Isnin, 25 April 2011

Nama Saya "RIKO"


DI BAWAH POHON DI DEPAN KAMPUS
Kampus ITB di depan aula Timur.
Hari ini aku libur kerja. Aku libur setelah bekerja tiga minggu. Aku sengaja tidak langsung pulang ke kosan di Sekeloa. Setelah shalat zuhur di Mesjid Salman, aku kembali menyeberang jalan dan memasuki halaman kampus di depan, lalu belok kekanan dan mencari tempat duduk di bawah sebuah pohon di depan aula timur. Aku berselonjor dengan mencoba meluruskan kedua kakiku diatas rumput hijau yang disana sini ditebari oleh daun tua yang berguguran dari rantingnya, karena memang umur daun itu hanya sampai disitu. Ia telah digantikan oleh daun baru yang masih hijau karena unsur khlorofil yang memenuhi lembarannya masih segar dan baru saja disuplay oleh ranting itu. Daun muda yang menggantikan daun tua yang telah lapuk dan gugur ke bumi memang kelihatan hijau mengkilat dan melambai ditiup angin sepoi siang itu. Daun tua gugur dan digantikan oleh daun muda adalah pergantian alam yang telah diatur-Nya untuk tetap menjaga kelestarian dan keseimbangan alam seisinya. Peristiwa ganti mengantikan ini antara generasi tua dan generasi muda yang segar, kita kenal dengan gejala alam atau sunatullah. Begitu juga dengan nasib manusia, kadang ia beruntung dan mudah mendapat rejeki, sedangkan orang lain telah bersusah payah hanya mendapatkan sekadar buat makan siang saja. Seperti seorang pemulung yang tiap pagi sehabis shalat shubuh di mesjid Salman, ia mengitari kampus untuk mengumpulkan plastik pekas buat ia jual ke pengepul di jalan Sukarno Hatta. Ia hanya mendapatkan sekitar 20,000 rupiah sehari, cukup hanya buat beli nasi ramas dan nasi goreng buat pengganjal perut malam hari. Namun hidup seperti itu ia jalani dengan tabah. Dan ia berharap suatu saat keadaan akan berubah atau sebuah keajaiban akan berpihak kepadanya, misalnya ia ditawari sebuah pekerjaan tetap, walaupun sebagai penyapu jalanan misalnya. Itulah perputaran nasib manusia. Itulah Operation Management alam dengan inputnya manusia yang berproses dialam dimana ia tinggali.

Tadi pagi aku baru saja mendapat kuliah Operation Management yang aku rasa cukup sulit tentang mengatur (manajemen) proses produksi dan kualitas produk (quality control) dalam sebuah industri. Sebenarnya aku menyukai mata kuliah ini, karena didalamnya ada perhitungan matematika yang agu gemari. Aku bukan sok pintar, tapi memang sejak dari SMA dulu aku telah senang dengan matematika dan fisika. Karena dalam kedua ilmu alajabar itu aku menemui ”sesuatu” yang disebut ”ketentuan alam yang terukur”. Da perhitungan gaya gravitasi, ada pengukuran bayangan lensa dan ada ketentuan perkalian yang secara teori dapat melipat gandakan sebuah bilangan. Namun akan terasa berbeda ”ilmu khayalan” hitungan angka ini dengan kenyataan yang kita hadapi sehari-hari. Hari in sedikitnya aku telah membuktikan hal ini.

Aku yang hari ini hanya mempunyai uang 5000 di kantongku, ingin mempunyai uang dengan berlipat ganda dengan rumus pangkat dua. Tapi itu hanya khayalan di otakku. Sekarang uang itu sudah amblas. Tadi aku belikan sebungkus nasi ramas pada Mang Ujang. Memang nasi bungkus itu masih utuh kini. Ia tergeletak dekat lutut kakiku di atas rumput bawah pohon di depan aula timur kampus ITB.
Kampus ITB adalah sebuah bangunan tua yang dibangun sejak jaman Belanda masih ada di Bandung. Kampus yang terkenal di seluruh Indonesia.

Aku meraih nasi bungkus itu. Aku juag meraih sebuah kantong plastik yang tadi diisi oeh Mang Ujang dengan air teh. Perutku mulai keroncongan. Aku buka bungkusan nasi itu dan aku memulai menyuap sambil membuka text book Operation Management yang aku pinjam dari perpustakaan. Aku ingin sedikit mengerti mata kuliah Operation Management yang barusan di ajarkan.

Sambil membuka buku dan mengunyah nasi ramas, aku memperhatikan para mahasiswa ITB yang lain keluar masuk kampus. Ada yang jalan kaki kekampus masuk dari arah depan RS Boromeus, itu adalah mahasiswa tergolong biasa, sepertiku, yang datang ke kampus naik angkot. Yang biasanya anak daerah yang kos di Bandung. Yang punya uang pas-pasan kiriman orang tua dari kampung.
Yang anak gaul akan datang dengan mobil yang disetir sendiri, langsung masuk kampus dan memarkir mobil mereka. Pakaiannya bagus-bagus dengan gaya anak moderen, cewek-cewek yang menyandang tas model terbaru dan bermerek seperti Elle, CJ, dan merek lainnya. Kalau anak daerah yang kaya juga berpenampilan yang sama. Apalagi kalau anak yang dari Jakarta yang kebetulan anak orang kaya, seakan berlomba dengan assesories mereka.
Tapi tidak semuanya begitu, banyak juga anak orang kaya berpenampilan acuh dengan hanya bercelana jin ketat dan kaos oblong, dengan rambut di biarkan  tergerai bebas, seperti Evie temanku yang anak orang perminyakan. Namun Evie tetap kelihatan kayanya, karena mobilnya adalah Honda Jazz baru hitam mengkilat.
Kalau anak dari daerah yang hidup pas-pasan di Bandung akan ketahuan gayanya. Banyak yang menerima beasiwa dari Persatuan Orang Tua Mahasiswa (POM), karena tergolong mahasiswa miskin. Persis sepertiku. Tapi aku tidak menerima beasiswa. Aku termasuk beruntung, karena telah dapat pekerjaan. Akh, kenapa aku jadi melamun. Buku yang tadinya akan kubaca malahan terjatuh diatas dadaku, karena aku mulai celentang menikmati semilir angin dibawah pohon. Nasi bungkus sudah ludes dan pindah ke perutku. Barusan tetesan terakhir air teh telah mengalir melalui kerongkonganku. Terasa nikmat pemberian Tuhan ini.
Aku biarkan tubuhku tergolek di bawah pohon. Aku mau tidur sejenak. Ah, aku bermimpi disiang bolong. Tentang sekolahku di SMA negeri Padangpanjang di Sumatera Barat sana.

ANAK GAUL ANAK MODEREN
Tiba-tiba aku terbangun. Aku mengucek mataku. Dua mahasiswi lewat di belakangku. Mereka kelihatan cantik-cantik. Harum parfum mereka tercium jelas dihidungku. Mereka kelihatan masih seperti anak ABG.
Kenapa anak-anak ABG sekarang atau anak baru gede atau anak remaja lebih senang disebut dengan anak gaul dari pada anak remaja saja. Aku kembali teringat akan mimpiku tadi.
Apa kelebihan anak gaul dengan anak remaja lain? Pikiran ini dulu sering menggangguku sewaktu masih sekolah di SMA Negeri di Padangpanjang.
Apakah karena dalam pergaulan mereka yang berbeda pada jamannya, dan sekarang mereka yang disebut dengan anak gaul, seperti yang aku pernah baca di beberapa novel, adalah anak-anak yang hidup dan besar serta bergaul sesamanya di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Semarang. Artinya mereka hidup di kota besar. Terus apanya yang berbeda ya? Apakah karena mereka bergaya seperti anak-anak di Amerika sana. Atau karena mereka biasa menggunakan dialek atau jargon seperti anak-anak Jakarta?

Pada hal aku tahu persis bahwa anak remaja jaman dulu atau jaman kakek, anak remaja jaman ayah, dan anak remaja teman sekolahku, ya tetap saja anak remaja. Sepertinya di kota yang lebih kecil seperti Padang, istilah ini tidak begitu populer.
Aku tidak tahu pasti mungkin ada yang memakainya, tapi paling sekitar anak kampus Universitas Andalas, atau anak kampus Universitas Negeri Padang. Kedengarannya seperti istilah yang anak-anak Jakarta sering ucapkan seperti istilah ngeceng, mejeng, bok, sakaw, ngebong, nyokap, bokap, bonyok, jaim, sering juga mereka ucapkan.

Otakku berpikir sepertinya di sekolahku, SMA Negeri 1 di kota hujan Padangpanjang yang terletak di pinggir kota, anak-anaknya sebenarnya juga sudah terpengaruh dengan kehidupan kota, dan istilah anak gaul ini mereka contoh dari sinetron. Kalau istilah anak gaul ini boleh kita samakan dengan anak yang bergaul bebas, tanpa ada aturan yang mengikat, suka berfoya-foya, memakai bahasa istilah yang asalnya dari Jakarta, memang ada juga beberapa teman sekolahku yang bergaul agak kelebihan, maksudku antara cewek dan cowok. Mereka sudah biasa pergi pacaran ke danau Singkarak dan pacaran sampai larut malam berduaan. Aku suka melihat teman-temanku sering bergerombol di pertokoan sambil cekikan dengan bahasa yang orang awam  tidak paham. Terutama diantara anak-anak yang orang tuanya berada atau kelebihan rejeki.

Bagi teman dekatku yang bernama Arman yang orang tuanya salah seorang manejer di perusahaan minyak terkenal Caltex di Duri Riau, ia yang suka ganti pacar pergi dengan seorang cewek yang biasa ia panggil isteri gue dan pulang pagi sudah biasa ia lakukan, apakah Arman bisa aku jadikan contoh anak gaul yang ada di Padangpanjang ini?.
Atau Mira yang ayahnya pengusaha bus antar kota Minang Jaya. Mira yang dandannya menor. Ah si Mira, aku akui dengan jujur, bahwa sebenarnya aku suka Mira, karena ia memang cantik dan yang paling cantik diantara teman perempuan di kelas IPA dan di kelas SOS sekalipun. Mira anak yang dimanja oleh ornag tuanya. Ia selalu dibelikan tas dan sepatu buatan luar negeri. Ia punya tas ada dua, satu tas sekolah yang warnanya menyolok denim dan buatan Cihampelas Bandung, dan satu lagi tas yang mereknya Elle yang kata Mira dibelikan oleh ibunya yang bulan kemaren pulang dari Paris. Dalam tas Ellenya yang bewarna golden itu selalu ada baju ganti yang kalau pulang sekolah jam 1 siang pasti ia ganti dengan seenaknya didalam mobil Honda Accord terbarunya. Blus putih SMA ia copot dan ia ganti dengan blus DKNY warna merah menyala. Ia menyorongkan celana jin ketatnya, dan melorotkan rok abu-abu lalu melemparnya ke jok belakang.
Sekarang penampilan Mira berobah menjadi seorang remaja yang binal dan menantang. Apalagi setelah ia memoleskan lipstick Dior warna merah menyala. Penampilannya tidak kalah dengan anak-anak Jakarta. Sekarang Mira mengarahkan mobilnya ke pasar dan ia sudah pasti akan muter-muter di pertokoan nyari barang baru untuk dibeli.

“Tet..tet, aku hampir diserempet oleh sebuah mobil Honda Accord biru metalik di depan Toko Pakaian Gaya Baru.
“Hei Riko...sealun suara nyaring lembut mengalun dari balik jendela kaca mobil Accord itu yang diturunkan pelan-pelan. Wajah cantik Mira muncul dengan senyumnya yang khas yang dapat meruntuhkan iman laki-laki yang memandangya.
“Hai Mira, aku balas menyapanya.
”Rik, kamu mau kemana, temani aku yuk”.
”Ah aku mau beli buku tulis aja, kebetulan udah habis. OK aku temani tapi gak lama ya, aku kan harus menyelesaikan PR Goniometri.

Apakah remaja seperti Mira, Arman, Susi anak SOS 1, mereka ini adalah yang disebut anak gaul itu?
Pasti mereka kata benakku. Pasti anak orang kaya yang disebut anak gaul itu, aku membatin.
Mereka memang anak orang kaya yang kesekolah naik sepeda motor terbaru. Dan beberapa dibelikan mobil baru oleh bokap mereka. Uang bukan masalah bagi mereka. Mereka kalau malam minggu suka naik mobil dan sepeda motor dengan pacar masing-masing ke Bukittinggi.
Raun-raun atau ngeceng kata mereka. Maklumlah bagi mereka yang kawan-kawanku itu, ya dompetnya selalu berisi. Karena orang tua mereka mampu untuk tetap menjaga anaknya gaul.
Kalau anak dari desa sekitar SMA yang hanya punya uang untuk sekadar beli nasi pecel seharga tigaribu limaratus untuk pengganjal perut yang ngereok habis belajar di kelas, ya ada. Dan biasanya orang tua memberi uang makan ini untuk enam hari sekolah ditambah uang jajan seribu dua ribu menjadi sekitar lima puluh ribu seminggu.
Anak gaul sehari mereka habiskan sedikitnya seratus ribuan, karena paling sedikit mereka di beri uang jajan sekitar satu juta seminggunya oleh orang tua mereka.

Bandingkan dengan anak dari desa yang hanya diberi lima puluh ribu seminggu. Beda ya, antara anak gaul dengan anak kampung. Beda dong. Anak gaul beli baju dibutik terkenal atau di pesan via internet ke Bandung atau Jakarta atau melalui e-salesmen yang menjajakan dagangannya melalui webside atau blog pribadi.
Kalau anak desa membuat bajunya di tukang jahit dan membeli bahan atau dibelikan oleh orang tua pada saat ada bazar atau pasar murah. Sepatu anak dari desa biasanya cukup sepatu ket yang murah harganya sekitar duapuluh lima ribu yang dipakai untuk sekolah sekalian untuk kemana-mana. Kalau tidak perlu sepatu ya pakai sandal jepit. Kalau anak gaul sepatunya pasti beda dong. Sepatu sekolahpun harus merek mahal seperti Nike, Rebok, Adidas, dan sepatu untuk kepesta ulang tahun ya mereknya lain dong seperti Finoti, Bally, atau merek CJ, atau merek terkenal lainnya. Anak gaul pasti lengket tubuhnya dengan parfum dan cologne serta deodorant. Mereka punya anting dan diam-diam juga memakai tatoo.
Anak kampung punya parfum asli made in Tuhan yaitu keringat sendiri. Tapi ini memang menarik. Seperti kata temanku di SMA, si Ambo yang mengatakan ia terangsang membaui ketiak cewek yang tanpa parfum, asli bau perempuan katanya. Itu mungkin karena si Ambo belum pernah mencium ketiak seorang cewek yang telah disiram parfum, kalau pernah pasti ceritanya berbeda dong.

AKU SEORANG ANAK KAMPUNG YANG KAMPUNGAN
Akhirnya aku menemukan definisi anak gaul itu. Aku menyebut mereka anak moderen. Ya itu istilah yang paling tepat buat mereka. Kalau anak gaul atau anak yang bergaul, maka itu istilah yang palin tepat buatku.
Karena aku lebih banyak pergaulan dari mereka. Aku bergaul dengan siapa saja di Padangpanjang. Dengan tentara, dengan sopir bus angkutan kota dan sitokar atau kenek.
Dengan pedagang sayur di pasar. Dengan labai di mesjid At Taqwa. Semuanya aku pergauli dengan baik. Sedangkan kawan-kawanku itu selalu memilih teman. Pasti yang orangnya berada, yang ganteng, yang cantik, suka ke pesta, pakai baju baru, pakai parfum, raun-raun pada akhir pecan dan waktu libur. Makanya mereka aku sebut anak moderen. Lebih pas dan lebih cocok buat mereka. Setidaknya menurut pemikiranku sendiri. Aku temui juga bahwa aku bukanlah termasuk kelompok mereka. Aku masuk kelompok yang mana ya? Ah, kamu kan anak miskin Riko, tidak pantaslah kamu masuk ke jajaran anak gaul itu, batinku mengakui kekuranganku.
Kamu kan asli anak kampung yang sekolah ke kota. Kamu kan mondok di asrama batalion. Kalau anak gaul mondok di kosan mewah yang ada air panasnya. Yang mereka sewa perbulan sekitar 1 juta rupiah termasuk cuci dan makan. Kamu nginap prei di asrama kan Riko, kata hatiku lagi.
Dari asrama batalion tempat aku nginap, ke sekolah yang jaraknya ada sekitar 1 kilometer saya selalu jalan kaki. Banyak juga anak-anak seperti saya, karena mereka berasal dari nagari atau desa sekitar Padangpanjang seperti dari Gunung, dari Jao, Pintu Aie, Silaing, Batipuah, dan lain-lain.

NAMAKU RIKO
Oh ya kita belum berkenalan. Perkenalkan nama saya Riko. Lengkapnya Riko Parmato. Nama saya ini menurut ayah saya ada artinya.  Menurut ayah yang memberikan nama, Riko itu artinya Republik Indonesia Company. Sedangkan Parmato adalah permata. Ayah mau saya jadi anak yang berguna untuk republik ini dan bercahaya bak permata. Ayah mengharapkan saya kalau besar menjadi permata yang akan berkilauan buat keluarga. Riko khusus buat aku, karena menurut ayah ia bercita-cita supaya republik ini dapat dikelola layaknya sebagai sebuah perusahaan. Artinya ada visi, misi, strategi, perencanaan, kontrol, evaluasi, penataan ulang, kesinambungan, dan tanggung jawab yang jelas.

Ayah saya adalah seorang visioner yang terbentuk sejak ia menjadi mahasiswa. Ia adalah seorang aktifis kampus yang sudah ikut organisasi senat mahasiswa sebagai ketua. Ia juga salah satu ketua cabang Himpunan Mahasiswa Islam atau HMI. Di tingkat universitas ayah adalah salah satu ketua Dewan Mahasiswa, semacam BEM pada jaman sekarang. Pengalaman berorganisasi ini membentuk pribadi ayah menjadi orang yang kritis, berpikiran maju, pantang menyerah, dan tidak senang akan suasana yang semrawut. Sewaktu demontrasi mahasiswa ayah sering berbenturan dengan Polisi dan TNI. Sayang ayah drop out. Ia terpaksa keluar karena kakek pensiun dari tentara. Uang habis kata ayah. Ayah mundur teratur dari bangku kuliah di Fakultas Ekonomi pada saat semester tujuh. Sayang sudah hampir tamat. Namun, ayah mengalah, karena masih ada adik-adiknya tiga orang lagi yang sekolah. Ia kembali ke masyarakat menjadi pedagang sayur di Pekanbaru. Namun, setelah ia kembali ke masyarakat, bekas lawan sewaktu demontrasi mahasiswa itu malahan menjadi kawan akrabnya. Sekarang ayah banyak punya teman dari kalangan birokrat dan TNI sesuai pengalamannya yang lalu. Salah seorangnya adalah tentara dari batalion infantri di Padangpanjang.

Oleh karena aku sekolah tidak ditempat ayah dan ibu tinggal, aku dititipkan ayah tinggal di asrama batalion di Padangpanjang ini, karena komandan batalion adalah temannya ayah juga. Itu karena ayah belum sanggup untuk menyekolahkan aku di Pekanbaru tempat ayah mulai berusaha dagang sayur kecil-kecilan di Pasar Pusat. Dan lagi menurut ayah, sekolah SMA di Sumbar jauh lebih bagus karena gurunya banyak yang senior dan umumnya suasana kotanya yang kecil benar-benar kondusif untuk belajar.

Setelah lulus dari SMP di Pekanbaru, aku masuk di SMA Negeri Padangpanjang, kota kecil yang selalu basah disiram hujan dan dinginnya ke tulang. Padangpanjang dekat dengan kampungku di Kandangampek. Hanya berjarak 12 km saja.
Di kampung ini tinggal kakek dan nenekku. Kalau aku pulang Sabtu sore ke rumah nenek aku cukup naik kereta api dari Padangpanjang. Ada beberapa kawan-kawanku dari kampung sebelah seperti dari Kayutanam yang sekolah di Padangpanjang. Kami semuanya naik kereta api. Kereta api ini sebenarnya untuk membawa batubara dari Ombilin dan Sawahlunto ke pabrik semen di Indarung Padang. Tapi rangkaiannya juga diikutkan dua buah gerbong penumpang untuk dipakai para pedagang hasil bumi dari Sicincin dan Kayutanam ke Padangpanjang.
Nah, kami yang pelajar dibebaskan oleh kepala stasiun tidak bayar, kalau gerbongnya tidak penuh. Dan memang biasanya tidak pernah penuh. Kalau penuh biasanya kami naik di bordes gerbong batubara. Asyik juga. Kereta api menuruni pegunungan di Silaing yang sejuk dan penuh hutan asli. Setengah jam sudah sampai di kampung.

Aku juga akan bercerita tentangan kehidupanku sebagai seorang seorang anak kampung yang hidupnya harus bekerja keras. Kalau hari minggu, aku dan beberapa teman sekampung menangkap ikan di Batanganai, sebuah sungai yang mengalir dari Padangpanjang melewati kampungku terus ke muaranya di Padang. Airnya jernih sehingga kalau kita menyelam dengan sebuah kacamata selam atau gogel kita akan dengan mudah melihat ikan berenang dan berlarian kebalik batu.
Di sungai ini kami menangkapi ikan-ikan itu dengan memakai teropong yaitu semacam gogel seperti yang dipakai perenang. Kacamata untuk menangkap ikan ini kami buat sendiri dari bongkol kayu yang diraut dengan pisau dan diberi berlobang. Di depannya dipasang kaca yang dibentuk bulat, lalu diberi lem dengan aspal yang kami congkel di jalan raya depan rumah, untuk menghalangi kemasukkan air.
Jam sembilan kami sudah turun ke sungai. Menyelam di air deras mencari ikan dibalik batu atau di lubuk. Ikan yang sering kami tangkap yaitu ikan Kulari dan ikan Garing, sejenis ikan air tawar yang enak sekali. Ikan ini mirip dengan ikan bandeng yang hidup dimuara sungai dekat laut. Juga ikan Mungkus yang dibawah perutnya ada pusarnya untu bisa menempelkan badannya di batu. Penangkapnya kami buat semacam pestol dengan memakai kawat jari-jari sepeda yang diberi penarik atau pegas dari karet benen atau ban dalam sepeda. Kami sebut senjata ini dengan Panembak. Sebenarnya bisa juga juga digunakan penangkap lainnya yaitu lapun. Lapun bisa kita buat dengan benang seperti orang membuat jaring. Terlebih dulu kita buat sebuah lingkaran kawat dengan diameter sekitar limabelas senti sebagai mulut lapun. Lalu kita jalin dan anyam jaringnya sepanjang tiga puluh senti yang diikatkan di mulut lapun itu. Namun, menangkap ikan dengan lapun amat susah, karena jaringnya akan mengucut bila berada diarus deras. Makanya saya lebih menyenangi memakai panembak saja untuk mencari kulari dan mungkus.
Bila kelihatan ada ikan kulari di balik batu, kami akan menepuk permukaan air supaya kulari diam di batu. Kulari takut dengan bunyi-bunyian duk..duk..duk, karena disangkanya bunyi batu yang hanyut karena ada air deras kalau sungai banjir, sehingga ia akan diam saja supaya jangan kena batu. Kemudian ia akan kami bidik dengan mendekatkan ujung kawat yang telah diruncingkan pelan-pelan ke kepala ikan. Dan pelatuk panembak ditarik. Kawatnya akan meluncur menembus kepala ikan. Ikannya langsung mati dan kami ambil dimasukkan ke keranjang atau rajuik yang juga kami buat sendiri dari benang yang dijalin. Menangkap ikan garing lebih asyik lagi. Ikan garing biasanya ada bergerombol di balik batu-batu besar di lubuk yang airnya agak tenang. Kalau kita ketemu dengan gerombolan ikan garing ini, wah pasti kita panen. Karena satu gerombolan garing bisa puluhan ekor. Kita tinggal memilih yang mana yang akan kita tembak. Biasanya kawatnya akan kita ganti dengan yang agak lebih panjang utuk mencapai tempat persembunyian garing dibalik batu yang agak menjorok. Kalau pesta garing, biasanya kita kumpulkan semuanya, lalu kita bagi rata ikannya, dan kami pasti berlarian gembira ke rumah masing-masing dan biasanya ibu atau nenekku langsung menggorengnya atau membuat gulai ikan.
Amir dan Bachtiar adalah dua orang temanku yang pintar manembak ikan. Aku selalu kalah dibanding mereka. Amir selalu berhasil menemukan sarang gariang. Ia dapat menangkap gariang yang besar-besar. Begitu juga dengan Tiar. Ia tahan menyelam lama di air untuk memburu kulari yang suka bersembunyi di balik batu. Tiar akan menggosok batu itu dengan batu kecil yang merangsang kulari mencogokkan kepalanya. Dan, tes, ujung kawat runcing dari panembak Tiar akan menghunjam tepat dipuncak kepala kulari tersebut. Dan selanjutnya ikan itu pindak ke rajuik, yang diikatkan ke pinggang.

Kalau kebetulan sungai Batanganai habis airnya bah atau besar karena ada hujan lebat di Padangpanjang, airnya akan keruh. Kalau begini kami tidak bisa menangkap ikan dengan turun ke air. Kami akan memancing ikan baung atau sejenis lele putih dengan umpan cacing. Atau kami menangkap ikan panjang atau sejenis lele raksasa dengan umpan jeroan ayam. Ikan panjang ini enak sekali. Di kampung kalau ada orang yang mendapat ikan panjang yang sebesar betis otang dewasa yang panjangnya sampai satu setengah meter, pasti berebut orang membelinya.
Bila telah terasa cukup ikan yang kami tangkap biasanya sekitar dua jam di sungai, kami lalu pulang. Aku terus mampir di ladang kakek untuk membangkit dua rumpun ubi kayu atau singkong. Kemudian ikan dibersihkan dan di goreng dengan singkong yang telah di potong kecil-kecil.

Sorenya dengan kereta api jam lima, aku kembali ke Padangpanjang dengan membawa beras sebanyak lima liter atau kaleng kecil seberat lima kilo dan lauk goreng ikan campur singkong. Cukup untuk satu minggu aku makan di Padangpanjang. Itulah kehidupanku bersekolah di SMA.

Memang aku benar-benar bukan anak gaul. Tapi anak kampung yang miskin. Ayah mengirim biaya bulanan untuk beli beras ke nenek di kampung. Jadi aku hidup dengan nenek dan kakek di kampung.
Kehidupan aktif seperti inilah yang akhirnya membentuk tubuhku menjadi kuat dan sehat. Karena kami di kampung sudah terbiasa dengan hutan dan sungai. Kadang kami tidak turun ke sungai mencari ikan. Tapi kami akan masuk kehutan di pinggir kampung untuk menjerat burung ruak-ruak atau ayam hutan. Kami biasanya menggunakan sungkuik atau sejenis perangkap yang kami buat dari potongan pohon betung atau bambu. Betung ini kami buat seperti tikalak kecil. Lalu dipasang di tempat jalannya ruak-ruak atau ayam hutan. Diberi pisawek atau semacam pengungkit untuk menangkap burungnya. Bila masuk ayam-ayam yang memakan umpan jagung dan ia akan menyenggol pisawek, maka sungkuik akan jatuh dan terperangkaplah ayam-ayam itu. Satu lagi makanan kampung yang sering aku bawa ke Padangpanjang. Yaitu gulai paku atau pakis hutan yang kami petik di pinggir Batanganai. Biasanya sesudah menangkap ikan kami mencari paku. Kadang juga kami ambil bunga kincung, semacam jahe hutan yang besar dan bunganya enak buat di gulai. Paku campur kincung ini bila ditambah dengan kulari lalu dibuat gulai memang sungguh sedap. Yang penting bahan ini tidak kami beli. Tapi disediakan oleh hutan dan sungai buat kami anak-anak kampung. Alam memang ramah bagi orang kampong. Karena mereka tidak mau merusaknya. Kayu tidak boleh ditebangi seenaknya. Di hutan masih banyak kami temui burung-burung liar seperti burung kuau dan ayam hutan. Juga burung enggang atau rangkong. Kalau kita ketemu semak yang ada sarang burung kuau dengan telurnya, tidak boleh di ganggu. Biarkan ia sampai menetas. Anak kuau yang hitam pekat bulunya berlari lincah sekali dan susah untuk ditangkap. Sekarang burung ini sudah jarang ditemui. Mereka menyingkir ke hutan yang lebih lebat.
Oleh nenekku pakis dan kincuang ini dibuat pangek atau gulai yang dikeringkan supaya tahan satu minggu. Kalau seandainya mendekati basi setelah empat hari biasanya pangek ikan ini aku panaskan lagi untuk menghilangkan kebasiannya.
Dan pangek ini bisa lagi dimakan.

Wah, aku bangga juga jadi anak kampung. Karena pengalaman ini tidak akan dirasakan oleh anak kota atau anak gaul. Cuma jelas bahwa anak kampung akan menderita dibanding anak gaul.

Suatu hari ayah pernah bilang, “Riko walaupun hidupmu menderita sekolah di Padangpanjang, percayalah bahwa itu amat baik bagimu. Kamu akan mengerti apa artinya hidup karena kamu merasakan bahwa sesuap nasi yang engkau telan, telah kamu perjuangkan supaya itu untuk menyambung hidupmu. Aku tahu, kawanmu ada yang anak orang kaya. Tapi mereka pasti tidak sekuat engkau menghadapi kehidupan. Itu karena mereka merasa punya dengan gampang, diberikan oleh orang tuanya. Sebenarnya ayah mau seperti itu juga. Tapi kan ayah hanya pedagang kecil di Pekanbaru. Dan ayah berjuang untuk bisa membiayai sekolahmu sampai tamat SMA dan kuliah di Jawa. Engkau harus bisa melanjutkan cita-cita ayah yang terputus. Oleh karena itu ayah harap engkau jangan berpikir untuk hidup mewah seperti kawanmu anak orang berada itu”.

Aku masih ingat betul saat ayah menasehati yaitu sewaktu ia pulang ke kampung dari Pekanbaru. Aku tahu ayah mau supaya aku sukses bersekolah.
“Yah, aku tahu itu. Aku akan ingat nasihat ayah. Aku tidak akan iri dengan melihat kehidupan kawan-kawanku yang mewah dan gaul itu. Aku adalah Riko anakmu yang harus kuat.
Persis kata kakek. Kakek bilang, bahwa kita harus kuat secara pisik. Kakek bercerita, bahwa ia adalah anak dari seorang pejuang Paderi di Bonjol. Jadi kita keturunan pejuang Riko kata kakek. Kita tidak boleh menyerah kepada keadaan. Semangat pantang mundur demi cita-cita luhur harus tetap engkau pelihara kata kakek. Aku masih ingat kata-kata kakek sewaktu ia masih hidup. Ia selalu mengulang memompa semangatku sehabis latihan silat di ladang. Percayalah yah aku akan baik-baik saja”.

Semua orang di kampung tahu bahwa kakekku adalah pesilat tangguh. Ia disegani oleh orang kampung. Walau ia tergolong orang yang tidak berpunya. Ia hanya seorang pensiunan tentara yang pangkatnya tidak tinggi hanya seorang sersan yang telah banyak makan asam garam di medan tempur. Sekarang ia hidup dengan nenek amat bersahaja disebuah rumah tua di pinggir ladang ditepi Batangtarok, sebuah sungai kecil di kampung. Disini jugalah aku tinggal kalau kau pulang kampung setiap minggu dari Padangpanjang. Kakekku meninggal sewaktu aku masih kelas dua SMA. Tinggal nenek seorang.
“Jadi ayah tidak usah kuatir. Aku tidak akan kecil hati dengan kekuranganku yah. Kan ayah tahu aku malahan jadi kebanggaan guruku. Karena aku selalu jadi juara kelas”.
“Ya harus begitu sikapmu. Kakekmu benar. Kita tidak boleh menyerah. Pejuang pantang menyerah. Walau mati sekalipun, kita harus maju. Ingat namamu kan aku beri Riko, yang penuh arti perjuangan”, kata ayah mengebu-gebu.
“Ya yah aku tahu itu”.

Ayah mau aku bisa terus sekolah dan melanjutkan cita-citanya yang terputus. Ayah terputus cita-citanya. Setelah keluar dari perguruan tinggi fakultas ekonomi dimana ia tidak tamat, ayah memutuskan untuk berusaha sendiri dengan membuka toko penjualan sayur-sayuran dan hasil bumi di Pekanbaru.
Cita-cita ayah kandas karena ketiadaan ekonomi kakek, karena sewaktu ayah tingkat 3 Fakultas Ekonomi, kakek pensiun dari dinas ketentaraan, dan uang pensiunnya kecil, dan kakek kembali kekampung hidup sebagai petani. Ayah akhirnya terpaksa berhenti kuliah karena tidak ada biaya. Waktu itu belum ada tawaran beasiswa seperti sekarang kata ayah. Sehingga cita-cita ayah kandas ditengah jalan katanya. Sekarang, ia ingin saya yang melanjutkan cita-citanya. Wow...kata saya saat itu. Ya, itu cita-cita ayah buatmu, katanya. Sampai kakek pensiun dari tentara ia hidup bertani di kampung bersama nenek. Pada saat ayah masih di Pekanbaru, aku bersama ayah sampai SMP, namun SMA aku dikirim ke Padangpanjang Sumatera Barat, dan aku tinggal di asrama tentara. Kalau akhir pekan aku ke kampung kerumah nenek.

Kembali tentang aku yang anak kampung, kata temanku di SMA.
Si Riko kasihan deh, kata Mira. Ia benar-benar kampungan. Itu ia ungkapan ketika aku tidak mau datang pada acara ulang tahunnya yang dirayakan besar-besaran di gedung pemuda dengan mengundang band terkenal dari Padang. Sebenarnya aku mau datang, tapi aku malu..eh.. aku gak punya baju baru sebenarnya. Yang aku punya cuma baju putih biru seragam SMA, baju kaos yang di kirim ayah dari Pekanbaru, baju kaos tentara yang diberikan oleh Om Marno komandan batalion dan dua buah celana jean belel yang dibelikan ayah di pasar bawah sebuah pasar loak di Pekanbaru. Malu juga aku kalau datang ke pestanya Mira dengan pakain yang itu-itu saja. Tapi aku tidak ingin dikatakan teman yang tidak baik. Aku tidak datang. Aku titip kado buat Mira melalui Marni, teman kelasku. Aku mengirimi Mira sebuah lukisan dirinya yang aku lukis bulan lalu saat gosip pesta ulang tahun Mira yang akan dirayakan di gedung mulai meruyak di sekolah. Aku melukis wajah Mira yang aku kenal. Aku lukis ia dengan baju gipsy yang warna-warni sedang berdiri dibawah pohon kelapa di pinggir danau Singkarak. Ia yang sedang memainkan rambutnya yang hitam panjang. Aku tahu ia sering pergi dengan pacarnya seorang mahasiswa Unand ke danau itu. Sang pacar aku gambar sebagai sebuah silhuaete awan putih ke abu-abuan dibalik sebuah gunung. Aku mau ia akan menerimanya dengan senang hati. Aku memang senang melukis. Sudah turunan. Karena pamanku Pak Tuo Sabar, kakak sepupu ayah yang di Medan, seorang pelukis yang hidup dengan berjualan lukisan di pajak Sentral Medan. Malam waktu Mira ulang tahun, aku malahan latihan karate dengan para tentara di hall batalion.

