KISAH PARA PENJAHAT
”Sekarang akan saya ceritakan buat bapak-bapak tentangan kisah lain. Yaitu kisah para penjahat”.
Penjahat adalah memang orang yang jahat. Orang yang jahat adalah orang yang keluar dari norma-norma kerukunan bermasyarakat. Orang jahat seperti para maling, perampok, pembunuh, pemerkosa, para penipu, tukang tilep duit negara atau disebut koruptor, pencopet, dan para pelaku perbuatan buruk dan dosa lainnya. Para penjahat kalau tertangkap akan diadili dan dimasukkan ke penjara.
*
Kisah di sebuah penjara.
Penjara itu penuh dengan lelaki yang berwajah seram. Pakaian mereka seragam. Celana dan baju bewarna khaki. Ada nomor di dada mereka. Itulah nomor urut dalam catatan sipir penjara, menandai tahun masuk dan jenis kesalahan mereka. Bermacam-macam kesalahan mereka. Dalam sel no 1 ini ada sepuluh orang. Mereka menempati lima tempat tidur tingkat, dalam sebuah sel ukuran lima kali lima meter.
Sudah menjadi hukum alam, siapa yang kuat dia yang berkuasa. Begitu juga di penjara ini. Di sel no 1, yang terkenal dengan sebutan sel neraka, ada ketuanya, atau orang di angkat sebagai ketua kelompok. Setiap sel ada ketua kelompoknya. Sebutlah ia saudara A. Namun ada sedikit keanehan. Kalau sel no 2, ketuanya saudara M, ia tampilannya memang seram. M punya brewok dan kumisnya kasar, serta tubuhnya berotot. Namun, saudara A orangnya klimis, tampan dan masih muda. Ia selalu menjaga kebersihan tubuhnya, walaupun kamar mandi mereka pakai bersama, sekalian buat buang hajat di dalam sel itu. Ia selalu menyuruh anak buahnya yang sembilan orang itu untuk tetap menjaga kebersihan kamar mandi mereka, juga tempat tidur, walaupun alas kasur yang tipis diganti hanya sekali sebulan oleh penjara, namun sel nomor 1 kelihatan rapi dan bersih. Malahan sel ini yang ada di blok A yang mempunyai dua puluh lima sel, menjadi sel percontohan di penjara itu.
Penjara itu mempunyai lima blok, yang masing-masing blok terdiri dari dua puluh sampai dua puluh lima sel. Semua penghuninya sekitar 1200 orang. Untuk itu si A juga ditunjuk sebagai Komandan Sel. Lho kok bisa?
Ceritanya begini.
Ia masuk sel tahun lalu, setelah pengadilan memutuskan ia kena sepuluh tahun, karena sebuah kasus pembunuhan.
Suatu hari ia pulang ke kampungnya dari tempat ia kuliah untuk menemui ibunya.
Ayahnya sudah meninggal, sehingga hanya ibunya yang membiayai kuliahnya. Ibunya membuka warung makanan di kampung. Ia pulang bukan karena rindu pada ibunya.
Namun, ia ingin membuktikan, bahwa ada sepucuk surat yang dikirim oleh ustadz tua guru ngajinya di kampung mengenai ibunya, yang menjadi sapi perahan seorang oknum polisi. Dan yang lebih menyakitkan hatinya, sang ustadz memberi tahu bahwa ibunya dipaksa melayani si oknum untuk melampiaskan nafsunya. Ibunya, memang masih cantik walaupun telah berumur. Ia pulang ke kampung untuk membuktikan berita itu.
Kebetulan kereta yang ia tumpangi telat, sehingga ia telah malam sampai di setasiun kampungnya. Hari hujan lebat, dan dari setasiun ia menumpang ojek ke rumah ibunya.
Pintu sudah terkunci rupanya. Namun ia punya kunci dari dapur. Ia masuk dari belakang. Benar saja, ia ngintip dari lubang sela pintu kamar, melihat pemandangan yang menyakitkan hatinya. Ibunya sedang ditindih oleh seorang lelaki.
