidak kalah juga dengan lima orang primadona bar sebelah. Kalau aku juga seorang pramuria seperti mereka, pastilah aku akan menjadi barisan top primadona.

”Ada apa Mir, kok siang begini sudah muncul di sini”, tanyaku.

”Maaf mba, aku sengaja datang kesini”, kata Amir.
Seekor burung jepit udang yang dipelihara tukang an diseberang jalan berbunyi mencericit. Itu menandakan bahwa burung itu sedang lapar. Kalau di alam bebas ia biasanya langsung menyelam lurus kedalam air mencari udang yang bertengger di batu sungai.
Udang itu menjadi santapannya tiap hari. Udang yang keras cangkangnya namun lembut dan gurih dagingnya adalah ditakdirkan menjadi mangsanya burung capit udang.
Namun, karena ia dalam sangkar, oleh tukang ban hanya diberi ulat dan cacing.
Rupanya burung itu juga menyukainya. Kalau ia sudah makan, maka ia akan bersiul nyaring.
Trilili..trilili..criciit. siulnya. Seing ia mengingatkan orang bahwa waktunya mau menjelang matahari terbenam dengan siulnya yang nyaring itu.

”Ya, ada apa ya Mir”, tanyaku heran.

”Aku mau memberikan sebuah amanat dan catatan abang Ahmad tempo hari satu bulan sebelum ia meninggal. Ia menitipkan kepadaku di rumah sakit waktu kami melihatnya”, demikian Amir menjelaskan kedatangannya. Ia menyebut nama suamiku. Letnan Ahmad, seorang parjurit TNI.

”Amanat apa Mir?, tanyaku lagi.

”Ini mba”, Amir memberikan lipatan kertas bungkus rokok Gudang Garam kepadaku.

Aku membuka lipatan kertas bungkus rokok itu. Aku terpana. Disitu tertulis jelas tulisan tangan suamiku. Ada tanda tangannya dibawahnya. Dan ia tanggali juga.
Tanggal 2 Januari, tahun 2005, Rumah sakit Gatot Subroto Jakarta.
Yang membuat keringat dingin mengalir dikeningku adalah isi tulisan pendek di kertas itu. Isinya tegas dan maksudnya jelas. Tapi melaksanakannya aku sungguh tidak sanggup.
Tertulis begini:
Rumah Sakit Gatot Subroto, tanggal 2 January tahun 2005.
Dik Amir.
Umurku sebentar lagi habis. Aku titip mbamu. Kalau waktunya sampai, dan kau berkenan, nikahilah dia. Walau ia akan menjadi janda dan umurnya lebih tua darimu, ketahuilah ia adalah wanita yang sempurna buat seorang laki-laki. Kau tidak akan menyesal.
Abangmu Ahmad.

Di situ tulisan itu berakhir.
Namun, dihatiku tulisan itu memulai sesuatu. Sesuatu yang baru menghunjam di bekas yang lama. Apakah tikaman baru ini bisa menghapus jejak dan bekas lama?
Aku belum tahu.

Burung murai batu milik tetangga sebelah kembali berbunyi.
Kali ini bunyinya nyaring juga. Seakan mentertawakan aku yang lagi bingung.

Kulihat Amir. Ia tertunduk sambil duduk di bangku reyot di ruang depan rumah kontrakanku.
Aku masuk ke kamar. Tidak mungkin pikirku. Mana mungkin aku akan menikah dengan Amir. Kalau aku lakukan itu berarti aku mengkhianati cintaku pada suamiku. Walaupun secara agama itu boleh aku lakukan. Perempuan Muslim boleh menikah lagi bila telah dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya. Bila idahnya selesai atau kurang lebih tiga bulan, kalau ia tidak hamil, sudah boleh mencari laki-laki lain untuk dinikahi.

Tapi tidak begitu denganku. Aku masih mencintai suamiku. Walau ia telah terbujur di kuburnya sejak tahun lalu. Cinta ini masih ada. Cinta tidak harus untuk memiliki kata pujangga.