Besoknya hari Senin. Tiba-tiba Mira mendekatiku sewaktu jam istirahat.
“Riko, terima kasih atas kadomu. Lukisannya sungguh indah. Aku senang. Bang Andri juga senang. Ia bilang untuk menyampaikan ucapan terima kasih padamu.
“Mir, maafkan ya. Aden tidak sempat datang. Lagi sakit kepala”.
“Rik, jangan bohong. Aku tahu kamu tidak datang bukan karena sakit. Tapi kamu malu tidak punya baju baru. Aku tahu kemaren malam kamu latihan karate di batalion. Rik, aku tidak memandang kamu karena baju kan Rik. Maafkan aku karena mengatakan kamu anak kampungan”. Mira menjelaskan kepadaku dengan suara sedikit pelan. Matanya yang teduh menyorot penuh arti padaku.
Aku tahu kalau Mira diam-diam menyenangiku. Aku tahu itu dari Rusdi.
“Ah, Mir sudahlah. Kan aku juga memberi kado padamu. Walau lukisan jelek diatas kertas. Tapi itu aku lukis dengan sepenuh hati. Wajahmu aku lukis hati-hati sekali. Sesuai dengan bisikan hatiku...” Ep, aku keceplosan..Sebenarnya aku juga ada...hati padanya. Tapi hanya aku simpan saja. Karena aku tahu ia telah punya pacar anak pak walikota yang kuliah di Universitas Andalas Padang. Beberapa kali sering aku lihat pacarnya itu menjemput Mira di sekolah.
“Riko, wajahku kamu lukis cantik sekali, pada hal aku kenyataannya seperti ini saja”. Terima kasih sekali lagi ya Rik”.
“Mira, aden juga minta maaf tidak bisa datang. Aden memang anak kampung. Kamu benar dan tidak salah mengatakan aden seperti itu”.
 “Riko...
“Ada apa Mira”.
“Bukan maksudku begitu. Kamu baik kok. Aku juga terpengaruh teman-teman lain yang mengatakan kamu”.
“Ya aku tahu, tidak apa-apa, mereka mengatakan yang sebenarnya.”
“Riko, kalau kamu tidak keberatan, nanti siang pulang sekolah kita makan bubur kampiun yuk, aku juga ajak teman-teman”.

Siang itu, aku, Mira, Arman, Rusdi, Leli, Buyung, Marni dan Febi makan bubur kampiun di kantin di pasar. Kami di traktir oleh Mira. Kami gembira sekali. Terutama aku, baru dua kali aku makan bubur kampiun ini. Tiga bulan lalu saat aku di ajak ayah dan ibu ke Padangpanjang berkunjung ke rumah om Marno teman ayah yang komandan batalion. Bubur kampiun adanya di Sumbar saja setahuku. Ceritanya jaman Belanda dulu bubur ini selalu dipesan untuk dimasak oleh koki di tangsi Belanda. Bubur ini khusus dibuat untuk pesta besar, seperti merayakan pertandingan sepak bola, hari ulang tahun Ratu Wihelmina. Kampiun artinya juara. Jadi bubur kampiun khusus untuk sang juara. Sekarang di kota-kota seperti Padang, Padangpanjang, Bukittinggi, Batusangkar banyak ditemui bubur kampiun. Bubur kampiun adalah campuran bubur beras, kacang hijau, ketan hitam, yang diberi gula merah. Rasanya manis dan gurih sekali.
“Riko, acara ini khusus buat kamu di buat Mira”. Arman coba menggodaku.
“Buat kita semua kan Mira”, kataku.
“Ya buat kamu Rik, dan buat teman-teman juga”.
Aku habiskan bubur kampiun itu.
“Mir, boleh nambah nggak”, aku ingin makan bubur sepiring lagi.
“Cccck..habis bertempur kamu Rik, kok lapar sekali”, sergap Arman.
“Biasa anak kampung kan makannya kuat”, celutuk Febi.
Aku memang kampungan seperti kata Febi. Aku akui itu. Kawan-kawan makan bubur sepiring sedangkan aku dua piring. Sebenarnya aku ketiban rejeki hari itu, karena aku belum makan dari pagi. Dompetku kosong, belum terima kiriman dari Pekanbaru.

Betul kampungan aku, kata hatiku. Jujur aku akui. Maklumlah kampungku kan di Kandang Ampek di kaki gunung Tandikek, dekat dengan Aie Mancue atau air terjun lembah Anai yang terkenal itu. Kalau begitu aku bukan anak gaul. Aku anak kampung. Kawan-kawanku benar. Ia lah aku terima saja ejekan berapa cewek temanku. Tapi aku tahu mereka tidak berani mengejek aku terlalu jauh. Walau aku anak kampung. Aku punya kelebihan. Kalau boleh aku cerita. Kelebihanku adalah, disamping seorang anak kampung, aku tidak begitu baik menggunakan bahasa Indonesia moderen. Aku sering menyebut aden atau saya dalam bahasa Indonesia. Yang kedua aku adalah bintang kelas IPA. Kalau setiap terima rapor, pasti aku yang juara. Aku adalah seorang olah ragawan. Aku pemain basket. Aku juga seorang pemegang sabuk hitam karate inkai dengan peringkat Dan 2. Teman cewek SMA sebenarnya banyak yang naksir aku. Aku ganteng kata mereka. Dan aku jantan. Karena aku pernah berkelahi di lapangan sepak bola sehabis upacara bendera tujuh belas Agustus. Gara-garanya sepele. Kebetulan barisan anak SMA berdampingan dengan barisan SMK otomotif yang tidak ada anak ceweknya. Dan anak SMK di ejek cewek SMA. Mereka bilang anak SMK marando, artinya hanya laki-laki tanpa bini. Anak SMK tersinggung dan mengatakan bahwa anak laki-laki SMA lepu-lepu atau lemah. Giliran aku yang tersinggung mendengarnya. Dan terjadilah ketegangan yang akhirnya aku jadi berantem dengan ketua kelas tiga SMK. Aku dikeroyok tiga orang. Tapi aku tetap jadi pemenang, dan ketiga mereka babak belur. Kami berhenti karena dilerai oleh polisi. Aku juga menguasai silat Minang yang aku pelajari dari ayah dan kakekku seorang guru silat di kampungku. Kalian harus tahu akan sedikit kelebihan silat Minang ini. Seperti pernah diceritakan  oleh ayah pada suatu hari sewaktu aku mau berangkat ke Bandung.
”Riko, jangan lupa menjalankan perintah Tuhan, karena Ialah yang akan menyelamatkan kita”, pinta ayahku.
”Tidak yah, Riko masih anak ayah yang taat menjalankan perintah agama.

”Kalau begitu kamu harus dengar cerita ayah ini. Ayah akan menceritakan tentangan sejarah silat yang dipakai oleh pejuang paderi kakekku, atau inyiakmu. Kamu tahu, dengan silat itu juga bangsa kita dulu dibawah Tuanku Imam Bonjol berani menetang Belanda. Pasukan dari Bonjol itu terdiri dari para pemuda terlatih dari beberapa luhak di tanah Minangkabau ini. Baik yang laki-laki maupun yang gadis, semuanya berlatih silat dibawah para panglima pemimpin pasukan. Termasuk seorang Panglima kiriman Pangeran Diponegoro yang bernama Sentot Alibasyah dari Jogyakarta. Orang Jawa ini ahlinya berkuda, dialah yang mengajarkan cara memanah dan menombak sambil merunduk di balik punggung kuda. Disamping beliau juga ahli mesiu. Beliau yang mengajarkan para pemuda menjemur belerang yang diambil dari puncak gunung merapi yang dicampur dengan serpihan batang rotan yang dihaluskan, lalu dijadikan bubuk mesiu. Sentotlah yang mengajarkan. Belanda punya meriam, pasukan paderi juga punya bedil lantak yang diisi ucih atau mesiu dari belerang. Mariam tomong, senjata andalan Belanda dilawan dengan badie lantak senjata kaum paderi. Memang tidak seimbang dari segi teknologinya, namun, dengan semangat baja dan keahlian bermain pencak silat menjadikan pasukan paderi ditakuti Belanda. Ada silat Macan Tuo dari Agam yang terkenal dengan kelicinannya bak belut dibawah asuhan Tuanku Nan Renceh dari Kamang. Tuanku Nan Renceh sendiri bisa mengelakkan peluru Belanda yang mengarah kepadanya. Telinganya tajam bak angin, dalam gelappun ia tahu dari mana arah serangan. Anak buahnya berlatih silat diatas sebatang pohon bambu yang direntangkan diatas banda (kali). Tidak boleh jatuh dari batang itu sewaktu berkelahi. Silat Agam spesifik keras dan cepat. Persis seperti harimau berkelahi, berhadapan, dengan kunci silat adalah kekuatan sepakan dan sapuan dari arah bawah bagian badan lawan. Cakaran kuku jari dan tusukan siku kearah ulu hati lawan adalah pamungkas aliran silat Agam. Ada silat lintau yang gerakkannya sangat cepat apalagi kalau dimainkan dengan belati atau pisau. Inti silat Lintau adalah kelincahan mengelak dan kecepatan menyerang. Ada aliran Silat Angin Puyuh dari Kayutanam dibawah asuhan Tuanku Malin. Tuanku Malin bergelar Palimo atau Panglima, karena ia adalah salah seorang pimpinan Perang Paderi. Ia selalu bahu membahu dengan Tuanku Imam memerangi Belanda. Silat angin puyuh ini punya kekuatan bathin yang tidak sanggup diterka dari arah mana datang serangannya. Bila ada Belanda dengan bedilnya di depan, bukan dielakkan tapi malahan dikejar. Peluru Belanda dielakkannya dengan berjumpalitan sambil mereka mengayunkan tongkat yang terbuat dari ruyung atau batang pohon enau. Persis angin puyuh yang menyerang dan merobohkan musuh yang berada dan berani berhadapan dengan pesilat angin puyuh ini. Biasanya pasukan Belanda akan menjerit-jerit karena bahunya patah di babat ruyung, dan lehernya terkulai kena tusukan ruyung yang dibuat runcing ujungnya. Silat pusaka dari Kayutanam ini sangat mematikan. Seorang gadis Minang Siti Rohana amat terkenal dengan julukan Melati Bonjol adalah kesayangan Tuanku Imam karena kepiawaiannya berkuda. Ia memegang sebuah tombak sakti pemberian ayahnya yang syahid di medan tempur Bonjol sewaktu pasukan terkepung Belanda di sebuah surau. Ujung tobak beracun sudah meminta puluhan nyawa pasukan Belanda karena ditikam Siti dengan berangnya karena ia membalaskan nyawa ayahnya. Siti memimpin pasukan dengan nama Amai Sakti yang terdiri dari dua puluh gadis dan ibu-ibu yang berani mengangkat senjata melawan Belanda. Mereka berlatih silat dibawah pimpinan Tuanku Imam sendiri dan dibantu oleh para panglima Tuanku Nan Renceh, Tuanku Malin, Tuanku Basa, dan Tuanku Gadang dari Pasaman. Tuanku Gadang adalah wakil Tuanku Imam dan memimpin pasukan di Lubuk Sikaping yang terkenal dengan pasukan panah dan klewang. Di medan tempur di daerah Pasaman dan Agam terkenallah beberapa pemuda gagah berani dengan ilmu silat yang tinggi seperti Bujang Palano dari Agam, Buyuang Tandikek dari Pariaman, Kari Basa dari Kayutanam, Datuak Mangkudun dari Kandangampek, Pandeka Tuah dari Padangpanjang, Malin Candiko dari Batusangkar, Siti Rohana dari Bonjol, Amai Ruhama dari Agam, Muncak Baluik dari Pasaman, dan Bujang Tangkurak dari Baso. Semua mereka itu tadinya adalah para pareman yang terkenal ganas. Datuak Mangkudun adalah inyiakmu dan kakekku. Namun setelah belajar agama Islam dengan Tuanku Imam, semua pareman itu disadarkan dan diajarkan agam Islam dan semangat perang jihad. Dikatakan bahwa Belanda datang untuk mengadu domba rakyat antara kaum penghulu dengan kaum paderi atau politik adu domba, maka jihad saat itu wajib dilakukan pejuang Islam. Akhirnya semua preman itu sadar dan memihak pasukan paderi dan langsung jadi pimpinan regu, yang amat ditakuti oleh Belanda. Itulah kebesaran silat Minang yang patut engkau lestarikan dan ajarkan di mana saja. Kehebatan pasukan paderi (pasukan berserban dan baju putih) terkenal di medan tempur Bonjol, Lubuk Sikaping, Panta, Pasaman dan sampai ke Baso Bukittingi. Mereka sangat ditakuti oleh Belanda. Tuanku Imam Bonjol yang memimpin pasukan diatas pelana kuda hitam yang sangat gagah, dengan seuntai tasbih ditangan kiri, dan sebuah klewang di tangan kanan, menggentarkan Belanda. Belanda tidak berani berhadapan dengan para paderi yang terdiri dari pemuda yang siap mati syahid, Belanda hanya menembakkan meriamnya dari jauh kearah surau di Lurah Bonjol tempat markas pasukan berada. Untuk memperkuat pasukannya Belanda mendirikan loji atau benteng di Bukik Jirek persis di depan Kebun Binatang sekarang. Tahun 1825 berdirilah Benteng Fort de Kock yang di buat oleh Letnan Kolonel Eliot. Sedangkan de Kock sendiri adalah nama Gubernur Jenderal Belanda di Batavia waktu itu. Di sekeliling benteng di pasang delapan meriam yang diarahkan ke timur yaitu kearah Bonjol dan Kamang tempat pusat pasukan paderi, diarahkan ke utara dan ke barat. Walaupun akhirnya Paderi dikalahkan, itu karena kelicikan Belanda yang pura-pura mengajak berunding. Walaupun pasukan paderi bubar setelah tahun 1837, namun para pendekar tetap mengajarkan silat dan agama di semua pelosok di ranah Minang. Di mata mereka Paderi bukanlah kalah, tapi dikhianati oleh Belanda dan beberapa pemuda yang mau disuap Belanda untuk menunjukkan persembunyian pasukan. Setelah perang usai, satu persatu pengkhianat ini di ambil dan di bunuh oleh para pendekar, walaupun ada yang selamat melarikan diri.
Itulah sedikit pengetahuan akan kebesaran leluhur kita yang perlu engkau ketahui Riko. Termasuk kakekmu adalah keturunan langsung para pendekar dari Kayutanam, makanya ia mengajarkan silat angin puyuh dan harimau campo kepadamu. Silat harimau campo adalah gabungan silat Agam dan Silat Lintau dan di perkaya dengan gerakkan silat Bonjol. Oleh kakekmu ia ditambah lagi oleh teman seperguruannya Pak Kadir yang juga dari Kayutanam yang meguasai silat Limbubu yang terkenal. Jadi ilmu silatmu sudah pada tingkat sempurna. Apalagi engkau juga pemegang sabuk hitam karate, jadi lengkap sudah pagar dirimu. Namun, harus kamu ingat kamu tidak boleh sombong di negeri orang. Ingat pepatah kita
Bilo bujang pai ka Lintau
Labu bali balanak bali
Taluak jo Kamang nagari Talu
Jiko Bujang nak marantau
Ibu cari dunsanak cari
Induak samang cari dahulu

Musuah jan di cari
Kalo basuo jan di ilakkan

Yang ayah ingin tekankan kepadamu ialah; Kejujuran dan keberanian akan mengalahkan musuh yang ampuh bagaimanapun, serta satu lagi yaitu siasah atau siasat atau strategi bahasa kuliahmu.
Tentang ilmu strategi ini juga ada pepatah Minangnya.

Di ma bumi di pijak sinan langik dijunjuang
Manyauak di hulu-hulu
Kok mandi di hilie-hilie
Di ateh langik ado langik
Alun bakilek lah bakalam
Malewa ikan di lubuak lah tau jantan batinonyo

Kamu harus melihat angin. Kalau main layang-layang, angin keras jangan di lawan, ulur benangnya, anginnya kendor baru di tarik. Ini namanya ilmu sifat atau filsafat bahasa Indonesianya, atau tarekat bahasa kajinya. Bila ada orang yang berdiskusi denganmu dengan suara yang keras dan cenderung keras kepala, jangan di bantah. Biarkan sampai ia capek dan tenggorokannya sakit, setelah suaranya mulai serak, barulah engkau ngomong dengan lembut namun tegas. Biasanya ia akan terpojok dengan omongannya sendiri. Itulah arti pepatah diatas. Satu lagi yang paling penting, shalatmu jangan sekali-kali engkau tinggalkan, walaupun berada di negeri entah berantah yang tidak ada mesjidnya, kalau waktu shalat telah masuk, engkau ambil udhuk atau tayamum, kembangkan sajadah dan shalatlah dimana saja. Karena hakekatnya mesjid atau tempat sujud itu adalah bumi Allah, asal di jaga kesuciannya, halal dan boleh untuk dijadikan tempat shalat. Itulah kekuatan kita sebagai seorang umat Islam, yang harus selalu berserah diri kepada Tuhan.
“Paham kamu Riko?”
“Paham ayah, dulu sebelum kakek meninggal ia juga telah mengajarkan beberapa ilmu sifat kepadaku, termasuk ilmu rukun iman yang enam, rukun Islam yang lima dan rukun kunci yang satu. Saya tidak akan lupa, termasuk pituah ayah yang barusan”.
“Bagus, itu namanya ayah telah menyampaikan apa yang patut di sampaikan kepada anak yang akan merantau jauh, dan engkau telah paham akan adat istiadat kaum kita, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”.
”Riko, jangan lupa menjalankan perintah Tuhan, karena Ialah yang akan menyelamatkan kita”, pinta ayahku.
”Tidak yah, Riko masih anak ayah yang taat menjalankan perintah agama.
”Kalau kamu butuh uang tambahan bagaimana caranya”.
”Yah, itu sudah aku pikirkan juga, aku kan memegang sertifikat guru karate. Aku akan coba mengajar karate di kampus, atau aku akan mencari kerja di Bandung”.
”Oh ya, kamu kan bisa mengajarkan silat harimau yang diajarkan kakekmu, kata ayah.
***
“He..buburmu sudah habis dua piring, aku dikagetkan oleh Rusdi.
“Kamu ngelamun ya Rik”, kata Mira.
“Eh..ya udah habis”, kataku gagap. Ya aku tadi melamun tentangan diriku yang sebentar lagi akan ke kota. Tentangan nasihat ayah dan petuah-petuahnya. Aku akan kuliah ke Bandung. Lalu gimana dong caranya merobah kekampunganku? Apa aku bisa ya, kata hatiku. Ah Riko, kamu memang bukan anak gaul. Kalau di Bandung kamu harus menjadi gaul dong, hatiku berperang lagi.
Terus kalau aku tidak anak gaul, bagaimana dengan sikapku terhadap anak cewek. Ah aku gak munafik, aku sebenarnya juga menyukai cewek cantik. Tapi itu tadi, karena kekuranganku dalam hal materi, ketertarikan sama lain jenis aku kubur dalam hatiku. Sebagai gantinya aku banyak menghabiskan waktuku dilapangan, main voly, main basket. Dan dua kali seminggu latihan karate. Saking jagonya aku dalam bidang IPA, pernah seorang guru pengganti dari IKIP mengajar goniometri aku debat habis-habisan gara-gara ia salah menerangkan sebuah rumus trapesium dalam sebuah lingkaran yang saling bersinggungan. Inilah peristiwa yang sempat merobah tabiatku dalam menghadapi perempuan. Aku biasanya acuh terhadap teman-teman perempuan. Karena waktuku habis di lapangan untuk latihan karate dan main basket kegemaranku. Aku belum mempunyai teman dekat perempuan, walaupun ada beberapa teman perempuan yang cantik-cantik seperti anak Sos kelihatannya suka padaku, namun kau acuh saja. Sebenarnya aku kurang pede untuk mendekati mereka karena kekuranganku soal model pakaian dan uang dikantong yang selalu kosong. Kini sejak aku membantu guruku keadaannya menjadi lain. Keakrabanku dengan si ibu guru terjadi setelah peristiwa itu. Sang ibu guru yang kebetulan cantik hampir saja menangis di depan kelas karena diteriaki oleh kawan-kawanku karena kesalahan itu. Kemudian aku maju ke papan tulis untuk membantu menerangkan rumus yang benar untuk menghitung luas trapesium dan luas daerah diluar trapesium dan masih dalam lingkaran. Sejak itu si ibu guru Sofia namanya, “mempunyai perasaan sayang” padaku. Aku diundang datang kerumah kosnya untuk belajar goniometri dan mekanika. Pacar ibu guru adalah guru olah ragaku sendiri Pak Sunoko namanya. Pak Sunoko sering memarahi aku karena kecemburuannya. Namun ia tidak bisa berbuat banyak, karena tahu aku adalah pemain basket terbaik disekolahku dan juga aku adalah atlit karate andalan kotaku. Dan aku adalah murid kebangaan pak Sunoko.

Hampir tiap malam aku keluar dari komplek asrama batalion menuju rumah kos ibu guruku itu. Ibu guruku jadi bersikap lain padaku. Kelihatannya ia tertarik benar padaku. Kalian mungkin heran kok bisa? Jelas dong, aku kan ganteng. Posturku tinggi 176 cm, beratku 60 kg, atlet karate, pemain basket dan voli SMA. Siapa cewek yang gak kenal aku. Tapi itu, aku punya kebiasaan jelek waktu itu. Didepan teman perempuan di sekolah, aku kurang suka teman wanita sebaya denganku. Tapi, ternyata aku ternyata menyenangi wanita yang lebih tua umurnya dariku. Mungkin pengaruh aku sering diajak tentara nonton bioskop satu-satunya di kotaku. Aku dan tentara itu nggak pernah bayar. Masuk ke bioskop lenggang kangkung saja. Waktu itu sering diputar pilem India dan pilem Indonesia dengan aktris cantik dari Jakarta. Aku senang lihat tubuh seksi Aishwarya Ray artis India yang cantik. Aku senang dengan Maudi Kusnaedi. Aku juga suka bintang cantik di sinetron. Aku sering membayangkan kalau aku jadi pacar mereka, wah pasti asyiik deh. Nah, kebetulan ibu guruku itu juga seksi, pinggangnya ramping namun pantatnya berisi. Aku suka meliriknya, dan sering juga ketangkap matanya dan ia mencubit pipiku, aku sangat senang karena parfumnya yang harum dan merangsang. Aku tidak peduli dengan Pak Sun yang kelihatannya cemburu. Kan ibu Sofia senang denganku. Eh, sialan kok aku jadi ngelamuni guruku. Pada hal ia sudah lepas dari pangkuanku, dan sekarang udah jadi mama-mama isteri seorang dokter lulusan Unand dan sudah punya anak.
Waktu itu aku suka melamun kalau guruku itu menjadi pacarku. Sewaktu aku kerumahnya, memang aku belajar, tapi setelah itu kami suka duduk berdua di teras kosannya. Kami pernah berciuman. Tapi hanya berciuman. Walau aku akui saat itu Bu Sofia sebenarnya ingin lebih dari sekadar ciuman. Aku yang takut. Akhirnya aku pulang ke asrama. Masa remaja yang mengasikkan. Aku dimusuhi oleh teman wanita di kelas tiga SMA. Febi, anak tentara juga yang orang Solo, ia diam-diam menyukaiku. Tapi aku gak mau dekat dengannya, karena aku takut pada bapaknya yang berpangkat kapten dan kumisnya tebal. Tapi pak kapten itu sebenarnya suka padaku, karena tahu aku juga anak yang baik dan berpenampilan jantan. Tapi apa boleh buat, ya itu tadi aku lebih suka dekat dengan guruku, dan itu membuat aku tidak mau pacaran juga sama si Febi. Juga Mira.

Sejak ketahuan aku dekat dengan ibu guru, Mira jadi membenci aku. Febi dan kawan-kawannya ingin memutus hubungan aku dengan Bu Sofia. Diam-diam mereka lapor ke kepala sekolah. Aku ditegor oleh kepala sekolah dan mengancam akan melaporkan kelakuanku kepada ayah bila aku terus dekat dengan Bu Sofia. Dan juga dikatakan bahwa lama-lama Pak Sun akan memusuhiku. Dan aku akhirnya mengerti juga. Dan kepala sekolah rupanya lebih memilih sikap bijaksana. Akhirnya sang ibu guru dipindahkan oleh kepala sekolah dan mengajar di SMA di kota lain yaitu di Solok.
Tamatlah cerita cinta diam-diam antara murid dan guru ini yang aku lakoni sewaktu SMA, dan setelah itu hubungan kami putus. Dasar si Riko badung, ganteng-ganteng malah pacaran sama guru sendiri, kenapa tidak dengan aku, kurang cantik apa aku ya..kata Murni anak SOS1 yang juga badung sewaktu di SMA.
Pada suatu hari, Murni mengajak aku nginap dirumahnya untuk mengajarinya matematika yang susah ia mengerti katanya. Ia punya rumah makan di lantai dasar rumahnya, dan aku sering diajak makan di situ. Dalam kamarnya sewaktu aku berdua dengannya dan ia tiba-tiba merangkulku, namun aku mengelak dan tidak mau melayaninya karena aku takut akan menjurus untuk melakukan hubungan terlarang. Aku segera pulang dan sejak itu aku tidak mau lagi datang ke rumahnya. Ah..Riko kamu alim juga rupanya kataku dalam hati. Alim apa, dengan gurumu kamu mau dekat-dekatan, kata hatiku lagi...Biarlah..darah remajaku kadang-kadang binal...

Setelah selesai ujian akhir SMA dan telah selesai seleksi masuk perguruan tinggi, sambil menunggu pengumuman dan sedang libur, aku liburan dikampung. Sudah jadi acara rutin di kampung bahwa setiap libur panjang, Wali Nagari mengumpulkan pemuda pelajar untuk mengadakan sandiwara, yaitu pertunjukan sendra tari sekalian untuk menghibur orang kampung dan mencari dana. Aku dipilih menjadi ketua panitia kesenian. Wali Nagari yang memilihku. Kami mengadakan sandiwara untuk menghibur penduduk sekalian mencari dana untuk membantu pembangunan SD yang kondisinya buruk. Pada saat itulah aku berkenalan dengan anak mak tuoko yang masih kelas tiga SMP di Medan. Namanya, Chairani. Ia adalah penari yang sangat lincah membawakan tari serampang dua belas yang terkenal itu. Waktu itu ia pulang kampung dengan orang tuanya yang tante jauhku yang aku panggil Mak Tuo. Kami mengajak ia untuk ikut dalam acara. Perasaanku waktu itu biasa saja, karena ia adalah termasuk adikku juga, walaupun dari pihak anak pisangku. Aku adalah bako darinya. Dalam adat Minang hubungan antara laki dan perempuan atau anak pisang dengan bako amat dianjurkan. Kuah tatunggang ka nasi, nasi ka dimakan juo, indak buliah mambuang lamak, kata pepatah Minangnya. Artinya kalau ada rejeki lebih baik digunakan oleh saudara dekat dan bukan untuk orang lain.

Sewaktu istirahat latihan dan aku memberikan pengarahan acara, sering aku pergoki matanya Ira memandang lain padaku. Namun aku acuh saja. Dan rupanya mak tuo senang aku bergaul dengan anaknya.

Pada suatu hari waktu liburan itu aku diajak oleh mak tuo ke Padang ikut mobil mersedeznya yang hitam dan masih baru untuk melihat toko radio mereka yang baru buka di Padang. Pak tuo yang jadi sopir. Aku dan Ira panggilan Chairani duduk berdua dibelakang. Ah..Chairani memang cantik. Namun aku tidak punya perasaan apa-apa selain mengaguminya sebagai penari yang lincah. Kami sempat makan rujak sore itu di Pantai Padang yang ramai oleh pengunjung muda-mudi yang kebanyakan mereka mahasiswa yang kuliah di Padang. Chairani riang sekali sore itu. Pak tuo memotret kami sewaktu kami berjalan diatas pasir putih pantai Padang yang indah. Aku akui memang ia cantik. Ternyata Chairani ini menjadi masalahku dibelakang hari. Sewaktu mak tuo dan pak tuo, Chairani dan adik-adiknya akan kembali ke Medan, mak tuo datang ke rumah nenekku yang juga adalah adik dari kakeknya Chairani atau ibunya mak tuo. Mak tuo mengatakan, kalau mau kuliah di Medan saja kan ada Universitas Sumatera Utara atau USU yang juga bagus katanya. Nanti tinggal di rumah mak tuo saja katanya.
Terima kasih mak tuo kataku. Aku ingin ke Bandung dan masuk ITB.
”Kapan Riko ke Bandung”, tanya Mak Tuo.
”Bulan depan Mak Tuo, kataku.

Saat aku lagi jalan kaki pulang sekolah dengan Syafril teman sekelasku, di depan bioskop Karya, di jalan turunan di depan kedai kelontong milik ayah Syafril, aku mendengar klakson mobil yang rasanya aku kenal suaranya.
Tiba-tiba dari dalam mobil yang berhenti di depan kedai, keluar seseorang wanita. Aku tahu itu mobilnya mak Tuo. Rupanya mak Tuo yang keluar itu. Pak Tuo masih duduk dibelakang stir.
”Riko, aku di panggil mak Tuo.
”Eh..mak Tuo, mau kemana..
”Kami akan balik ke Medan, Riko sudah pulang sekolah dan mau kemana?, tanya mak Tuo
”Ya, mak Tuo, mau mampir di sini kedai Syafril. Kami mau menyelesaikan soal goniometri, PR yang diberikan guru tadi”, kataku.
”Oh gitu, mak Tuo dan pak Tuo akan pulang. Kami mau pamit akan balik ke Medan. Mak Tuo pesan ya. Baik-baiklah Riko sekolah di Bandung, nanti kalau sudah dapat sekolah, kirimi Mak Tuo surat. Ini buat sekadar uang makan di jalan buat Riko”, Mak Tuo memberikan amplop padaku.
”Ah, tidak usah Mak Tuo”, kataku malu.
”Riko ambil itu, jangan malu, Riko kan anak kami juga”, kata Pak Tuo menambahkan.
Aku jadi malu. Dan amplop itu aku terima juga. Tebal rasanya. Isinya pasti uang. Ah..mak Tuo dan Pak Tuo, jujur aku butuh uang ini, kataku dalam hati.
“Terima kasih mak Tuo, terima kasih pak Tuo, semoga mak Tuo dan pak Tuo selamat di jalan” kataku. Aku sempat melirik Chairani dan adiknya di bangku belakang mobil mereka. Chairani senyum manis dan menganggukkan kepalanya padaku. Aku membathin, aku tidak mau ini jadi utang budi antara aku dengan keluarga ini. Tapi, kamu butuh uang itu Riko, soal utang budi itu nanti saja kamu pikirkan, kata hatiku lagi. Tapi. Bukankah uang itu akan jadi pancingan untukku agar aku mendekati putri mereka si Chairani? Tidak ada salahnya Riko, kamu kan juga mengakui Chairani itu cantik. Kamu suka kan, kata hatiku lagi. Ah..aku jadi perang bathin...
”Uda Riko, hati-hati sama cewek Bandung, uda pasti terpikat, mereka kan cantik-cantik”, goda Chairani.
”Chairani lebih cantik”, kataku keceplosan. Bukan keceplosan Riko, itu memang kata hatimu..., sudut hatiku mengatakan begitu.

Mobil mereka bergerak, jalan dan menuju kearah Bukitinggi, dan mereka meneruskan ke Medan. Tinggal aku bengong dengan amplop masih ditanganku. Aku masukkan amplop itu ke dalam tas sekolah. Dan melangkah memasuki rumah Syafril di samping kedainya.

MERANTAU KE BANDUNG
Setelah lulus SMA aku merantau ke Bandung. Aku hanya menemui Amril, seorang kakak kelasku di SMA yang telah lebih dulu masuk ITB.
Sesampainya di rumah kosannya di gang Kubang di Sekeloa, aku telah dicarikan sebuah kamar ukuran kecil persis disamping kamarnya Amril. Sewanya murah, karena kamarnya sederhana, Rp 300,000/bulan tanpa cuci dan tanpa makan. Uang kos aku bayar sekali gus enam bulan. Aku pakai uang yang diberikan Mak Tuo tempo hari.
Aku minta ijin ayahku dalam hati.
”Yah, ijinkan saya memakai uang dari Mak Tuo untuk membayar uang kosan, karena uang ayah saya pakai untuk mendaftar ulang di ITB”, kataku dalam hati.
Aku tahu, walaupun akau katakan terus terang pada ayahku, ia pasti tidak akan marah, karena Mak Tuo bukanlah orang lain. Ia adalah saudara ibuku dari pihak nenek. Kami satu rumpun juga.
Hidup di Bandung adalah merupakan sesuatu yang baru bagiku. Aku harus hemat. Dan aku harus mencari pekerjaan untuk membiayai sekolahku. Tidak mungkin kalau hanya mengandalkan kiriman ayahku dari Pekanbaru. Kan adikku juga perlu biaya untuk sekolahnya. Apalagi ia kan sudah masuk SMA sekarang. Tiga tahun lagi ia lulus dan akan segera pula kuliah.
Aku berangkat ke Bandung setelah selesai mengurus semua surat-surat yang perlu untuk masuk perguruan tinggi seperti semua fotocopy ijazah, surat keterangan kelakuan baik dan bebas narkoba dari kepolisian, surat pindah dari Wali Nagari, dan surat pengantar untuk melanjutkan sekolah dari kecamatan.
Setelah selesai mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa di Padang awal bulan Juli, aku akhirnya merantau ke Bandung. Aku waktu itu juga agak kagok dan cemas. Kagok, karena aku belum pernah ke Jawa, dan cemas karena belum tentu aku lulus seleksi masuk perguruan tinggi. Kalau aku tidak lulus ke ITB, aku bertekad tetap di Bandung, dan akan mencoba tahun depannya. Aku tahu semua anak daerah yang ke Bandung mempunyai tekad yang sama denganku. Malu dong, kalau balik ke kampung. Kagok karena sifat kekampunganku apa bisa aku robah di Bandung nanti. Aku harus membiasakan diri untuk berbahasa Indonesia dengan baik. Aku tidak boleh lagi memakai kata aden. Aku harus bisa mengucapkan saya atau aku. Mengucapkan tidak untuk kata indak. Aku harus menghilangkan sifat kampunganku.