Darahnya seketika menggelegak. Ia meraih sebuah pisau dapur. Ia melangkah tegar dan mendobrak pintu. Pasangan di dalam kamar itu terkejut. Si lelaki terpana, langsung ia terkam, dan ia sarangkan dua tusukan kedada dan ke perutnya. Si lelaki tersungkur kelantai. Ibunya menjerit.
Ia melangkah keluar menembus lebatnya hujan. Ia mengetuk pintu ketua RT. Ia minta ditemani kekantor polisi.
Dengan membonceng motor pak RT, mereka menuju pos polisi yang berjarak lima kilometer dari rumahnya. Ia menyerahkan diri bersama pisau yang digunakannya untuk menusuk orang. Ia diamankan saat itu juga. Besoknya kampung itu gempar karena ditemukan seorang lelaki yang telah kaku berlumuran darah di rumah ibunya. Ia diadili dan masuk penjara itu.
Pada waktu pertama masuk ia di pelonco oleh sembilan orang yang telah dulu masuk disel no 1 itu. Ia dipukuli. Pada saat tiga pukulan pertama ia terima saja. Bibirnya pecah berlumuran darah. Ia pikir, biarlah sebagai penebus dosa atas kesalahannya membunuh orang. Pukulan yang keempat dari seorang yang badannya besar dan gempal yaitu si brewok sekarang ia coba elakkan. Para tahanan lain tertawa dan bertepuk tangan.
Sel no 9 persis diseberang sel no 1 kesenangan melihat tontonan itu. Sipir waktu itu tidak ada. Mungkin lagi tidur di pos. Atau sedang menikmati sabu-sabu disudut pos intai yang gelap, yang biasa digunakan untuk nyabu di penjara itu. Si gempal brewok makin penasaran. Belum pernah ia dilecehkan oleh para tahanan lain. Memang ia ditakuti di sel no 1 itu. Ia juga bekas pembunuh dan perampas kendaraan.
Kembali ia menyeruduk dan bermaksud menangkap saudara A. Kembali si A mengelak dan ia mengirim jotosan ringan kearah sudut mata si gempal. Kena, mata itu biru.
Sekarang ia dikeroyok tiga orang oleh kawannya si gempal. Terpaksalah ia mengeluarkan simpanannya. Tidak ada yang tahu, bahwa ia adalah pemegang sabuk hitam karate. Dan ia juga relajar silat dengan ustadz di kampung sebelum ia sekolah kekota. Ketiganya ia buat tersungkur dengan tendangan dan jotosan maut.
Barulah sipir muncul, dan mengamankan ia diruang isolasi. Besoknya ia diberi hukuman tambahan membersihkan sepuluh wc yang baunya aduhai di blok A itu.
Ia jalani dengan tabah sambil istigfar pada Tuhan, dengan harapan dosanya diampuni.
Pada saat habis tengah hari, ia mohon pada kepala sipir untuk dipijami sarung untuk salat. Sipir terheran, dan meminjamkannya sarung. Dengan dikawal oleh dua orang sipir ia diperkenankan salat di mushala disudut blok. Ia salat khusuk sekali. Setelah selesai ia kembali melanjutkan kerja paksa, kali ini mencabuti rumput dipinggir blok yang mulai panjang. Ia jalani dengan tenang.
Malamnya ia dipanggil oleh bapak kepala sipir kekantornya.
Ia disuruh menceritakan latar belakang ia menjadi tahanan.
Berceritalah ia, bahwa ia adalah seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi ternama di kota. Ia masuk penjara karena membunuh seorang yang menistakan hidup ibunya yang seorang janda.
Sipir jadi terharu mendengar ceritanya. Keesokan paginya setelah apel pagi penjara, bapak kepala sipir memperkenalkan ia sebagai tahanan baru, dan diangkat sebagai wakil komandan sel.
Komandannya adalah saudara T yang bekas tentara yang membunuh karena sebuah peristiwa perampokan. Semua tahanan yang seribuan lebih tidak ada yang protes karena melihat bagaimana ia melumpuhkan si gempal dan dua temannya di dalam sel kemaren malam.
Dan ia di angkat menjadi pelatih senam pagi.