Tapi tulisan itu. Itu jelas goresan pena suamiku. Itu berarti anjuran atau perintah? Aku tahu selama ini suamiku tidak pernah memerintah aku. Ia selalu menyerahkan semua atas kebijaksanaanku. Ia hanya mengarahkan. Ia percaya penuh padaku. Termasuk kepercayaannya sewaktu ia bertugas dua tahun di Aceh. Akupun tidak pernah menyia-nyiakan kepercayaannya itu.

Aku memandang keluar jendela.
Air kali yang keruh turut memperkeruh pikiranku.
Aku mau bagaimana? Apakah aku akan menuruti ”wasiat” suamiku? Itu berarti aku harus menikah dengan Amir yang telah kami anggap adik sendiri.

Amir, yang sering juga menganggap kami ini kakaknya.
Ia tidak canggung lagi memasak walau hanya sekadar membuat super mie rebus di dapur. Ia juga sering mengantarkan anak kami ke sekolah. Ia menganggap bahwa Rudy putra kami yang telah tiada adalah keponakannya sendiri.

Memang benar, sebagai wanita kuakui bahwa Amir kelihatannya sering memperhatikanku.
Dulu waktu suamiku bertugas di Aceh. Amir pagi itu telah datang dengan Honda Tigernya untuk menjemput Rudy guna diantar kesekolah.

Ia bergegas kedapur. Ia mau mengambil kain lap kotor, karena motornya ditempeli lumpur kena semport mobil sewaktu melewati kubangan air di Jalan Martadinata Ancol.

Waktu itu aku lagi mencuci piring di dapur.
Pahaku tersingkap. Kemulusan pahaku pasti mengundang selera laki-laki yang melihatnya. Kulitku mulus karena aku rajin minum jamu.
Aku tahu Amir melihat pahaku.
Aku tahu ia berdiri terpaku di depan pintu menuju ruang tengah rumah.

”Mba maaf, aku pinjam lap”, kata Amir terbata waktu itu.

”Eh ya Mir, silahkan”, kataku sambil menutup kemulusan pahaku.

Tapi aku tahu. Pandangan indah sekejap waktu itu cukup membuat Amir gelagapan. Aku merasa bersalah ketika itu.

”Mba, mohon maaf aku jadi mengganggu mba dengan memperlihatkan surat abang”, kudengar suara Amir.

”Kalau mba tidak berkenan tidak apa. Aku memang menyerahkan semuanya bagi mba. Tapi ketahuilah seminggu ini aku gelisah memikirkannya. Tadi malam aku bermimpi ketemu abang. Dia menanyakan tentang surat itu. Apakah aku sudah memberikannya pada mba atau belum. Waktu terbangun subuh tadi aku tidak bisa konsentrasi. Makanya aku putuskan sore ini aku harus memperlihatkan surat itu pada mba. Sekarang terserah pada mba”, Amir makin mempertegas sikapnya.

Suara Amir yang biasanya lembut, namun kali ini seakan suara petir menyambar telingaku dengan keras sore ini.

Di luar keremangan senja Jakarta telah mulai semburat.
Waktu maghrib jam enam petang telah masuk. Sayup-sayup suara azan yang memancar dari Mesjid dua gang seberang jalan telah terdengar.

Aku mendengar suara langkah kaki menuju kamar mandi yang berada diluar disisi dapur. Langkah kaki Amir yang segera mengambil wudhu.
Tidak lama kemudian aku dengar suara motor menderu meninggalkan pekarangan.
Amir pergi ke mesjid menunaikan ibadah shalat maghrib.
Anak ini terkenal kealimannya. Walaupun ia bekerja menjadi penjaga keamanan bar, ia tidak pernah lupa menunaikan tugasnya sebagai hamba Tuhan. Ia selalu shalat tepat waktu.