Dengan menumpang sebuah truck yang membawa muatan ikan asin dan kopra dari Sibolga aku berangkat menuju Bandung. Di jalan sebelum memasuki kota Lahat truck pecah ban, dan aku turun membantu keneknya abang Samosir untuk membuka ban dan mengganti dengan ban serap. Sopir truck om Siahaan adalah teman ayah, karena suka membawa muatan gambir untuk diekspor dari Pangkalan ke Padang. Gambir termasuk komoditi andalan dari Pangkalan Sumatera Barat, dan ayah yang menjadi salah satu pengepulnya. Gambir ini diekspor ke Swiss untuk bahan baku obat.

Setelah 3 hari di jalan aku sampai di Jakarta. Truck terus ke Kramat Jati, dan aku naik kereta dari Jatinegara ke Bandung. Dan dengan perantaraan kakak SMAku yang telah jadi mahasiswa di ITB, aku dicarikan tempat kos murahan di Sekeloa oleh Amril kakak kelasku di SMA. Uang kost untuk bayar sekali gus enam bulan yang diberi mak Tuo tempo hari ternyata cukup. Bahkan masih berlebih. Aku simpan buat makan sebulan, dan nantinya sisanya aku masukkan ke bank BNI ITB kalau aku diterima di ITB.
Setiap malam aku shalat sunat tahajud, dan bermohon diri pada Tuhan supaya aku diluluskan dalam test. Supaya langkahku di restui oleh-Nya.
Awal bulan Agustus, pengumuman kelulusan dicantumkan di koran Kompas dan PR Bandung. Ternyata namaku keluar. Tuhan mengabulkan do’aku. Alhamdulillah, terima kasih Tuhan, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku tidak akan menyia-nyiakan do’a ayah ibuku. Alhamdulillahirabbilalamiin.

JADI MAHASISWA ITB
Setelah keluar pengumuman ternyata aku di terima di Teknik Industri ITB. Aku senang sekali dan langsung berkirim surat pada ayah di Padang. Karena sekarang ayah telah berhasil membuka toko dan gudang gambir di blok A Pasar Padang. Uang dari ayah aku pakai untuk pendaftaran ulang di ITB. Lumayan aku bayar tiga juta rupiah sekali gus, termasuk uang kuliah enam bulan.

Aku sekarang sudah menjadi mahasiswa sebuah perguruan ternama di republik ini lho. He..he aku bangga lho menjadi mahasiswa kampus keren di Bandung.

Sekarang aku bukan anak kampung lagi. Pelan-pelan aku bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan kota Bandung. Udaranya mirip Padangpanjang. Bandung suka hujan, sama dengan Padangpanjang yang hampir tiap hari diguyur hujan. Tapi aku tidak mau menjadi anak moderen atau anak gaul. Tidak mungkinlah. Karena kakek mengajarkanku agar aku harus selalu patuh akan ajaran agama.

Aku berkirim surat pada keluarga Mak Tuo di Medan. Memberi tahu aku sudah lulus dan diterima di ITB, sekalian mengucapkan terima kasih karena aku diberi uang tempo hari.

Sewaktu di SMA memang kami punya cita-cita untuk kuliah di Jawa. Walaupun ada Universitas Andalas di Padang, namun nama-nama universitas seperti UI, IPB, ITB, dan UGM menjadi impian anak-anak SMA daerah seperti aku.
Itu disebabkan oleh karena adanya semacam stigma bahwa untuk dapat dan mudahnya mencari kerja haruslah bisa menjadi lulusan universitas di Jawa itu. Walaupun aku juga dapat informasi bahwa angapan seperti itu adalah tidak sepenuhnya benar.
Cita-citaku didukung oleh ayah, karena sekarang ia mampu untuk sekadar membayar uang kuliahku. Tadinya aku ingin menjadi seorang insinyur listrik, karena kampungku di kaki gunung Tandikat, yang dialiri oleh dua buah sungai yang berasal dari kaki gunung itu yaitu Batang Anai, dan Batang Nangus, kenyataannya gelap kalau malam hari karena tidak ada aliran listrik. Aku ingin membuat pembangkit listrik dari kedua sungai itu. Sewaktu SMA, aku pernah belajar fisika tentangan generator pembangkit listrik yang motornya bisa digerakkan oleh aliran air. Proyek listriknya terkenal dengan PLTA, kependekan dari pembangkit listerik tenaga air.
Tapi ayah malahan ingin aku jadi pengusaha yang berilmu, makanya ia bilang lebih baik masuk ilmu manajemen industri, supaya nanti kamu beroleh dua keuntungan yaitu ahli memimpin industri dan jadi pejabat yang dapat mengendalikan negara dengan ilmu manajemen industri. Biarlah orang lain yang mengurus listerik kata ayahku. Ternyata keponakan ayah Zulkarnain, yang ibunya adalah adik ayah yang bungsu, dan ayahnya seorang pegawai perminyakan Caltex di Riau lulus masuk teknik elektro di ITB. Biar si Zul yang jadi kepala PLN nanti untuk bisa kampung kita ini menjadi terang, ayah meyakinkanku di depan tante dan omku.

Sebenarnya, terus terang aku ini rasanya dapat anugerah Tuhan yang amat besar dengan lulusnya aku masuk ITB. Iya dong. Aku tadinya kan seorang anak SMA daerah, yang ya boleh dibilang kalahlah dibanding anak SMA 3 Bandung yang pinter-pinter itu. Tapi itu tadi ayahku membelikan bermacam-macam buku IPA, buku kumpulan ujian masuk perguruan tinggi, untuk aku pelajari guna menghadapi test masuk. Aku gak ikut bimbel, karena duit ayah agak cekak untuk membayar biaya kursus bimbingan belajar yang ada di Padang. Aku pelajari sendiri soal-soal ujian masuk perguruan tinggi itu dengan berpedoman buku-buku pelajaran dan fotokopi soal-soal ujian tahun lalu. Dan rasanya 70% soal-soal itu aku bisa kerjakan. Aku masuk murid pintar di kelasku lho.

Di teknik industri aku juga termasuk mahasiswa yang menonjol. Aku ngganteng kata Meli, mahasiswi yang asli Solo, yang diam-diam rupanya naksirku. Pada pergaulanku di kampus, aku menganggap Meli sebagai teman baik saja, walau kuakui ia orangnya kalem dan ayu, karena ia adalah putri Solo.
Bicaranya lembut dan sopan sekali, ia amat cantik dengan bibir yang sensual. Namun terus terang aku gak naksir sama Meli. Itu disebabkan karena sifatku yang angkuh itu. Sebagai pemuda Padang yang memang terkenal sombong dan aku termasuk diantara yang sombong itu. Akhirnya sifat ini banyak merugikanku dalam beberapa hal. Misalnya aku pantang meminta walaupun perutku lapar belum makan dari pagi, ketika suatu hari aku kehabisan uang karena kiriman ayah terlambat, aku tahan perutku yang berteriak minta diisi.

Biar si Pery yang naksir Meli, aku sering pergoki mata Pery melotot pada Meli bila kita diskusi di Lab. Sistem Pengambilan Keputusan. Di Lab ini jagonya Putri dan Meli. Aku sering datang ke Lab mereka untuk belajar dan memahami software SIM yang mereka kuasai.

Perhatianku adalah untuk mata kuliah dan mendapat nilai A untuk semua mata kuliah. Aku kutu buku? Ah nggak juga. Aku ikut kegiatan Himpunan sebagai pembantu umum. Aku perlu di himpunan kata kahim kami Naldi, karena kemampuan nalarku aku bisa mengatasi, mahasiswa lain yang aneh-aneh. Mereka segan berdebat denganku. Karena kalau aku mulai menatap mata mereka dengan sorot tanda tak setuju, mereka mulai takut. Ini sebenarnya pembawaanku. Karena dulu waktu SMA aku jago kelahi, dan tak pernah takut menghadapi siapapun, kecuali seorang temanku yang alim Rusdi namanya. Rusdi selalu menasihatiku dengan meminjam ayat dalam Al Qur’an dan Hadis Nabi, sehingga aku hormat padanya. Rusdi adalah aku hormati. Yang lain semua tunduk padaku. Aku dipilih mereka jadi Ka-ISMA.

MASALAH KULIAH DI BANDUNG
Hanya satu masalahku. Ayah tidak bisa mengirimku uang banyak untuk ongkos kuliah di Bandung karena ayahku adalah seorang pedagang di pasar.
Bagaimana caranya ya untuk mengatasi masalah keuanganku di Bandung? Diam-diam tanpa sepengetahuan ayah, aku melamar jadi satpam di BSM kusus bertugas malam hari setelah jam sebelas sampai jam 6 pagi. Dan kadang-kadang kalau tidak ada kuliah sore aku masuk mulai jam lima sore sampai jam 12 tengah malam. Aku di berik kebebasan oleh Komandanku. Ia amat baik, karena ia seorang pensiunan TNI. Sedangkan aku adalah seorang cucu TNI. Masih keluarga TNI katanya. Aku ingat, sewaktu test penerimaan Satpam, aku ditanyakan apa bisa kelahi, aku jawab gak bisa pak. Kalau gitu kamu gak bisa jadi satpam, kata Komandan yang mengujiku. Saya bilang bahwa aku tidak bisa berkelahi, bisanya hanya bela diri. Komandan satpam marah padaku, disangkanya aku mempemainkan dia. Tidak pak saya bilang bahwa saya jujur, saya tidak mau berkelahi, namun saya agak terampil bela diri, karena saya pemegang sabuk hitam Dan 2 Inkai. Barulah ia kaget, karena ia hanya sabuk biru dan itu baru saja selesai ujian. Dan aku langsung diterima, dan diangkat sebagai pelatih semua anggota satpam.
Hari Minggu malam aku selalu sibuk melatih anggota dalam penguasaan teknik-teknik karate shotokan sebagai aliran Inkai.

Cerita aku melamar masuk satpam di BSM ini menarik juga. Sebenarnya itu secara kebetulan saja.
Setelah selesai OPSPEK selama lima hari, dan perkuliahan dimulai, aku mulai mencari informasi untuk mendapatkan pekerjaan. Kebetulan hari itu aku diajak oleh Putri dan Azar ke BSM untuk jalan-jalan dan ditraktir Putri karena ia ulang tahun.
Iseng Azar menawarkan padaku.
”Rik, kalau kau mau cari pekerjaan, coba aja melamar jadi satpam di BSM sini”, sambil ketawa Azar melihatku. Ia tahu pasti itu hanya aku anggap sebagai guyonan. Ia tidak tahu bahwa itu aku anggap sebagai tawaran dan peluang. Aku tidak pernah berpikir sebelumnya akan jadi seoran satpam. Boleh jua pikirku.
”Eh,,menarik juga Zar, aku akan coba melamar ah”, kataku.
”Kamu serius mau jadi satpam Rik”, kata Putri.
”Kenapa tidak Put, apa kau tidak punya tampang jadi seorang satpam?, tanyaku.
”Kamu terlalu ganteng buat hanya seorang satpam”, kata Putri lagi.
”Iya, Rik, masak mahasiswa ITB mau jadi satpam”, kata Azar lagi.
”Zar, Put, satpam itu kan juga bekerja. Coba kalian pikir, mereka kan mengamankan pengunjung mall ini dari gangguan penjahat. Apa tidak mulia kerja mereka. Dan juga mereka kan dilindungi oleh Polri. Juga mereka dibayar dong”, kataku coba membela satpam.
”Ah, kamu serius mau jadi satpam nih Riko”, kata Putri lagi.
”Serius dong, daripada aku jadi copet di Bandung, kan lebih baik aku jadi satpam. Ntar gajinya bisa buat aku hidup di Bandung”, kataku lebih serius.
”Iya juga Put, si Riko kan karatenya sudah ban hitam, cocoklah kalau soal berkelahi dan membela diri”, kata Azar membelaku.
”Zar, kamu tolong aku buatkan surat lamaran ya, ntar aku kirimkan ke Pso itu tuh”, kataku sambil menunjuk ke Pos Satpam persis di depan mall BSM.
”OK beres komandan, siap diperintah”, canda Azar.
”He, yang cocok kamu Zar’, kata Putri becanda.
”Jangan dong, masak aku pacarmu yang jadi satpam”, bela Putri.
”Aku becanda, aku gak mau pacarkau satpam”, kata Putri lagi.
Akhirnya kami memasuki lantai 4 BSM tempat bermacam masakan di stall makanan. Kami memesan gado-gado dan es campur. Putri memesan steak dan cocacola.

Demikianlah, ceritanya yang akhirnya aku melamar jadi satpam, dan seminggu kemudian aku dapat jawaban bahwa aku diterima.
Jadilah seorang pemuda Padang ganteng si Riko yang mahasiswa Teknik Industri ITB menjadi satpam mall BSM.
Ia membutuhkan itu. Ia butuh kerja. Dan ia butuh uang untuk biaya hidupnya di Bandung. Dan itu adalah mulia. Dan itu segera menjadi buah bibir di ITB. Riko tidak peduli. Riko malahan bangga, karena ia sekarang telah bekerja, walaupun seorang satpam yang masih dianggap pekerjaan rendah oleh sebagian orang termasuk oleh para mahasiswa ITB di kampus. Terlebih oleh para cewek yang anak orang kaya.
”He, gak salah kamu ganteng-ganteng jadi satpam”, kata Karina.
”Emangnya kenapa Rin, apa aku kelihatan blo’aon jadi satpam”, kataku membela diri.
”Bukan, gengsi dong, mahsiswa ITB jadi satpam’, ejek Karina lagi.
 ”Biarin Rin, kan satpam juga kerja, ya gak Rik”, bela Meli.
”Ialah kamu bela dia, kan kamu naksir si Riko”, ejek Karina pada Meli.
”Eh, jaga mulutmu, ngaco aja”, potong Meli. Aku tahu ia melirik padaku dan sempat menyunggingkan seulas senyumnya yang manis.
”He, kok berantem, hayo masuk, kita diskusi soal statistik”, potong Azar.

Demilkianlah kehidupanku di Bandung, Masalah kurang uang telah aku pecahkan dengan diterimanya aku sebagai satpam. Walaupun gajinya kecil. Aku hanya terima 1 juta sebulan. Cukup buatku untuk membiayai hidup pas-pasan di Bandung.

KAMPUS ITB
Siang ini panas terik sekali. Aku berdiri di depan gerbang kampus di Jalan Ganesha 10 Bandung. Kampus yang amat terkenal di negeri ini. Kampus yang telah lama bediri, sejak tahun 1959. Tadi kuliah Dasar Teknik Industri, lumayan menarik. Kuliah yang menjadi dasar untuk menghantarkan kami mahasiwa TI-ITB untuk menjadi manusia yang dipersiapkan untuk melakukan peran di negera yang indah dan serba bhineka ini.
Aku sedikit ngantuk, karena tadi malam adalah hari pertamaku bekerja sebagai satpam di komplek pertokoan atau mall BSM atau Bandung Super Mall. Aku langsung dari BSM ke Dago, karena aku tidur di gardu setelah jam 2 pagi selesai tugas sejak jam lima sore.
Kawan-kawanku sudah pada pulang dengan kendaraan mereka. Ada yang ikut mobil Putri, ada yang nebeng Karina, dan ikut Evie. Dan ada yang naik motor. Aku akan pulang ke Sekeloa di belakang lapangan Gasibu tempat aku kost.
Ini tahun kedua aku di ITB. Tahun ini aku mencoba untuk mencari kerja agar beban ayah tidak terlalu berat untuk mengirimi uang bulanan ke Bandung dari Pekanbaru.
Ah, kelelahan membawaku ke Mesjid Salman untuk menunaikan sholat zuhur. Dinginnya air kran mesjid sedikit memberikan kesegaran ke padaku. Selesai sholat alu duduk sebentar di sudut teras mesjid. Kelelahan dan ngantuk membawaku melamun ke masa aku dulu ditempat yang sejuk dan dingin di Padangpanjang tempat aku menyelesaikan SMA setahun yang lalu.
Betapa waktu itu aku menyelesaikan sekolah dengan keadaan serba seadanya. Berbeda sekali dengan kawan-kawanku yang lain. Yang oleh teman-teman di tempat acara ulang tahun mereka sebut kelompok mereka sebagai anak gaul.
Dan mereka disebut juga anak baru gede atau ABG.
Pelan-pelan aku tinggalkan mesjid Salman dan bergerak ke Sekeloa.
Aku buka pintu kamar, dan langsung merebahkan diri ke kasur tipis di kamar 2.5 kali 3 meter ini. Merenung dan mengingat kembali cerita kenapa aku sampai di Bandung ini. Hidup merantau dengan bermodalkan semangat belajar untuk maju hanya itulah yang melecutku saat ini. Ini mengharuskan aku belajar lebih rajin dan giat dibanding teman-temanku yang lain. Tidak peduli aku lagi tugas jaga, tetap kau sempatkan belajar. Dan aku juga sempatkan membantu para pemilik toko di BSM untuk merapikan dagangan mereka. Seperti aku sering membantu seorang pedagang handphone dan barang kelontong milik seorang China, Koh Acung namanya.
Kalau aku tidak ada tugas PR mata kuliah yang harus aku kerjakan sebelum masuk kerja, biasanya jam 6 sore aku sudah ada di BSM. Aku sering diminta bantuan oleh orang-orang toko untuk apa saja, ngangkat barang, jaga toko, sampai membantu Encek  Poa, seorang pedagang elektronik di BSM menyusun barang dan menghitung pendapatannya hari itu aku pernah lakukan. Aku tinggal di Sekeloa, nyewa sebuah kamar murah, dan makan di kantin atau pinggir jalan mana saja.
Kalau ke BSM aku naik angkot, atau sering aku lakukan jalan dan lari kecil, mengambil jalan pintas. Aku menghemat ongkos sambil melatih daya tahan tubuhku. Capek? Capek juga, tapi gak apalah, buat orang miskin seperti aku capek udah makanan sehari-hari. Bukankah sewaktu SMA juga aku hidup prihatin dan selalu naik turun sungai dan bukit mencari ikan dan paku buat makananku di Padangpanjang.
Aku sudah terbiasa hidup berjuang. Kan aku keturunan pejuang Paderi yang terkenal itu? Aku memang capek sekali. Mataku berat sekali, ingin tidur saja.
***
TERTARIK SEORANG GADIS CHINA
Jam 4 sore aku terbangun. Mandi dengan cepat. Aku masukkan pakaian satpam ke dalam tas punggung. Tak lupa sehelai kain sarung buat shalat. Aku pakai celana sport pendek, dan kaos oblong hitam, dan aku segera memakai sepatu olah raga pembagian satpam. Keluar rumah dan berjalan cepat kearah Gasibu. Lalu aku lari kecil memotong jalan ke Martadinata, dan meneruskan ke arah BSM. Jam lima tepat aku sudah di pekarangan mall. Lari sore ini selalu aku lakukan sekalian olah raga untuk menjaga stamina. Sekalian menghemat buat sewa angkot. Lumayan untuk dua arah aku harus bayar enam ribu rupiah. Bagiku uang enam ribu besar sekali karena aku bisa makan nasi pecal dengan itu buat ganja perut satu hari. Aku lalu ke lantai dasar, ambil air udhuk dan shalat ashar. Ganti baju di mushola. Setelah mengisi daftar hadir lalu aku keliling sebagai pengawas satpam, dan lalu siap bantu-bantu orang, sambil keliling sebagai pengawas satpam. Pokoknya para pedagang BSM mengenalku dengan baik. Mereka bangga punya anak muda Riko yang mahasiswa pintar kuliah di ITB, ringan tangan, baik hati, anggota satpam, dan ngganteng. Sales perempuan BSM banyak yang naksir aku, tapi mereka nggak berani mendekatiku, karena mereka tahu aku seorang mahasiswa ITB pasti nggak setingkat dengan mereka.
Mereka salah, diam-diam aku suka memperhatikan Silvia, anak Koh Acung pedagang handphone yang wajahnya mirip Agnes Monica, malahan lebih ayu menurutku. Silvia yang asli keturunan China malahan tidak mirip orang China, matanya gak sipit amat, dan rambutnya yang panjang hitam itu yang memikatku. Ia pernah memenangkan lomba rambut hitam indah Sunsilk di Bandung. Aku ingat temanku Mira sewaktu di SMA. Rambut Mira juga panjang dan agak ikal. Rambut Silvia lebih lurus asli China. Namun wajah Mira dibanding dengan Silvia, lebih cantik Silvia. Mira wajahnya khas gadis Minang yang agak bulat dan berlesung pipit. Sedangkan Silvia wajahnya tirus dengan dagu runcing. Silvia lebih cocok jadi pragawati karena orangnya tinggi putih, dan hidungnya lebih mancung. Jalannya anggun dengan tatapan mata lurus ke depan. Iyalah, kan ibunya tinggi dan juga cantik, dan bapaknya yang China totok itu gurunya kungfu di Buah Batu juga ganteng. Mungkin juga pengaruh alam Priangan yang cantik dan udaranya sejuk membuat gadis-gadisnya cantik-cantik. Gadis-gadis Sunda keturunan Pitaloka sang anak raja Galuh yang terkenal kecantikannya ke seluruh Jawa. Tapi Silvia adalah gadis keturunan China dengan perawakan dan penampilan Sunda.
Namun, aku gak mau terlalu agresif mendektinya, aku gengsi dong, orang ngganteng kayak aku, ogah buat dekatin dia duluan. Kalau Silvia yang menegurku barulah aku respon. Pemuda Padang memang terkenal sombong. Tapi mereka umumnya ganteng-ganteng. He..boleh dong kami sedikit sombong.
“Kang Riko, baru dari kampus ya”, suatu senja Silivia menegorku sewaktu aku ke mushola lantai bawah BSM.
“Hei Sil, iya baru dari kampus, kok kamu gak latihan?”
“Latihan, latihan apa kang?”
“Latihan itu tuh, lenggang lenggok di catwalk”.
“Ah, kakang bisa aja”.
Aku mati kutu bila lihat kerlingan mata Silvia yang menggoda, teristimewa tonjolan dadanya yang tidak terlalu besar namun menantang selera kelaki-lakianku karena keindahannya. Waktu ia berjalan dadanya tegak lurus namun langkahnya seperti putri kerajaan dengan senyuman yang dikulum. Silvia bintangnya BSM kata Mang Ujang pedagang es buah di sampan gerbang BSM.
“Silvia teh, cantik pisan eui, cocok pisan sama Aa Riko”, celoteh Mang Ujang padaku, kalau aku mampir buat nyicipi mangga dingin di kiosnya.
“Ah, si mamang bisa aja, kan aku ini orang susah mang, mana cocok ama putri orang kaya Koh Acung”. Mang, jauh puntung dari api”, kataku.
“Eh, si Aa kagak tahu nya..Silvia pernah bilang ama mamang, ia kagum ama Riko, ngganteng dan baik hati katanya, mamang serius pisan, kata mang Ujang.
“Nggaklah mang, mana ada satpam pacaran ama nona China seperti Silvia. Dan ia cantik lagi..Bisa-bisa aku ditertawai oleh orang se BSM. Pasti mereka mengatakan seperti pungguk merindukan bulan...
“Bukan A’..Kayak pangeran ama putri cantik lah..Apa memang aa Riko tidak tertarik sama Silvia. Banyak lho ak yang naksir dia...Awas lho nanti aa keduluan baru tahu...
Aku jadi terdiam. Aku memang diam-diam merasa tertarik pada Silvia.
Silvia, kau mencuri hatiku, gumamku sambil memasukkan air kumur-kumur buat ngambil wudhuk di Mushola BSM . Selesai sholat maghrib, aku kembali keatas, dan lagi melewati showroomnya Silvia.
“Kang Riko, bantu Silvi dong, ngerapiin nih HP, gimana gitu supaya tampilannya menarik. Kan Kang Riko belajar Ilmu Produk di TI, pasti tahu dong gimana membuat produk tampil disukai oleh pelanggan”. Silvia langsung mencegatku.
“Wah, buat ngatur susunan HP gak perlu ilmu marketing segala non”, sambil aku masuk ke dalam tokonya Silvi.
“Koh Acung kemana, kok gak kelihatan?”
“Lagi pulang bantu mama, kebetulan temannya dari Jakarta datang, eh adik sepupunya”.
Kemudian aku sibuk ngebantu Silvia ngerapiin dan ngelapin HP dan ditata ulang di etalasenya. Keistimewaan Silvia dia mengikutkan hiasan boneka lucu dan bunga-bunga plastik warna warni disela-sela HP sehingga kelihatan menarik sekali disinari neon jingga dan hijau. Tapi, yang lebih menarik aku adalah berdampingan dengan sicantik yang harum dengan parfum Dior yang amat merangsang.
“Sil, gimana Unparmu?, aku mencoba mengalihkan komunikasi supaya gak terlalu menikmati penampilan sicantik.
“Aku baru mulai kang, masih kuliah basic ekonomi, akuntan dan matematika dasar atau kalkulus”.
Silvia kuliah pada Fakultas Ekonomi Unpar.
“Eh, kang Riko malam ini gak tugas jaga kang?”
“Tugas dong, kalau gak aku di pecat ntar, lalu aku mau bayar kosan dan makan dari mana Sil”.
“Lalu besok kan kuliah, apa gak ngantuk tuh kang”. “Tadi kang Riko ke sini jalan kaki lagi ya”.
“Ah, gak jalan kaki, aku lari dari Ganesha”.
« Kang Riko, jangan gitu dong kan capek, ntar mau jaga malam lagi, bisa ngantuk ».
“Ngantuk, gak tuh Sil, aku biasa saja, paling aku tidur pulang kuliah satu jam, sebelum kembali kekampus diskusi dengan teman-teman. Aku masih menyombongkan diri.
“Kang Riko gak usyah terlalu forsir energi kalau hanya buat uang kos dan makan, entar kuliahnya jadi terganggu”.
“Habis aku nyari uang dari mana dong, kan kiriman ayahku terbatas Sil. Kamu gak tahu ya aku ini keturunan pejuang Paderi dari Sumbar. Kami pantang menyerah dan tidak kenal kelelahan”.
“Ah kakang jangan sombong gitu lho, entar kakang sakit”.
“Memangnya kamu mau aku sakit. Jangan dong ntar siapa yang akan bayar ongkos rumah sakitku »
« Tidak, kakang tidak boleh sakit, makanya sekali-sekali istirahat dan rileks begitu. » 
“Kalau aku istirahat berarti aku gak makan Sil. Dan lagi kuliahku bisa berantakan.”
“Papa bisa bantu kang Riko, kalau kang Riko mau”.
“Papamu bantu aku, kan udah Sil, papamu sering ngasi aku uang kalau saban aku bantu dia beresin toko ini”.
“Ah, iya itu kan insidentil namanya, gak tetap”
“Tetap, gajiku sebagai satpam disini kan tetap Sil. Walaupun kecil, tapi cukup buat bayar kamar kos dan makan aku. Dan buat beli diktat kuliah dan fotokopi aku juga dapat dari encek Poa. Tapi, memang aku gak punya duit seperti teman-temanku yang suka nongkrong makan enak di Ciwalk dan Braga. Mereka ketawa-ketiwi di mall, sedangkan aku begadang jadi satpam”.
“Itulah kang, aku kasihan ama kakang yang tiap malam begadang, terus esoknya kuliah dan mengerjakan tugas. Kakang kuliah pada jurusan yang susah, TI-ITB yang memerlukan konsentrasi penuh”.
“Sil, kamu gak usyah ragu dengan kemampuanku, walaupun aku begadang tiap malam, namun aku bisa menguasai mata kuliah dengan baik, dan eh kamu tahu nggak, nilaiku semuanya A kok”.

Aku bohong, dan aku sombong. Karena aku juga pernah dapat nilai C dengan ibu Rukmi karena aku sering ngawur dengan mata kuliah Dasar Teknik Industri. Bu Dr. Rukmi pernah menegorku karena aku kedapatan tertidur di bangku kuliah karena aku kecapekan. Akhirnya aku harus membuat paper dan ikut ujian ulangan untuk mendapatkan nilai B.
“Wah kang Riko orangnya pinter”.
“Ah gak, aku biasa aja. Eh, Silvi kenapa kamu bilang papamu mau bantu aku, emangnya kenapa?
“Kang aku mau berterus terang nih ama kakang, tapi janji kakang jangan marah ya”.
“Kenapa aku marah, orang yang bantu aku harusnya aku terima kasih dong Sil”.
“Kang, dua hari lalu, papa cerita tentang kakang ke mamaku, sehabis kami makan malam di rumah. Papa kagum ama kakang. Papa melihat kakang sebagai pemuda Sumatera yang ulet dan penuh tanggung jawab. Kakang punya semangat seperti orang China kata papa, ulet dan tangguh. Sehingga papa minta pendapat mama kalau kakang mau, papa akan meminta kakang menjadi manejer toko kami yang di Pasar Baru yang baru buka dua bulan lalu. Papa meminta aku untuk menyampaikannya kepada kakang”
“Lho, kenapa tidak koh Acung sendiri yang menyampaikannya kepadaku”.
“Papa merasa aku kan temannya kakang, disamping ia gak mau seakan memaksa kakang dan takut kakang merasa tersinggung karena akan menjadikan kakang anak buahnya”.

Aku merasa risi di hatiku. Kebaikan koh Acung aku sudah merasakan. Juga kebaikan Encek Poa, dua orang China yang saya rasakan mempunyai rasa persahabatan yang tulus, dan mau membantu anak miskin seperti aku. Pada hal semua orang tahu, jarang kejadian begini. Karena biasanya orang China bergaul sesame China saja. Namun, ada beberapa pengecualian seperti orang China yang merasa sebagai orang Padang di Pondok. Mereka mengatakan bukan orang China lagi tapi orang Padang, bukan orang Minang.

“Riko, kamu bantu aku merapikan toko ini, sebelum kamu tugas malam. Kalau kamu perlu apa-apa bilang aku, nanti aku pasti bantu . Suatu hari Koh Acung bicara padaku setelah aku bantu ia mengangkat barang-barangnya yang baru datang dari Jakarta.
« Gimana kang Riko, terima gak tawaran papa ».
“Sil, aku mau tanya, apa benar papamu yang minta aku kerja ama dia, atau kamu yang mengajukan”.
“Papa yang meminta, namun kalau dia gak minta, aku juga bermaksud yang sama”.
“Sil, aku merasa rendah diri, kamu gak boleh kasihani aku, aku ini laki-laki yang masih sanggup menggunakan urat dan ototku bekerja membiayai kebutuhanku”. Kesombonganku kembali keluar.
“Kang Riko jangan tersinggung, maafkan Silvi ya kang, Silvi ngerti kok”.
“Eh..gimana kabar Meli kang”. Silvia mencoba mengalihkan pembicaraan. Rupanya ia tidak mau terlalu jauh dan takut aku makin tersinggung.
“Meli, baik dia baik, emangnya kenapa kamu tanya”.
“Meli itu orangnya cantik, pinter seperti kakang, mahasiswi ITB lagi, kan katanya dia naksir kakang”, kata Silvi sambil jalan menghindari aku.
“Sil, memang Meli orangnya cantik dan pinter sekali, tapi aku nganggap dia sebagai teman biasa seperti cewek TI yang lain, Rina, Evie, Putri, atau temanmu Agnes si bintang Unpar itu. Juga aku kan gak punya waktu buat pacaran, kamu kan tahu itu Sil”. Lagian yang naksir Meli adalah temanku Pery si jago taekwondo itu.
“Oh ya, kakang emang orangnya lain deh, emangnya kakang tertarik ama siapa?, Silvia mulai coba menggodaku.
“Sil, aku mau punya teman cewek, kalau kamu bilang itu berteman itu sama dengan berpacaran, maka aku akan naksir dengan seorang calon  pragawati Bandung”.
“Oh ya..siapa orangnya kang?, suara Silvia kedengaran nada cemburu dan gusar.
“Orangnya cantik banget, harum, dan sering menggodaku dalam mimpi”.
“Siapa dong kang, kasih tahu dong”.
“Ntar kalau waktunya tepat aku akan kasih tahu kamu”, aku mencoba menggoda Silvia.
“Silvi jadi cemburu nih kang, eh, nggak ah… Silvia mulai mencoba mengaduk hati Riko.

Silvia rupanya naksir ama Riko. Cinta kali ya.. Memang cinta anak muda sekarang berbeda dengan jaman tahun tujuh puluhan. Tahun tujuh puluhan dulu cinta dikatakan. Sekarang cinta di perlihatkan dengan perhatian penuh kepada pasangan. Itu yang di perlihatkan oleh Silvia pada Riko. Riko juga senang pada Silvia. Itu ia perlihatkan dengan selalu memandang Silvia dengan sorot mata ingin melindungi cewek cantik itu. Riko pernah menonton pilem India dulu di bioskop Padangpanjang. Aishwarya Ray yang di cintai oleh Krishnand, selalu dilindungi dari kejahilan pemuda jalanan yang coba menggodanya. Kris, menyanyikan lagi cinta ala India yang merayu-rayu. Aish juga menyanyi buat Krishnand.
Riko tidak bisa menyanyi. Ia menyanyikan lagu cinta dalam hatinya. Ia menyanyikan lagu cinta melalui sorot matanya. Dan melalui sikapnya yang jantan yang setia saat akan siap melindungi Silvia. Silvia juga mencintai Riko. Silvia juga tidak menyanyi seperti Aishwarya. Silvia menyayangi pemuda itu dengan mencoba memperhatikan dan menolong hidupnya. Silvia tahu Riko itu pemuda tangguh yang kebetulan kekurangan. Namun, itulah yang menarik hati Silvia. Silvia bangga walaupun Riko seorang satpam.

“Sil, katanya kamu pacaran dengan seorang satpam BSM.” Suatu hari Agnes temannya Silvia dari Unpar menanyakan.
“Emangnya kalau pacaran dengan satpam kenapa? Tanya Silvia.
“Ah enggak..kok aneh. Stanley yang naksir kamu kok kamu acuhin, eh malah  kamu pacaran dengan seorang satpam..aneh aja Sil.
“Enggak ada yang aneh tau..”
“Emangnya apa kelebihannya Sil?”
“Ya ia memang satpam, tapi satpam yang keren tau..
“Satpam ya tetap satpam dong, apanya yang keren..
“Satpam ini lain Nyes..
“Lain, apanya yang lain..
“Ia mahasiswa tau..
« Mahasiswa mana..Unpad.
« Bukan, ITB.
“Wow, kok mahasiswa ITB mau jadi satpam..
“Itulah yang membuat aku tertarik. Ia yang satpam. Ia yang ganteng. Ia yang jago karate. Ia yang juga sombong amat. Namun ia punya hati yang lembut padaku. Ah sudahlah kamu enggak tahu Nyes. Biarkan aku mencintai satpamku. Dan aku gak tertarik sama Stanley..kata hati Silvia.
“Dag Nyes”, kata Silvia sambil memasuki mobil Honda Jazznya.

Di mobilnya Silvia kembali merenungi ucapan Agnes tadi. Kenapa ya aku kok jatuh hati kepada pemuda Padang yang bernama Riko ini. Aku gadis China kok gak tertarik sesama pemuda China. Seperti Stanley itu. Seperti Michel yang pemain musik itu. Kok sama Riko pemuda Padang yang ganteng ini ya. Ah biarin kata hatinya lagi. Aku kebetulan China dari garis keturunan. Tapi aku gadis Sunda yang lahir di Tanah Priangan. Aku gadis Indonesia, karena aku dan keluargaku hidup di kepulauan Nusantara ini. Aku punya hak mencintai dan dicintai oleh pemuda mana saja di tanah air ini. Seperti si Riko yang aku sayang padanya. SI Riko yang juga aku harapkan ia akan menyayangi aku.

Silvia sudah lama memperhatikan Riko dan ia menaroh hati pada Riko, persis seperti cerita Mang Ujang. Sudah sejak pemuda ini hadir di BSM sebagai satpam dan suka membantu pedagang tanpa pamrih termasuk membantu papanya Koh Acung, Silvia sungguh tertarik pada pemuda Minang satu ini. Orangnya sopan, nganteng dengan sedikit berbulu didagunya yang kekar dan matanya hitam tajam menyorot dibawah dua alisnya yang tebal, sewaktu memandang sungguh menembus lubuk cinta dihati Silvia dan meninggalkan benih disitu yang mengakibatkan matanya sulit terpejam sewaktu memikirkan pemuda ini menjelang tidurnya.

Silvia ketahuan membuka belang di hatinya. Riko paham kata-kata bersayap gadis didepannya. Sambil tersenyum hatinya berkata, aku tahu kalau ia juga naksir aku. He Shinta, Ramamu juga punya perasaan yang sama, suatu saat kita akan ke Nirwana bersama, itu pasti, gumamnya dalam hati. Riko mengutip kata-kata dari pilem India dalam hatinya.
“Gimana kang tentang tawaran papa, diterima nggak”. Silvia kembali mengalihkan percakapan kami.
“Yah..nanti aku pikirkan, dan aku akan bilang sendiri pada papamu”.
“Terima ya kang”. Kembali Silvia menawarkan “hatinya” padaku.

Dengan tawaran papa Silvia sebenarnya adalah peluang bagiku. Aku tahu sebagai manejer toko pasti aku ditawari gaji yang lebih menarik dan besar dari sebagai seorang satpam mall BSM. Namun aku harus hati-hati karena terus terang hati kecilku tidak membolehkan aku menjadi ”hamba” seorang China. Namun hatiku juga berperang, kalau seorang China baik seperti koh Acung yang papanya Silvia, “why not? Bukankah koh Acung akan menjadi bapak mertuaku, kalau aku kawin sama anaknya. Wah ini namanya rejeki durian runtuh. Aku dapat kerjaan, gaji dan sekaligus akan makin dekat dengan gadis idamanku? Terima ah, kata hatiku. Tapi tunggu dulu, aku kan belum beri tahukan kepada ayah dan ibuku di kampung. Ayahku bekas seorang idealis kampus akan setuju bermantukan dan berbesan dengan seorang China? Atau ibuku seorang aktifis mesjid akan setuju aku kawin dengan pemeluk agama Budha? Oh, no..no, wait Riko, do not such a hurry you to decide your future. Be patient please.
Gengsi dong Riko, kata hatiku lagi, kan kamu mahasiswa TI-ITB, kan kamu pemuda Padang yang ngganteng, ang sobong, masa menyerah keada seorang gadis China si Silvia itu. Entar kalau kamu sudah jadi sarjana pasti banyak tawaran kerja buatmu yang lebih menggiurkan. Dan pasti banyak cewek cantik mau jadi pendamping mu, event a film artist you can grab her easily Riko, do not such a worry.. Kan ada Chairani yang sedang menunggumu. Terima dong Riko, kata hatiku lagi, kan gak pantas kamu jadi satpam mall, mahasiswa ITB jadi satpam, gengsi dong Rik, ini pernah dikatakan oleh teman kampusku yang terkenal sombong si Karina anaknya seorang GM di perusahaan minyak terkenal. Terus hatiku berkata lagi, emangnya jadi satpam itu bukan kerjaan mulia, kan menjaga barang dari penjarahan maling dan pencoleng di mall, itu pekerjaan mulia yang dapat gaji dan dapat pahala dari Tuhan.

Dan aku buktikan pada khalayak ramai, bahwa kerjaan satpam itu adalah baik. Nih, si Riko mahasiswa ganteng ITB jadi satpam mall, namun soal teknologi tanya dia, kan nilainya sering dapat perfect score 4. Aku pernah membantu Mang Ujang yang jadi mainan preman yang tidak mau bayar buah yang mereka makan, dan Mang Ujang mau mereka pukul. Untung aku lewat, tangan si brewok aku tangkap, aku puntir kebelakang, dan uluhatinya aku sodok dengan pukulan lembut namun melumpuhkan. Temannya yang mau menendangku aku elakkan sambil membongkok dan mengirim sapuan yang membuatnya terjungkal mencium aspal. Akhirnya mereka ngeloyor, tanpa berani menolehku. Mereka aku tudukkan dengan pukulan karate dan gaya silat harimau yang aku dapat dari kakek.
“Terima kasih Riko, mainnya silat Aa cepat pisan, eui, ajarin aku ya Riko”, kata Mang Ujang sambil menyodorkan buah mangga kesukaanku.
“Mang hati-hati dengan begajulan seperti mereka, nanti aku ajarin mamang gimana cara membela diri dan melumpuhkan mereka”.
“Iya, iya aku mau, kapan Riko.
“Entar, kalau aku selesai UTS, bulan depan ya mang.
Ya..ya..eh Riko, tadi Silvia pesan, kalau ia telat.
“Ya mang makasih ya.

Aku memang harus membela orang lemah seperti mamang ini. Darah pejuangku bangkit bila melihat preman yang sok jago di BSM yang suka memalak pedagang kecil. Atau preman di Pasar Baru yang suka bikin ulah, sering aku nasihati. Pedagang orang Padang di sana sudah tahu kalau aku jago silat. Dan mereka senang bila kau sekali-kali datang. Aku sering dihadiahi kaos, yang aku pakai waktu kuliah.

Lagi si Karina mengejekku.
« Riko, kok kamu pakai bajo kaos murahan itu..
« Mending murah Karin, robek juga akan kupakai..dari pada telanjang. Emangnya kenapa ?
« Norak tahu...
Ah..Karin. kamu benar-benar orang kaya. Kaos bagus hadiah temanku di Pasarbaru kamu bilang norak..

Seorang dosen statistik profesor Ambasador yang terkenal disiplin dan alim pernah mengatakan kagum padaku.
“Riko, kamu kalau sebelum jaga malam, berdo’a dulu, sholat Isya dulu, sholat hajad minta perlindungan pada Allah, trus jam tiga pagi kamu ambil udhuk dan sholatlah tahajuud. Kamu beruntung Riko dapat kerjaan yang memberi peluang sholat tahjud tiap malam, syukuri nak, do’alah pada Allah supaya kesempatanmu itu dipelihara-Nya buatmu, tidak banyak orang yang dapat kesempatan sepertimu”.
“Aku kagum dan bangga padamu, seorang mahasiswa ITB brilian mau jadi satpam mall”, demikian sang profesor yang kuhormati memberi wejangan sewaktu memberikan kertas hasil UAS Statistik-ku yang dapat nilai 4.
“Iya pak, makasih atas nasihat dan dorongan bapak”.
“Coba kamu buatkan aku riset kecil statistika, pengaruh apa yang dominan terhadap outlet yang ada di BSM dalam hal penjualan atau customer percive value. Kamu design questionnaires-nya dan pakai tool An-Mul atau Non-Parametiric bila mana mungkin. Sebagai satpam mall pasti diam-diam kamu mengamati perilaku customer dan performance outlet. Itu cukup memberikan ide buat sebuah riset performance pasar terhadap tampilan produk. Ini bisa jadi bahan kajian yang amat berguna buat system ekonomi dan factor financial kota Bandung, ditinjau dari perkembangan mall.” Nanti bisa dilanjutkan pada teori perancangan pada produk terpilih ditinjau dari segi letak geographis pabrik dan pasar.
« Hah.. ? » Mentang-mentang profesor ahli statistika, ia nyerocos saja memerintahku.
« Iya, nanti kamu bisa planingkan buat tugas akhirmu , dan saya akan jadi pembimbingmu, kalau kamu berhasil defense dengan nilai 4A, kamu akan aku carikan beasiswa masterate sekaligus doctorate ke Amerika atau Perancis. Atau ke Philippine agar tidak terlalu jauh.
« Benar nih pak ? », aku jadi semangat juga.
« Kapan profesormu ini bohong, minggu depan aku tunggu Framework-nya »
« Terima kasih banyak pak, saya akan siapkan Frameworknya segera ».

Aku tersentak dengan hadirnya jari lembut dipunggungku.
« He..kang Riko tuh HP kok di tarok di lantai », sergap Silvia sambil tersenyum.
« Oh. Very sorry mam », aku tergagap, rupanya aku ketahuan lagi ngelamun.
« Emangnya kakang lagi mikirin apa, matamu jauh kedepan, tapi tanganmu memegang HP lama sekali, itu tuh Silvia jadi takut kaki kakang bergerak-gerak ».
«  Ah..enggak aku kangen mama, udah enam bulan aku gak pulang ke Padang », aku berbohong.
« Selamat malam Rik », tiba-tiba koh Acung muncul dari gang depan.
« Malam koh, gimana khabar ».
« Baek..baek, lagi sibuk bantu Silvi ».
« Ia koh, biasa aku juga lagi kosong nunggu jam sebelas, koh dari mana ?
« Adikku dari Jakarta datang sama anak dan isterinya »
“Oh..koh, Silvia aku mohon diri ya”
“Tunggu dulu Rik, kan masih jam sembilan, kita ngobrol dulu”.
“Silvia, tidak boleh lama-lama, kan Riko harus bertugas”, kata Koh Acung.
“Masih ada waktu koh, aku entar masuk jam sebelas”.
“ Silvia, tolong pesankan bubur campur dan kopi susu buat papa dan Riko”
“Baik pa”, Silvia beranjak ke lantai bawah tempat Warkan atau warung makan BSM.
“Riko, apa tadi Silvia menyampaikan mengenai toko kami yang di Pasar Baru”.
“Soal apa koh”.

“Toko di Pasar Baru mulai ramai, sementara disana hanya ditunggui oleh seorang Sales yang melayani, sementara saya harus bolak balik dari sini ke sana mengontrol semuanya. Sekali-sekali aku juga harus ke Jakarta mencari barang. Itu saya rasakan tidak efektif dan kurang efisien. Tambahan tadi adikku ngajak bisnis di Jakarta untuk menjualkan produk baru dari China asesoris wanita yang lagi banyak peminatnya di Jakarta. Aku bingung, gimana caranya. Silvia bilang supaya aku memakai seorang manejer toko yang bertanggung jawab penuh terhadap penjualan kedua toko ini, dan akan aku buka cabang baru disini khusus asesoris. Terus kami bertiga tacimu, aku dan Silvia memikir, siapa ya orangnya yang cocok. Setelah aku timbang-timbang, susah juga nyarinya.
Mohon maaf Riko, aku mengajukan namamu, karena aku tilik-tilik Riko punya bakat pemimpin dan keuletan persis seperti margaku Hoa dari garis leluhur kami.
“Bagaimana pendapatmu Riko”.

Aku jadi terdiam. Aku mau mengatakan apa ya. Tawaran ini menarik. Namun aku masih teringat tawaran profesor Ambasador tentangan beasiswa ke Perancis setelah aku tamat nantinya. Sementara aku tahu 1 tahun lagi aku akan lulus. Koh Acung mengatakan ia bingung mencari orang, sementara aku lebih bingung lagi memikirkan tawarannya ini.
“Koh boleh aku berterus terang?
« Ya silahkan, aku suka pemuda yang terus terang, itu menandakan hatinya jujur ».
« Koh aku sebenarnya tertarik dengan tawaran koh, namun..
« Ya bagus, tapi apa lagi..soal gajimu, percayalah aku akan bayar nak Riko gaji yang amat pantas ».
« Bukan soal imbalan koh »
« Lalu soal apa, Silvia, apa ia menyinggung perasaanmu ».
“Bukan koh, Silvia amat baik padaku”. Menyebut nama Silvia aku jadi tambah risi, gadis cantik idamanku pasti akan tambah lengket kalau aku jadi manejer toko papanya.
“Pa, kang Riko, nih aku bawain bubur campur panas, dan kopi susu”, tiba-tiba Silvia muncul dengan pesanan papanya.
“Riko, ayo kita makan bubur sambil ngobrol, tadi kamu bilang ada sesuatu masalah rupanya?
“Koh, aku kira-kira tahun depan udah lulus. Kemudian aku akan berusaha dapat beasiswa untuk terus sekolah”.
“Beasiswa, kamu mau kemana”.
“Belum pasti koh, entah Perancis, atau mungkin juga Belanda, atau ke Jerman, bisa juga ke Manila kali”.
“Hem..satu tahun, gak apalah..biar nanti Silvia belajar memimpin perusahaan, dan kalau kamu jadi berangkat keluar negeri, ia bisa ngambil alih”.
“Aku gak mau pa, aku mau senang-senang dengan teman-temanku, gak mau aku terusan di toko”.
“Kamu gak terus ditoko non, tapi memimpin aja”.
« Gak mau, kalau kang Riko keluar negeri, aku mau juga biar tambah pinter, aku sekalian sekolah keluar negeri juga ».
Sambil senyum koh Acung melirikku.
“Jangan dengarkan Silvia, ia memang manja, maklum anak tunggal”. “Terus gimana Rik, apa kamu setuju dengan tawaranku”
“Kalau aku setujui, terus kapan aku mulai koh?
“Hari ini dong Rik”.
“Hari ini, kan aku masih anggota satpam koh”
“Alah gampang, aku akan bilang sama komandan, bahwa Riko aku butuhkan, dan pasti mereka mau menerima”.
Aku tahu itu. Karena koh Acung adalah salah seorang penasihat satpam BSM, karena ia guru kungfu dan paling banyak menyumbang buat kesejahteraan satpam mall ini.
“Koh, aku perlu memberi tahu ayah dan ibuku di Padang”.
“Oh iya..silahkan, sampaikan salam saya, walaupun saya belum ketemu mereka, Riko sampaikan salam hormat dari koh Acung ya”.
“Baik koh”.
“Jadi Riko menerima kan?
“Yalah koh, tapi akau perlu belajar dari koh, gimana memimpin toko”.
“Kamsia, makasih Budha, gampang itu Riko”, koh Acung memelukku.
“Kakang manejer, selamat ya, Silvia siap diperintah”, Silvia menyalamiku erat sekali. Matanya berbinar-binar. Bibirnya bergerak seksi sekali.
“Koh, aku permisi, aku akan lapor komandan”.
“Silvia, aku perintahkan, kembalikan mangkok bubur dan gelas kopi kebawah, lalu bersihkan toko, dan hitung penjualan hari ini, laporkan koh Acung”.
“Siap Bos”. Silvia senyum genit.
“Riko, besok kamu boleh pakai motor Honda yang ada dirumah, kamu gak usyah pakai jalan kaki dan lari lagi dari Dago ke BSM, nanti Ujang saya suruh bawa motor ke kosmu.
“Ah, gak usyah repot koh, aku butuh lari buat jaga kondisi pisikku”.
“Bukan gitu maksudku Riko, sebagai manejer kamu punya hak memakai kendaraan perusahaan, jadi itu hakmu, bukan aku pinjamkan”
“Makasih banyak koh, kokoh baik sekali”.

Demikian ceritaku waktu kuliah di TI-ITB Bandung. Aku Riko, seorang anak kampung miskin yang kuliah di Bandung pada sebuah perguruan tinggi ternama di tanah air, punya kesulitan ekonomi, namun karena do’aku pada Tuhan, dan do’a orang tuaku, diberi jalan oleh Yang Maha Kuasa sebagaimana ceritaku diatas. Melalui papa Silvia Koh Acung aku beroleh pekerjaan. Dan aku sekarang tidak akan tergantung lagi dengan kiriman dari papa. Aku katakan dalam surat, bahwa bulan depan aku tidak usah dikirimi. Pakai uang jatahku buat menambahin ongkos kuliah Zahra adikku yang telah masuk perguruan tinggi, Fakultas Ekonomi Unand Padang.
“Yah, ibu aku sekarang sudah punya penghasilan, tulisku dalam surat.

*

I LOVE YOU SILVIA
Sejak aku jadi manejer perusahaan Koh Acung, keuanganku tidak mengalami kesulitan lagi. Aku kirim surat pada ayahku menceritakan pengalamanku, dengan terlebih dulu minta maaf kepadanya karena tidak konsultasi dulu sebelum mengambil keputusan. Aku ceritakan kebaikan koh Acung, dimana ia tulus menolongku dan sekali gus membutuhkan tenagaku. Sudah tentu aku belum mau cerita tentang Silvia putrinya, aku takut mama tidak setuju dan ia pasti marah padaku. Aku pernah dapat surat dari mama yang berpesan supaya aku tidak mencari jodoh di Bandung. Riko, putri Minang tidak kalah cantik dari Mojang Priangan. Yang penting engkau jadi insinyur dulu, nanti pasti banyak anak gadis orang yang mau meminangmu, engkau boleh pilih yang mana saja. Demikian surat mama yang aku terima sewaktu aku masih semester 3. Mama mau aku kawin dengan gadis Minang, seperti gadis-gadis Bukittinggi yang cantik-cantik yang pipinya merah karena pengaruh alam pegunungan. Ia mau nanti setelah tamat aku menikah dengan Chairani.
Bila ia tahu aku sekarang sangat dekat dengan Silvia gadis Tionghoa, pastilah ia akan marah sekali.

“Kang, kita entar malam ke Ciwalk yuk. Kan malam minggu”.
 “OK, ntar aku gak ke toko dong.
“Gak apa-apa, ntar aku bilangin papa”.

Pengunjung Ciwalk ramai pada malam Minggu itu. Cihampelas Walk sebuah sudut dikeramaian jalan Cihampelas di Bandung sengaja di bangun untuk tempat restoran dengan masakan Indonesia, China, Jepang, Korea. Tempatnya asri dengan pepohonan besar. Malam hari pasti ramai dikunjungi oleh anak muda Bandung. Kalau siang hari Cihampelas terkenal dengan pakaian jadi jeannya ramai dikunjungi oleh orang-orang dari luar kota Bandung. Apalagi kalau hari Minggu, penuh sesak dan jalanan macet. Harga pakaian jadi di sini memang terkenal murah dan modelnya up to date. Kami mencari tempat di sebuah restoran yang ada pohonnya. Silvia memesan sandwich dan cocacola. Ia langsung merebahkan kepalanya kebahuku sambil menjilati cup cocacola dengan gaya genitnya. Aku jadi gelisah, apalagi tercium parfumnya yang merangsang tertiup angin Ciwalk yang dingin malam minggu itu.

Cantik sungguh engkau Silvi, gumamku dalam hati. Ia memakai jean yang ketat sekali, sehingga bentuk kakinya yang panjang dan pahanya yang padat kelihatan proporsional. Kejantananku tergelitik melihat pemandangan yang mempesona ini. Baju kaos rajutnya yang kuning lengket di tubuh menonjolkan dua bukit indah yang sungguh sangat menggodaku. Matanya meram melek sewaktu aku berikan tekanan lembut pada saraf betisnya dan sekali-kali aku sentuh pangkal pahanya di balik celananya.
“Kang, aku bahagia sekali, bisa dekat denganmu”.
“Sil, apa engkau gak salah pilih”.
“Maksud kakang?
“Ya, aku kan anak kampung yang miskin, sedangkan kamu anak orang kaya, cantik, mahasiswi”.
“Kang, jangan bicara begitu, kalau aku suka, ya aku suka. Aku suka Riko yang ngganteng dan jantan, aku tidak peduli kamu dari Padang, dari Medan, atau dari Afrika sekalipun”.
“Apa benar, kalau aku Afro pasti aku jelek, hitam, dekil, bau..ha..ha”
“Biar, aku suka, aku cinta ama kamu Riko”.
“Silvia, jangan terlalu cepat bilang cinta, aku gak pernah dengar itu sebelumnya”.
“Kang...”.
“Ya, sayang”.
“Kang, cium aku dong”
Aku meraih dagunya, dekat sekali. Tercium bau mulutnya yang harum. Aku tahu aku mulai terangsang. Namun hati kecilku mengatakan bahwa aku tidak boleh menodai gadis ini. Cintaku padanya murni.
« Sil, jangan, aku sayang padamu, namun kita tidak boleh melakukannya ».
« Kenapa kang, kan kalau ciuman saja tidak apap-apa ?
”Silvia, mulanya iya ciuman, namun aku nanti pasti akan terangsang, dan aku akan minta lebih padamu, karena pada saat itu pasti ada syetan yang akan membujukku. Silvia ketahuilah, aku berjanji mencintaimu dengan segenap hatiku tanpa harus memiliki tubuhmu saat ini.
”Kakang, aku rela engkau miliki tubuhku”, Silvia berbisik lirih ditelingaku.
”Tidak Sil, itu nanti setelah masanya tiba sayang”.
”Kenapa kang”
”Sil, agamaku melarangnya”. Agamaku menghormati perempuan dan laki-laki harus menjaga kehormatan itu. Dan sekali-kali jangan menodainya. Memang tidak dilarang mencintai seorang gadis, namun mendekati gadis yang bukan muhrim sebenarnya itu adalah haram dan dosa.
”Trus kakang dosa dong..
”Ya, sebenarnya, namun aku tanggung dosanya kita berdekatan ini, demi cintaku padamu..”

Tubuh Silvia mulai bergetar dipelukkanku. Keringat membasahi hidungnya yang bangir.Pelan ia kembali bergeser dan duduk disampingku.
« Kang, aku cinta kamu ».
« Silvia I love you to ».
Aku membelai rambutnya yang hitam panjang.
“Sil, kita aneh kali ya”.
“Aneh, maksud kakang”.
“Yalah, seorang pemuda kampung dari Padang, mencintai gadis China yang cantik dan kaya”.
“Kang, aku bukan gadis China. Aku gadis Bandung tau..”.
“Ya China dari Bandung”.
“Ah..kang berhenti dong nyebut China, ntar aku nangis nih...”
“I am sorry sayang”.
“Kang, aku cinta kamu, peluk aku kang..

Silvia aku peluk dengan manja. Dan ia memandang dengan sorot matanya dengan lembut. Aku memandangi matanya yang teduh, dan ia mengusap daguku yang ditumbuhi rambut kasar hitam yang aku cukur pendek sekali.
”Riko, kau arjunaku, aku milikmu sayang, desah Silvia dengan manja.
”Sil, aku mulai lapar, aku ambil sandwich ya..”
Aku meraih sepotong sandwich dan mengunyahnya lahap sekali. Cewek ini manja sekali. Aku sungguh beruntung mendapat pacar yang cantik dan seksi seperti Silvia, terlebih lagi ia dan keluarganya menyayangi aku.
“Sil, kalau aku jadi berangkat ke luar negeri untuk terus kuliah, siapa ya yang akan membantu koh Acung”.
“Biar, papa cari lagi”.
“Sebenarnya aku gak tega membiarkan koh Acung papamu sibuk kesana kemari ngurus dagangan, tapi aku harus mengejar cita-citaku untuk jadi anak berguna buat Indonesia Company”.
“Indonesia Company, apa itu Kang?
“Itu Negara kita yang diberi nama khusus oleh ayahku. Dan itu juga yang menjadi namaku”.
“Menjadi namamu, maksudnya...
“Ya, Riko itu artinya Republik Indonesia Company”.
“He..keren juga..
“Aku kan memang keren, kalau gak mana mau kamu jadi pacarku”.
“Maksudku, arti nama kang Riko, keren abis..
“Itu cita-cita ayahku sejak jadi mahasiswa di Padang, ia ingin Negara dikelola sebagai sebuah perusahaan dengan Ilmu Strategic Management yang teruji buat menyatukan nusantara dalam konsep ekonomi kerakyatan. Sayang ia putus kuliah karena ketiadaan biaya. Jadi cita-citanya kandas dijalan, akhirnya ia jadi pedagang kecil di Pasar Pusat di Pekanbaru dan juga di Pasar Blok A di Padang.
“Kang, kalau kamu pergi ke Eropah, aku ikut, aku akan kuliah di Ingeris mendalami ilmu ekonomi, atau ke Perancis yang terkenal dengan INSEAD itu.
“Kau mau kuliah, atau hanya mau dekatku…
“Dua-duanya dong”.
Kemudian kami keluar dari kafe. Jalan-jalan menikmati malam minggu di Ciwalk yang lagi ramai.
 “Kami berjalan bergandengan tangan di lihatin orang-orang. Pengunjung Ciwalk malam itu ramai. Mereka mungkin merasa aneh, seorang laki-laki pribumi cokelat kulitnya, tapi..ngganteng, menggandeng cewek cantik putih China dengan amat mesra, memang jarang kelihatan.

Pengaruh ras pendatang dari utara memang hampir nggak pernah bercampur baik dengan pribumi asli, entah apa sebabnya. Entah karena memang dari dulunya sulit dicampurkan, atau salah satu ras yang memang tidak mau bercampur baur, rasanya belum ada ahli sejarah semacam Anhar Gonggong atau professor sejarah dari UI membahas tuntas masalah ini.
Perpacaranku dengan Silvia adalah membantah sejarah? Emangnya gue pikirin. Yang penting aku sayang sama Silvia dan Silvia mencintaiku. Peduli amat ama sejarah, peduli amat sama orang lain. Aku mencium pipi Silvia tiba-tiba sambil menariknya dari sebuah lobang di tengah jalan.
“Ada apak kang?
“Aku cinta kamu non, cinta abis..sayang pisan.
« I love you Riko », balas Silvia tak kalah mesranya.

Aku juga tidak peduli dengan pelototan orang-orang sekitar kami yang cukup ramai menikmati pemandangan kawah putih yang diselimuti kabut dan asap tipis blerang yang tercium tajam sewaktu kami tamasya ke kawah putih di Ciwidey. Bagiku kulit tubuh Silvia jauh lebih putih, lebih menarik dan lebih harum. Hatiku merasakan lembutnya cinta dan aku peluk erat pinggangnya.
“Kang, kenapa?
“Aku sayang kamu Sil”.
“Silvia juga, aku sayang dan cinta ama kamu kang”.
“Sil, kita bagaikan kisah sepasang manusia dari planet dengan bentuk kulit dan potongan yang sedikit berbeda. Kamu lihat pandangan orang-orang yang merasa aneh. Aku seorang pemuda coklat menggandeng cewek cantik putih China. Apa kamu tidak perhatikan itu sayang”.
“Kang aku juga merasa, biar aja. Kita memang dari planet. Kita dari planet Venus yang membawa panah asmara di tangan kita. Panah asmara yang telah tertancap di hati kita masing-masing. Panah abadi yang tidak mungkin akan di cabut lagi. Kalau akan dicabut paksa sudah pasti akan berdarah-darah. Dan kita tidak mau ada yang berani untuk mencabutnya. Jadi kita gak usyah perhatikan pandangan orang”.
Kata-kata Silvia puitis sekali. Namun aku akui bahwa cinta kami yang dirasa aneh oleh orang lain kenyataannya terasa sangat indah bagi kami berdua.
“Kang..sebenarnya Silvia yang agak merasa cemas, karena Silvia dengar-dengar dan baca novel, tentangan orang Padang yang harus kawin dengan orang sekampungnya. Nah itu bagaimana dengan kakang”.

Aku jadi teringat surat mama bulan lalu. Mamaku menulis.
“Riko, kamu ingat tidak, anak tante jauhmu, tante Ijah, yang bernama Chairani, yang bapaknya punya toko radio di Padang. Sekarang ia masuk kuliah di Fakultas Kedokteran Unand. Kamu pasti ingat, Ira, yang suka menari sewaktu kalian mengadakan sandiwara di kampung waktu libur lebaran. Waktu kamu SMA kelas tiga, Ira masih kelas tiga SMP. Ia yang paling cantik diantara gadis-gadis penari. Mama pernah di minta Tante Ijah, bahwa ia pingin Ira jadi jodohmu. Ingat, nak nasihat mama, jangan kamu mencari jodoh di Bandung, di Padang, seorang putri Minang telah menunggumu”. Aku jadi risi mengingat isi surat mama.

“Sil, kamu benar. Satu daerah di Pariaman memang mensyaratkan pemudanya kawin dengan gadis sekampung. Bahkan adat yang disebut “berjemput” yaitu keluarga perempuan harus menyerahkan sejumlah barang atau uang jemputan kepada keluarga laki-laki itu juga merupakan adat. Namun belakangan ini adat ini sudah melonggar. Karena lelaki perantauan baik itu pedagang maupun sarjana, jarang yang mau kawin di kampungnya. Mereka kawin dengan orang Sunda, Jawa, Kalimantan, Sulawesi. Bahkan temanku sesama SMA yang kebetulan sekolah di Jerman sekarang sudah punya anak satu dan kawin dengan orang Jerman. Ia putra Pariaman asli.
“Kalau kakang gimana”.
“Aku, aku berencana kawin dengan gadis China yang aku cintai”.
“Gadis China..siapa kang”.
“Silvia, pacarku tersayang”.
“Kang aku bukan gadis China, aku mojang Bandung”.
“Yes, non, you are my belove China–Bandung. Sil, jangan hilangkan identitasmu, itu adalah anugerah Tuhan bagimu dan harus kau pelihara dengan baik. Menurut agama Islam itu adalah fitrah manusia yang harus dipelihara dengan baik. Karena fitrah itu adalah bagian dari rahmat Tuhan bagi manusia”.
“Kang, suatu saat kamu ajarin aku tentang agama Islam, ya kang”.
“Hah..kamu serius sayang?
“Serius dong”.

Aku merasa bahwa cinta Silvia benar-benar murni tercurah untukku. Sekarang aku merasakan itu, ia mau belajar Islam karena ia tahu bagi masyarakat Padang agama utamanya adalah Islam termasuk dalam perkawinan masalah agama menjadi syarat utama.
“Buatmu akan aku lakukan apa saja sayang”, kataku. “Nanti kalau ada waktu yang baik kamu akan aku ajari”.
Kami kembali ke arah warung yang banyak sekitar tempat parkir mobil. Kami memesan teh panas yang di sini terasa nikmat karena udara yang dingin. Apalagi ditingkah oleh perasaan cinta yang mendalam diantara kami semuanya terasa indah. Udara yang bertiup sepoi seakan menyampaikan lagu cinta yang merdu dan hanya dapat didengar oleh telingaku dan telinga Silvia.
“Kakang...”
“Ya, sayang”.
“Alangkah indahnya malam ini ya kang”.
“Ya sayang, apalagi tempat ini sedang didatangi oleh seorang putri kayangan yang cantik jelita yang sedang menyanyikan lagu cinta dan menebarkan pesona indah sehingga mataharipun turut senyum dengan sinarnya”.
“Kang Riko, nadamu puitis sekali”.
“Nadaku adalah nada kasmaran seorang pria desa yang sedang jatuh cinta pada putri dari kayangan yang sedang berada dalam pelukakannya. Pemuda dusun yang akan mempertaruhkan nyawanya demi keutuhan cintanya pada putri itu”.
“Putri itu sungguh beruntung mendapatkan seorang arjuna yang dalam mimpinya sedang meniup seruling lagu cinta yang merdu ketika ia berada dipunggung seekor kerbau yang ia gembalakan ditengah pada rumput yang dikelilingi oleh bunga-bunga sorga”, terhambur puisinya Silvia sambil merebahkan kepalanya kedadaku, ia mempermainkan bulu-bulu kasar di daguku.
“Itu dia Sang Arjunaku, ia sekarang sedang memelukku dengan hembusan napas cinta yang aku hirup dengan segenap tarikan napasku”.
“Silvia...aku sungguh bahagia didekatmu sayang, moga-moga Tuhan merestui hubungan kita dan kita langgeng berada dalam keindahan padang asmara ini”.
Di kerimbunan tumbuhan asoka dengan bunganya yang merah menyala dan diselang seling oleh melati gunung dengan bunga kuning yang tumbuh dibelukar tiruan yang dibuat didepan warung, asri sekali. Tidak heran setiap akhir pekan tempat ini selalu ramai dikunjungi oleh para muda mudi Bandung.
“Kang, kita pulang ya”.
“Baik sayang, aku besok malam akan begadang di toko menyelesaikan framework research-ku untuk aku serahkan minggu depan pada profesor Ambasador buat ia revisi dan komentari”.
“Kang, ntar aku temani ya”.
“Ah gak usyah, kamu kan capek”.
“Emm, gak capek, ake temani ya, aku kan bisa ngetikkan di laptopmu sambil kamu nyoret-nyoret kertas buram”.
“Ia deh sayang, I love you Silvia”.
“I love you too, Arjuna”.

MAHASISWA TI-ITB
Pagi itu aku kembali datang di kampus ITB. Aku sekarang tidak lagi jalan kaki dari pondokanku di Sekeloa ke Ganesha. Aku mengendarai motor Honda Supra Fit yang dipinjamkan oleh Koh Acung bosku yang papanya Silvia. Teman-temanku terkaget melihat aku datang dan memarkir motor di bawah pohon disamping kiri gedung TI.
Azar, seorang mahsiswa brilian lainnya langsung nyeletuk.
“He..he..lihat si Riko jadi gaya lho, pake motor sekarang..Lu copet dari mana tuh motor Rik…”
Aku diam saja. Cuma senyum dengan manis pada Azar.
“Hey, Archimidez gimana kabar pagi ini, Putri mana Zar”. Azar kami panggil Archimidez karena orangnya jago matematika dan jagoannya Calculus. Nilai kalkulusnya A, dan hanya ada dua mahasiswa TI angkatan kami yang dapat nilai A pada mata kuliah Kalkulus I dan II yaitu Azar dan aku.
Aku menanyakan pada Azar dan pacarnya Putri seorang mahasiswi berotak encer dan jago organisasi. Putri ini dipanggil mami oleh para mahasiswa TI lainnya karena sifatnya yang keibuan dan pandai ngemong teman-teman wanitanya. Putri mempunyai cita-cita yang tinggi. Ia pernah menceritakan bahwa sebenarnya ia diminta oleh orang tuanya untuk menjadi dokter, itu sewaktu ia naik kelas tiga SMA. Waktu itu ia sudah mau, dan ia pernah diberi pengarahan oleh dokter perusahaan tempat papanya bekerja, bahwa jadi dokter itu adalah pekerjaan mulia karena menolong orang sakit. Namun, tiga bulan menjelang ujian akhir SMA pikiran Putri berubah disebabkan pacarnya Azar mau masuk ITB. Dan juga kakaknya Putri yang dua orang, Dewi dan Shery semuanya kuliah di ITB. Putri merasakan untuk jadi dokter berikut spesialis akan membutuhkan waktu kuliah sampai 9 tahun. Terlalu lama pikirnya. Akhirnya ia masuk TI-ITB. Ia bercita-cita ingin mempelajari sistem organisasi perusahaan moderen dengan menggunakan software terakhir yang dapat dikontrol on-line memakai Sistem Information Management sebagai tool-nya. Putri mau jadi seorang manejer perusahaan multinasional yang hebat dan mumpuni dengan menggunakan semua teori HRM dan OD serta DM. (*HRM/Human Resources Management, OD/Organization Development, DM/Decision Making).
Azar pacaran dengan Putri, aku dengar mereka sudah dekat sejak mereka di SMA 3 Bandung. Dua-duanya saling mendukung dalam menguasai mata kuliah dan hampir selalu dapat nilai baik. Sungguh pasangan yang ideal. Putri orangnya berbadan besar dan dia adalah seorang mahasiswi yang bertubuh subur dan otak encer di kampus.
“Rik, kamu kok lain ya sekarang, apa kamu masih kerja satpam Rik?
“Masih, dong, tapi cuma sampai hari ini aja”.
“Lho kok? Terus kamu kerja di mana lagi Rik? Alfian yang anak Palembang datang mendekatiku.
“Aku sekarang menjaga toko Yan”.
“Menjaga toko si cantik ya”. Goda Alfian. Dia tahu tentang aku pacaran dengan Silvia. Alfian selalu mensuportku.
“Rik, kamu jadi ikon untuk campur baur antara awak pribumi dengan Chino”. Suatu hari Alfian memberi semangat padaku dengan logat Palembangnya.
“Ndak Yan, aku jadi pegawainya Koh Acung yang bertanggung jawab untuk dua toko yang di BSM dan di Pasar Baru”.
“He..kau diangkatnyo jadi manejer..selamatlah. Cocok tu Rik, kau kan orang Padang, soal toko kaulah jagonya”.
Tiba-tiba teman-teman lain datang berkumpul di kursi semen di depan kampus TI. Kami ngobrol seperti biasa sambil menunggu dosen Sistem Organisasi dan SDM yang diberikan oleh Profesor Dr. Subur Bahrah, yang suka ngebodor. Biasanya topik diskusi selalu menyangkut mata kuliah minggu lalu dan PR yang selalu diberikan oleh Pak Subur. Namun hari ini topiknya beda. Topiknya adalah menyangkut si Riko yang jadi manejer toko milik China Bandung yang tidak memerlukan teori sistim organisasi dan SDM mengikuti teori Taylor.
Amril, si bintang TI yang lain langsung menyodorkan selembar kertas padaku.
“Rik, kalau begitu tolong aku berikan sedikit ide, bagaimana menurut pengamatan seorang mahasiswa TI tentangan perkembangan toko dan perdagangan milik China di Bandung ini. Ambil model tokomu itu. Nanti aku akan kembangkan menjadi riset TA-ku mengenai sistem networking bisnis dikaitkan dengan kemampuan produksi. Aku akan mengambil Operation Management khusus Supply Chain ».
« Dasar seorang visioner sejati kamu Am, baik nanti aku bantu ».
Amril adalah top mahasiswa TI, yang bercita-cita jadi seorang profesor dibidang supply chain management dan akan mencoba membuat breakthrough tentangan usaha ekonomi menengah di Indonesia untuk menjadi pionir pendapatan negara.
« Ada apa nih, kok rame banget ya », tiba-tiba si Karina datang dan langsung nyeloteh sambil memperbaiki lipstiknya.
« Nih si Riko udah jadi bos », Azar kembali nyeletuk.
« Jadi Bos, jadi bos apa kamu Riko ».
“Aku gak jadi bos kok Rin, aku jadi penjaga toko aja kok kalian ramein ya”.
“Riko sekarang bos 2 toko di BSM dan Pasar Baru, makanya kita selamatin nih”, kata Alfian lagi.
“Bos dua toko, gimana ceritanya Rik, aku penasaran nih”.
Tiba-tiba sebuah mobil Kijang Hitam berhenti. Dan Putri si mami turun.
“Aku dapat sms dari Pak Subur, katanya dia tiba-tiba sakit, dan kuliah hari ini adalah membahas teori PDCA atau yang dikenal dengan Deming Cycle dari beberapa literatur terkait, dan kita diberi tugas membuat Analisa SWOT dan planning pendirian perusahaan dalam bidang usaha apa saja di Bandung dan bulan depan harus presentasi. Satu grup bisa sepuluh orang, namun research harus benar-benar riil dan nggak boleh ngarang lho”, kata Putri.
“Nah, kalo yang ini jagonya kan Riko”, kata Evie yang ikut bersama Putri.
“Aku ikut grupnya Riko aja ah”, kata Meli yang juga sudah datang.
“Tapi aku ngusul yang jadi manejer grup kita Putri aja”.
“Yap, biar aku yang mimpin riset pasar”, kata Azar.
“Riko bertugas mencari segmentasi pasarnya”, kata Alfian.
“Trus, kamu ngapain”, kata Putri.
“Aku jadi sebagai pencatat dan ikut team research”, Alfian mulai memilih pekerjaan.
“Oke kalau gitu, dan Karina jadi Logistics Manejer ya”.
“OK mi”.
“Hei, Mel kamu kelihatan tambah cantik aja”, Putri lalu mendekat dan mengusap rambut Meli yang hitam lebat dan terurai dengan indahnya.
“Pery, Evie, dan Meli bertugas untuk mendesign produk apa yang akan kita coba pasarkan, ingat ini adalah tugas simulasi, kalian tumpahkan bakat kalian untuk berimajinasi dengan komputer menyangkut rancangan produk, sistem produksi, lay out pabrik, dan nanti aku bantu dengan sistem organisasi lengkap dengan job descriptionnya”.
“Zar, kamu bantu ya perancangan flow dari sistem produksi, kan kamu jago dengan algoritma dan sistem que atau antrian model”. Aku akan buatkan analisa SWOT berdasarkan informasi kalian”. Putri mulai mengatur grupnya. Putri memang berbakat memimpin. Itu turunan bakat papanya. Dulu sewaktu kuliah papanya Putri pernah jadi salah seorang ketua Dewan Mahasiswa. Ia pernah masuk penjara jaman orde baru karena menggerakkan mahasiswa demo menentang keputusan pemerintah menaikkan harga BBM.
“Beres bos”.
“Mami, ntar kita kerja bareng di Alamanda ya mi”, kata Meli.
“Beres deh, asal konsumsi di atur, gimana Rin?
« Siap mi, aku akan traktir kalian, kebetulan bokap ngirim uang lebih hari ini ».
« Kapan kita mulai research », Azar langsung ke pokok persoalan.
“Ah research sih gampanglah, yang penting karena kita gak jadi kuliah hari ini kita akan bahas masalah bos baru kita aja.
“Mi, kamu udah tahu gak kalau Riko si ganteng jadi bos”, kembali Karina menebarkan gosip.
“He..kamu jadi bos apa Rik?, nyelutuk Putri.
“Ah gak kok mi, aku jadi pekerja serabutan buat nombok ongkos kuliah ku yang selalu cetek tiap bulan”.
“Kerja sambil bercinta kok, mi”, imbuh Alfian.
“Dengan siapa, aku belum dengar?, kata Putri mulai tertarik.
“Dengan Meli, kali”, potong Karina.
“Rin, jaga mulutmu”, sergah Meli, sambil beranjak pergi.
“Udah..ah, lain kali kita bahas kasus si Riko, aku minta tiga serangkai kita Pery, Evie, dan Meli besok sore sudah di Alamanda untuk mendesign sesuatu, kalian pakai desk-top ku dan bawa laptop kalian, dan aku akan bantu. Habis maghrib semuanya harus sudah ngumpul dirumahku, dan Karina boleh nyusul kemudian namun sudah harus lengkap dengan logisticnya, Putri mulai mengatur strategi grupnya.
“Kita gak boleh kalah dengan grup lain ya”.
“Siap mi, semua menjawab serempak”.
“Riko, kamu besok apa bisa off dari tugasmu”, tanya Azar.
“Bisalah, nanti aku minta permisi ama bosku”.
“Gampanglah itu, kan tinggal ngatur ama calon mertua”, goda Alfian.
“Udah, kita bicara proyek aja”, kata Pery karena ia melirik Meli yang menunjukkan muka bete, kasihan si Meli kata Pery dalam hati. Aku mau jadi pacar cewek cantik ini, sayang Meli terlanjur demen ama Riko. Tapi ntar aku akan taklukkan cewek ini dengan caraku, kata hatinya matap.
« Ok kita bubar kalau gitu, ingat Pery, Meli dan Evie aku tunggu jam lima sore di rumah ya ».
« Beres mi ».

Mereka bubar. Riko juga pulang. Dia merencanakan langsung ke toko dan sekalian minta ijin buat ntar malam ngerjakan PR bersama dengan grup mereka di Alamanda. Ia merencanakan untuk memasukkan toko handphone ini termasuk segmentasi dalam research mereka. Kan ia yang merencanakan beberapa segmentasi berdasarkan kemauan pelanggan seperti berdasarkan selera pelanggan untuk barang konsumsi termasuk assesories seperti handphone, IM3, dan asesories lainnya sepatu, tas, dan alat kecantikan wanita lainnya. Ia akan mengusulkan hondphone saja, karena ia mengerti betul akan segmen pasar yang satu ini.
Jam lima sore tepat tiga serangkai Pery, Meli dan Evie sudah muncul di Alamanda kavling E-88 rumah Putri.
Adi mencoba menghubungi Riko.
“Halo Rik, apa fokus dari usaha kita?
 “Yes, aku udah ancer-ancer, gimana HP saja.
“HP? Kok aku coba tanya Meli dan Evie dulu.
“Mel, Vie, si Riko ngusulkan HP aja yang jadi business focus kita, gimana setuju nggak?
“Aku sih OK aja, tapi baik kita tanya mami dulu dong, kan ia project manejernya”.
“Mi, si Riko ngusulin HP gimana, apa Pro Man setuju? (*Pro.Man/Project Manager).
“Dasar si Riko, OK aku rasa, HP kan lagi ngetren dengan banyak varian di pasar, ntar kita bikin varian baru dengan fitur ngetrend ngikuti selera remaja masa kini”.
“Rik, OK kamu buat alasan segmentasi berdasar perceive value customer ya”.
“OK, kita mulai dengan berlayar di komputer dengan produk variatives dan sizing pabrik serta kelengkapannya”.
”Azar akan mendesign fitur produk dan akan diberi masukan oleh Riko berdasarkan animo pembeli selama ini di BSM dan Pasar baru, dan nanti Amril harus keluar dengan perhitungan finansial, aset, logistik dan ongkos produkis berikut matrik pembiayaan dengan beberapa opsi. Kamu siap Am?
“Beres mi, soal angka-angka aku akan pakai teori statistiknya Prof Ambasador dengan kesalahan 5% dan analisa parameter normal dan sebaran normal 2-tail. Ntar kita lihat slope grafiknya. Aku akan lengkapi dengan analisa parameter atau ratio ROI, ROA, dan BEP sekalian, tapi simulasi lho mi”.
“Perfect, biar profesor Subur kaget dengan presentasi kita, aku merencanakan untuk memakai anak tingkat persiapan untuk jadi model iklannya dan akan aku buatkan scenario mirip yang di TV kalau kalian setuju, semacam short movie gitu, kan Karina punya VC Sony terbaru yang kemaren di pamerkan ke kita”.
“Wah, kalau yang memamerkan produk aku aja deh, kurang cantik apa aku mi”, sergah Karina”.
“Rin, kamu itu bagian dari pemilik usaha dan manejer logistik, masak manejer merangkap model, gimana sih kamu”. Kalau cantik ya iayalah, masa iya iya dong?
“Iyalah, Karina kan mirip bintang film”, puji Alfian, tapi...
“Tapi..apa Yan maksudmu”.
“Bintang film temannya Mr Bean itu lho..”
“Kurang ajar kamu Alfian, tak hajar kamu, ntar aku laporin pacarku baru nyahok kamu ya..Karina mendekat dan sambil berkacak pinggang ia mendekap Alfian.
Sambil cengar cengir Alfian nyeletuk.
“Hei..harumnya kamu non, sambil membalas pelukan Karina.
“Dasar bandot, kamu ambil kesempatan meluk aku ya, kamu benar tak laporin lakiku”.
“Ah, jangan dong, ntar aku benar bonyok ditonjokin ama lakilu..gak kuat deh”..Alfian langsung ciut, karena ia tahu pacarnya Karina anak Unpad adalah body builder dan atlit Bandung yang orang Manado, Mario namanya.

Malam itu semua grup mereka sudah kumpul, Putri, Karina, Meli, Evie, Pery, Alfian, Amril, Azar, dan terakhir jam sembilan datang Riko.
Putri langsung membuka diskusi. Baik, kawan-kawanku tercinta mahasiswa teknologi industri yang brilian, malam ini kita akan mulai membicarakan planning riset dan lay out langkah kerja kita.
Untuk itu kita akan bicarakan business focus kita dulu.
“Riko, kamu tolong kemukakan kenapa kamu ngusulin focusnya handphone”.
“Tapi aku minta Meli untuk mencatat hasil dan drawdown rapat kita ini ya Mel.
“OK beres mam”.
“Begini, aku sengaja memilih handphone, karena segmentasi produk ini alround. Mulai dari remaja sampai aki-aki sekarang lagi gandrung HP canggih dan harganya terjangkau. Kita bikin varian berdasarkan segementasi pelajar, mahasiwa, cewek, cowok, wanita dewasa, buat yang suka dugem, bapak-bapak, eksekutif, kalau perlu yang buat nenek-nenek dengan suara yang agak keras sehingga nenek juga keranjingan nelpon aki-aki biar mereka pacaran lagi. Dan untuk eksekutif agak istimewa dengan dilengkapi alat visual teleconference dan recorder mini, sehingga mereka bisa komunikasi dengan mitra bisnisnya dimana saja. Canggih gak designnya. 
“Aku setuju tuh rancangan Riko, potong Meli.
“OK kalau gitu. Amril tolong kamu siapkan questionnaires buat semua segmentasi yang diajukan Riko dengan fokus pada fitur, kegunaan, produk preferences, teknologi dan kemudahan mendapat produk serta harga.  Azar bertugas masukkan semua input kedalam statistik dan temukan hasil analisa dalam analisa faktor atau multivariate guna mendapatkan faktor korelasinya.
Pery, Evie dan Meli coba kalian mulai dengan lay out produk berikut perkiraanbiaya yang dibutuhkan.
Riko, dibantu Alfian dan Amril, buatkan layout pabrik, aset dan resources yang dibutuhkan, lalu semua angka masukkan buat rancangan pabrik dan kapasitas terpasang, perkiraan finansial serta sumber dana yang diperlukan. Aku akan coba minta bantuan teman kita di FSRD untuk aestetika pabrik sebelum kita pesan maketnya. Rahadi, kakak angkatan kita di SMA 3 Bandung, yang sudah lulus sekarang buka perusahaan khusus buat rancangan maket perumahan, toko dan pabrik. Pasti ia mau buatkan untuk kita.
“Perfect mi, keren dong kalau kita bisa keluar dengan maket sekalian, tapi duitnya dari mana dong”.
“Kan ada manejer logistik kita Nona Karina si Angel, gampanglah itu, ya Rin?”
“Mm, mami, iya deh, aku talangi dulu”.
« Nggak ada talangin, nyumbang, donasi gicu, Rin ».
« Iya deh, siap mi ».
« Gitu, sayangku yang canatik ».
Marketing Plan akan aku kerjakan bersama Alfian dengan bantuan Karina untuk kebutuhan logistik kita seperti makan dan minum selama proyek berjalan.
Outlet design akan dirancang oleh Riko dengan bantuan aku.
EO dari proyek adalah aku dan short movie dengan sutradara Alfian dan pengarah gaya Karina.
Untuk presentasi akan aku pimpin dengan speaker Azar, Riko dan Meli bergantian. Gimana ada pertanyaan?
“Mi, ini kan teknologi import, ntar kita perlu kerjasama dengan principal yang punya teknologi dong mi, misalnya dengan China seperti Huawei”.
“Iya, gak apa-apa, ntar buatkan model kontrak kerjanya, berikan data apa yang diperlukan, biar Azar yang bekerja dengan angka-angka. Yang penting kita keluar dengan brand yang Indonesia atau Bandung banget, soal item yang kita install, apa teknologi Samsung, China, Nokia, tinggal kita lihat feasibility kerjasamanya saja. Atau kalau mau dreaming sekalian, kita misalkan semua IC dan circuit serta sistem elektronika sudah di buat oleh ITB misalnya dengan merek Ganesha, artinya kita percepat visi 10 tahun kedepan dan kita putar setback ke waktu sekarang, terserah aja. Artinya kita buat mata profesor Shubur terbelalak dan tak berkedip sekalian, sampai Karina datang dengan senyum menggoda dan duduk di pangkuan profesor, baru dia sadar”.
“Mau, mau, asal aku di kasih nilai A, biarin”, kata Karina.
“Eh, dasar kamu, cewek gatel, sergah Meli.

Hari itu, grup Putri sudah memutuskan focus usaha mereka, untuk di presentasikan kepada Pak Shubur. Namun, karena waktunya cukup yaitu 1 bulan, mereka akan lengkapi analisa SWOT dengan TOWS matrix, dan akan mereka simulasikan market share yang mereka dapatkan. Sehingga “grup perusahaan mereka” akan keluar dengan tampilan “organization performance, strategic management, dan market analisis lengkap dengan ratio BEP, ROA, ROI, dan Cash Flow Analisis.
Begitulah, selama 1 bulan mereka menyelesaikan tugasnya dengan baik.
Presentasipun dimulai.
Putri, sebagai presiden direktur perusahaan, tampil pertama kali memperkenalkan perusahaannya yang bernama Ganesha Holding, dengan produk handphone GSM, merek Ganesha, dengan fitur terbaru yang keluar dengan seri GN1, untuk ABG (*Anak baru Gede), GN2, buat umum, GN3 buat eksekutif dengan mode dan fitur bisnis comunicator, e-mail, internet, dan teleconference teknologi bluetooth dan gprs, GN4, buat orang tua dengan key yang mudah dioperasikan dan suara semi bass. Putri juga memperkenalkan manajemen perusahaan yang bertanggung jawab langsung terhadap serial produksi tahun ini.
Azar, tampil dengan hasil riset pasar, lengkap dengan data questionnaires, dan analisa statistik, untuk menunjang keputusan perusahaan memilih HP dengan fitur terbaru dan 4 model utama. Dalam hasil analisa multivariate dan conjoin, didapatkan bahwa faktor korelasi kepuasan konsumen dengan fitur, model, outlet, sistem operasi, harga, dan kemudahan lainnya mendekati angka perfect 1, atau 0.97. Sehingga perusahaan dengan suara bulat memutuskan untuk memproduksi dan menetapkan target pasar untu HP jenis GN.
Riko, tampil dengan simulasi angka-angka penjualan bulanan, quarteran, dan tahunan, serta cash flow analisis, untuk memberikan input status asset dan equity perusahaan kepada para pemegang saham.
Trio, Pery, Meli dan Evie, keluar dengan rincian kelebihan masing fitur dan teknologi GN1, GN2, GN3, dan GN4, serta cadangan model baru untuk launching tahun depan.
Alfian, Amril, tampil dengan presentasi sistim produksi, mesin-mesin yang dipasang, kapasitas produksi, dan quality control yang diterapkan. Maket pabrikpun mereka tampilkan. Lengkap dengan data lokasi, jauhnya dari pusat kota Jakarta, serta data logistik yang diperlukan yang diberikan oleh Karina.
Presentasi mereka sungguh mengagumkan. Profesor Shubur yang barusan keluar rumah sakit karena dirawat hampir satu bulan, jadi berkeringat banyak. Dia mengacungkan dua jempolnya. Dan langsung memberikan komentarnya.
“Aku sungguh kagum dengan grup kalian. Terutama Putri, sungguh luar biasa bisa mengumpulkan tim manajemen perusahaan dengan anggota orang-orang “sinting namun smart”. Seakan-akan aku benar-benar menghadapi satu grup perusahaan sungguhan. Aku tidak tahu, kalau ada yang punya modal buat mendirikan perusahaan seperti yang kalian rancang, aku yakin akan lahir sebuah produk handphone yang asli Bandung. Aku titip pesan, kalau boleh kalian lulus bareng dari TI, dan tetaplah jaga komunikasi. Siapa tahu dunia akan butuh grup kalian, atau negara sebenarnya sangatlah membutuhkan kalian. Kalian dengan ide cemerlang seperti ini seharusnya mendapatkan tempat yang selayaknya di antara entrepreneurship untuk menunjang pembangunan negara kita. Baik, untuk ujian semester ini kalian aku bebaskan untuk ujian UAS, hanya kalian akan aku beri tugas tambahan yaitu; berikan aku tambahan analisa berjalan perusahaan dalam bentuk SWOT terbaru khusus membahas dalam bidang ancaman lingkungan terhadap kelangsungan hidup Ganesha Holding ditengah arus globalisasi dan tekanan politik terutama dalam hal gonjang ganjing perbankan kita. Kalian harus mencoba analisa dengan tantangan financial yaitu capital dari bank loan. Bulan depan sewaktu masa UAS kalian kembali presentasikan tugas baru ini kepadaku. Khusus buat presentasi hari ini grup Ganesha aku beri nilai A perfect. Selamat berkarya wahai mahasiswa ITB brilian. Terima kasih.
“Terima kasih kembali Pak, jawab mereka serempak.
“Semoga bapak cepat sembuh, dan kembali mengajar kita, kita butuh profesor yang bijaksana dan pintar seperti bapak”, sambung Putri.
“Terima kasih Putri, terima kasih semuanya”, kuliah kita selesai. Besok kita lanjutkan dengan presentasi grup lainnya.
“Oh ya Putri, tolong sampaikan kepada grup lainnya aku berikan besok, tiga grup, lusa empat grup. Dan sisanya tiga hari minggu depan, dengan empat grup satu harinya.
“Baik Pak, akan saya sampaikan kepada mereka”.
Kuliah hari itu selesai dengan memuaskan grup Ganesha. Di luar gedung mereka dikerubuti oleh grup lainnya. Itulah mahasiswa Teknologi Industri ITB. Sebagai calon industrialis nasional mereka sedang belajar dan latihan di kampus ternama di Indonesia. Mereka dibimbing oleh para dosen yang bergelar profesor di bidangnya, seperti sistem produksi, sistem organisasi, sistem perancangan, sistem informasi manajemen, statistika dan operation manajemen.
Sungguh generasi muda yang membanggakan.
“Hai, kawan-kwan, aku pulang ya, aku harus jaga toko nih”.
“Jaga toko atau mau ketemu si dia”, jawab Alfian.
“Dua-duanya dong”, sambut Azar.
“Selamat ya Rik”, lambai Putri.
“Makasih mi”.
“Riko, kenalkan aku dong ama cewekmu”, sergah Karina sambil memperbaiki tatanan rambutnya. Dan Meli menoleh getir. Malam itu mereka lewatkan dengan gembira bersama. Karena satu minggu yang akan datang mereka akan di wisuda di gedung Sabuga pada hari Sabtu.

HARI WISUDA
Grup Ganesha TI 2004, rupanya telah menjadi grup yang resmi sebagai kumpulan sembilan mahasiswa TI-ITB angkatan 2004. Grup ini diketuai oleh Putri dan mempunyai markas komando di Komplek Perumahan Alamanda di kaveling No. E-88, Jalan Tubagus Ismail, Bandung. Di rumah inilah mereka sesama berjuang, belajar bersama. Orang tua Putri sudah berpesan kepada Mbak Karti seorang pembantu di rumah untuk melayani para mahasiswa ini dalam belajar. Kalau mereka belajar sampai larut malam, akan dibuatkan super mie rebus dan teh panas buat mengusir rasa bosan dan dinginnya udara malam kota Bandung. Kadang-kadang papanya Putri yang seorang doktor ilmu business administration ikut nimbrung diskusi mereka kalau kebetulan sedang week end di Bandung. Papanya Putri selalu memberi semangat dan support buat para mahasiswa itu. Kebetulan ilmu teknik industri sedikit dikuasai oleh papanya.
Mereka bertekad untuk lulus bareng dan saling bantu dalam menyelesaikan tugas akhir. Walaupun tempat melakukan tugas akhir berbeda-beda namun mereka selalu berhubungan lewat telpon dan sms. Riko, melakukan riset pasar perbandingan kunjungan customer pada sistem Mall dan pasar tradisional berdasarkan atribut tampilan outlet di Bandung dengan bimbingan professor Ambasador memakai metoda riset statistic parametrik. Putri melakukan riset dan pembuatan aplikasi Sistim Information Manajemen dalam bidang Supplier Relationship Manajemen di sebuah perusahaan minyak di Kalimantan dengan pembimbing professor Mahestry. Azar melakukan riset sistem optimasi angkutan kontainer segala ukuran untuk memenuhi kebutuhan pelanggan di sebuah perusahaan ekpedisi di Bandung dengan dosen pembimbingnya professor Adinoto. Meli melakukan riset dan aplikasi SIM incoming customer disebuah bank Syariah di Jakarta dengan pembimbing professor Didi Wisastra. Evie, melakukan riset sistem gangguan operational dan sistem manajemen menghadapi potensial pasar pada sebuah perusahaan angkutan nasional di Jakarta dengan bimbingan profesor Agus Nurdin. Pery, melakukan penelitian pada sistem recruitment pegawai dengan kelebihan dan kekurangannya membandingkan teori HRM (*HRM=Human Resources Management), dengan praktek pada sebuah perusahaan minyak di Sumatera dengan bimbingan profesor Nurbaity. Alfian melakukan riset sistem quality control perusahaan suku cadang Toyota di Bekasi dengan bimbingan professor Subur. Amril melakukan riset sistem operasi bahan mentah dan pengirimannya ke customer pada sebuah perusahaan tambang batubara di Kalimantan Timur dengan fokus pada faktor kesulitan dan tantangan memakai analisa multivariate dengan bimbingan profesor Karim Lubis. Karina, menyelidiki sistem produksi dan networking dari outlet perusahaan yang lagi ngetop di Bandung konsentrasi pada preferensi pelanggan pada lima factory oultlet di jalan Dago dengan bimbingan profesor Tigor Siahaan. Diantaranya ada lima orang lulus dengan predikat cum laude dengan GPA antara 3.55 sampai 3.85 yaitu, Azar, Riko, Amril, Putri dan Meli. Luar biasa, memang mereka termasuk mahasiswa pintar di ITB. Satu bulan sebelum hari wisuda, mereka sudah selesai dengan skripsi tugas akhir dan siap disidangkan. Minggu berikutnya mereka mulai ujian TA, dan hebatnya semua mereka lulus dengan nilai A.
Malam itu di sebuah kafe di Ciwalk, mereka merayakan kelulusannya dengan ditraktir oleh Karina.
“Kelihatannya kita mulai mendekati akhir kebersamaan kita”, komentar Azar memulai percakapan.
“Jangan bicara yang sedih-sedih dong Zar, nanti aku nangis nih, kata Karina. Baik kita pesan minuman deh”. Mang sini mang kita mau pesan minuman nih, lambai Karina kepada seorang waiter kafe Kebon Bunga di keteduhan pepohonan di Cihampelas Walk atau yang terkenal dengan sebutan Ciwalk.
“ Aku pesan Yughur campur Strobery”, kata Putri.
“Aku juga, pinta Meli”.
“Aku, Coca-Cola dingin aja kata Evie”.
“Aku juga, sama dengan Evie ajalah”, kata Alfian.
“Aku mau Es Shanghai”.
“Aku mau Es campur aja”, kata Amril.
“Es campur gak ada Aa, kata waiter.
“Dasar Padang kamu, mana ada es campur di sini”, sergah Karina.
“Ya udah, es Sanghai kayak Azar aja deh”, kembali Amril bersuara.
“Kamu minta yang mahal dong Am, kan bos kita Non Karina yang traktir”, kata Putri.
“Aku gak biasa minum yang mahal, kan kamu tahu seleraku Put, aku biasa makan gulai jengkol, gulai otak, gulai babat, minum Es Kosong di pinggir jalan di Dipati Ukur, ulas Amril.
“Ini lain dong Am, kan kita udah jadi insinyur ITB, keren dikit dong”, kata Azar.
“Amril, malu-maluin deh”, kata Meli.
“Kamu mau minum apa Pery”, tanya Meli lagi.
“Aku ikut kamu Mel, Yoghur campur Strobery.
“Aku juga Yoghur Strobery, kata Karina”
“Eh..Insinyur Riko mana yak kok masih belum muncul”, tanya Pery.
“Biasalah, kan ciuman dulu ama ratunya sebelum ketemu kita-kita”, sergap Alfian.
“Apa gak sekalian pesan makanan”, tanya waiter.
“Iyalah, saya pesan steak, ya mas”, kata Karina.
“Aku mau gado-gado aja”, kata Amril.
“Aku juga mau steak, dan tambah tera-misu ya mas”, kata Putri.
“Aku juga mau steak”, pinta Pery.
“Aku juga, aku juga”, pinta Evie, Meli, dan Azar barengan.
“Aku mau hamburger-king, biar keren”, pinta Alfian.
Druurrr, wreeeng,ngiik. Tiba-tiba muncul Riko dengan motornya dan langsung parkir dibawah pohon sawo.
“Sory ya, aku terlambat, maklum pembeli sedikit ramai di BSM”, Riko minta maaf.
“Ih, insinyur jebolan TI-ITB yang lulus cum-laude masih jualan di BSM, gimana siih, kamu Rik”, segap Karina.
“Aku, kan tidak boleh melupakan perusahaan yang akan memperkerjakan aku Rin, banyak sedikitnya kelulusanku ini berkat gajiku kerja di sana, iya kan”.
“Iya, ialah, tapi kan bukan itu sebenarnya alasanmu betah disana, aku sekarang sudah tahu, ada bidadari yang namanya Silvia yang selalu ngipasi kamu tiap hari, makanya kamu rajin ngendon disana, iya kan”?
“Iya deh, aku terima apa aja komentarmu”.
 “Pada hal ada Meli yang menunggumu, tahu nggak”, sergah Karina lagi.
“Jangan bawa-bawa aku dong”, pinta Meli dengan suaranya yang bergetar.
“Udah pada pesan ya, aku mau pesan juga ah, dik, aku mau pesan es alpukat dengan gado-gado ya”, pinta Riko.
“Rik, rencana selanjutnya gimana, Rik”, tanya Azar.
“Nah, itu dia Zar, aku tadi dihubungi Pak Ambasador, beliau nyuruh aku menyiapkan semua data-dataku buat dikirim ke Manila, San Beda College yang kebetulan punya networking dengan ITB. Aku akan mengambil MBA di sana”. Kebetulan ada tawaran beasiswa dari Chevron, ya aku sambar dong.
“Terus, gimana?, potong Alfian.
“Aku mau diskusi dulu dengan ayahku, apa beliau setuju. Tapi kelihatannya akau akan berangkat. Kan Manila dekat aja. Dan lagi aku akan bolak balik ke Kalimantan dan Duri derah ladang minyaknya Chevron. Aku akan mengambil judul Thesisku tentang ekonomi perminyakan sesuai usulnya Pak Ambas, dan observasi risetku ya di Chevron itu”.
“Hebat dong kamu”, kata Amril.
“Ah, biasa ajalah Am, aku ya seperti dulu-dulu saja”, merendah Riko.
“Bapak dan Ibu apa datang waktu wisuda, Rik”, kembali Amril menanyakan.
“Rencananya ia, sekalian beliau akan belanja barang-barang di Pasar Baru buat jualannya di Padang”, jawab Riko.
“Papa dan mamamu datang nggak Am, tanya Riko.
“Datang, katanya, sekalian papaku juga minta aku untuk coba cari beasiswa di perusahaan rekannya di Petronas”, jawab Amril.
“He.he, keren dong Am, ntar kamu kerja aja lagi di Petronas, imbuh Meli.
“Rencana sih ada Mel, tergantung rajah tangan tentunya, jawab Amril.
“Kamu, sih gimana rencanamu Zar, tanya Riko.
“Aku lagi nyoba Chevron juga, melanjutkan hasil test tempo hari”, tapi gak tahulah, soalnya ada tawran dari SBM buat jadi dosen”, jawab Azar.
“Bagus dosen Zar, ntar kamu bisa cepat S2 dan langsung S3, dan lalu professor. Masak diantara kita gak ada yang profesor. Azar kamu cocok, kan kamu berbakat jadi guru”, sergah Karina.
“Gak tahulah Rin, aku mau diskusi dulu ama Putri”, kata Azar.
“Yang hebat Pei tuh, ia keterima di Qatar Petroleum, benar ya Pery?, tanya Evie.
“Ya, aku iseng ikut melamar on-line bersama dengan Hadi anak perminyakan teman satu kostku. Taunya kita dikirimi on-line interview yang harus kita jawab. Minggu kemaren ada pemberitahuan nyuruh kita berangkat sekalian test kesehatan di Dhoha, tahunya kita diterima”, urai Pery.
“Hadi, ikut keterima di QP?”, tanya Putri.
“Iya Put, Hadi jelas diterima, orang TA-nya menganalisa Lumpur Lapindo dan ia kirimkan ke QP, ternyata orang Arab Qatar sana tertarik dengan analisa reservoir yang dikemukakan Hadi, terus Hadi dikirimi application on-line, dan Hadi nyuruh aku ikut ngisi application form yang kita kirim bareng, eh nasibnya beta lagi mujur kita diterima deh, jelas Pery.
“Terus, kalian di gaji berapa disana”, tanya Evie.
“Sebagai yunior production engineer, dan selama training enam bulan kita digaji 3.100 dolar, dan tinggal di mess perusahaan.
“Not bad, buat seorang insinyur ITB yang lulus cum-laude kayak kalian, kan gaji permulaan, ntar abis training pasti naik dong”, kata Putri.
“Kamu kemana Putri, tanya Riko.
“Aku barusan dikabari oleh P&G, dan diterima sebagai MT (*MT=Management Traning) selama satu tahun di Jakarta, dan kalau aku lulus baik, rencananya ditempatkan satu tahun lagi di Bangkok, tapi gajinya tidak sebesar di perminyakan, ya lumayanlah, kata Putri.
“Terus kamu nggak diskusi dengan kak Shery mengenai masa depanmu Put”, tanya Alfian.
“Nah itu dia, kak Shery minta aku ke Melobourne satu tahun buat ambil certificate Political Sciences, terus dia mau aku kerja di UNDP badan PBB, karena kakakku itu punya banyak teman di mancanegara. Katanya aku berbakat sebagai instruktur, sekarang PBB butuh banyak tenaga instruktur industri untuk mengajar developing country seperti Afrika dan Asia, ah gak tahulah aku masih bingung”.
“Om Azar, maunya kamu kemana Put”, tanya Amril.
“Aku sih Putri terserah dia aja, aku kan tanya dia, enggak mungkin aku mau melarang dan mengecewakan Putri dong”, sergah Azar.
“Gitu dong pasangan ideal”, potong Karina.
“Kamu kemana Rin, tanya Riko.
“Aku mau ambil certificate international relation di NUS, bokapku menasihati aku, baru ntar diminta buat MT di perusahaan logistic temannya di Singapur”, urai Karina.
“Eh..Evie, kamu kemana Vi?, tanya Azar.
“Aku, mau masuk ke BI aja, siapa tahu ntar setelah 10 tahun aku menjadi salah seorang manejer”.
“Evie, kan salah satu kader pimpinan nasional nantinya”, tambah Putri.
“Amiin”.
“He, nanti waktu acara wisudaan di jurusan, kita harus kasih tahu para orang tua kita supaya waktu acara balas dendam dari para mahasiswa orang tua tidak kena sasaran lemparan plastik air. Kasihan kan para orang tua udah pada capek nungguin acara, tahunya pada basah kena lemparan, kan nggak lucu”, kata Azar.
“Oh, ya benar, nanti aku akan buatkan kertas warning kecil dan kita bagikan ke bokap dan nyokap masing-masing”, menambahkan Putri.
***
 Hari itu hari Sabtu pertengahan bulan July tahun 2008. Gedung Sasana Budaya Ganesha atau lebih dikenal dengan gedung Sabuga, sejak jam setengah tujuh sudah ramai. Mobil para orang tua wisudawan telah mulai memenuhi pelataran parkir. Mereka datang untuk menghadiri sibuah hati mereka yang pada hari itu akan dilantik oleh rektor menjadi lulusan Institut Teknologi Bandung. Para orang tua ada yang datang dari Aceh, Kalimantan, Sulawesi, dan dari Maluku serta Papua. Semuanya datang dengan pakaian terbaik mereka. Ada yang pakai jas lengkap, pakai baju batik terbaru, dan ada juga dengan pakaian adat mereka. Seorang orang tua dari Tapanuli datang dengan topi adat lengkap dengan sebuah ulos tersampir dibahu mereka. Wajah cerah orang tua bercampur dengan kebanggaan karena hari itu mereka mempunyai anak yang telah jadi sarjana sebuah perguruan tinggi ternama di Indonesia. Para juru foto berebutan mengambil gambar. Mereka akan langsung mencetak foto itu dengan ukuran 3R, yang mereka jual sepuluh ribu rupiah perlembarnya. Beberapa rumah foto Bandung menawarkan foto dengan latar belakang gedung Sabuga, atau latar belakang lukisan aula barat gedung ITB yang masih bentuk design aslinya. Termasuk rumah foto terkenal Yonas, telah ramai diantri keluarga wisudawan disudut barat gedung. Yonas memang rumah foto yang paling terkenal di Bandung. Kreasi fotonya yang up to date, amat disukai oleh anak muda Bandung. Dinding timur jalan masuk gedung Sabuga penuh dengan baliho juusan ITB lengkap dengan semboyannya himpunan masing-masing. Amisca dari jurusan kimia murni, MTI dari Teknik Industri, HM Patra dari teknik perminyakan, HME dari Teknik Elektro, dan lain-lain seakan berlomba menampilkan bahwa jurusan merekalah yang terbaik. Tahun 2008 ini ITB memang banyak berubah. Beberapa jurusan ada yang menjadi fakultas sendiri, dan ada yang bergabung menjadi sekolah tinggi. Fakultas Farmasi berdiri sendiri dengan nama Sekolah Farmasi dan melepaskan diri dari jurusan farmasi yang tadinya tergabung dalam FMIPA. Juurusan teknik informatika bergabung dengan jurusan teknik elektro yang tadinya bergabung dalam Fakultas Teknologi Industri, membentuk Sekolah Tinggi Elektro dan Informatika atau disingkat STEI. Sehingga hanya tinggal jurusan teknik mesin, teknik kimia, teknik fisika, teknik industri, dan teknik penerbangan yang bergabung dengan FTI. Begitu juga jurusan-jurusan lainnya bermetamorfosa menjadi nama baru. Seperti jurusan biologi yang menjadi Fakultas Ilmu Hayati dengan jurusan biologi, bio teknologi, dan mikrobiologi. Hal ini sesuai dengan tuntutan pasar kata rektor ITB dalam pelantikan mahasiswa baru tahun 2008.
Para wisudawan kelihatan gagah-gagah dengan memakai jas komplit dan dibalut dengan toga biru kebanggaan ITB. Para wisudawati pagi-pagi sekali sejak jam lima telah hadir disalon kecantikan bersama ibu mereka minta dihias dan dibuatkan sanggul. Semuanya memakai kebaya baru dengan warna kebanggaan mereka. Putri, memakai kebaya brokat moderen dengan warna ungu kemerahan kesayangannya. Meli kelihatan cantik sekali dengan kebaya biru terang sama dengan yang dipakai ibunya. Mereka kelihatan seperti putri keraton Solo, berjalan dengan langkah pelan karena kakinya tersendad oleh kain wiron khas Jawa. Evie muncul dengan kebaya putih bersih, ia kelihatan anggun dan ditemani oleh ibunya yang jadi anggota DPR pusat. Karina memakai kebaya merah terang, kelihatan manja disamping ibunya yang juga memakai warna sama dan masih kelihatan cantik. Orang tua Riko, Pak Haji Ahmad dan ibunya Hajah Nuraini sengaja datang dari Padang untuk menemani putra sulung mereka. Kebanggaan terbayang di wajah mereka. Riko memperkenalkan orang tuanya kepada papanya Putri Bapak haji Syaiful yang juga telah hadir di Sabuga. Pak Ahmad memakai “celana kain panjang” baru yaitu celana khas orang Minang yang terbuat dari kain batik, dengan baju koko putih bersih dengan sulaman Pandai Sikat yang terkenal. Dikepalanya terletak Destar yaitu songkok yang terbuat dari kain hitam yang berhias ukiran khas Minang dari benang emas buatan Silungkang yang terkenal. Ia memakai sandal kulit buatan Bukittinggi, dan ia bertongkatkan sebuah tongkat yang terbuat dari ruyung atau batang enau tua, yang berhiaskan kepala ular yang terbuat dari emas murni. Harganya mahal sekali. Ini menandakan bahwa Pak haji Ahmad adalah seorang penghulu adat. Ia bergelar Datuk Makhudum Nan Sakti, ia adalah sebagai kepala suku Koto di kampungnya. Papanya Putri yang juga kebetulan orang Padang juga dan kebetulan juga seorang datuk dari suku Jambak. Ia bergelar Datuk Bandaro Mulie. Mereka langsung berpetatah petitih yang di dengarkan dengan cermat oleh ayahnya Meli, Bapak Suryo Hadipranoto yang kebetulan keturunan bangsawan Surakarta.
“Assalamualaikum, alah tarang candonyo hari, alah tabukak kiro-kiro”, papanya Putri memulai menyapa ayahnya Riko (*alangkah cerahnya hari, dan senang hati kita).
“Waalaikum salam, io lah basuluah bulan jo matohari, lah tasibak  gabak, lah pulang bangau kasarangnyo, baa kaba Pak Datuak” (ia, telah terang matahari, telah tersingkap awan, telah berhasil anak kita, bagaimana kabar Pak Datuk), balas ayahnya Riko.
“Lai baiak, sajo, baitu juo jo datuak”, (ia, ada baik saja, begitu juga hendaknya dengan datuk).
“Selamat pagi, bapak-bapak, senang mendengarnya pepatah Minang yang saya kagumi, kenalkan saya Suryo dari Solo ayahnya Meli”, kata ayahnya Meli.
“Selamat pagi Pak Suryo, kenalkan saya Syaiful papanya Putri, dan ini Bapak Datuk Makhudum dari Padang, orang tuanya Riko”, sambut papanya Putri.
“Saya Ahmad, gimana kabarnya Solo pak Suryo, saya pingin mampir mau cari batik di Pasar Klewer buat di jual di Padang, langsung otak dagangnya ayah Riko berputar untuk cari barang.
“Baik Pak Datuk, Klewer masih ramai, ayo mampir ke Solo pak, rumah kami hanya 200 meter arah selatan pasar”, sambut ayahnya Meli.
“Iya ya, kita sebagai orang tua mahasiwa ITB kan masih terikat dengan POM (*POM=Persatuan Orang tua mahasiswa), silaturrahmi tidak boleh terputus dan harus disambung terus. Kapan-kapan saya akan mampir dan pasti akan merepotkan pak Suryo, mau nginap, habis duitnya gak ada buat nyewa hotel”, langsung saja ayahnya Riko nyerocos.
“ No problem pak Datuk, kami senang sekali dikunjungi oleh petinggi adat dari Sumatra, akan saya kenalkan adatnya Solo yang kaku buat bapak-bapak”.
“Ah siapa bilang adatnya Solo kaku, putrinya terkenal ayu-ayu lihat mamanya Meli, ai masih ayu, pantas saja pak Suryo awet muda”, sambung papanya Putri.
“Saya sudah tua Pak Datuk, mamanya Putri yang masih awet ayu”, potong ibu Hartiningsih, mamanya Meli. Mama Meli melirik ke arah Riko. Penampilan Riko memang “agak lain” pagi itu. Ia membiarkan cambangnya sedikit liar, tidak panjang namun kelihatan menghitam tipis. Kelihatan benar jantannya, karena kulit mukanya yang kuning langsat dengan dagu persegi, dan otot dada yang bidang terbentuk karena latihan karate dan lari sepuluh kilo tiap harinya. Alangkah gantengnya anak muda ini pikirnya, pantas putriku menaruh hati padanya. Tapi apakah ia juga tertarik pada Meli? Mamanya Meli membatin. Ia tahu putrinya jatuh hati pada Riko, karena Meli pernah curhat pada mamanya sewaktu pulang ke Solo pada liburan semester tahun lalu.

“Ma, aku mau curhat nih’, kata Meli sambil menggayutkan tangannya di ketiak ibunya, di teras rumah joglo mereka di Solo.
“Curhat, curhat silahkan cah ayu”, kata ibunya sambil mengelus pipi Meli.
“Ma, aku jatuh hati pada seseorang”, Meli mulai serius.
“Sudah saatnya sayang, kan kamu sebentar lagi lulus. Kamu sudah menemukan calon jodohmu ya”, ibu Meli membelai punggung anaknya.
“Itu dia ma  persoalannya. Kelihatannya aku bertepuk sebelah tangan. Dia kelihatannya malah mencintai orang lain”, Meli berkata sendu
“Trus, gimana kamu dong. Gak boleh begitu cah ayu, yang namanya cinta kan antara dua pihak, kamu dan dia. Kamu sudah pernah ngomong soal ini dengan dia”, tanya ibunya lagi.
“Ma, aku malu, takut kalau ia gak mau”, Meli mulai sedih.
“Siapa namanya, kuliah dimana ia?, tanya ibunya lagi.
“Namanya Riko, sama mahasiswa TI”, kata Meli.
“Hah..., ibunya tidak habis pikir.

Ini dia yang namanya Riko, yang disenangi oleh putriku, gumam ibunya Meli dalam hati.
“Kalau Pak Datuk dan Ibu berkenan, kami undang ke Solo. Sekalian melihat pondok kami dan melihat peninggalan kuno Surakarta”, mamanya Meli langsung mencoba lebih akrab. Aku akan coba melamar putranya buat Meli, demikian pikirannya menerawang.
“Suatu saat kami akan kesana bu”, jawab ibunya Riko. Tapi saya pasti merasa canggung karena jarang sekali meninggalkan tanah Minang.
“Pastilah ibu betah di Bukittinggi yang sejuk udaranya. Kami hanya dengar berita di telivisi, rasanya juga pingin untuk berkunjung”, kembali mama Meli menyambutnya.
“Mari, mari, dengan senang hati kami akan menerima ibu dan bapak’, jawab ibunya Riko.
“Hayo, bapak-bapak dan ibu-ibu aku foto lagi bareng ini, kapan lagi kami dapat foto orang tua kami yang masih ganteng-ganteng dan cantik-cantik ini”, Meli langsung menyiapkan kamera digital Minoltanya.
“Put, atur nih bokap-bokap dan nyokap-nyokap”, biar kelihatan genitnya”.
“He..he. kita ikutan dong, tiba-tiba muncul kedua orang tua Karina yang keluar dari sebuah mobil mersedez blue-eye SEL 300 keluaran tahun 2008.
“Kami juga ya ikutan, kata ibunya Azar yang baru muncul”.
“He, putri Cianjur baru muncul nih, sambut ibu Zeilly mamanya Putri sambil menyalami ibu Halida ibunya Azar.
“Bapak-bapak, ibu-ibu silahkan masuk ruangan, takut nanti gak kebagian tempat duduk, nih udah mulai ramai, tiba-tiba Azar memberi tahu para orang tua.
“Ya, bapak dan ibu kami sudah di dalam ruangan. Papa dan mamanya Evie juga sudah masuk, kata Amril dan Alfian bareng.
Semua orang tua bergerak masuk kedalam gedung Sabuga lewat pintu A1, menuju tempat yang disediakan di deretan kursi teater tepat dibelakang para wisudawan FTI dan FMIPA.

Jam sembilan rektor ITB yang diiringi para profesor anggota senat guru besar memasuki ruangan dan mengambil tempat pas ditengah di kursi kebesaran senat ITB. Ruangan sudah penuh dengan wisudawan yang memakai toga biru lengkap dengan kalung lambang Ganesha ITB yang menjadi kebanggaan para lulusan ITB. Toga dengan tanpa lengan berarti wisudawan lulusan sarjana strata 1, toga dengan lengan pendek berarti lulusan magister strata 2, dan toga dengan lengan panjang dan tiga strip biru berarti lulusan program doktor strata 3.
Kemudian Rektor ITB membuka sidang istimewa acara pelepasan lulusan sarjana, magister dan doktor lulusan tengah tahun 2008 sebanyak 1346 lulusan.
Pidato rektor didahului dengan ucapan selamat kepada lulusan dan rasa terima kasih ITB kepada orang tua mahasiswa yang telah mempercayakan pendidikan putra dan putrinya di ITB, yang kemudian dilanjutkan dengan pembacaan mahasiswa berprestasi dan prestasi yang dicapai oleh ITB. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan ikrar lulusan ITB. Terakhir adalah prosesi pelantikan sarjana, magister, dan doktor ITB dengan membacakan nama mereka satu persatu yang berjalan kepodium disalami oleh rektor yang didampingi oleh dekan fakultas dan ketua jurusan atau program studi. Resmilah mereka sejak itu sebagai lulusan baru ITB, yang diharapkan mengabdikan ilmunya buat kemanusian, agama, bangsa dan negara dan dapat mengharumkan nama ITB.
Hari itu adalah hari ITB. Hari itu adalah hari para sarjana baru ITB. Hari itu adalah hari para orang tua sarjana baru ITB. Mereka ramai bikin foto wisudaan. Para studio di Bandung ketiban rejeki. Juga para potografer lepas yang menenteng tustel selalu memotret sana sini. Nantinya setelah dicetak mereka jual sepuluh ribu perfoto ukuran R3. Yang paling ramai adalah stand foto studi Yonas yang amat terkenal di Bandung. Yonas memang disenangi anak muda Bandung karena gaya dan stylis fotonya yang menarik dan marketable. Yonas punya omset puluah  juta perharinya. Apalagi kalau ada acara wisudaan, pastilah omsetnya maik besar. Acara selanjutnya adalah pelepasan di jurusan oleh masing-masing prodi yang juga diramaikan oleh arakan sarjana baru oleh adik-adik mereka para mahasiswa yang sedang menunggu giliran dan sedang belajar untuk menyusul kakak-kakak mereka yang sudah lulus. Hari pembalasan yang dibarengi rasa sayang pada kakak yang telah berhasil memperjuangkan gelar kesarjanaannya. Para mahasiswa saling lempar kantong plastik berisi air mineral sambil berteriak kata sakti masing-masing jurusan. Meriah sekali acara wisuda ITB ini. Acara yang selalu ditunggu-tunggu semua mahasiswa ITB sejak mereka dilantik jadi mahasiswa di gedung Sabuga yang sama.  Wisuda tengah tahun 2008 ini ramai sekali. Selanjutnya para wisudawan akan menatap masa depan mereka, dan akan berjuang mengharumkan nama ITB di kancah Nasional dan antar bangsa. Karena ITB telah menorehkan sejarahnya di Indonesia sebagai perguruan teknik pertama yang lahir pada tahun 1959. Salah satu Putra terbaik mereka telah menjadi presiden republik pertama yaitu Insinyur Soekarno yang lulusan Teknik Sipil. Dan banyak lagi Putra terbaik negeri ini yang ikut membangun Republik dengan spesialisasi masing-masing.

*

AWAL SEBUAH PARAHARA
Ayah dan ibu Riko nginap disebuah wisma di Jalan Jawa milik Kodam Siliwangi. Kamarnya bersih dengan dua buah tempat tidur dan kamar mandi. Harganya cukup murah.
Malamnya mereka jalan-jalan di Braga melihat-lihat sambil menikmati udara Bandung yang bersih. Setelah makan malam disebuah restoran Padang di Braga, jam sembilan mereka kembali ke wisma.
Mereka duduk santai di teras. Papaya Riko mulai angkat bicara.
“Rik, apa rencanamu selanjutnya setelah lulus ini”.
“Saya masih memikirkan antara dua yah, antara ingin melanjutkan ke S2 atau tetap di Indonesia dan bekerja”.
“Baguslah, kalau kau kerja dan dapat penghasilan, kau bisa membantu uang kuliah adikmu di Padang. Dagangan ayah sekarang agak seret, daya beli orang di Padang kurang sekali”.
“Riko, ibu ingin tahu dimana engkau bekerja selama ini nak? Tanya ibunya.
“Seperti yang saya ceritakan pada ibu dalam surat, saya bekerja jadi satpam di BSM”.
“Jadi satpam itu sama dengan penjaga malam, dan lumayanlah rupanya Riko bisa meringankan beban kita kan bu, kata ayahnya.
“Ibu tahu, tapi ibu heran, kenapa dua bulan lalu engkau sempat berkirim uang buat Zahra adikmu, waktu ia diterima di Unand”.
“Begini bu, sejak empat bulan lalu saya tidak lagi bekerja sebagai satpam, tapi saya kebetulan diterima bekerja jadi pengawas toko seorang toke China di BSM dan Pasar Baru. Gajinya lebih besar dari saya bekerja sebagai satpam, sehingga saya bisa menyisihkan sedikit gaji saya untuk membantu Zahra”.
“Kamu bekerja dengan orang China, harus hati-hati Rik, jangan sampai kamu diperasnya. Tenagamu habis dan pendapatanmu tidak sebanding”.
“Sampai saat ini penghasilan saya lumayan yah, cukup buat uang kos dan bayar uang kuliah dan biaya saya menamatkan kuliah kemaren. Dan lagi Koh Acung bos saya orangnya baik yah. Dia sangat percaya kepada saya. Dan saya tidak pernah mengecewakannya.
“Itu, ayah lihat sepeda motor yang kamu pakai siapa yang punya, apa kamu pinjam dari temanmu.
“Bukan yah, itu dipinjamkan oleh Koh Acung buat saya. Saya memerlukannya buat bolak balik dari Sekeloa ke BSM dan Pasar Baru untuk mengontrol dua toko setelah saya pulang kuliah”.
“Hm, kalau begitu bosmu si Acung itu baik juga, ayah pingin kenalan dengannya.
“Boleh yah, sebelum ayah balik ke Padang, kita datang kerumah koh Acung di Buah Batu, sekalian silaturrahmi dengan keluarganya.
“Baik, nanti kita kesana.
“Riko, ibu mau ngomong.
“Ngomong apa bu.
“Rik, kamu ingat tidak sama tante Ijah mak tuomu seperti yang mama ceritakan dalam surat mam dulu.
“Ingat bu, mak tuo Ijah yang suaminya punya toko radio di Padang, dan mereka sekarang ada di Medan”. Aku ingat waktu aku diajak ke Padang oleh Mak Tuo dan Pak Tuo. Hm, mak tuo Ijah yang dulu memberiku uang dalam amplop, Riko selalu mengingat peristiwa itu. Telah lebih empat tahun, namun Riko masih teringat karena ia merasa berutang budi pada keluarga itu.
“Ia, benar. Dan kamu juga ingat dengan Chairani putri sulungnya.
“Iya saya ingat Ira, yang dulu suka ikut menari sewaktu kami mengadakan sandiwara pada hari lebaran.
“Iya, benar, sekarang Ira sudah kuliah di Fakultas Kedokteran Unand.
“Bagus itu bu, kan keluarganya cukup mampu buat menyekolahkan si Ira sampai menjadi dokter.
“Benar, namun maksud ibu bukan begitu.
“Maksud ibu bagaimana.
“Ingat tidak dalam surat ibu, bahwa ibu mengingatkan kamu untuk tidak mencari jodoh di sini.
Aku jadi terdiam. Ingatanku langsung ke Silvia pacarku, yang akhir-akhir ini sering aku dapati ia suka murung. Aku jadi memikir, apa Silvia tahu akan maksud ibu untuk menjodohkan aku di kampung. Aku jadi tidak enak. Tapi tidak mungkin, tahu dari mana dia.
“Maksud ibu gimana?”
“Ibu mau menjodohkan kamu dengan Chairani”
“Ah, jangan bu”
“Jangan bagaima maksudmu’”? Ibu sudah berbicara serius dengan mak Tuomu tante Ijah itu.
“Bu, saya sekarang belum mau memikirkan jodoh bu, saya masih mau sekolah lagi.
“Kamu sekolah lagi ya, tidak apa-apa. Namun ingat, suatu saat kamu pasti membutuhkan pendamping, seorang isteri yang akan membantumu untuk mengharungi masa depanmu.
“Setidaknya sekarang saya masih belum memikirkannya bu, memangnya kenapa ibu memikirkan jodoh saya.
“Dua minggu lalu, tantemu Ijah pulang dari Medan. Ia kan anak pisang kita (*anak pisang= keluarga kakak laki-laki ibu, anak-anaknya disebut anak pisang. Dalam adat Minangkabau anak pisang boleh dikawini). Ia menyampaikan ucapan selamat atas kelulusanmu. Sekalian ia mengunjungi Chairani di Padang. Ia mengingatkan ibu akan maksudnya untuk memintamu untuk menjadi pendamping Ira. Bagaimana pendapatmu.
Aku kembali teringat Silvia. Aku sudah janji dengannya. Bahwa kelak aku akan melamarnya kepada koh Acung setelah aku selesai pendidikan S2. Tidak mungkin aku menerima lamaran dari tante Ijah. Dan tidak mungkin aku bisa menjadi pendamping Chairani yang selama ini aku anggap sebagai adik sendiri. Ia seusia dengan Zahra adikku.
“Bu, aku belum memikirkan jodohku, aku mencoba berbohong pada ibu. Pada hal kalau ia tahu, aku telah dua tahun berpacaran dengan Silvia anak bosku.
“Riko, ibu pasti tidak salah pilih kalau ibu menerima pinangan Ijah buat anaknya Ira. Chairani itu orangnya baik sekali dan sangat cantik, persis ibunya. Kamu kan tahu, bahwa tantemu Ijah itu adalah yang tercantik diantara anak perempuan keluarga kita. Dan Ira putrinya adalah seorang gadis yang baik, ia ringan tangan dan capek kaki (lincah dan suka membantu). Ibu suka padanya. Setiap Ira pulang kampung, ia selalu ketemu ibu dan selalu membantu ibu, dan juga ia sering ke Blok A di Padang ketemu ayahmu, betul kan yah ».
« Ia, Ria sering ketempat ayah, kalau ayah lagi di Padang. Dan ia kan sudah ada satu toko elektronik yang di Pondok disamping toko radio yang dulu, dan sekarang dipimpin oleh adik ayahnya. Dan kalau ia tidak kuliah, ia malahan ikut membantu menyusun baju-baju dagangan ayah. Anaknya baik. Ayah juga suka padanya, apalagi ia kan calon dokter.
“Aku tetap belum memikirkan itu bu, ayah”
“Ibu jadi curiga, jangan-jangan engkau sudah berpacaran di Bandung”
Aku hanya diam, dan aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

Aku mulai merasakan ada kerikil dalam sepatuku. Tekanan kaki membuat kerikil itu seakan menembus kulit telapak kaki dan menimbulkan rasa perih sampai keubun-ubun. Kerikil yang sama terasa menembus relung hatiku. Badnku jadi panas dingin. Kelihatannya orang tuaku mulai memilihkan jodoh buat anaknya. Memang kebiasaan atau apa yang dikenal dengan adat di kampungku Minangkabau, bila anak lelaki telah dewasa akan ada orang tua yang punya anak gadis mulai melirik untuk dijodohkan. Biasanya keluarga dekat juga akan mulai dicari. Anak pisang biasanya menjadi pilihan utama. Kuah tatunggang ka nasi (*=Kuah tertuang ke piring nasi) kata mereka. Artinya bila calon penganten laki-laki anak orang berada, atau anak pintar yang telah jadi sarjana akan jadi rebutan.
“Yah, kalau aku berangkat keluar negeri untuk mengambil masterku, ayah tidak usyah memikirkan biaya sekolahku”, aku mencoba mengalihkan pembicaraan kami.
“Maksudmu bagaimana”, ayah lalu memotong pembicaraanku.
“Aku akan dapat beasiswa dari perusahaan minyak Chevron milik USA, dan sekarang surat-suratku sedang diusahakan oleh ITB. Ayah kan tahu Chevron perusahaan minyak di Rumbai yang dulu bernama Caltex”, aku mencoba menjelaskan.
”Riko, kemanapun engkau sekolah ibu tidak keberatan, namun ibu minta engkau pertimbangkan usul ibu. Engkau akan bertunangan dulu dengan Chairani”, potong ibu.
Chairani lagi, Ibu aku mencintai Silvia dan bukan Chairani, kataku dalam hati.

Aku ingat si Chairani putri sulung tante Ijah yang mak tuoku memang cantik. Namun aku tidak tahu wajahnya setelah lima tahun belakangan ini. Tapi aku menganggapnya sebagai adik saudara saja. Aku tidak mempunyai perasaan apa-apa padanya. Ia sekolah SMP di Medan, sedangkan aku sekolah SMA di Padangpanjang. Kami tidak pernah ketemu dan bertegur sapa dengan akrab. Sejak ia ikut menari sewaktu ia kelas tiga SMP dulu, aku tidak pernah ketemu lagi dengan dia. Sekarang ibu mengatakan bahwa Ira telah kuliah di Fakultas Kedokteran dan cantik.

Bagiku gadis cantik yang berada di hatiku adalah Silvia. Putri koh Acung ini telah merebut hatiku. Ia sering muncul dalam mimpiku. Ia yang berlari di taman dan aku memeluknya dari belakang. Sekumtum bunga mawar aku selipkan di rambutnya yang hitam lebat lurus, dan ia membalikkan badannya. Harum tubuhnya menggodaku untuk memeluknya lebih erat. Bibirnya yang terbuka menyodorkan birahi cinta yang amat menggairahkan. Aku memagut bibirnya itu, dan kami berciuman dengan rasa yang tidak tertahankan. Rasa birahi dan cinta bercampur jadi satu. Aku terbangun, namun harum tubuh Silvia seakan masih memenuhi kamarku. Sering aku terbangun jam 3 dinihari sehabis bermimpi. Aku lari kekamar mandi, mandi keramas, dan mengambil udhuk untuk sholat tahajud, mohon ampun karena telah digoda mimpi dengan orang yang aku cintai.

« Ibu, beri aku waktu untuk berpikir. Aku masih harus mengurus segala sesuatu untuk mendapatkan beasiswa S2-ku dengan fakultas.
« Baik Riko, bagi ibu kamu sudah ibu berikan informasi dan permintaan tantemu si Ijah. Silahkan engkau berpikir. Ibu dan ayah tidak akan memaksamu. Karena bagi kami masa depanmu adalah urusanmu. Namun, sebagai orang tua kami juga berkeinginan untuk mendapatkan menantu yang sesuai dengan selera kami. Hanya itu.
“Baik bu, aku ingat itu.
*

GODAAN BUAT SILVIA
Suatu hari Koh Acung kedatangan sahabat lamanya Ah Seng dari Jakarta.
”Selamat pagi koh”, apa kabar, ada maju usahanya koh..
”He, tumben Seng, ada angin apa yang membawamu ke Bandung..
“Biasa koh, ada urusan dikit, dan akau mau rundingan dengan koh Acung kalau kagak keberatan.
“Ada apa Seng, kok kelihatan seirus nih..
”Gini koh, si Robert anak gua kan udah lulus kuliahnya di Singapore.
Kemudian ia akan ke Melbourne 1 tahun untuk mengambil MBAnya sekalian untuk melihat peluang bisnis di sana. Aku berencana untuk mengekspor mebelair jati dari Surabaya yang akan di finishing di Melbuorne dan Perth untuk di jual di Australia. Pasarnya sedang bagus koh, kan banyak muncul real estate yang memasarkan apartment dan rumah pribadi dengan pembelinya dari Indonesia, Hongkong, Singapura dan Brunei. Mereka masih tertarik dengan bahan jati dari Indonesia.
Koh Hong Seng sahabat akrab koh Acung sejak mereka kecil-kecil dulu di Mangga Besar masing-masing ikut papa mereka yang berdagang di Jakarta.
 « Wah, selamat ya Seng, anakmu memang pintar. Cocok ia mengurus bisnis import-export.
“Iya koh, kelihatannya Robert juga tertarik.
Tapi aku memikirkan satu masalah lagi yaitu menyangkut jodohnya. Aku mau ia menikah dengan gadis pilihan mamanya, dan sudah pasti sangat cocok dengannya. Dan lagi si Lily mamanya tidak mau Robert kawin dengan bule Australia.
“Wah, betul itu Seng, anakmu yang ganteng itu harus jadi kebanggaan keluarga dan alangkah bahagianya kalian kalau mendapatkan mantu yang kalian senangi dan cocok pula bagi anakmu.
“Wah, kelihatannya jalan pikiran koh Acung sesuai dengan Lily mamanya Robert. Tapi itu koh, apa koh Acung setuju ya.
“Setuju apanya Seng.
“Koh, Lily minta tolong aku untuk menanyakan pendapatnya koh Acung dan taci. Lily kelihatannya senang dengan putri koh si Silvia. Ia ingin Silvia menjadi mantunya, untuk jadi pasangannya Robert.
Seer, berdebar darah koh Acung mendengar penuturan Hong Seng. Acung tahu, pasti Silvia menolak untuk menerima perjodohan dengan Robert. Ia telah paham dan mereka selama ini merestui hubungan Silvia dengan Riko. Mereka berpacaran dan amat mesra. Rasanya tidak sampai hati mereka untuk merusak hubungan itu. Tapi Acung juga sadar, bahwa hubungan antara Riko dan Silvia adalah sesuatu yang tidak umum. Silvia putrinya yang asli China berhubungan cinta dengan seorang pribumi asli dari suku yang terkenal amat keras adatnya yaitu Minangkabau. Cinta mereka adalah cinta terlarang baik dalam kebiasaan leluhur China yang jarang kawin dengan orang luar dan juga menurut adat Minang adalah tabu buat berhubungan dengan gadis China yang jelas agamanya berbeda. Acung sering mendengar cerita bahwa seorang pemuda Minangkabau yang kawin bukan dengan gadis Minang, suatu saat pasti dipaksa keluarganya untuk kembali mengawini seorang gadis sekampung. Untuk meghormati adat kata mereka. Acung memikirkan, alangkah sengsaranya kelak bila Silvia telah menikah dengan Riko, dan suatu saat Riko pulang kampung, ia akan memboyong isteri baru dari Padang. Dan Silvia akan punya madu. Dan Silvia akan disia-siakan oleh Riko. Dan Silvia akan merana. Ini adalah prahara namanya. Dan Acung menjadi malu. Ah, ini tidak boleh terjadi. Parahara seperti ini harus dihindari. Tapi bagaimana caranya? Apakah ini sebuah pertanda tidak baik? Apakah ini awal dari sebuah prahara? Acung sungguh mempunyai pertarungan pemikiran dalam benaknya. Sedangkan dalam penglihatan Acung hubungan Silvia dengan Riko semakin akrab. Bukankah Riko selama ini baik? Aku tidak menemukan suatu cacat apaun dalam diri Riko. Atau aku belum temukan? Atau cacat itu belum muncul? Acung tambah bingung. Sedangkan Silvia adalah anak tunggal mereka yang sangat mereka sayangi. Mereka tidak mau Silvia akan merana karena soal percintaan yang putus. Sebenarnya Riko adalah pemuda yang juga disayangi oleh Acung karena sifatnya yang jantan dan tegas serta sangat jujur. Walaupun mereka bercinta dalam alam yang terlarang, hubungan yang tak lazim antara seorang pemuda dari Padang dengan seorang gadis China Bandung yang cantik. Acung berani melanggar sumpah leluhur kalau Silvia akan kawin dengan Riko. Ia akan mendatangi biara untuk minta restu Sidharta Gautama. Koh Acung betul-betul menghadapi masalah pelik.
“Koh, aku balik dulu ke Jakarta, tapi tolong koh pikirkan permintaan Lily, ya”.
Lamunan Acung buyar.
“Baik Seng, masalah ini harus saya rundingkan dulu dengan tacimu. Juga dengan Silvia tentunya.
“Baik koh, kami menunggu kalau begitu.
“Oh ya, Robert titip salam sama Silvia, ia akan berangkat besok ke Australia”.
***
“Koh Acung, saya mau bicara. Suatu senja di BSM Riko sedang merapikan barang-barang yang dibawa Acung dari Jakarta.
“Ya, ada apa Riko.
“Koh, mengenai sekolahku.
“Ya selamat ya, kamu lulus dengan cum laude. Kamu memang pinter ya Riko.
Koh Acung jadi heran. Kemaren Ah Seng datang membawa berita untuk meminang Silvia. Dan malamnya Acung bermimpi. Burung merpati peliharaannya terbang dari sangkarnya, namun aneh..burung itu kepalanya adalah manusia yang mirip Riko. Dan kemudian burung itu diikuti oleh seekor kupu-kupu putih yang berputar-putar didepan rumah, kupu-kupu itu tersenyum namun ada airmata menetes dikelopak matanya, wah..wajahnya wajah Silvia namun pucat sekali..Acung terbangun dari tidurnya jam 3 pagi. Isyarat apa kata hatinya. Ia membangunkan Lily isterinya, dan menceritakan akan mimpinya itu.
“Moga-moga tidak terjadi apa-apa dengan mereka”, kata Lily.
Acung jadi muram wajahnya. Ya Budha apakah memang prahara akan terjadi dalam rumah tanggaku? Keluh Acung di pagi buta itu. Sampai matahari mulai muncul mata Acung tidak mau terpejam.

“Ya, aku dan keluargaku mengucapkan terima kasih kepada koh Acung karena kokoh telah memberikan pekerjaan buatku sehingga aku ada penghasilan buat membiayai kuliahku dan sekarang aku telah selesai”, kata Riko.
“Alah, tidak usyah Riko begitu. Kita orang harus saling tolong menolong dalam hidup ini. Aku juga butuh bantuan Riko untuk memimpin toko. Tidak usyah dibesar-besarkan. Oh ya papa dan mamamu sudah balik ke Padang. Kenapa tidak di ajak mampir di Buah Batu.
“Itulah koh, tadinya memang begitu. Ayah dan Ibu pingin mampir kerumah koh Acung. Tapi ada telpon dari Padang. Katanya teman ayah dari Malaysia datang dan menunggunya. Tadi siang mereka pulang mendadak dengan Lyon Air.
“Trus, rencana sekolahmu selanjutnya bagaimana Riko.
“Hal itulah yang aku mau omongkan dengan koh Acung. Tadi pagi aku baru diberi tahu oleh Fakultas, bahwa permohonan beasiswaku diterima oleh Chevron dan aku akan berangkat ke Manila. Aku disuruh mengurus surat-surat untuk sudent visa untuk berangkat ke sana karena pekuliahan akan segera dimulai bulan September yang akan datang ini. Aku akan kuliah untuk konsentrasi Magister Business Administration sekitar dua tahun di Manila San Beda College. Aku akan mengambil riset thesis tentang ekonomi perminyakan pada mata kuliah financing management.
“Wah selamat ya Riko, aku bangga denganmu. Moga-moga nanti Indonesia dapat tambahan ahli ekonomi untuk mengatur perekonomian kita ini. Sudah lama rasanya rakyat kita mengeluh akan masalah ekonomi. Menurutku perlu ahli untuk menata ulang ekonomi ini. Orang sepertimu tepat sekali. Apalagi urusan peminyakan yang amat ruwet di negara kita ini, menurutku memerlukan ahli ekonomi perminyakan yang handal.
“Ya koh, do’akan aku berhasil dan segera pulang ke sini.
“Aku ikut, aku juga mau kuliah keluar negeri ah.. Tiba-tiba muncul Silvia. Rupanya setelah pulang kuliah ia langsung ke toko setelah dapat kabar dari mamanya bahwa Riko sedang bicara serius dengan papanya. Koh Acung keluar toko membiarkan aku dan anaknya berdua. Ia tahu akan ada percakapan serius antara aku dan Silvia.
“He Sil, gimana ujianmu.
“Ujianku baik-baik aja, kang Riko kenapa sih berangkatnya cepat banget.
“Bukan aku yang ngaturnya Sil, tapi pihak SBC yang mempunyai jadwal seperti itu. Aku harus lapor minggu akhir bulan Agustus depan, dan perkuliahan mulai awal September. Guarantee Letter dari SBC telah diterima Dekan FTI kemaren dan telah diberikan kepadaku berikut daftar isian Academic Record yang harus ditanda tangani oleh Rektor ITB.
Wajah Silvia kelihatan muram. Raut mukanya memelas dan menyiratkan cintanya yang dalam. Di taman di depan rumahnya di Buah Batu tumbuh sebatang bunga melati yang dipelihara oleh mamanya Silvia. Tiap hari pohon bunga itu ia siram. Bunganya yang putih berseri sungguh cantik menghiasi taman itu. Melati itu masih berseri. Namun kelopak bunganya yang putih sedikit muram karena terutup embun pagi yang agak tebal menempel. Bunga melati itu tetap harum semerbak. Ia tidak boleh layu karena ada kumbang yang setiap hari datang mengunjungi dan menciumi serta mencumbu bunga itu. Sesekali ia hirup madunya yang manis. Namun, sebentar lagi kumbang itu akan terbang jauh, meninggalkan bunga itu. Kumbang itu tidak tahu bahwa ada seekor kumbang lain yang juga menyenangi bunga itu. Bahkan kumbang yang satu ini ingin memboyong bunga itu kesarangnya, biar ia dengan leluasa mengisap madunya tiap hari.
”Sil, aku pergi tidak akan lama, paling dua tahun. Nanti bila masterat ku sudah selesai pasti aku akan pulang ke Indonesia. Dan aku akan kerja di kantor perusahaan minyak Chevron di Jakarta. Atau aku akan melamar ke Departemen Energi untuk jadi tenaga ahli energi”, Riko coba membujuk Silvia.
”Kang Riko, dua tahun itu lama sekali. Aku tidak tahan berpisah dengan akang. Jangankan dua tahun, dua hari aku tidak ketemu kakang, aku gelisah. Aku tahu, teman kakang di ITB juga banyak naksir kakang. Apa lagi diluar negeri. Di Manila pula. Disana kehidupannya bebas dan gadis-gadis pilipino terkenal cantik-cantik, akang pasti tidak tahan godaan deh. Gimana dengan cintaku kang, Silivia mulai meneteskan air mata.
”Sil, aku janji deh,..aku tidak akan tergoda. Kamu harus tahu, untuk kuliah penelitian ilmu ekonomi reservoir di perminyakan memerlukan banyak literatur yang akan aku baca. Dan aku akan riset sedikitnya tiga bulan di Kalimantan atu di Duri Sumatra daerah tambang minyak di sana. Aku pasti akan sangat capek dan pasti tidak punya energi lagi untuk main-main. Apalagi aku harus kerja praktek di perusahaan minyak Total dan mengumpulkan data-data tentang policy dan aturan investasi perminyakan di Indonesia pasti akan banyak menyita waktuku. Bila aku ada kesempatan, aku akan ke Bandung menemuimu.
Percaya deh sayang, cintaku hanya buatmu Silvia”. Do’akan saja agar aku sehat selalu dan tetap punya energi yang cukup untuk serius belajar. Aku ingin lulus dengan predikat honorary atau summa cumlaude. Biar prestasi ini menjaminku mendapat pekerjaan yang layak bila akau kembali ke tanah air.
”Kang aku percaya padamu, namun aku ragu kalau terlalu lama, kang Riko akan lupakan aku. Awas aku akan bunuh diri kalau kakang kianati aku”.
Aku merangkul Silvia. Aku cium bibirnya. Aku pagut ia penuh cinta. Wahai wanita cantik, aku akan setia dan akan menjemputmu nanti untuk jadi permaisuriku, kata hatiku.  
*

UJIAN KEKUATAN CINTA
Tepat tanggal 20 Agustus nanti aku akan berangkat ke Manila. Aku akan berangkat dari Air Port Sukarno-Hatta dengan PAL. Tanggal 18 Agustus ini ayah dan ibu datang dari Padang. Ia datang dengan adik perempuanku Zahra. Zahra baru masuk kuliah di Universitas Andalas Padang jurusan akutansi pada fakultas Ekonomi.
Kemaren, aku agak telat dari Bandung ke Jakarta. Ayah dan ibuku numpang di rumah pak etekku di Bendungan Hilir. Pak etek Arifin adik ayah nomor dua, ia adalah pedagang baju di Tanah Abang sejak tahun 80-an. Sama seperti ayah, pak etek Arifin ini tidak meneruskan ke bangku kuliah setelah tamat di SMA Pariaman. Setelah menjual dua ekor kerbau milik kakek, ia berangkat ke Jakarta untuk berdagang pakaian jadi di Tanah Abang. Sekarang pak Etek termasuk pedagang yang sukses, karena telah bisa mengekspor pakaian jadi itu ke Timur Tengah dan Afrika. Ayah berkali-kali telpon menyuruh aku cepat ke Jakarta untuk melakukan do’a selamat sebelum berangkat ke Amerika. Ayahku adalah penganut agama yang taat. Ia mau menyerahkan nasib anaknya, aku ke Tuhan dengan dibekali do’a syafar supaya aku dilindungi Tuhan dari godaan syetan di negeri orang. Pak etek adalah seorang panungkek Kepala Suku atau wakil dari persukuan kami. Ia digelari datuk suku. Gelarnya Panungkek Datuk Koto, karena suku kami adalah suku Koto. Sedangkan ayah adalah Datuk Penghulu suku Koto Mudik. Ada empat turunan Suku Koto, yaitu Koto Mudik, Koto Subarang, Koto Cimangkung, dan Koto Kayutanam. Masing-masing Koto ada penghulunya yang bergelar Datuk. Keempat suku Koto itu ada Penghulunya yaitu Datuk Koto. Ia telah tua dan tinggal di kampung Kandangampek.
”Assalamulaikum”, aku muncul di rumah pak etek.
”Wa alaikum salam”, etekku atau tante Hami isteri pak etek menyambutku di pintu.
”Etek, gimana kabar, apa sehat?” Eh, Pak Etek kelhatan muda dan tambah gagah, gimana kabar pak Etek?
”Sehat, Riko kamu kenapa selama di Bandung jarang sekali ke rumah etek”.
”Ia, jauh sekali Jakarta ini dari bandung ya, kata pak Etek.
”Tek, maklumlah aku kuliah sambil kerja, hampir tidak ada waktu lowong. Kataku memberi alasan.
”Alah alasan, etek tahu kamu asik dengan pacarmu ya..awas etek tidak restui kalau kamu dengan urang Sunda, etekku langsung nyerocos memprotes sikapku yang jarang ke Jakarta kerumahnya. Aku mengerti, karena memang aku selama di Bandung empat tahun hanya sekali ke Jakarta, yaitu waktu mengantar ayah dan ibu ke airport ketika mau balik ke Padang, kami mampir dulu di Bendungan Hilir. Aku gengsi, nanti aku dikatakan mau minta uang pada pak etekku kalau sering-sering ke Jakarta. Sebagai orang Padang memang sudah ditakdirkan kalau kami mempunyai gengsi atau harga diri yang tinggi. Apalagi sebagai pemuda pantang bagi orang Padang untuk diremehkan. Biar makan sekali sehari pantang meminta. Dan juga pantang tersinggung. Pada hal kalau aku minta uang pasti di kasih, karena pak etek Arifin adalah adik kandung ayahku. Tapi aku tidak mau, karena bawaan sombong sukuku aku lebih memilih jadi satpam sambil kuliah.
”Riko kemana saja, ayah dan ibu sudah menunggu dari kemaren. Adikmu minta diantar ke Gunung Agung mau cari buku dan ke UI untuk menyalin beberapa diktat.
”Yah, aku ada sedikit acara pamitan dengan teman-teman seangkatan di Bandung, jadi aku tidak bisa datang kemaren. Maafkan saya yah, bu. Zahra nanti sore aku temani ke Gunung Agung untuk cari bukumu.

Aku memang berbohong, pada hal aku jalan ke Lembang dengan Silvia untuk perpisahan. Di lereng bukit menjelang naik ke Tangkuban Perahu, Silvia membelokkan Honda Jazznya ke semak dibawah sebuah pohon yang rindang.
Ia langsung menangis dan memelukku.
”Kakang aku tidak mau berpisah. Peluk aku kakang, pinta Silvia dengan sendu.
Aku peluk ia dengan erat.
”Sil, jangan menangis, aku tidak akan pergi lama-lama sayang”.
Ia menyergap mulutku. Aku terangsang dengan manisnya bibir Silvia. Apalagi disitu lengang tidak ada orang. Aku lepaskan pelukkannya. Aku harus tahan godaan ini. Namun, kelelakianku tidak bisa aku bohongi. Tubuhnya harum dengan semerbak parfumnya yang merangsang bulu romaku.
”Kakang, kalau kamu pergi, tinggalkan aku dengan kenangan indah”, ia menuntun tanganku lebih erat ke pinggangya.
”Jangan Silvia”, aku mencoba bertahan.
”Kang, aku rindu pelukkanmu, kang..suara desah Silvia menunjukkan nafsunya telah muncul.
”Sil, maafkan aku”. Aku melepaskan tangannya.
”Kakang, tidak ada yang perlu dimaafkan, kita sama-sama cinta dan butuh itu.
”Sil, kamu tidak menyesal? Aku tidak bisa memenuhi kehendakmu.
”Tidak, malahan aku bahagia. Kakang ternyata orang yang kuat imannya.
”Sil, apa kamu mengijinkan aku berangkat lusa?
”Berangkatlah sayang, arjunaku, asal kakang berjanji menelpon aku tiap hari.
Eh..aku kan harus belajar keras, masak akau akan telpon terus-terusan.
 ”Kang gak apa, tidak usyah takut akan biaya telpon. Kemaren siang aku sudah transfer uang ke rekening bank kakang. Itu cukup buat biaya kakang selama di Manila.
”Apa, kamu mentransfer uang buat ku? Jangan Silvia, kamu butuh itu.
”Jangan kuatir, aku masih bisa minta papa dan mama. Kamu lebih butuh uang dari aku kang.
”Sil, aku kan ada beasiswa dari Pemerintah, dan aku pikir itu cukup untuk membiayai kuliahku, jadi kamu gak usyah kasih uang segala Sil...
”Kang Riko, aku tahu itu, namun apakah kakang sampai hati menolak cintaku yang akan menemani kakang kemanapun di Manila sana. Walaupun aku tidak ikut denganmu, uang itu akan ganti diriku menemanimu. Bila kakang haus pakailah buat beli minuman, bila kakang lapar ia akan menjadi nasi buat pelepas rasa lapar kakang, dan ia akan menemani kakang belajar malam bila kakang memerlukan secangkir kopi misalnya. Uang itu bukanlah sembarang uang wahai kakang yang aku cintai, tapi itu adalah belahan jiwaku yang senantiasa menemani kakang setiap saat”, Silvia kembali meneteskan air matanya dan suaranya makin pelan.
”Silvia..aku memeluknya main erat.
”Silvia, engkau terlalu baik untukku. Cintaku padamu rasanya amat besar. Aku rasanya berat meninggalkanmu sayang. Kalaulah aku bisa meminta beasiswa itu dipindahkan ke ITB ini, aku akan memilih kuliah di Bandung saja. Aku tidak akan berangkat, aku tidak sanggup rasanya meninggalkanmu kasihku.
”Tidak kang, kakang harus berangkat. Kakang harus mengejar cita-cita kakang. Kakang harus menjadi Riko yang sebenarnya seperti yang diinginkan ayahnya kakang. Aku bangga padamu. Ketahuilah bahwa Silvia seorang gadis Bandung senantiasa menunggumu wahai Riko arjunaku. Aku akan bilang teman-temanku yang gadis-gadis China di kampus, bahwa aku punya seorang Riko yang sedang belajar di Philipine, yang seorang pemuda keras hati yang gagah perkasa yang aku cintai segenap hatiku. Tangisku adalah tangis kebahagian seorang gadis yang mempunyai kekasih yang harus kuat untuk menggapai cita-citanya, dan juag menjadi cita-cita orang tuanya. Kang, bawalah kalungku ini dan pakailah ia di lehermu. Namun, kakang harus memakainya setelah sampai di Manila, bukan disini. Kalung ini telah aku panjangkan rantainya supaya cukup buat leher kakang. Medalionnya telah aku suruh rubah dan bertuliskan namamu dan namaku. Nih bawalah”, Silvia memberikan sebuah kalung bertatahkan berlian dengan mata berbentuk hati dari blue safir yang indah sekali, yang rantainya terbuat dari emas yang disepuh putih.
”Sil,..., aku memeluk Silvia dengan erat. Seakan jantungku dan jantungnya berdetak bersamaan, detak cinta dua sejoli yang akan berpisah.
***
Itulah acara perpisahan kami. Besoknya tanggal 18 Agustus pagi aku berangkat ke Jakarta menemui ayah dan ibu serta adikku yang datang dari Padang. Aku termangu setelah ketemu mereka. Aku sudah tiga tahun tidak pulang. Zahra kelihatan cantik. Aku memeluk Zahra.
”Dasar udaku yang ganteng, tapi tukang bohong, celutuk Zahra.
”Dari mana kamu tahu aku bohong.
”Kenapa kakak jadi termangu begitu?
Aku terpana memandang adikku Zahra. Aku tidak bisa bohong rupanya. Ia mengetahuinya. Kami sedarah, sudah pasti ia tahu apa yang ada dibenakku. Zahra adalah gadis yang cantik. Ia menjelma menjadi putri cantik setelah tiga tahun tidak ketemu denganku. Aku dapat kabar dari ibu bahwa Zahra adalah bintangnya Unand. Ia pintar dan dapat beasiswa dari Caltex sebuah perusahaan minyak di Pekanbaru Riau. Dan ia juga menjadi Putri Pariwisata Sumbar. Pantas, kataku dalam hati. Adikku cantik sekali. Zahra lari kepelukkanku. Ia memelukku erat sekali. Aku mengacak rambutnya. Kamu cantik sayang, aku mencium rambutnya.
”Uda juga ganteng sekali, katanya sambil ia mencubit bulu didaguku.
”Kamu katanya putri Sumbar, kok jelek sekali, candaku.
”Hu...siapa bilang aku jelek, buktinya aku terpilih.
”Ya, itu karena tidak ada lagi yang lebih jelek darimu, adikku manis, kataku..
”Aehmm, uda sudah punya pacar belum, sergah Zahra.
”Sudah dong..eh belum”, aku kelepasan.
”Pacar kakakmu kan uni Ira-mu Ara, potong ibu.
”Oh ya..calon dokter Chairani yang cantik akan jadi kakakku, ya bu.
”Iya dong.
”Oh ya uda, dua hari yang lalu aku ketemu Uni Ira, ia kelihatan ceria sekali, dan ia menyampaikan salam sama uda. Katanya ia ingat waktu makan rujak dengan uda lima tahun yang lalu katanya di pantai Padang waktu jalan-jalan dengan ibunya. Waktu itu katanya ia masih kelas tiga SMP di Medan, dan uda sudah mau lulus SMA Padangpanjang. He..sekarang ketahuan, uda sudah pernah pergi sama uni Ira ya...”
”Ara, adikku yang manis. Waktu itu uda hanya ikut jalan-jalan diajak oleh ibunya Ira, Mak tuo, sekalian uda melihat-lihat kota Padang yang jarang uda lihat”. Tidak ada apa-apa dengan Ira.
”Uni Ira pingin ketemu uda katanya”.
”Ya sudah nanti sampaikan salam ku kembali kalau kamu ketemu”.
Malam hari sesudah makan malam kami berkumpul di ruang tengah rumah pak etek.

*

BERANGKAT NGGAK YA….
Malam itu ayahku setelah selesai makan malam memanggilku.
”Riko, duduk di sini dekatku dan Pak etekmu. Aku mau memberimu bekal karena engkau mau berangkat ke negeri orang.
”Ya yah”, aku beringsut kesamping ayah. Ibuku, mintuoku isterinya Pak Etek duduk disudut. Zahra masuk ke kamar Eni anaknya Pak Etek yang masih sekolah SMA kelas dua.
”Riko, besok engkau akan berangkat jauh ke Manila. Ayah tahu engkau telah dewasa. Namun, engkau tetap anak ayah yang selama ini ayah banggakan. Artinya, ayah tetap bangga denganmu, karena sebagai putra Minang engkau masih belum cacat secara adat. Kamu tahu apa arti perkataan ayah?
”Ya, yah selama ini, selama aku di Bandung, belum pernah berbuat sesuatu yang memalukan ayah sebagai salah seorang tetua kampung, yang menyandang gelar Datuk”.
”Benar, kamu memang anak yang baik, walaupun...
”Walaupun, bagaimana maksud ayah”.
”Ayah sebagai orang tua, terhubung bathin denganmu. Begitu juga ibumu. Apapun yang terjadi dengan kamu, kami sebagai orang tua, yang terdidik dari kecil mempunyai perasaan halus antara sesama, yang patuh pada ajaran agama, terbiasa dengan firasat. Kira-kira setahun yang lalu, sewaktu makan pagi ayah menceritakan pada ibumu, bahwa malam itu ayah bermimpi. Persis satu minggu setelah kamu mengirim surat bahwa kamu telah mendapat pekerjaan di Bandung”.
”Ayah bermimpi apa”.
”Ayah bermimpi, engkau naik sebuah perahu di Teluk Bayur. Anehnya perahunya mempunyai hiasan kepala naga di depannya. Dan awak perahunya adalah orang China. Anehnya ibumu juga bermimpi malam itu.
”Ibu juga bemimpi, mimpi apa bu”.
”Iya, ibu bermimpi, di datangi oleh seorang putri cantik di depan rumah. Ia memakai baju putih yang anggun sekali. Ia memberi ibu sebuah bunga. Bu, simpanlah bunga ini untuk ibu, katanya. Ibu menanya, siapa engkau wahai putri cantik. Aku adalah anak ibu. Lalu ia menghilang. Ibu terbangun. Ibu mau membangunkan ayah. Rupanya ayah sudah duluan bangun, dan sedang berada di kamar mandi. Kemudian ibu berudhuk, dan kami shalat tahajud. Waktu itu kira-kira jam 3 pagi. Kami berdo’a sesudah shalat, mohon petunjuk pada Allah sekaligus perlindungan agar kamu tidak di ganggu apa-apa di rantau orang”.
”Trus, bagaimana..
”Itulah Riko, ayah sekarang bertanya padamu. Apakah kamu telah menjalin sebuah hubungan dengan anak gadis orang di Bandung”.
”Yah, aku tidak mau berdusta. Memang, sebagai orang muda aku punya teman  di Bandung, seorang gadis...
”Apakah maksudmu, punya pacar begitu, potong ibuku..Ingat dulu ibu pernah mengirim surat padamu.
”Ingat bu, ibu membicarakan anak Mak Tuo si Chairani.
”Ya, itu setelah kami berunding dengan ayahmu. Ayah menyuruh ibu untuk menulis surat kepadamu”.
”Bu, baiklah sekarang aku berterus terang pada ayah dan ibu. Dan ini juga di dengar oleh Pak Etek dan etek. Aku memang mempunyai pacar seorang gadis di Bandung”.
”Orang Sunda maksudmu, atau orang Jawa”.
”Bukan dua-duanya”.
”Kalau begitu orang Kalimantan, atau orang Manado?
”Bukan, aku mempunyai pacar seorang gadis keturunan China”.
”Apa, pacarmu gadis China? Serobot ibu.
”Ya bu. Aku saling menyenangi dengan Silvia anak Koh Acung, majikanku yang memberiku pekerjaan sebagai manejer tokonya. Semua jadi terdiam. Semua tidak mengeluarkan suara. Aku tahu keteranganku mengagetkan semuanya. Betapa tidak akan mengagetkan. Riko seorang putra Minang anak Pak haji Ahmad Dt. Mackhudum Sati, orang yang terhormat di kampung berpacaran dengan seorang China yang tidak seagama? Ah, tidak boleh terjadi. Tapi, ini benar terjadi. Aku memang berpacaran dengan Silvia. Memang, kedua orang tuaku selama ini belum mengetahui. Tapi, kedua orang tua Silvia, Koh Acung dan tante Lili, sudah tahu. Dan mereka merestui hubungan kami.
”Aku dan Silvia memang berpacaran, kalau itu mengikuti istilah anak muda kini”. Ake kembali memecah kesunyian itu.
”Tidak, itu tidak boleh anakku, kamu tidak boleh berhubungan dengan orang yang lain agamanya dengan agama kita. Itu haram hukumnya. Ibu tidak setuju, sergah ibu dengan agak emosi.
”Sejauh mana hubungan kalian?, tanya ayah.
”Biasa ayah, hubungan antara anak muda”, kataku.
”Riko, ayah tidak mengerti, kenapa kamu pacaran dengan orang China, pada hal banyak gadis orang kita, apa di ITB kamu gak ketemu yang kamu senangi, atau tidak ada yang menyenangi kamu?, hardik ayah mulai meninggi.
”Banyak yah, di ITB ada yang diam-diam senang denganku, aku kembali memperjelas situasiku selama di Bandung. Aku ingat Meli, gadis Solo yang ayu dan cantik, yang aku tahu ia senang denganku, seperti pernah diceritakan oleh Putri kepadaku.
”Rik, aku kasihan dengan Meli, cintanya tidak kamu tanggapi”. Suatu hari Putri menanyakan tentang perasaanku kepada Meli, sewaktu Meli tidak kuliah karena lagi flu.
”Emangnya kenapa Put? Aku kan temannya Meli. Aku anggap ia teman baik”.
”Tapi dia menaruh perasaan yang berbeda denganmu. Ia mencintaimu tahu..
”Ah Putri, aku gak punya perasaan apa-apa dengannya.
”Dasar kamu playboy, malahan kamu mencintai gadis China dibanding putri Solo yang cantik, aku gak mengerti selera kamu, sergah Putri.
”Selera Riko kan internasional Put, potong Azar pacarnya Putri.
”Bukan begitu, ini masalah hati, entah kenapa aku sendiri gagal menjawab hatiku”, bantahku untuk sekadar berargumen dengan kedua sahabat karibku ini, Putri dan Azar pacarnya. Bagiku mereka adalah dua sahabat karib, sekaligus rival untuk mendapat nilai A semua mata kuliah TI, karena mereka adalah bintang cemerlangnya TI ITB angkatan kami. Mereka telah aku anggap saudaraku sendiri. Terlebih Putri yang kami panggil mami, suatu hari Putri melihatku lesu karena belum makan dari pagi, dulu sewaktu tingkat dua.
”Riko, kamu kalau belum makan datang ke Alamanda saja”, katanya. Bokapku pesan kalau semua teman makan saja di rumah. Bokap Putri kerja di perminyakan, dan ia juga alumni ITB, dan ia selalu mendorong kami untuk belajar bersama, dan menginstruksikan mbok pembantu rumah mereka untuk selalu memasakkan grup belajar kami makanan. Kasihan mereka katanya suatu hari, kan jauh dari orang tua. Aku tahu kalau papanya Putri orang yang baik.
Ah benar juga, kalau aku gagal berperang dengan hatiku sendiri. Terutama mengenai masalah gadis-gadis antara Silvia, Chairani, dan Meli. Hatiku memilih dan memerintah memori di otakku untuk menyimpan profil seorang gadis Bandung keturunan China yang bernama Silvia. Memang ini masalah hati. Masalah hati ini juga yang sedang ditanyakan oleh kedua orang tuaku malam ini.
”Trus kenapa engkau malahan pacaran dengan anak China itu. Pantas surat ibu tidak pernah kamu balas, rupanya kamu asik pacaran dengan dia, ibu protes dengan keras.
”Sampai sejauh mana hubungan kamu dengan anak itu?, tanya ayahku. Sudah kamu apakan anak itu?
”Tidak aku kenapakan ayah, ayah aku juga tahu batas mana pergaulanku dengannya. Memang kami akrab, dan disetujui oleh orang tuanya. Tapi aku tidak berbuat jauh dengannya”, aku mulai memberontak hatiku sendiri. Terasa miris hatiku, mengingat cintanya Silvia kepadaku. Mengingat cintaku kepada Silvia. Mengingat cinta kami berdua, hatiku tersayat. Kenapa ada perasaan rasialis pada kedua orang tuaku? Kenapa jiwa fanatik suku Minang itu masih mereka bawa-bawa? Kenapa mereka lebih senang aku berjodoh dengan keluarga dekat seperti dengan Chairani? Kenapa aku tidak direstui dengan Silvia? Ah, kalau mereka tahu kebaikan dan ketulusan Silvia, kalau mereka tahu akan kebaikan kedua orang tua Silvia yang telah membantu hidup anaknya selama kuliah di ITB Bandung. Kalau..kalau, aku berperang di dalam hatiku untuk menjelaskan kepada kedua orang tuaku.
”Baik, besok engkau akan berangkat, ayah mau pesan padamu. Jangan ada yang mengganjal pelajaranmu selama di Pilipina. Baik itu pacarmu, ataupun kamu nanti dapat teman baru orang Pilipina. Ayah tahu kalau orang-orang bule di sana pergaulannya bebas. Ayah tidak mau engkau terjebak dan kawin di sana. Aku tidak mau bermantukan orang kafir dan budayanya yang berbeda. Ingat itu Riko, kata ayahku gencar.
”Tidaklah ayah. Aku akan segera kembali bila telah selesai di sana. Dan lagi bea siswaku Cuma sampai dua tahun”.
”Ya, kamu harus segera kembali. Dua tahun itu Chairani telah jadi dokter. Dan kamu akan ibu tunangkan dengannya”, jelas ibuku lebih menjurus.
”Bu, jangan ibu desak aku untuk hal perkawinan, aku masih akan meniti karirku dulu dengan jelas sebelum memutuskan akan kawin, sanggahku.
”Baik, tapi ibu tidak mau kamu kembali kepada gadis China itu, potong ibu.
”Riko, jangan lupa menjalankan perintah Tuhan, karena Ialah yang akan menyelamatkan kita”, pinta ayahku.
”Tidak yah, Riko masih anak ayah yang taat menjalankan perintah agama.
”Apakah beasiswamu cukup untuk membiayai sekolahmu di Pilipina sana”, tanya ayah lagi.
”Cukup yah, kalau hanya untuk belajar dan makan, sudah cukup. Aku kembali teringat pada Silvia yang telah membukakan kartu ATMnya untuk aku pakai kalau aku membutuhkan uang di sana. Aku berjanji tidak akan menggunakannya. Namun, itu melegakanku juga, setidaknya aku punya dana cadangan kalau terdesak.
“Ya, ayah, moga Allah menyelamatkan langkahku, dan studi saya cepat berhasil dan segera balik kembali ke Indonesia”. Aku teringat akan sesuatu yang telah aku lakukan atas tanggung jawabku kepada agamaku. Bulan yang lalu aku telah berhasil membawa Silvia untuk mengucapkan dua kalimah shahadat di depan seorang ustadz H. Karim di mesjid Pusdai. Silvia telah memeluk agama Islam di mesjid itu, didepanku, di depan beberapa kawan akrabku, Putri dan Azar, disaksikan oleh sekitar dua puluhan jamaah yang hadir di sana sekitar jam 9 pagi hari Jum’at. Sejak saat itu namanya adalah Siti Silvia. Walaupun ia masih menyembunyikan kepada kedua papa dan mamanya, setiap jam lima sore selama satu minggu Silvia aku temani belajar shalat dan membaca Al Qur’an di mesjid. Yang lebih menggembirakanku ialah ia sangat menikmati shalatnya, ia selalu mengeluarkan air matanya dalam shalat. Suatu hari ia bertanya kepadaku soal jilbab, apakah itu mutlak harus dipakai oleh para muslimah. Aku terangkan bahwa dalam sebuah surat Al Ahzab ayat nomor 59, dalam Al Qur’an diterangkan akan kewajiban menutup aurat bagi seorang muslimah, yang disebutkan untuk memanjangkan jilbab keseluruh tubuh.
“Nanti kita tanyakan kepada Pak ustadz akan hal ini”.
”Ndak usyah kang, aku percaya bahwa itu wajib, Cuma aku akan coba mulai memperbaiki caraku berpakaian. Akang mau kan menemani aku ke toko bahan textil sekarang, aku akan beli bahan dan jahit dengan model panjang sekaki serta lengan full cover”.
”Mau Siti, aku akan bimbing kamu menjadi seorang muslimah yang baik”.
”Terima kasi kang, aku akan coba, namun pelan-pelan untuk menghindari pertengkaran dengan papa dan mama. Aku berencana suatu saat yang tepat untuk memberi tahu mereka”.
” Ya Silvia, bagaimanapun agama juga mengajarkan untuk tetap menghormati kedua orang tua kita, terlepas dari apapun agama dan kepercayaan mereka. Karena tanggung jawab keagamaan dihadapan Allah adalah tanggung jawab pribadi masing-masing”.
”Ya kang aku akan ingat”.
Ya, ingatanku tidak lepas kepada Siti Silvia kekasihku sekarang ini. Betapa ia akan kesepian setelah aku tinggalkan nantinya. Ia akan sendiri. Pada hal ia butuh teman untuk menjaga hatinya yang masih hijau di dalam agama Islam. Ia seorang mu’alaf, ia perlu bimbingan kita, suatu hari aku minta tolong Putri dan Azar untuk sesekali menelponnya, kalau-kalau ia butuh nasihat Walaupun aku berjanji akan menelponnya setiap hari dari Amerika. Untunglah Putri dan Azar berjanji akan coba memantau Silvia sepeninggalku nanti.
Moga-moga Allah menjagamu Siti Silvia, gumamku dalam hati.
”Baiklah, mari kita istirahat, karena engkau besok akan naik pesawat, jam berapa pesawatmu berangkat?”, ayah membuyarkan ingatanku.
“Jam sebelas ayah dari Cengkareng”.
”Ya, kalau begitu kita berangkat jam sembilan dari sini. Besok uda bawa mobil  kijang, dan aku akan bawa mobil kantornya Rahmi”, kata pak etek Arifin.
”Baik, Fin”, eh, Rahmi besok tidak ke kantor? Tanya ayah ke tante. Tante Rahmi atau Hami aku panggil kerja di Bank Indonesia, karena ia tamatan acounting Universitas Indonesia. Ia adalah adik kelas ibu sewaktu SMA.
”Ah, aku bolos setengah hari buat antarkan Riko da”, kata etek.
”Terserah kalianlah”, ayah lalu beringsut ke kamar.
Tinggal aku dengan ibu masih di ruang itu. Aku kembali memeriksa berkas-berkas surat, meyakinkan tidak ada yang ketinggalan termasuk pasport dan tiket pesawat.
”Ingat pesan ibu Riko, ibu ingin engkau pulang nanti sudah akan bertukar cincin dengan Chairani”, ibu masih menelisik hatiku dengan gadis pilihannya.
”Bu, nantilah soal jodoh itu, aku perlu konsentrasi dengan maslah kuliahku nantinya”.
”Ya, nanti setelah engkau pulang. Ibu akan ajak Chairani untuk menjemputmu dua tahun lagi di Air Port”.
Jam sembilan pagi kami berangkat dari rumah Pak Etek Arifin di Bendungan Hilir. Mobil Etek Hami sebuah Honda Accord dan mobil Pak Etek Kijang Innova, meluncur pelan kearah jembatan Semanggi, memutar naik memasuki jalan tol ke bandara. Aku bersama ayah, pak etek berada di mobil kijang, sedangkan ibu, Zahra,dan etek Hami di mobil Honda Accord. Pak etek Arifin memutar lagu minang Malereng Tabiang di deck dan ayah serta pak etek mengiringi lagu tersebut. Aku senang lagu minang yang cengeng namun aku lebih menyenangi lagu Bimbo dan Broery, serta seleraku kurang akrab dengan lagu-lagu anak band sekarang. Aku menyenangi lagu lama, karena iramanya lebih terasa melodius dan nadanya lebih teratur dibanding hingar bingar musik sekarang yang menurutku hanya sekadar memetik gitar dan menabuh drum seramai mungkin. Pikiranku lebih kepada dua buah amplop cokelat dalam tasku. Satu amplop diberikan oleh Silvia kemaren pagi sebelum aku berangkat dari Cihampelas dengan mobil travel X-trans, dan sebuah lagi dari Chairani yang dititipkan kepada adikku Zahra, yang sebelum berangkat diserahkannya kepadaku.
”Uda, uni Ira pesan supaya amplop itu uda buka setelah uda diatas pesawat”, kata Zahra.
”Kang Riko, ini amplop buat akang, namun tolong jangan dibuka sekarang. Bukalah nanti setelah akang berada di pesawat”, kata Silvia.
Kenapa pesan yang sama aku terima dari dua orang gadis yang berbeda. Apakah memang hati mereka memiliki perasaaan yang sama kepadaku? Terus bagaimana aku harus menyikapi hal ini? Pikiranku jadi sedikit kacau.
Jam sepuluh kami sampai di terminal keberangkatan luar negeri bandara Sukarno-Hatta Tangerang. Setelah pak Etek dan Etek Hami memarkir mobilnya, kami sama-sama ke apron dan bergerombol di depan pintu masuk.
Aku memeluk ibu dan mencium tangan beliau.
”Bu. Maafkan aku, kalau selama ini aku agak memusingkan ibu. Surat ibu tidak aku balas, namun aku mengerti semua isinya. Pada saat ini aku katakan dan sekalian minta maaf, bahwa aku memang berpacaran dengan seorang gadis China di Bandung. Aku juga tidak tahu, kalau anakmu Riko yang ibu kenal sangat keras selama ini, anak yang tegar seperti ayahnya, ternyata lemah dan jatuh hatinya pada seorang gadis yang menurut adat kita tidak lazim aku pacari. Aku seorang pemuda Minang yang terkenal tegas dan mempunyai prinsip dalam hidupnya, ternyata dikalahkan seorang bidadari dari Tiongkok yang telah lahir di tanah Priangan. Namun, percayalah bu cintaku dan cintanya ternyata tulus dan suci. Kami belum pernah menodai cinta kami berdua. Supaya ibu ketahui, sang putri China itu sekarang mungkin lagi shalat sunat memohon keselamatanku untuk berangkat ke negeri jauh buat menuntut ilmu. Ibu, saya ternyata berhasil membawanya memeluk agama Islam dan sudah satu bulan lebih ia menjalani kewajiban sebagai seorang muslimah. Memang ia masih menyembunyikan hal ini kepada kedua orang tuanya yang masih memeluk agama mereka yaitu Katholik yang dicampur kepercayaan leluhur Kong Hu Cu. Tapi aku tahu setelah bergaul dengan mereka, keluarga itu menganut paham moderat dan bebas menentukan pilihan. Makanya mereka merestui putri satu-satunya untuk berpacaran dengan seorang pemuda Padang yang diantara kaum China juga merupakan hal yang tidak lazim. Aku mengatakan hal ini tanpa menambah dan mengurangi, semuanya adalah apa yang anak ibu alami dan sekarang masih seperti itu.
”Riko...perkataan ibu terputus, aku lihat butiran salju air mata meleleh dipipinya.
”Ya, bu aku tahu bahwa hal ini amat berat bagi ayah dan ibu, dan juga merupakan sesuatu yang belum pernah terjadi diantara keluarga kita. Namun, percayalah bu, yakinlah ayah, bahwa aku Riko anakmu masih seorang pemuda yang tidak lupa nasihat kedua orang tuanya. Bagaimanapun soal jodoh telah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Bila seandainya hubungan kami direstui oleh-Nya, niscaya tidak ada satu halpun yang dapat merintanginya. Sebaliknya, bila memang Dia tidak merestuinya, aku berdo’a moga-moga Allah memberikan jalan terbaik buat kami berdua, tanpa kami harus menderita karena putusnya cinta. Tanpa kedua keluarga jadi berantakan gara-gara dua anaknya tidak jadi ke pelaminan. Sebagai anak yang patuh dan percaya sepenuhnya akan ketentuan Tuhan, aku akan berserah diri apapun yang akan ditakdirkan kepada diriku kelak soal jodoh ini. Makanya bila ibu masih mempertanyakan tentang sikapku kepada Chairani, dan bila mak Tuo Ijah menanyakan, ibu akan bisa menjawabnya setelah mendengar penjelasanku ini.
Disamping itu, kalau kelak aku bisa menyelesaikan masterku dalam dua tahun ini, aku akan minta izin ITB untuk bekerja dulu agak dua tiga tahun di perusahaan minyak untuk mempraktekkan ilmuku. Itulah rencanaku bu. Aku akan melaksanakan perkawinan setelah itu, jadi kurang lebih lima tahun lagi dari sekarang. Lima tahun waktu cukup lama bagiku untuk mempersiapkan diri menjadi orang yang siap meniti karir dan masa depanku sendiri, persis seperti yang diharapkan oleh ayah, bahwa aku harus dapat menjadi orang yang berguna di tanah air ini.
Aku menceritakan semuanya kepada ayah dan ibuku. Hanya satu yang aku sembunyikan yaitu tentangan Silvia yang telah memeluk agama Islam. Aku berencana, kelak bila telah datang masanya kami akan kepelaminan baru aku akan terangkan kepada mereka akan hal ini. Aku ingin sedikit membuat surprise, disamping hal ini juga masih dirahasiakn kepada kedua orang tua Silvia sendiri.
”Baik Riko, ibu sekarang jadi mengerti sepenuhnya rencanamu. Hati-hatilah di negeri orang nak. Pandai-pandai engkau menjaga diri. Jangan pula engkau tergoda perempuan sana yang lebih bebas pergaulannya. Cuma ibu akan pasti kesulitan menerangkan kepada kedua orang tua Chairani. Ibu takut nanti menyinggung perasaan mereka”.
“Katakan saja, bahwa aku masih ingin melanjutkan sekolahku dan bekerja dulu, soal jodoh kita serahkan pada Tuhan. Aku yakin Pak Tuo dan mak Tuo akan mengerti”.
“Mudah-mudahan begitu natinya”, kata ibu.
“Riko, ayah bangga denganmu, jadilah anak yang tegar dan berilmu serta berpendirian, do’a ayah dan ibu besertamu.
“Ya yah, aku adalah putramu Riko yang engkau banggakan”.
“Ya ayah percaya, ayah lalu mengusai rambutku dan menepuk punggungku.
“Riko, jaga diri baik-baik, jangan tergoda putri Amerika yang cantik-cantik, ingat putri Minang jauh lebih cantik dari mereka, kata etek Hami sambil menepuk punggungku.
“Ya tek, aku akan ingat pesan etek.
”Riko, hati-hati di sana”, kata pak Etek Arifin, jangan lupa lihat-lihat pasar. Siapa tahu kita bisa ekspor kemeja ke Manila  sana.
”Ya pak Etek, aku akan coba lihat.
”Uda, ingat kirimkan aku foto-foto kampus uda dengan email padaku”, kata Zahra adikku.
”Ya, kamu harus rajin kuliah, dan jadilah sarjana ekonomi yang handal, supaya kamu bisa memberikan advis tentang nilai-nilai finansial bisnis kepadaku”.
Aku kembali menyalami Pak Etek Arifin, Etek Hami, dan aku memeluk Zahra adikku.
”Ara, kamu harus rajin kuliah, jangan banyak main, jaga ibu dan ayah, aku akan menulis surat tiap bulan kepadamu. Akan aku tanyakan tugasmu itukan. Ingat setelah aku di Manila hanya Ara yang akan menjaga orang tua kita”, kataku sambil membelai punggung adikku.
”Ya uda, aku akan rajin belajar. Dan akan aku jaga ibu dan ayah. Pergilah ke sana, kirimkan aku oleh-oleh dari Manila kalau uda sempat dan krimi aku surat dan berita uda”, kata Zahra.
Kemudian aku memeluk ibu.
”Bu, maaf aku. Kalau aku mengecewakan ibu. Do’akan aku cepat selesai dan segera pulang. Akan aku penuhi pinta ibu untuk menjadi anak yang baik. Percayalah”.
”Ya, ibu percaya. Pergilah bersama do’a ibu. Jangan lupa shalat dan berserah diri pada Allah. Hanya Ia yang akan menolong kita. Ibu percaya engkau akan pulang dengan sebuah sukses dan akan datang kembali kepada ibu. Kalau ada apa-apa cepat beri kabar, ya”.
Aku memeluk ayah.
”Yah, aku berangkat. Do’akan aku yah”.
”Ya, berangkatlah, ayah memelukku dan memburai rambutku, persis waktu kecil setelah aku pulang dari main bola di sawah yang penuh lumpur.
”Assalamulaikum”, aku memasuki pintu keberangkatan untuk check in di counter Philippine Airline di terminal 2 D bandara Soekarno Hatta.

DI MANILA
Tepat jam 10 waktu Jakarta pesawat PAL Airbus 300 take off ke Manila. Di pesawat kembali aku ingat semua yang aku tinggalkan. Bandung kota tempat aku menuntut ilmu di sebuah perguruan tinggi ternama dan nomor satu di tanah air, Insitut Teknologi Bandung yang aku banggakan. Teringat semua kawan-kawanku, canda dan tawa kami, bagaimana selama 4 ½ sampai 5 tahun bersama menuntut ilmu. Begadang sampai pagi kalau ada tugas mendesak. Namun canda dan tawa tidak habisnya menemani kami. Betapa mereka serasa saudaraku semuanya.
Teringat perjuanganku menempuh hidup di kota ini. Aku menjadi anggota satpam di BSM. Aku yang membantu Koh Acung dan akhirnya menjadi manejer k dua tokonya. Betapa Tuhan menyayangiku dengan membukakan jalan mendapatkan pekerjaan melalui seorang China yang ternyata berhati baik.
Di kota inilah pula aku menemui masa remajaku yang indah. Indah dan sangat berkesan. Indah namun aneh. Aku seorang mahasiswa Minang yang menempuh kuliah di ITB dengan penuh kesulitan, menemukan cintanya oada seorang putri cantik keturunan China yang juga anak bosku sendiri. Silvia, putri yang bersemayam di kerajaan cinta di hatiku. Hal yang tidak pernah terbayangkan. Bila si Riko mencintai Meli yang anak Solo, itu masih wajar, kata Alfian suatu hari padaku.
”Kau memang budak aneh Ko, wong Padang cinto ke anak Chino aneh galo”, kata Alfian dengan logat Palembangnya.
”Entahlah Yan, aku juga tidak tahu kenapa hatiku tunduk kepadanya”, jelasku.
”Aku ndak habis percayo samo kau. Si Meli nan tagilo-gilo kau tolak”, apo dio maunya kau”, kata Alfian lagi.
“Yan, masalah cinta memang sulit buat dijelaskan. Tidak seperti masalah turunan integral dan diferensial dalam kalkulus, dengan mudah aku terangkan padamu. Ini lain Yan, hatiku berkata lain bila aku berhadapan dengan Silvia”, jelasku.
“Macam mano pulo gitu Ko, aku tahu banyak budak betino di Unpad atau di UNB yang wong Padang dan cantik-cantik pulo. Kenapa tidak kau pacari mereka. Kan lebih enak wong kampung kau, wong kito galo kan?, tanya Alfian.
Alfian betul, kata hatiku. Aku memang aneh. Aku juga tahu, ada gadis cantik orang kampungku sendiri, anak pisang kita kata ibu, yaitu Chairani yang menungguku. Tapi hatiku lebih memilih Silvia.
Atau Meli yang diam-diam mencintaiku. Suatu hari aku pernah hampir ketemu antara hidungku dan hidung Meli yang mancung. Ketika akan keluar pintu ruang kuliah, tiba-tiba Karina berlari diantara kami dan menyenggol buku yang lagi di pegang Meli. Buku jatuh berserakkan di lantai. Aku langsung membungkuk membantu mengambilnya. Bersamaan dengan itu Meli juga membungkuk. Kepala kami hampir berbenturan. Hidung kami hampir bersenggolan. Meli melihat kemataku, dan aku melihat ke matanya. Aku melihat matanya yang teduh dan mulutnya yang harum tercium sewaktu napasnya mendesah.
“Oh, maaf Rik, katanya lembut.
“Eh, gak apa-apa Mel, dasar Karina nakal”, kataku.
Meli kembali berdiri. Namun matanya masih menatapku. Aku tahu di mata itu ada cinta. Aku paham betul di mata itu ada rindu. Aku mengerti mata itu sering menatapku sewaktu kami berdiskusi. Aku juga memergoki mata itu sering mengamatiku di ruang kuliah. Meli oh Meli, kenapa ya hatiku tidak tertambat kepadamu. Mengapa hatiku hanya merasakan persahabatan semata denganmu. Kata hatiku. Lamunan ini membawaku asyik sekali. Tiba seorang pramugari datang menghampiriku.
“Any ravela sir?
Seorang gadis Philipin yang pramugari PAL berdiri dekatku.
“Oh, no no ravela”. Ia tersenyum. Gadis Philipin yang cantik dan sumringah.
Tiba-tiba tanganku menyentuh sesuatu yang menggelembung di tas backpackku. Oh dua buah amplop. Satu putih dan satu lagi cokelat. Yang putih titipan Chairani yang diberikan Zahra tadi di Airport. Yang satu lagi yang coklat diberikan oleh Silvia dua hari yang lalu di kantor ravel X-tran di Cihampelas sewaktu aku akan ke Jakarta.
“Kang jangan buka sekarang, nanti setelah di pesawat akang buka ya, kata Silvia.
Aku raih amplop coklat itu. Terasa agak tebal. Apa isinya ya.

*

SURAT-SURAT ITU
Dengan hati yang bercampur rindu dan perasaaan ingin tahu aku buka amplop cokelat yang di berikan oleh Silvia sewaktu kami berpisah di kantor travel X-Trans di Cihampelas dua hari yang lalu. Dalam amplo cokelat itu ada sehelai scarf atau selendang leher yang pernah dibelitkan kelehernya yang jenjang sewaktu kami ke Tangkuban Perahu. Scarf dengan motif bunga sakura dengan warna kuning terang dan pinggirnya berlukiskan daun-daun yang melingkar bewarna pink. Tepat di ujungnya tergambar dua ekor merpati putih yang sedang bercumbu. Yang jantan sedang memberikan sekuntum bunga yang terjepit di paruhnya ke paruh sang betina. Indah sekali. Masih tercium harumnya parfum Silvia di scarf itu. Bau parfum ini merangsangku untuk ingin memeluk si pemiliknya. Silvia kekasihku yang aku tinggalkan di Bandung.
Dalam amplop cokelat itu ada dua lagi amplop. Yang satu berwarna pink dan satu lagi berwarna biru. Dalam amplop yang berwarna biru, terdapat uang dolar pecahan seratusan sebanyak lima puluh lembar. Lima ribu dolar semuanya. Ada catatan kecil di dalamnya.
Kakang, pakai uang ini buat keperluanmu. Apa saja yang memang perlu buat akang di Manila. Kalau bisa pakai uang ini dulu. Uang beasiswa simpan saja. Kalau sudah habis uang ini, akang boleh gunakan beasiswa atau kartu Visa yang aku berikan tempo hari. Selamat ya kang, cintaku buat cintamu. Silvia-mu yang kerinduan di Bandung.
Silvia, alangkah besarnya cintamu sayang. Aku juga merindukanmu kata hatiku, sambil aku mencium scarf yang diberikan oleh Silvia.
Hatiku bergetar. Perasaan cintaku rasanya makin besar buat Silvia. Entah kenapa, baru tiga hari aku berpisah dengannya, namun rinduku tak tertahankan rasanya. Inikah cinta yang tidak mengenal siapa dan mengapa itu? Cinta yang kadang-kadang tidak peduli apapun. Makhluk apakah cinta ini? Kenapa ia demikian mencengkeram hati dan perasaan dua makhluk yang asal muasalnya berbeda. Aku yang asli Padang dan Silvia yang asli China. Kami tidak peduli dengan keganjilan dan peristiwa yang jarang terjadi. Mungkin karena di Indonesia hal ini dianggap ganjil. Pada hal di Amerika sudah biasa seorang gadis keturunan Negro Afrika berpacaran dengan pria Amerika yang berkulit putih dan akhirnya mereka ke pelaminan. Atau sebaliknya seorang pria Afro-Amerika menikahi seorang gadis kulit putih. Hal yang sudah lumrah di sana.
Ah, biarin, aku mencintai Silvia, dan Silvia mencintaiku. Kalian mau apa, pikirku.
Aku buka amplop yang berwarna pink. Ada sepucuk surat di dalamnya.
Kang Riko.Kekasihku yang terkasih. Arjunaku yang telah melepas panah asmara yang melesat menembus relung hatiku, dan meninggalkan bekas yang sangat dalam dan menimbulkan luka yang terasa nikmat dan indah di sudut hati ini. Luka dan goresannya itu bernama cinta. Cinta seorang gadis yang bernama Silvia. Pada saat akang membaca surat ini aku tahu akang sedang diatas lautan kearah utara mungkin mendekati pulau Kalimantan di sela-sela awan putih dan kelabu di langit sana. Ketahuilah, aku kekasihmu yang engkau tinggalkan di Badung sini juga sedang memandangimu lewat foto-foto kita di Ciwidey dan di Tangkuban Perahu dan menikmati coretan tulisanmu di buku diary-ku “Silvia, kekasihku tersayang, ini Riko, Arjunamu yang mengalunkan lagu cinta untuk mengantar tidurmu. Tidurlah sayang bersama cintaku, Riko”.
Aku kembali merenungi cinta kita. Cinta yang aneh kata orang. Termasuk Agnes temanku di Unpar, yang menganggap aku sinting karena mencintaimu seorang pemuda Minang yang hidupnya serba kekurangan di negeri orang. Namun, aku selalu dengan tegar membantah Agnes, bahwa cintaku telah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa. Biar Agnes dan teman-teman yang lain, terutama teman-teman sesama keturunan denganku menganggap aku aneh, biarin. Justru dengan segala yang engkau punyai, aku semakin menyayangimu wahai pemuda yang bernama Riko. Engkau yang kekurangan namun engkau juga punya kelebihan. Engkau yang orang lain menganggap yang paling miskin diantara teman-temanmu di ITB, namun engkau juga mereka akui sebagai seorang mahasiswa yang punya otak brilian. Tahukah engkau kekasihku, bahwa aku makin mengagumimu sejak aku pertama kali mengenalmu di BSM. Aku masih ingat tiga tahun yang lalu, sewaktu aku pulang kuliah dan mengantar mama ke BSM. Aku melihat seorang pemuda dengan seragam Satpam sedang membantu papa memberesi kardus bekas barang-barang. Aku belum pernah melihat Satpam ini sebelumnya. Aku kenal beberapa Satpam, namun aku belum pernah melihatmu. Setelah aku tanya papa, ternyata memang engkau adalah Satpam baru, Riko namanya. Ia adalah seorang mahasiswa ITB yang memerlukan uang buat ongkos hidupnya dan biaya kuliah di Bandung. Ia yang memerlukan kerja. Ia yang ringan tangan dan baik hati. Ia membantu siapa saja di BSM. Ia malahan menjadi pelatih Satpam karena ia Dan 2 Karate, demikian kata papa. Pada saat itu aku penasaran. Apa benar demikian? Karena hampir aku tidak percaya dengan cerita papa. Bagiku, seorang mahasiwa ITB kan sering merasa gengsi dengan pekerjaan seperti yang kamu kerjakan. Pada saat itu aku rasanya tidak percaya. Sejak itu aku sering ke BSM. Sehingga papa pernah mencandaiku. “Tumben Sil, sekarang kamu rajin ke sini membantu papa”, demikian kata papa. Pada hal sebenarnya aku ke toko papa, karena ingin menjumpaimu, Satpam yang aneh bin ajaib, demikian kata hatiku waktu itu. Kang, ingat gak, waktu aku hampir bertabrakan di depan tempat orang mengambil udhuk di moshola lantai bawah BSM itu. Aku sengaja memepetkan tubuhku ke kamu, supaya engkau ngomong dan aku bisa menyapamu. Namun, yang aku dapatkan hanya sebuah senyummu yang sejak itu tidak pernah mau lepas dari ingatanku. Permintaan maafmu itu, aku masih ingat. “Neng, maafkan, aku terburu, karena waktu asyar hampir habis”, demikian katamu waktu itu. Aku masih ingat kang, itu perkataan pertama yang keluar dari bibirmu. Aku terpana waktu itu, karena rupanya engkau seorang Muslim yang ta’at dengan agamamu. Sedangkan aku seorang Katholik sebagaimana papa dan mamaku. Aku sebenarnya tidak boleh mendekati mushola itu, karena aku bukanlah seorang muslimah. Tapi aku memang sering kesana untuk mencuci tangan dan menikmati pemandangan gadis berjilbab yang sholat di sana. Aku sebenarnya sudah lama juga kagum kepada mereka. Makanya aku kalau ke BSM sering juga ke mushola.
Kang Riko, ingat tidak seminggu setelah peristiwa ketika kita hampir bertabrakan, aku sengaja menyenggolmu dari belakang di depan pintu, ketika engkau lagi sibuk membereskan barang-barang bersama papa di toko.
“Sil, kenalkan ini Riko, demikian kata papa mengenalkan engkau.
“Riko, kenalkan ini Silvia putriku, kata papa lagi.
Aku lihat engkau sedikit gugup. Aku tahu engkau tidak menyangka akan kita bertemu lagi. Engkau mungkin tidak tahu bahwa pertemuan itu aku inginkan, dan mungkin aku rindukan.
Akang, sejak saat itulah, sesuatu debaran muncul di hatiku. Akang, engkau seorang pemuda dengan wajah tampan. Kemudian sesuatu yang lebih mengagetkan aku, bahwa engkau adalah orang Padang kata ayahku.
Namun, kenapa sejak saat itu aku semakin ingin selalu bertemu denganmu. Apakah aku telah jatuh cinta. Aku tidak tahu. Aku hanya tahu, bahwa ada sesuatu yang menggembirakanku. Yaitu sewaktu papa mengatakan bahwa engkau menanyakan aku setelah tiga hari aku tidak muncul di toko, karena waktu itu aku lagi UTS di Unpar.
Ingat, tidak sewaktu kita pertama bercakap-cakap sewaktu engkau membantuku menyusun HP di etalase.
Sejak saat itulah, akang, aku telah jatuh hati padamu dan ternyata aku menerima bisikan di sudut haiku dan akhirnya aku mencintaimu. Aku semakin bersemangat, karena aku tahu papa juga menyenangimu, engkau pemuda baik kata papa. Engkau ulet, katanya. Engkau seorang pemuda Minang namun punya semangat sebagai orang China. Tidak mau menyerah kepada keadaan. Aku memang mengagumimu wahai Riko kekasihku. Makanya, aku usulkan kepada papa untuk mengangkatmu sebagai manejer toko kami. Itu aku lakukan supaya aku bisa semakin dekat denganmu.
Memang, mama pernah menanyakan tentangan hubungan kita. Apakah aku tidak salah pilih. Karena mama mengingatkan hal ini sangat jarang terjadi dengan komunitas Tionghoa sebagai leluhur kami. Walaupun kakak mama yang tinggal di Australia kawin dengan orang sana. Aku katakan, bahwa aku tidak salah pilih, dan dalam agama kami tidak ada larangan kawin atau berpacaran dengan laki-laik lain selain dengan seketurunan dengan kita.
Kang Riko, demikianlah bibit cintaku itu bertumbuh semakin besar dalam hatiku. Aku tahu sejak saat itu engkau juga mempunyai perasaan yang sama denganku. Walaupun aku punya sedikit rasa cemburu bila engkau telah di kampusmu, karena di sana ada seorang mahasiswi temanmu yang bernama Meli yang juga naksir engkau. Aku tahu ini dari seorang temanku yang kuliah di ITB juga. Namun, aku percaya bahwa cintamu hanya buatku. Kita mengalami hal yang hampir mirip, karena di Unpar ada seorang pemuda China, Stanley yang juga diam-diam naksirku. Namun, hatiku telah memilih. Ia telah menjatuhkan pilihannya kepada seorang mahasiswa ITB yang berasal dari ranah Minang yang bernama Riko.Walaupun, diam-diam aku punya keraguan, karena aku sering dapat cerita dari kawan-kawan yang dari Padang di Unpar, bahwa seorang pemuda Padang pasti akan dikawinkan oleh orang tuanya dengan gadis pilihan yang harus berasal dari MInang juga. Namun, semua keraguanku terhapus, karena aku merasakan getaran cintamu amat tulus di hatiku.
Akang, sebentar lagi waktu zhuhur. Aku telah hapal bacaan shalat yang diajarkan oleh ustadz. Dan bacaanku juga telah disimak oleh Putri temanmu itu. Aku merasakan bahwa hatiku semakin tenang setelah aku menjadi seorang muslimah.
Kang aku akan bercerita kejadian dua minggu terakhir sejak aku memeluk agama Islam. Aku sekarang sudah berani melakukan shalat di rumah, karena kemaren mama, memergoki, dan ia menanyakanku. Aku telah berterus terang padanya, bahwa aku telah mengucapkan dua kalimah shahadat. Kang, aku bersyukur, ternyata mama tidak marah kepadaku, dan juga papa. Mereka memahami keadaanku.
Kang, waktu itu aku menangis di pelukan mama, karena ia mengajakku ke Pasar Baru untuk membelikan aku mukena baru. Dan ia juga membelikan aku baju-baju yang cocok. Dan baju yang aku pakai sewaktu kita berpisah tiga hari lalu itu, dibelikan oleh mama.
Aku tahu seminggu terakhir kan kita jarang ketemu. Aku tahu, engkau sibuk di ITB mengurus surat-surat keberangkatanmu. Dan aku juga tahu engkau ke Jakarta ke kantor Chevron mengurus surat-surat beasiswa. Makanya aku tidak mau menggangumu. Nah, suratku ini adalah bercerita sekitar waktu seminggu kita tidak ketemu itu.
Aku baru tahu dari papa bahwa kakang telah mengundurkan diri.
Tahukah engkau kakang, bahwa toko bagiku tidak lagi menjadikan sebuah tempat yang Indah buat aku kunjungi.
Papa heran, karena seminggu terakhir ini aku sering uring-uringan. Sedikit ditegur aku marah dan bahkan sampai menangis.
Akhirnya papa juga mengerti, bahwa aku bukan karena apa-apa jadi salah tingkah. Papa tahu, keadaanku disebabkan karena kehilangan keseimbangan diri setelah engkau tidak lagi ada ditoko manakala aku kesana.
Sejak itu papa membiarkan saja aku begitu.
Aku jadi tidak semangat sejak engkau tidak lagi di toko, kang Riko.
Aku memang seminggu terakhir tidak lagi kerja di Koh Acung. Aku telah minta berhenti. Aku sibuk mengurus surat-surat keberangkatan. Aku bolak balik Bandung Jakarta. Dan aku tidak ketemu dengan Silvia. Aku ketemu lagi tiga hari yang  lalu sewaktu akan ke Jakarta.
Aku meneruskan membaca surat Silvia.

Kang Riko.
Sekarang aku telah menjadi muslimah seutuhnya. Namun, maafkan aku ya kang, karena aku belum mengenakan jilbab. Namun, aku telah memberikan semua rok dan blouseku ke panti sosial di Sukarno-Hatta, dan aku sekarang memakai celana longgar dan blouse lengan panjang. Aku bangga, karena mama mengatakan aku semakin cantik. Benar ya kang aku kan semakin cantik. Aku harus cantik di mata kekasihku, di mata Riko sang arjunaku.
Oh ya kang, kawan-kawanku di Unpar ribut setelah mereka tahu dan melihat penampilanku berubah. Agnes hari itu menanyakan akan perubahan gaya pakaianku. Aku tidak lagi memakai rok kembangku, dan kaos ketat telah aku ganti dengan blouse longgar lengan panjang. Aku membeli bahan di toko kain di depan BIP dan aku jahitkan ke taci Alin di seberang rumahku di Buah Batu.
Aku terpaksa berterus terang ke Agnes bahwa aku sekarang adalah seorang muslimah. Agnes terkejut setengah mati, namun aku tahu dimatanya tersirat kekaguman. Ia mengatakan bahwa alangkah besarnya pengorbananku atas cintaku kepadamu. Aku jawab ia, karena cinta tanpa pengorbanan adalah kosong. Dan, aku bilang bahwa aku tidak mengorbankan apa-apa, hanya karena agama baruku yang menuntut aku harus merobah penampilan. Kata Agnes, ya itu kamu mengorbankan agamu Katholik yang kamu anut menjadi seorang pemeluk Islam. Aku jawab, memang Nyes, agama menuntut sebuah pengorbanan, sama dengan kepercayaan Kristiani yang mempercayai pengorbanan Yesus yang disalib demi menebus dosa umatnya.
Setelah itu aku menjadi mahasiswa yang tegar di kampusku. Aku telah berubah, dan perubahan ini ingin aku abadikan, sebagaimana abadinya cintaku kepadamu kang.

Tanpa terasa ada air yang meleleh di sudut mataku. Air bening itu mengalir pelan dan terasa hangat di pipiku. Aku biarkan dan tidak aku hapus. Biarkan air mata ini meleleh Silvia, itu artinya cintaku juga amat besar kepadamu, kata hatiku.
Aku teruskan membaca surat Silvia.

Kang Riko,
kalau engkau telah sampai di Manila, kuliahlah dengan baik, selesaikan programmu dengan hasil yang maksimal. Aku tahu, engkau seorang mahasiswa yang pintar. Kang, bila engkau shalat di sana, dan engkau berdo’a, ketahuilah bahwa aku juga berdo’a yang sama di Bandung. Aku memohon kepada Allah, agar cinta kita kelak dipertemukan dalam sebuah perkawinan kita. Aku ingin kita di nikahkan di mesjid tempat aku mengucapkan dua kalimah suci, shahadat pada Allah dan shahadat pada Rasul Muhammad SAW.
Aku telah bicara pada Putri dan Azar, meminta mereka menjadi saksiku, kelak kalau kita telah menikah. Putri memelukku, dan ia mengatakan bahwa bagi umat muslim, aku telah menjadi saudaranya, saudara seiman katanya. Kang aku bahagia sekali mempunyai teman seperti mereka.
Itu terjadi sehari sebelum kita berpisah. Aku sengaja tidak menceritakan kepadamu, karena aku ingin menuliskan saja, biar engkau tahu bahwa Silviamu ini telah menjadi seorang Muslimah yang sebenarnya.

Kang Riko,
Aku baru sadar bahwa memang seperti kata Agnes, bahwa cinta itu hanyalah pengorbanan. Aku merasakan benar sekarang, bahwa yang aku lakukan semuanya adalah untuk mengabdi pada cintaku padamu.
Apakah ini pengorbananku kepada cintaku yang tuluis kepadamu? Aku harapkan jawabanya adalah ia.
Kemaren mama dan papa bicara padaku sehabis makan malam. Mereka mengatakan bahwa besar sekali pengorbanan cintaku padamu. Mereka bangga karena satu-satunya anak mereka telah melakukan yang terbaik dalam hidupnya. Namun, mereka menasihatiku agar hati-hati katanya. ”Silvia, Riko itu adalah orang Padang, biasanya pemuda Padang akan dicarikan lagi jodohnya di kampungnya”, demikian kata papaku.
Tapi aku yakin bahwa kakang Riko akan membantah penomena ini. Aku sangat yakin akan cinta kakang kepadaku.
Memang akau harus akui, bahwa cinta kita tidaklah lazim bila dinilai dalam pergaulan keseharian di Bandung atau Jakarta. Seperti kebanyakan komentar sahabatku para pemuda Tionghoa di Unpar, Stanley, Benny, Bram, Stephen, semuanya mengatakan aku gadis China yang aneh.
Aku jawab, memang aku aneh di mata kalian, namun aku tidaklah aneh di mata Tuhanku. Aku adalah gadis Bandung yang kebetulan keturunan China. Gadis yang sama dengan gadis-gadis mojang Priangan yang lainnya. Yang berhak dicinta dan mencintai siapa saja.
Aku banggakan kamu di mata mereka kakang. Aku bilang bahwa aku tidaklah melihat kekayaan mereka dan garis keturunan mereka. Aku katakan bahwa nenek moyang kita dahulunya tatkala mendarat di Semarang dan Demak juga adalah China miskin. Kalaulah sekarang kalian kaya, itu adalah berkat karunia Tuhan dan kekayaan alam Indonesia yang memberi kalian rejeki.
Makanya jangan memandang remeh kepada putra asli Indonesia.
Ahirnya mereka diam. Aku tahu dimata mereka menyiratkan rasa kekaguman dengan aku menunjukkan ketegaranku mengahadapi semuanya.
Kang Riko, semua itu aku lakukan karena rasa cintaku kepadamu telah megalahkan semuanya.

Aku terkejut dengan kedatangan pramugari PAL. Kedatangannya ditandai dengan terciumnya keharuman parfum yang dipakainya.
”Excuse me, which you like to drink”, tegurnya setelah menyodorkan makanan kepadaku.
Aku memandangnya tepat dimatanya. Pramugari ini cantik sekali. Wajah asianya yang berprofilkan latin amat menarik. Memang kebanyakan gadis Pilipino adalah keturunan campuran Asia dan Spanyol. Karena negeri mereka cukup lama dibawah jajahan Spanyol. Terjadilah kawin campuran. Dan menghasilkan keturunan yang gadisnya cantik-cantik dan pemudanya gagah-gagah.
Aku bandingkan wajahnya dengan pacarku Silvia. Mereka berbeda. Silvia adalah gadis China yang telah berpenampilan mojang Priangan. Silvia cantik sekali.
Sedangkan pramugari ini juga cantik.

”Are you Pilipino?, tanyanya.

”No, I am Indonesian”, jawabku.

”Oh sorry, you are look likes a Pilipino”, katanya lagi.

”Coffe please, kataku.

”Yes, katanya, sambil tersenyum.

Aku akui senyumnya memikat sekali. Sejenak kehadiran pramugari PAL ini bisa mengalihkan ingatanku kepada Silvia. Dasar laki-laki kata hatiku.

Aku melipat surat Silvia. Akan aku baca nanti setelah akau sampai di Apartment.
Rencananya akau akan tinggal di Apartment milik Universitas.

(To be continued)

1 ulasan:

  1. Apa cerita namaku riko ini .. sudah adakah kelanjutan nya?

    BalasPadam