Yang mengejutkan ia membaca Al Qur’an dengan fasih dan merdu sehabis shalat maghrib. Ia juga memberikan kutbah Jum’at di penjara, jauh lebih bagus dari khatib yang telah jadi langganan penjara yang datang setiap Jum’at ke penjara itu.
Akhirnya ia diangkat menjadi ustadz di penjara itu. Ia mengajarkan bagaimana memahami Al Qur’an dengan membaca tafsirnya. Ia juga dihormati oleh para tahanan yang beragama lain, karena ia juga menghormati mereka.
Bahkan para sipir ikut belajar ngaji dengannya. Pada tujuh belas Agustus kemaren ia mendapat remisi dua puluh hari karena keteladanannya itu.
Di penjara ia punya seorang kawan asuh yang ia anggap sebagai wakilnya. Namanya saudara J. Kisahnya mirip dengan ia. J juga seorang pembunuh. Ia membunuh seorang pengedar narkoba. Ketika J sudah sadar dan mulai sembuh, ia tetap dirongrong oleh sang bandar untuk jadi pengedar. Kalau tidak ia akan di bunuh. Sampai pada suatu hari ia sudah sangat terdesak, akhirnya ia menusuk sang bandar dengan pisau saku sampai tewas.
Jadilah ia masuk ke blok A sel no. 1. J juga seorang mahasiswa. Secara kebetulan J juga seorang pemberani.
Dengan kehadiran dua narapidana di penjara itu, lambat laun penampilan dan kelakuan para tahanan menjadi lain, dan mereka cenderung bisa disadarkan oleh keduanya secara pelan-pelan.
Namun, muncul masalah lain. Di penjara itu ada tiga orang sipir yang berkelakuan buruk. Mereka adalah pemasok narkoba dan suka memeras pengunjung penjara. Oleh A dan J mereka coba dinasihati, tapi malahan mereka keduanya dipukuli. Akhirnya ketiga sipir itu mereka jebak, dan disiasati supaya tertangkap basah oleh bapak kepala penjara. Tertangkaplah mereka, dan akhirnya ketiganya dipindahkan bertugas kepenjara lain.
Itulah nilai sebuah mutiara yang muncul ditengah gelap dan pengapnya penjara itu. Ia muncul bagaikan cahaya menyelamatkan para tahanan yang telah terlanjur berbuat buruk dan melanggar hukum. Mereka disadarkan oleh dua orang tahanan sudara A dan saudara J, dan akhirnya penjara itu menjadi sebuah “pendidikan dan mesjid” untuk bertaubat dari sebuah kesalahan yang telah terlanjur terperbuat.
Apakah Tuhan akan mengampuni mereka? Apakah Kebesaran Tuhan Yang Maha Pemaaf sampai ke penjara itu melalui kedua “umat-Nya” yang Ia kirim kepenjara itu? Kembali hanya Tuhan sendiri yang tahu. Yang jelas mereka telah berusaha untuk tobat dan sadar dari sebuah kesalahan. Itulah nilai yang sedang mereka perjuangkan. Sebuah nilai yang hanya Tuhan yang akan mengadili dan menilai dengan sebenarnya seberapa tinggi nilai yang disebut “muflihuun” dalam surat Al Baqaraah.
*
Kisah orang rantai
Orang rantai, adalah sebuah istilah yang hanya dikenal di sebuah daerah di Indonesia. Yakni di Sumatera Barat. Jaman dulu tepatnya jaman kolonial Belanda atau disebut Ulando istilah orang rantai ini adalah sebuatn bagi seorang tahanan pemerintah Belanda. Mereka setelah jatuh fonis Hakim di pengadilan, akan di masukkan ke rumah tahanan atau penjara.