Air mata masih meleleh di mataku.
Dengan langkah yang serasa melayang aku menuju kamar mandi.
Aku juga mengambil wudhu.
Aku shalat maghrib di kamarku.
Selesai shalat, aku berdoa.
Ya Allah, kenapa aku mengalami hal ini. Aku rela engkau mengambil anak dan suamiku. Aku merelakan cintaku dibawa mereka. Namun, sekarang dengan goresan keikhlasan suamiku untuk melepasku mencari suami lagi sungguh suatu yang amat berat aku laksanakan. Berilah aku pentunjuk ya Allah.

Aku bangkit, aku menunaikan shalat lagi dua rakaat. Aku shalat minta petunjuk kepada Tuhan agar memberiku pilihan yang terbaik.
Bila aku tetap bertahan tidak akan menikah lagi, aku merencanakan pulang ke kampung. Aku akan hidup kembali sebagai wanita kampung yang tinggal di desa.
Tapi, naluri kewanitaanku juga berdetik di hatiku. Apa salahnya kalau aku menikah lagi. Toh, aku butuh pendamping hidup di ibukota yang keras ini.

Tapi kenapa Amir. Dia tidak pantas buatku. Dia lebih muda umurnya.
Amir pantas jadi suami Nita. Mereka sama-sama muda. Aku sudah mulai tua.
Teka-teki kehidupan yang baru muncul ini tidak sanggup aku pecahkan. Kepalaku mendenyut dengan kencang. Biasanya sehabis shalat maghrib aku akan segera makan.
Tapi sekarang nafsu makanku jadi hilang.

Suara deru motor kembali terdengar.
Tapi suara itu tidak membelok ke pekarangan rumahku. Ia berputar arah kekiri. Aku tahu motor itu memasuki halaman bar.
Amir akan kembali ke pos jaganya.

Akankah aku akan berjualan malam ini?
Kenapa ada rasa malu untuk ketemu Amir muncul tiba-tiba di relung hatiku?
Ada apa denganku?

Senja kembali temaram di luar.
Tetapi hari cerah. Matahari masih menyisakan semburat merah di ujung horison pantai Ancol.
Senja kali ini seakan bercahaya lain. Ia lebih cerah dibanding senja-senja kemaren.

*

Malam ini aku berjualan lagi.
Amir tidak datang. Ia mengambil cuti satu minggu kata Sibarani.

Tiba-tiba Nita datang.
”Mba, aku mau melunasi utangku sekarang ya”, katanya.

”Kenapa Nita cepat-cepat. Kan biasanya tanggal dua puluh. Sekarang baru tanggal lima belas”, lagi banyak uang ya”, kataku.

”Tidak mba”, aku hari ini terakhir di sini. Besok aku bukan lagi wanita yang setiap senja turun bajay di seberang. Aku bukan lagi wanita yang selalu ngutang dengan mba. Aku akan ke Palembang satu minggu. Dan seterusnya aku akan menjadi nyonya Nita”, kata Nita sambil tersenyum.

”Ha, selamat ya Nit kalau begitu”, kataku cepat.

”Ya, aku sekalian menikah di Palembang. Calon suamiku adalah saudara dekat juga. Ia yang baru pulang sekolah di Amerika. Dan ia akan bekerja di Jakarta sini. Aku akan mendampinginya”, katanya menjelaskan.

”Bagaimana dengan..”, tanyaku.
Maksudku pejabat yang memelihara Nita selama ini.

”Aku sudah putus hubungan dengannya mba. Bulan lalu ada masalah besar. Ia ketahuan isterinya dan dilaporkan ke propinsi. Ia menjaga jarak. Dan aku bebas sekarang”, kata Rita menyunggingkan senyum kemenangan.
*

Akhirnya, aku menentukan pilihanku.
Tadi malam aku bermimpi ketemu suamiku.
Ia menanyakan akan surat yang ditulisnya untuk Amir.
Ia yang berdiri di depan pintu rumah berkata;

”Hon, menikahlah dengan Amir. Kebahagianmu yang terputus denganku akan dilanjutkan Amir”, kemudian bayangannya semakin redup dan hilang sama sekali.
Aku terbangun sambil menangis.

Aku telah menjadi nyonya Amir sebulan kemudian.
Aku tidak lagi berjualan di bar itu. Dan Amir juga sudah tidak menjadi kepala penjaga malam di bar itu. Kedudukannya digantikan oleh Sibarani.
Amir mengusahakan sebuah warung dan menjadi pengepul ikan di Muara Baru.

Suatu senja dirumah kami di Muara Baru dipinggir teluk Jakarta.
Kami, aku dan suamiku Amir, sedang duduk santai di beranda.
Amir, membelai perutku yang sudah berisi bibitnya dalam rahimku.

”Siti, demikian namaku dipanggil Amir.

”Ya Mir, aku masih memanggil namanya seperti biasa.

”Lihatlah senja ini tidak temaram lagi. Ia bersinar indah. Persis seindah wajahmu isteriku”, kata Amir sambil mencium wajahku.

Aku membalas ciumannya dibibir. Senja makin indah.
Amir membimbing tanganku masuk ke kamar.
Kami menikmati senja yang tidak temaram lagi berduaan.

Sekarang tubuh mulusku sudah menjadi miliknya sepenuhnya. Amir tidak perlu lagi meminggirkan bola matanya untuk sekadar mencuri pandang manakala melihat kemulusanku tersingkap. Semuanya terhidang dengan aroma harum di hadapannya. Ia telah memiliki segalanya kini.

Kami akan menjemput cinta kami dimalam ini. Bagi Amir aku adalah cinta pertamanya katanya.

*
”Mba, eh, Siti, kamu adalah cinta yang pertama bagiku”, katanya sesaat aku menyatakan bersedia manjadi isterinya. Itu aku ucapkan di depan kuburan suamiku di Menteng Pulo.

Hari Minggu jam sembilan itu kami mengunjungi kuburannya.
Kami minta ijin untuk menikah ke jasad almarhum suamiku, letnan TNI Ahmad yang terbaring dibawahnya.

”Mir, bukankah kamu senang dengan Nita”, ajukku ketika itu.

”Mba, bagiku Nita adalah seorang wanita yang baik hati, tapi bukan tempat aku melabuhkan cintaku”, kata Amir.

”Trus sejak kapan kamu merasakan mencintai seorang wanita”, ajukku lagi.

”Sejak aku menerima titipan catatan dari abang Ahmad itulah. Terus terang sejak itu aku memperhatikanmu mba”, kata Amir terus terang.

”Oh ya”. Hanya itu yang bisa aku katakan pada Amir.

Mata kami bertatapan. Dua tubuh kami berdekatan. Dibawah tanah aku tahu jasad suamiku memperhatikan. Akankah dua anak manusia ini, aku dan Amir mulai menorehkan cinta kami?

Angin sepoi pagi itu menggoyangkan phon kamboja yang tumbuh menaungi pusara di Menteng Pulo.
Pohon kamboja yang berbunga putih bersih, dan ada juga yang berbunga merah muda.

Pusara di sini kelihatan asri dan sejuk, Pemeliharaan pusara di Jakarta sudah mulai teratur. Di sini pegawai pembersih pusara mendapat gaji bulanan. Mereka juga dapat uang tips pembersih dan uang do’a dari keluarga si mayit yang terkubur di situ.
Lumayan juga penghasilan mereka. Bahkan ada yang dibayar bulanan untuk memelihara pandam pekuburan sanak keluarga mereka. Ada yang memberi lima ratus ribu satau bulan, dan bahkan ada yang lebih.

”Lagi ziarah bu”, seorang bapak tukang bersih kuburan menyapaku.

”Ya, pak, ini uang bulanan bapak”, aku memberikan lima ratus ribu kepada Mang Ojo tukang bersih.

Aku lihat kuburan suamiku memang bersih. Dan terawat rapi.
Kami duduk berua bersimpuh di depan kuburan suamiku.

”Bang Ahmad, aku hari ini akan memenuhi surat wasiat abang. Aku akan melamar mba Siti menjadi isteriku. Abang do’akan kami dari kuburmu”, Amir berkata lirih sambil merapikan pasir diatas kuburan suamiku.
Aku merasakan perkataan Amir jujur.

Aku berharap jasad suamiku di bawah sana mengijinkan kami untuk menikah. Dan Amir akan menyambung cintanya yang terputus.

Orang mulai ramai di Menteng Pulo.
Mereka masing-masing menuju pandam pekuburan sanak keluarga mereka.
Tukang jual bunga, para ibu-ibu mulai berkeliling menjual bunga yang dibungkus daun pisang kepada pengunjung.

Kami mulai siap untuk beranjak dari kuburan.

”Terima kasih bang Ahmad. Assalamualaikum. Semoga abang tidur nyenyak di bawah sana”.
Amir menggandeng tanganku keluar dari gerbang Menteng Pulo.
Kami lalu menyetop taksi.
Memang, sejak suamiku meninggal, perhatian Amir terhadapku agak ”melebihi” dari biasanya. Ia sering menanyakan, apakah aku punya beras dan sayuran yang cukup di rumah. Alasannya ia akan makan dirumahku.
Padahal aku tahu ia hanya memasak supermie. Dan supermie itu ia juga yang membelinya. Rupanya sejak saat itu Amir mulai menaruh hati padaku.
Namun, aku mulai membuka hati padanya sejak persaksian diatas pusara suamiku ini.

*
Seminggu setelah dari pusara aku dan Amir menikah di Muara Baru di rumah orang tua Amir.
Amir telah memulai cintanya yang pertama denganku. Sedangkan aku memulai sejarah cinta keduaku dengannya. Setelah cinta pertamaku terkubur di Menteng Pulo.

Cinta memang indah adanya. Cinta antara aku dan Amir sudah tergores dengan nyata. Aku tahu aku bukanlah muda lagi. Tapi aku rasakan cinta ini melebih kemudaan itu. Saat ini umurku hanyalah sepotong perjalanan waktu yang tersisa. Perjalanan waktu yang menandai usiaku sudah tiga puluh tiga tahun.
Tapi cintaku seperti cinta orang muda usia. Bergelora dengan indahnya.
Indah dan akan makin indah, dan semua akan kami nikmati sepuasnya.

Kami reguk senja yang belum redup. Sama seperti senja kemaren. Senja yang penuh cinta.
Langit senja di Muara baru rupanya berbeda dengan langit senja di Jakarta. Senja di Muara Baru ternyata lebih indah untuk dipandangi.
Kerlip lamu nelayan yang tengah bergulat untuk menangkap ikan kelihatan seperti kunang-kunang. Kegelapan malam diterangi oleh cahaya kerlap kerlip di kejauhan di tengah laut.
Muara Baru tengah menanti sebuah harapan baru.
*

Sebentar lagi malam akan memagut senja itu.
Burung laut mulai berkejaran di Pantai Muara baru.
Yang jantan mengejar betinanya. Birahinya minta diuaskan.
Mereka hinggap di batu karang yang menonjol di bibir pantai. Yang jantan hinggap di punggung betina. Sambil mematuk kepala betinannya, ekornya bergoyang menjepit ekor pasangannya. Mereka menikmati cintta mereka sambil bersiul menyapa angin senja di Muara baru.

Malam ini cinta kami pasti makin bergelora. Malam-malam yang kami nikmati dengan penuh kemenangan cinta. Namun cinta akan berjalan seperti lingkaran. Ia kadang ke belakang, dan kadang jauh ke depan. Ia ibarat permainan yoyo yang naik turun.

Hanya satu yang kami harapkan. Cintaku dan cinta Amir akan terpatri indah selamanya.
Cinta itu telah mulai berbuah di perutku.
Malam akan segera berganti siang.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan