Khamis, 28 April 2011

BURUH CUCI

OLEH: DASRIELNOEHA

Ini kisah terjadi di Jakarta.
Bu Umi sudah tua. Umurnya sekitar lima puluh tahun. Ia tidak punya anak.
Suaminya meninggalkannya karena selesai umurnya di dunia ini.

Suaminya pak Tamrin, adalah buruh bangunan yang bekerja dibagian pengecoran.
Sewaktu pembangunan gedung bertingkat di Kuningan tempat ia bekerja terjadilah malapetaka. Lantai atas yang dicor rupanya kurang kuat ikatan besinya. Dan kebetulan lantai itu masih basah, dan oleh beberapa tukang yang kurang mengerti keselamatan kerja ditarok sebuah mesin molen diatas lantai itu.
Lantai itu roboh dan menimpa pekerja dibawahnya.
Beberapa luka dan dilarikan kerumah sakit. Termasuk pak Tamrin. Nasibnya malang ia meninggal karena luka berat dikepalanya.

Sejak itu tinggallah ibu Umi hidup sendiri.
Untuk menyambung hidupnya ia menjadi buruh cuci jam-jaman di rumah orang kaya tetangganya.
Banyak tetangganya yang kasihan padanya.
Mereka memberi pekerjaan pada Ibu Umi dengan menjadi buruh cucian.
Ibu Umi diberi gaji bulanan pada tiga buah rumah.
Tapi tidak jarang ia juga dapat tips atau persenan dari si tuan yang tahu nasib ibu Umi.

Terus kelihatannya ibu Umi hidup tidaklah susah. Ia menerima gaji dari pekerjaannya.
Uangnya ia gunakan untuk membeli pakainan apa adanya. Untunglah ia punya rumah sendiri walaupun sederhana.
Rumah tua sekali yang dulu dibeli pak Tamrin.
Karena pak Tamrin seorang tukang ia perbaiki rumah itu sampai layak huni.

Kemana ibu Umi menggunakan uangnya dan untuk apa?
Inilah yang diluar dugaan orang.
Setiap ibu Umi mendapat uang, apa itu dari gaji atau persenan ia selalu menabung.
Anehnya, ibu Umi tidak menabung di bank layaknya orang kaya.
Ia menabung di sebuah musola disudut kantor RT. Lho kok bisa begitu?

Ibu Umi adalah seorang muslimah yang baik.
Ia rajin mengikuti pengajian di musola itu.
Ia tahu musola itu masih belum bagus. Panitia masih membutuhkan dana untuk memperbaikinya.

Setiap ibu Umi mendapat uang, separoh dari uang itu atau sejumlah lima puluh persennya ia berikan ke panitia musola.
Berarti ibu Umi hanya menggunakan separoh dari pendapatannya untuk kehidupannya sehari-hari.

Cukupkah? Kalau diukur dengan ukuran kebutuhan orang kaya memang tidak cukup.
Pendapatannya dari tiga rumah ia mencuci hanya satu setengah juta rupiah saja.
Ia berikan separohnya untuk musola, berarti ibu Umi hanya membawa pulang tujuh ratus lima puluh ribu rupiah saja.

Ternyata ibu Umi sehat badannya. Wajahnya sumringah. Shalat dan pengajian tidak pernah lupa ke musola. Kadang ia membawa kue-kue untuk penganan pengajian.

Rupanya ada rejeki lain dari Allah.
Ibu Umi juga dibekali degan kepandaian memasak yang ia pusakai turun temurun dari ibu dan neneknya. Maklumlah ibu Umi berasal dari daerah Sumatera Barat yang terkenal dengan keahlian memasak bagi kaum ibu.

Tidak jarang beberapa ibu yang sibuk di RT itu minta tolong ibu Umi untuk memasak.
Ibu Umi lakukan tanpa meminta bayaran.
Baginya gajinya cukup dari menjadi buruh cuci saja.
Tapi, ibu-ibu itu selalu berbaik hati membelikan ibu Umi kebutuhannya, seperti baju, sandal, dan setiap pulang ke rumah harus membawa hasil masakannya buat di makan.

Itupun dibagi ibu Umi dengan marbot musola, seorang pemuda miskin yang tinggal di musola. Pemuda itu penjadi pembersih musola yang digaji oleh Pak RT.

Selain itu ibu Umi juga sering dimintai tolong mengajarkan para anak gadis remaja di RT itu membaca Al Qur’an. Bacaan Al Qur’an ibu Umi sangat bagus. Waktu muda ia seorang qoriah di kampungnya.

Selain itu, kalau hari Minggu ibu Umi tidak bekerja mencuci. Hari itu ia pakai untuk istirahat.
Anehnya, ia tidak istirahat dengan tiduran di rumah.
Tapi ia bekerja membersihkan musola. Ia menyapu, dan bersama si marbot mereka membesihkan WC musola.
Sehabis shalat zhuhur, barulah ibu Umi tidur barang dua jam. Tepat setengah jam mau shalat Ashar, ia telah di musola lagi. Memang musola dekat dengan rumahnya.
Ia di musola sampai selesai shalat Isya.
Itulah kegiatan rutin ibu Umi kalau hari Minggu.

Pernah ditanyakan oleh seorang ibu, apa ibu Umi tidak capek. Kenapa hari Minggu tidak istirahat total di rumah.
Apa jawab ibu Umi?
“Kalau hari Minggu umat Kristiani rajin ke gereja, saya tidak akan mau kalah dengan mereka. Saya harus ke musola”, itu jawabya enteng.

Biasanya ibu-ibu akan diam. Mereka kagum. Dan mereka hanya geleng-geleng kepala.

Setiap bulan puasa kesibukan ibu Umi bertambah.
Ia sering dimintakan membuat kolak pisang oleh ibu-ibu.
Kolak pisang buatan ibu Umi selalu enak.
Ia selalu menyisihkan satu piring buat marbot musola.
Juga masakan. Ibu Umi memasak nasi selalu meebihkan satu piring untuk sang marbot.

“Nak marbot, selama bulan puasa, biar ibu yang mengantarkan makanan buat nak marbot ya”, demikian katanya.

“Terima kasih bu, memang ibu Umi adalah ibu teladan di RT sini”, kata marbot.

“Bukan begitu nak, kita harus saling tolong menolong. Anak hidup sendiri, sedangkan ibu juga sudah sendiri. Tidak punya siapa-siapa lagi”, demikian ibu Umi.

Pada hari Lebaran, rumah ibu Umi dipenuhi oleh hadiah lebaran dari para ibu-ibu dan bapak-bapak.
Banyak parsel lebaran ia terima. Juga uang dan baju baru.
Semua bukan dinikmatinya sendiri. Parsel itu hanya satu yang ia gunakan. Selebihnya ia kirim ke panti asuhan yang ada di RT sebelah.

Itulah ibu Umi.
Si wanita muslimah yang telah hidup sendiri.
Ia yang ditinggal mati oleh suaminya.
Namun, hidupnya yang miskin masih ia gunakan untuk menolong yang lainnya.

Ibu Umi mengerti sebuah ajaran dalam Al Qur’an.
Ia yang hidup bersahaja di dunia, namun ia ikhlas. Dan Allah menjanjikan syurga buatnya di akhirat kelak.
Itulah yang ia cari.
Setiap habis shalat ia berdoa” Ya Allah ijinkan hamba menghadap-Mu dan meminta padamu, untuk dipertemukan kembali dengan suami yang telah mendahului hamba”.

Itulah doa ibu Umi.
Ibu Umi si tukang cuci.
Hidupnya miskin, namun hatinya kaya.
Ia yang oleh orang dianggap kurang beruntung di dunia. Namun Umi tahu, ia sedang dicoba oleh Allah atau sedang di uji, untuk mendapatkan ganjaran yang lebih besar di akhirat kelak.

Umi yang sedang menempuh ujian.
Bila ia lulus, ia akan dapat menemui Tuhannya. Dan ia dijanjikan akan bertemu pak Tamrin suaminya.

Ibu Umi. Kami memang harus belajar banyak dari ibu.
Ibu adalah buku yang hidup ditengah RT kami.
Bisakah kami membaca lembar demi lebar buku kehidupan ibu?
Untuk kami petik pelajaran di dalamnya?

Tiada ulasan:

Catat Ulasan