Kenapa disebut orang rantai, karena para tahananan ini kakinya di rantai supaya ia sewaktu dibawa ke Rumah Tahanan di Padang atau dikenal dengan Pinjaro Muaro, kakinya di rantai sewaktu diangkut dengan kereta api. Gerbong khusus tahanan disiapkan pemerintah kolonial. Gerbong ini diberi jeruji besi dan pintunya digembok tiga buah. Kereta dikawal oleh opas penjara yang bersenjatakan bedil dan kelewang. Bila mengangkut tahanan kereta api akan dipimpin seorang letnan yang berkebangsaan Belanda. Mereka masih muda namun terkenal kejam. Kalau ada yang masih berani melarikan diri walaupun sedang dirantai, tidak ampun akan ditembaknya dengan pestolnya yang beruuran besar. Biasanya mereka akan tewas seketika. Tidak ada tahanan yang berani melarikan diri dari pengawasan letnan ini.
Tahanan yang dirantai biasanya adalah kelas kakap seperti pemberontak, pembunuh, pemerkosa, dan perampok.
Kalau tahanan maling ayam, perkelahian, pencopet, akan ditahan di daerah masing-masing. Tahanan kelas kakap inilah yang harus diangkut ke Muaro Padang.
Mereka berasal dari beberapa daerah seperti dari Payakumbuh, Sawahlunto, Solok, Bukittinggi, Padangpanjang, mereka yang dikategorikan penjahat kelas kakap akan dibawa dan ditahan di Muaro.
Jaman itu terkenal seorang tahanan kelas kakap yang aslinya adalah seorang pemuda kampung baik-baik dari sebuah desa di daerah Tanah Datar Padangpanjang.
Dia adalah anak seorang pegawai kereta api di Padangpanjang.
Namanya Abdul Karim. Ia pemuda yang berpendidikan. Oleh ayahnya ia disekolahkan sampai HBS di Betawi.
Pada saat ia telah lulus HBS, dan akan bekerja di Kantor Pemerintahan, terjadilah perlawanan terhadap Belanda pada saat akan diproklamirkan kemerdekaan. Saat itu sering terjadi pertempuran di sekitar Karawang Jawa Barat dan sampai ke Bekasi.
Abdul Karim yang teman sekolahnya Sadikin seorang pemuda kelahiran kampung Babelan mengajaknya bergabung dengan front pemuda Bekasi untuk ikut berjuang membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah Jepang.
Namun, karena dia banyak berkumpul dengan pemuda pelajar pejuang di Betawi, ia akhirnya menjadi pemuda pergerakan. Ia terlibat dengan perjuangan pemuda Bekasi yang terkenal itu. Ia bermarkas di sebuah kampung nelayan di Tanjung Priok. Setelah membunuh beberapa serdadu Nipon yang banyak bermarkas di Babelan Bekasi. Akhirnya ia jadi orang buruan Jepang, dan ia melarikan diri ke Lampung. Dari Lampung ia terus ke Padang melalui Muko-Muko dan Painan. Namun, malang ia diikuti oleh mata-mata Jepang. Di Painan Karim tertangkap. Dan tanpa pengadilan ia dimasukkan ke dalam tahanan militer di Painan. Kakinya dirantai. Akhirnya ia dipindahkan ke Muaro.
Jadilah Karim menjadi orang rantai.
Badannya dikurung di penjara itu.
Setiap hari mereka dikeluarkan dari sel penjara. Mereka di bawa ke Ulak Karang untuk mengerjakan pengaspalan jalan. Jepang kembali memperbaiki jalan yang bolong-bolong kena bom sewaktu terjadi pertempuran merebut pelabuhan udara Tabing. Sore pulan ke penjara. Badan Karim yang tadinya tegap sekarang mulai di gerogoti perasaian. Makin lama makin kurus. Makan di penjara hanya beras yang telah berulat. Beras bagus yang diambil Jepang dari petani mereka ransum sendiri. Beras yang menumpuk di gudang Belanda di kampung Cina Pondok yang telah dirampas, kembali dipisahkan mana yang masih baik dan yang telah berulat. Yang masih baik untuk makan tentara. Dan yang berulat untuk orang penjara.
Nasi di penjara hanya dicampur bubur tajin yang digarami. Tidak ada lauk sama sekali. Pada hal pelabuhan Muaro setiap pagi nelayan mendaratkan ikan yang ditangkap di laut. Semua ikan harus dikirim ke tangsi Jepang.
Sungguh sengsara menjadi orang rantai. Badan kurus tinggal pembalut tulang.
Akhirnya peperangan yang dicetuskan oleh Jepang itu berakhir juga. Laksamana Yama Moto panglima perang Jepang menanda tangani sertifikat penyerahan kepada Sekutu.
Indonesia akhirnya memproklamairkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus tahun 1945.
Indonesia segera mengadakan pengambilan kekuasaan dari tangan Jepang. Termasuk para tahanan perjuangan dibebaskan. Mereka kembali diberi baju seragam dan pangkat dan bergabung dengan Tentara Republik Indonesia.
Karim melapor di Padang. Dan ia kembali bergabung dengan pangkat Letnan. Orang rantai itu kini telah bebas. Dan bahkan ia telah menjadi komandan tentara di Simpang Haru.
Ia akan pulang kampung pada kesempatan pertama. Kampungnya di sebuah desa dipinggir danau Singkarak.
*
Setelah selesai proses rehabilitasinya Karim menimati indahnya udara kebebasan.
Ia kembali kekampungnya di pinggir danau SIngkarak.
Pada hari pertama ia kembali ke kampung, ayahnya hampir tidak mengenal dia. Ia pulang hanya memakai pakaian biasa. Pakaian seragam tentaranya sengaja ia tinggalkan di Padang. Ia minta perai satu minggu.
Rambutnya masih panjang dan cambang berewoknya tumbuh di muka dan dagunya. Tampangnya memang seram.
Pagi itu setelah turun di setasiun kereta, ia bergegas berjalan ke kampungnya yang berjarak dua kilometer dari rumah ibunya.
“Assalamualaikum”, Karim mengetuk pintu rumah ibunya.
“Waalaikum salam”, suara seorang gadis membukakan pintu.
“Siapa ya?, tanya sang gadis setelah melihat seorang pemuda kurus dengan bewok dan cambang lebat berdiri kokoh di depan pintu.
“Saya udamu Abdul Karim”.
Aida menghambur memeluk kakak yang dicintainya.
“Mak, uda pulang”, teriak Aida parau.
Ibunya mengambur kedepan memeluk anaknya yang dulunya diberutakan telah tewas di pertempuran Bekasi. Ibunya yang telah kurus kering badannya karena mendengar khabar bahwa putra kesayangannya tewas.
Aida tidak menyangka bahwa kakaknya yang diberitakan telah tewas rupanya sekarang masih hidup, Dan masih bugar walaupun tubuhnya kurus dibalut tulang.
Aida menjemput ayah mereka di surau.
Pagi itu udara yang sepoi basah karena hujan tadi malam menyiram desa itu seakan menjadi hangat seketika. Anak beranak itu berpelukan pagi itu. Burung murai berkicau indahnya di pucuk pohon talang kuning di belakan rumah.
Burung serindit peliharaan ayah bercericit riang di dalam sangkarnya yang bulat. Sangkarnya digantungkan di dahan pohon jambu air disudut rumah.
Burung balampun bertekukur. Semuanya riang gembira menyambun seorang putra kesayangan mereka pulang kampung.
“Dengan apa uda pulang”, tanya Aida.
“Naik kereta api dari Muaro”, kata Karim.
“Kakak masih jadi urang rantai’, tanya Aida lagi.
“Rim, ibu kurus memikirkanmu, kata orang kamu telah tewas dalam pertempuran dengan Belanda di Bekasi”, tanya ibunya.
“Benar bu, saya hampir mati di Bekasi. Saya dan teman-teman terkepung ketika akan meledakkan jembatan kereta api Rengas Dengklok. Tapi saya bisa lolos dengan menghanyutkan diri di sungai. Mungkin pasukan Jepang menyangka saya telah mati dan membiarkan saya hanyut. Saya akhirnya sampai di Jatinegara, dan kembali bergabung denganpasukan disana.
Namun Jakarta masih belum aman, saya melarikan diri ke Lampung, dan ingin ke Padang. Akhirnya saya tertangkap di Painan. Dan dimasukkan ke penjara Muaro. Tiga hari lalu saya dibebaskan karena telah ada penyerahan dari Jepang ke Sekutu. Dan setelah proklamasi saya di rehabilitasi di Padang. Saya kembali bergabung dengan TNI.
“Syukurlah umurmu masih panjang Rim”, kata ayahnya. Sujud syukurlah kepada Allah yang telah memelihara kamu.
“Ya yah, saya mau shalt shubuh di surau”, sekalian menghirup udara kebebasan di kampung”, kata Karim.
“Mana pakaian seragammu“, tanya ayahnya.
“Saya tinggalkan di Padang. Saya minta cuti satu minggu. Saya belum dapat restu dari ayah dan ibu. Makanay saya hanya pulang dengan pakaian preman ini..
“Uda masih jadi tentara. Apa rencana uda selanjutnya”, tanya Aida.
“Belum tahu Da, mungkin biarlah sementara uda dinas dulu di Padang. Bila ternyata tidak enak menjadi tentara setelah merdeka ini, bisa saja uda minta berenti. Dan akan menjadi petani di kampung kita ini.
“Baiklah, nanti kita diskusikan lagi. Sekarang mandilah uda dan pergilah ke suarau, dan mintalah Mak Labai untuk berdo’a syukur. Biar Aida akan menanak nasi dulu. Aida gorengkan ikan bilis kering kesayangan uda”, kata Aida menitikkan air mata gembira karena kakak yang disayanginya ternyata masih hidup.
Aida tahu bahwa kakaknya dulu adalah pemuda idaman kampung. Orangnya cerdas dan rendah hati. Wajahnya tampan dan terkenal pemberani karena ia adalah ketua persilatan di surau yang dipimpin Mak Labai.
Banyak teman-teman gadis Aida yang tertarik dengan Karim.
Bahkan sewaktu di asrama Diniyah Putri di Padangpanjang, Karim masih mereka pergunjingkan di waktu makan malam di aula.
Ketika tersiar khabar bahwa Karim tewas di pertempuran di Bekasi, mereka para gadis itu menangis dan mereka shalat ghaib mendo’akan arwah Karim.
Sekarang ternayata Karim masih hidup.
Walaupun ia bekas orang rantai, namun pesona Karim masih kelihatan. Wajah tampannya dibalik cambang yang lebat sungguh mempesona.
Aida ingat, teman akrabnya Hayati, adalah gadis cantik desa itu yang juga menaruh hati pada Karim. Setelah lulus dari Diniyah, Hayati sekarang mengajar di sebuah madrasah di Padangpanjang. Ia masih belum kawin. Aida menasihati Hayati supaya ia menikah. Tidak usyah menunggu Karim lagi, karena Kaim telah tewas.
“Da, hati kecilku mengatakan bahwa uda Karim masih hidup. Biarlah aku menanti dia pulang. Aku takkan kawin sampai ada gerak Allah yang mengatakan bahwa memang uda sudah meninggal. Tadi malam aku bermimpi ketemu dengan uda Karim, dia minta segelas air dari aku karena ia letih berlari. Disitu aku tambah yakin bahwa dia masih hidup. Biarlah cintaku menunggu dia sampai pulang Da”, demikian suatu hari, tepatnya tahun lalu Hayati berkata sambil menangis di sekolahnya di Padangpanjang sewaktu Aida berkunjung.
“Kamu benar Yati, kakakku masih hidup, dan sekarang dia telah pulang. Cintamu kuat dan di tolong Allah mewujudkannya Yati, sahabatku”, gumam Aida sambil menggoreng bilis di dapur.
“Kenapa tersenyum sendiri sayang”, tanya Bu Maryam kepada anaknya yang bungsu ini.
“Saya teringat Hayati, alangkah gembiranya dia mendengar uda sudah pulang”, kata Aida.
“Iya, nanti siang pergilah ke Padangpanjang memberi tahu dia”, kata ibunya. Sekalian tanyakan apakah dia masih bermnat dengan Karim. Biar kita beri tahu udamu.
“Ya mak, nanti siang Aida akan ke Padangpanjang sekalian mampir kerumah teman Aida di SaIlaing Atas”, kata Aida.
Pad saat shalat maghrib senja itu di surau Mak Labai.
“Assalamualaikum”, sesorang mengucapkan salam di depan pintu surau.
“Waalaikum Salam”, mereka menoleh ke pintu.
Samar-samar seorang dengan rambut panjang dan ditutup kopiah lusuh kepalanya
masuk ke mesjid, dan langsung sujud di depan Mak Labai dan mencium tangan orang tua itu.
“Siapa ya ananda”, tanya Mak Labai yang matanya sudah mulai rabun.
“Saya, Karim mak”, kata Karim.
“Waang Karim, Alhamdulillah, Allahuakbar, masih hadup waang”, teriak Mak Labai parau.
“Kariiim”, semua jamaah mengerubungi Kariim.
Malam itu di surau Mak Labai sesudah shalat isya berjamaah ramai bapak-bapak mendengarkan kisah Karim selama di Jawa. Termasuk ayahnya Hayati ada di surau itu. Ibunya juga ada. Ibu Hayati duduk bersama ibunya Aida di belakang.
“Alahamdulillah”, terdengar suara seorang ibu dari sudut. Itulah suara Bu Fatimah ibunya Hayati. Ia tidak mendekat, namun ia langsung sujud syukur.
“Kapan ananda baliak”, tanya pak Abdullah ayahnya Hayati.
“Tadi pagi yah”, kata Karim sambil mencium tangan Haji Ambdullah.
“Mari kita berdoa’ atas keselamatan dan kepulangan Karim”, kata Mak Labai.
Mereka berdoa bersama.
“Mari kita dan bersyukur kepada Allah telah memanjangkan umurnya dan masih bertemu dengan kita”, kata Mak Labai.
Terlebih ayah dan ibunya Hayati. Merka berdoa untuk dapat direstui Karim akan menjadi menantu mereka.
Malamnya dirumah mereka berunding.
“Jemputlah si Hayati besok”, kata ayah Hayati.
“Ia biarlah awak besok ke Padangpanjang”, jawab ibunya.
“Ya mari kita rundingkan lagi urusan tempo hari. Akan saya pulangkan etongan kepada Tuan Khudun mamaknya Hayati besok. Kemaren tuan menanyakan kepada saya tentang kemenakannya Hayati. Ada orang di Padangpanjang datang. Rupanya ini alamatnya. Biarlah kalau lamak rundingan kita, berjodoh juga si Hayati dengan si Karim.
Pagi itu terasa kenikmatan Allah begitu sempurna menaungi kampung kecil dipinggir danau Singkarak ini.
Seorang makhluknya, pemuda kampung yang alim dan cerdas, yang merantau ke Betawi untuk sekolah. Akhirnya karena perjuangan menjadi tentara pelajar dan terlibat beberapa pertempuran dengan Belanda di Jawa Barat.
Ia sempat menjadi orang rantai. Meringkuk selama dua tahun di penjara Muaro Padang. Kampung itu tidak tahu. Kampung hanya dapat verita bahwa karim telah tewas.
Pagi itu pemuda idaman kampung itu kembali muncul, Ia masih hidup. Dan ia kini kembali menjadi makmunnya Mak Labai di suruau kecil di pinggir kampun.
Karim, orang rantai itu telah kembali kekampungnya. Ia siap merajut benang kehidupan baru.
Sepenggalah matahari terbit menerangi Danau Singkarak. Airnya berkilau keemasan dan beriak kecil-kecil karena ditiup sepoinya angin pagi.
Sekawanan ikan bilis berenang kian kemari dengan lincahnya. Sekali-sekali rombongan bilis-bilis ini dilompatai oleh ikan garing yang suka menyambar belalang atau lipas kecil yang tergelincir dari daun aur yang tumbuh lebat di pinggir danau itu.
Seekor murai batu bersiul nyaring menyanyikan lagu asmara dari sebuah tonjolan batu hitam yang telah ditumbuhi lumut dbalik rumpun aur.
Ia bersiul nyaring memanggil betinanya.
Di jalan berkerikil menuju kampung di pinggir danau itu, terdengar detak-detak suara telapak kaki kuda mendekat. Sebuah bendi yang dikusiri mak Midun berhenti di depan rumah bu Maryam.
Seorang anak gadis cantik memakai baju kurung kembang ungu dan berselendang kerudung ungu muda turun dari bendi.
“Assalamualaikum”, terdengar suara lebut memecah kesunyian pagi itu.
“Wa alaikum salam”, siapa yang datang pagi begini?
“Saya, Yati”, terdengar lembut merdu suara gadis itu.
“Hai, Yati, pucuk dicinta ulam tiba”, teriak Aida di tangga.
“Masuklah”, mari ke dalam.
“Mak, lihat siapa yang datang”, teriak Aida ke ibunya Maryam yang lagi menggoreng pisang di dapur.
“Assalamualaikum bunda”, sapa Hayati ke bu Maryam.
“Wa alaikum salam ananda Yati”, sapa bu Maryam. Dari mana ananda kok turun dari bendi.
“Dari Padangpanjang bunda, Yati naik kereta pagi. Dari stasiun naik bendi Mak Kudun ke sini”, kata Hayati.
“Belum ke rumah Yati”, tanya Aida.
“Belum Da, aku kesini dulu. Ini aku bawakan bika si Mariana buat bunda dan ayah”, kata Hayati. Oh ya mana ayah, kok sepi”.
“Dia masih di surau dengan Mak Labai. Maklumlah orang tua kan ada saja yang diperbincangkan dengan ustadz Labai. Paling juga cerita dan hikayat nabi-nabi”.
“Oh ya, duduklah Yati”, kata Aida yang menggelar lapik pandan putih diruang tengah.
“Lagi sedang anak-anak apa anak-anak madrasah sekarang Yati”, tanya Aida.
“Sedang siap-siap ulangan naik kelas”.
“Oh ya, nak Yati sudah dengar berita tentang Karim”, tanya bu Maryam.
“Itulah bu, kemaren saya ketemu Faisal yang sekolah SMA di Padangpanjang. Dia mengatakan uda Karim sudah pulang. Darah saya sudah tidak senang. Serasa terbalik bumi Allah bunda. Uda yang kita sangka telah mendahului kita, ternyata masih hidup. Saya tidak percaya dengan cerita Faisal. Makanya saya langsung kemari”, kata Yati mencerocos karena dia sudah tidak sabar mau ketemu Karim
“Da, panggilah kakakmu ke surau. Bilang Hayati kerumah”, kata bu Maryam.
“Da, saya ikut ke surau”, kata Hayati.
“Sudah kangen nih ye”, goda Aida.
“Bukan kangen lagi Da, serasa gila saya mendengar cerita dari Faisal kemaren.
Di depan pintu surau berdiri tegak seorang pemuda. Badannya kurus namun kokoh. Rambutnya yang panjang disongkok kopiah lusuh. Sarungnya masih baru. Baju koko putih tenunan Pandai Sikat yang di bordir tangan kelihatan longar mambalut tubuhnya yang kurus itu.
Mata Karim lurus menatap ke depan. Di halaman surau berdiri dua gadis cantik yang sangat dikenalnya. Yang satu adik kesayangannya. Yang satu lagi kekasihnya yang sudah lama sekali ditinggalkannya. Sejak ia merantau setelah lulus sekolah menengah di Padang, sebelum kemerdekaan. Lama sekali rasanya. Sekarang gadis itu telah berdiri di hadapannya.
“Hayati”, sapanya parau.
“Uda”, suara Hayati tersekat di kerongkongannya.
“Uda mari kita kerumah”, sela Aida.
Mereka berjalan beriringan menuju rumah. Maksud kedatangan Hayati sudah jelas. Mereka akan merajut kembali benang cinta yang sempat kusut karena suasana perjuangan.
Orang rantai yang dulunya sempat dikabarkan hilang kini akan kembali merajut cintanya dengan gadis tercantik di desa itu.
Keluarga mereka akan segera menikahkan keduanya. Agar buhul cinta yang telah dikaitkan selama ini tidak akan terlepas lagi.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan