Khamis, 28 April 2011

KISAH PARA USTADZ

“Yang terakhir akan saya kisahkan cerita tentang para ustadz. Buat bapak-bapak nilai dalam hati masing-masing menyangkut kisah ini”.

Ustadz adalah sebutan buat guru agama, penceramah, pengkhotbah dan pengajar masalah agama Islam yang ada di Indonesia.

Ada seorang ustadz yang suaranya keras. Ia seakan berteriak kalau berdiri diatas mimbar mesjid memberikan khutbah dan ceramah shubuh. Seakan semua jamaah tuli. Apakah menurut pendapat ustadz ini jamaah telah tuli telinganya sehingga ia perlu berteriak? Seorang jamaah berpikiran seperti itu. Apakah tidak bisa si ustadz ini berbicara lembut namun isi nasihatnya banyak yang berarti. Jamaah sangat merindukan seorang ustad yang bersuara lembut dan berpenampilan simpatik menarik. Ustadz adalah seorang guru, dan sepatutnya ia menjadi panutan jamaahnya.

Ustadz kita ini sebenarnya hatinya baik, ia berilmu. Tapi kenapa harus bersuara keras? Kalau kita simak isi ceramahnya, biasa-biasa saja. Tidak ada yang menarik. Kelihatan ia seakan menyampaikan pendapat orang lain setelah ia membaca sebuah buku. Bagus saja kalau memang demikian. Tapi ia lupa, bahwa banyak jamaah yang juga senang membaca sehingga ia mendapatkan sesuatu informasi melebihi si ustadz, sehingga ceramah si ustadz tidak berarti apa-apa baginya.

Akhirnya jamaah seperti ini akan bosan melihat ustadz itu, dan ia akan ngedumel. Dan ia akhirnya malas kemesjid, karena ketemu ustadz yang membosankan itu.

Memang sering kita lihat di mimbar yang bernilai sakral yang diletakkan di depan jamaah, seorang ustadz seakan seorang profesor yang serba tahu segalanya. Jamaah dianggapnya bodoh semua. Bila ada sesi tanya jawab, semua pertanyaan akan dijawabnya seluruhnya. Walaupun kadang-kadang jawabannya itu salah. Malahan akan konyol bila ada pertanyaan dari seorang jamaah yang hanya ingin menguji si ustadz. Dan bila si ustadz malahan menjawab dan salah serta keluar konteks, pasti ia akan dicemoohkan oleh si penanya.

”Ehm..mmm”, bunyi cemoohan itu.

Sikap ustadz kita ini akan membuat jamaah mesjid lama kelamaan akan sepi. Ironis sekali bila ini sampai terjadi.

Mesjid akan ramai lagi bila kedatangan ustadz yang pintar menarik simpati jamaah dengan ceramah yang lembut dan isi nasihat yang dapat menyentuh hati.

Ustadz seperti Aa Gym dan Yusuf Mansyur memenuhi kriteria ini. Sehingga setiap ceramah mereka berdua pasti di cari umatnya.

Memang, mesjid kita membutuhkan seorang ustadz yang baik, ramah, bersuara lembut, banyak ilmu, simpatik, dan sekali gus panutan.
Ini tantangan bagi para Ustadz dan calon ustadz yang sedang dididik di pesantren-pesantren dan sekolah-sekolah agama Islam.
Semoga kita dapatkan.

Sayangnya ada juga seorang ustadz yang tanpa sadar telah menyebarkan fitnah. Lho kok bisa begitu, bagaimana ceritanya?

Begini ceritanya.
Ada seorang ustadz yang sering mengajar di pengajian ibu-ibu di mesjid. Isi pengajiannya sering mengatakan bahwa bapak-bapak banyak yang tidak benar cara beragamanya. Dikatakan bahwa bapak-bapak harus sering kemesjid, dan kalau tidak ke mesjid berdosa. Bapak-bapak harus menyayangi ibu-ibu, tidak boleh melirik wanita lain. Bapak-bapak harus membiarkan ibu mengaji tiap hari kemesjid. Ibu-ibu harus rajin membaca yasiinan, shalat hajad, dan diberikan hadits-hadits. Ironisnya malahan kadang hadist itu banyak yang dhoif dan diragukan kebenarannya. Banyak ibu-ibu setelah mengaji dengan sang ustadz berani menyanggah suaminya, dan menyalahin suaminya.

Sepintas memang kajian si ustadz baik, tapi kalau ditilik dari segi perintah agama Islam yang benar, sang ustadz lupa. Seorang isteri yang keluar rumah harus seijin suaminya.
Pekerjaan utama seorang isteri yang muslimah adalah menjaga keutuhan rumah tangganya, dan memelihara supaya jangan ada fitnah masuk ke rumah tangganya.

Nah, si ustadz tiap hari berhadapan dengan ibu-ibu yang bukan muhrimnya itu merupakan larangan dalam agama Islam. Walaupun itu di mesjid sekalipun, bisa saja syetan masuk dan menggoda si ustadz.
Bisa saja sang ustadz tertarik kepada seorang ibu secara lelaki tertarik kepada seorang wanita, ini kan bisa menimbulkan fitnah. Bisa rumah tangga si ibu berantakan.

Ini namanya pengajian membawa bencana. Inilah masalah yang perlu diwaspadai oleh para ustadz dan juga para ibu yang menghadiri pengajian sekali gus. Ibu-ibu kalau keluar rumah harus seijin suami. Ustadz yang mengajar harus juga ingat jangan sampai isi pengajiannya bernada menghasut antara seorang suami dan seorang isteri.
Sang ustadz yang selalu berbicara pahala dan dosa, seakan ia yang menentukan seorang berdosa ataupun seorang mendapatkan pahala. Ia lupa bahwa pahala dan dosa adalah hak Allah, bukanlah ustadz yang menentukan. Begitu juga dengan syurga dan neraka. Jangan serampangan seorang ustadz menuduh seseorang akan masuk neraka, dan seseorang akan masuk syurga.

Syurga dan neraka adalah ganjaran perbuatan manusia yang hanya Allah yang punya hak memutuskan. Jadi kita meminta supaya ustadz berhati-hati kalau memberikan pengajian, jangan sampai menimbulkan fitnah.

Ada cerita ustadz yang lain.
Ia juga bergelar Ustadz. Walau ia menjadi nguru ngaji disebuah kampung terpencil dipinggir sungai dipedalaman. Ia mempunyai murid seumur sepuluh tahunan, anak para petani miskin di kampung itu.
Ia mengajarkan mengaji AlQur’an, dan mengajarkan adab atau aturan hidup yang bermanfaat kepada murid-murid kecilnya itu. Ia hanya dibayar beras satu kilo setiap anak setiap bulan. Berarti ia mengumpulkan sepuluh kilo beras setiap bulan. Itu cukup buatnya dan seorang isterinya yang juga hidup bertani dengannya pada sebuah tanah di lereng gunung di sudut kampung itu.
Suraunya itu dibangun oleh penduduk sendiri. Tiangnya dibangun dengan menebang pohon di hutan. Lantainya dibuat dari kulit pohon itu. Dindingnya adalah bambu yang dianyam. Sedangkan atapnya dibuat dari ijuk campur anyaman daun enau yang pohonnya banyak tumbuh dilereng bukit dan dipinggir sungai.
Surau itu adalah surau alam. Karena ia memang disediakan oleh alam sekitarnya. Walau sederhana, namun surau itu anggun dan bersih. Di surau itu pula para petani menunaikan shalat berjamaah maghrib, isya dan shubuh. Ada cahaya dan harum bau syurga di surau itu.

Ia tahu, sebagai seorang guru ngaji ia harus membekali anak-anak ini dengan ilmu agama yang harus ditanamkan sejak mereka masih kanak-kanak. Supaya mereka kelak tahu mana yang halal dan mana yang haram, kata ustadz itu pada orang tua mereka.

“Anak-anak, kata pak ustadz. Kelak kalian kalau sudah dewasa, dimana kalian harus hidup mandiri dan kemudian mempunyai keluarga. Ketahuilah hidup di dunia ini ada yang mengatur dan ada yang memperhatikan kita. Yaitu Zat Yang Maha Tahu Allah Yang Maha Kuasa. Ia telah menurunkan sebuah kitab melalui seorang Nabinya yang bernama Muhammad SAW. Seorang laki-laki umat pilihan diantara banyak umat durhaka pada masa itu di tanah Arab yang tandus.

Biasanya anak-anak akan sangat tertarik bila ustadz telah menceritakan kisah-kisah para Rasul dan Anbiya sehabis mengaji AlQur’an setelah shalat Isya berjamaah. Bukan anak-anak saja yang tertarik dengan cerita ustdaz, tetapi para orang tua juga senang dan dengan khidmat duduk diatas sajadah masing-masing mendengar. Kaum ibu biasanya membawa ubi rebus, dan isteri ustadz merebus air yang dicampur dengan daun kopi kering yang diambil dari kebun mereka. Kopi daun mereka sebut. Kalau sudah bercerita sambil minum kopi daun akan makin asyik.
Udara dingin yang menerobos masuk melalui dinding yang dimana-mana bolong karena memang dari kulit kayu akan terhangatkan dengan cerita ustadz.

“Tahukah kalian dimana negeri Arab itu? Yaitu negeri yang jauh sekali. Yang dulu para orang tua kita kalau mengunjunginya bila mereka pergi naik haji, tiga bulan dengan naik kapal melalui Tanjung Pengharapan yang terkena dengan ganasnya ombak. Kalau sekarang orang kaya pergi naik haji dengan pesawat dan biayanya mahal sekali.

“Pak ustadz apakah sudah pergi naik haji?, tanya seorang anak.

“Belum, walaupun saya ada niat. Mana mungkin saya pergi naik haji nak, uangkan saya tidak punya. Naik haji itu mahal, katanya sampai dua puluh jutaan perlu uang untuk ke sana. MasyaAllah mana kita sanggup. Mudah-mudahan Allah mengampunkan kita karena kita tidak sanggup melihat bukti kebesaran-Nya di tanah suci itu.

“Kan kata ustadz uang itu milik Allah dan akan diberikannya kepada umatnya yang patuh dan disayangi-Nya, tanya seorang bapak.

“Benar pak, tapi uang itu tidak akan turun dari langit dengan sendirinya. Ia harus diusahakan dengan berdagang, bertani seperti kita, dimana sebagian hasilnya kita jual dan kita dapatkan uang. Bukan begitu?

“Iya juga pak ustadz. Sekarang kita agak susah mendapatkan uang. Karena hasil ladang kita murah. Jagung murah, bawang murah, ketela juga murah. Cabe kemaren banyak kena hama, dan kering sebelum panen. Kita tidak punya uang sekarang.

“Jangan cemas bapak-bapak. Walau kita tidak punya uang, kita kan punya Allah yang akan menolong hidup kita, kalau kita pandai bersyukur.

“Dulu ada seorang Rasul Syuaib namanya. Ia seorang Nabi yang selalu bersyukur kepada Allah. Suatu saat ia diuji oleh Allah. Sekujur tubuhnya kena penyakit sampai berulat. Isterinya sendiri jijik kepadanya. Ia dikucilkan. Namun, Syuaib tetap memuji Allah dan bersyukur kepadanya. Ia berdo’a, supaya ia tetap dalam istiqomah menempuh cobaan ini. Toh ia masih besyukur karena ia masih punya nyawa dalam tubuhnya. Akhirnya ujian yang diberikan oleh Allah kepada Syuaib berhasil ia lewati dan ia lulus dalam ujian itu. Tubuhnya kembali disehatkan dan ia kembali kepada kegagahannya.

Begitulah ganjaran dari Allah bagi umatnya yang pandai bersyukur.
Makanya bapak-bapak jangan takut akan cobaan terhadap kegagalan pertanian kita. Siapa tahu dengan kepatuhan kita kepada-Nya suatu saat kita akan beroleh ganti yang lebih baik. Bisa dalam bentuk lain. Apakah anak-anak ini diberi kecerdasan sehingga kelak mereka menjadi umat yang berguna buat agama dan bangsa kita. Toh kita masih bisa makan ubi dan ketela.
Ubi dan ketela tidak kalah gizinya dibanding roti dan kue yang dimakan oleh orang-orang di kota. Sungai kita masih ada ikannya yang bisa kita kail. Ketahuilah bapak-bapak bahwa makanan kita yang sederhana ini jauh lebih sehat dari makanan orang kota yang macam-macam itu.
Bapak-bapak dan ibu saya lihat sehat-sehat semua. Begitu juga anak-anak tidak kurang suatu apa.

Demikianlah berlangsung kehidupan pengajian yang dipimpin oleh ustadz kita
yang amat sederhana ini. Ia membawa nilai-nilai luhur dalam pengajiannya.
Ia mengajarkan jamaahnya hidup sederhana dan selalu bersyukur kepada Tuhan.

“Kami do’akan supaya ustadz bisa pergi naik haji, dan tentu kita akan diceritakan banyak cerita lagi setelah ustdaz pulang”, kata seorang anak.

“Amiin, kata mereka serempak.

Suatu hari. Seorang anak berlari kerumah ustadz.

“Ustadz, ustadz, ada surat buat ustdadz.

“Ada apa, kata ustdaz Ahmad. Ustadz ada surat dari kantor kecamatan buat ustadz.

“Baik, terima kasih ya Jang”.

“Makasih kembali ustadz, assalamualaikum.

“Waaalikum salam warahmatullah”.

Ustadz Ahmad membuka surat itu. Isinya panggilan ke kantor kecamatan. Esoknya dengan mengendarai sepeda tuanya ustadz Ahmad datang kekantor kecamatan yang tiga kilometer jauhnya. Ia disambut oleh Pak Camat dengan senyum gembira.

“Assalamulaikum, selamat pagi Pak Camat.

“Waalaikumsalam’, selamat pagi pak ustadz, silahkan masuk.

“Ada apa saya dipanggil pak Camat”, tanya ustadz.

“Begini ustadz, kalau ustadz tidak keberatan, hari ini ikut saya ke kabupaten, menemui pak Bupati. Ada yang akan disampaikan oleh beliau pada pak ustadz, katanya kabar gembira, kata pak Camat sambil tersenyum.

“Ada apa ya pak Camat, tanya ustadz masih penasaran.

“Baik kita segera berangkat ke kabupaten, nanti kita akan tahu jawabannya disana.
Baik, pak Camat, saya mah nurut saja, kata ustadz.

Mereka berangkat ke kabupaten dengan mobil dinas pak Camat. Jarak ke kabupaten sekitar sepuluh kilo.
Sesampainya di kabupaten, rupanya sudah ada beberapa pemuka masyarakat dan semua camat hadir, ada enam orang camat semuanya.
“Silahkan masuk pak Ustadz, kata pak Bupati yang ramah. Orangnya masih muda. Pak Bupati langsung membuka rapat hari itu.

“Bapak-bapak Camat dan pemuka masyarakat semua yang hadir. Sengaja semuanya saya undang kesini karena kita ada rapat istimewa dengan acara tunggal. Yaitu menyampaikan penghargaan kepada seorang warga kita yang beroleh nikmat Tuhan. Pak ustadz Ahmad telah terpilih diantara tiga orang di propinsi ini sebagai yang mendapat hadiah naik haji ke Mekah oleh pemerintah Arab Saudi.

Mungkin bapak-bapak heran kenapa beliau terpilih.
Ceritanya begini. Enam bulan yang lalu bapak Gubernur kita telah meminta saya memantau kegiatan surau yang telah lama hilang di kampung kita ini. Dan ia minta amati surau yang masih menanamkan nilai agama Islam dengan benar. Saya memberikan data surau kampung ustadz Ahmad lengkap dengan kegiatan penduduk serta pengaruh pengajian terhadap keutuhan kampung.
Rupanya oleh Pak Gubernur data ini diteruskan ke pihak Kedutaan Arab Saudi di Jakarta, dan allhamdulillah ustadz kita terpilih diantara lima puluh orang Indonesia yang diberangkatkan oleh pemerintah Arab Saudi dengan menjadi tamu negara pada musim haji tahun ini.

Dalam amplop ini ada semua dokumen untuk urusan keberangkatan ustadz beserta ibu, yang harus segera diisi dengan sekalian uang yang dititipkan ke saya untuk biaya administrasinya. Pak Bupati memberikan amplop itu kepada ustadz Ahmad.

Langsung ustadz Ahmad tersungkur sujud kelantai, sambil mengucapkan alhamdulillah, dan air mata meleleh dipipinya.

Demikianlah kisahnya. Kisah ustadz kampung yang akhirnya diijinkan Allah melihat tanah suci Mekah melalui jalan yang tak terduga-duga sama sekali.

Kisah ustadz yang lain.
Ia seorang ustdaz ternama. Ia sering muncul di televisi dan suaranya terdengar di radio. Ia mengajarkan agama Islam dan artinya rahmatan lilalamiin. Kemaslahatan hidup di dunia dan kemenangan di akhirat sering menjadi tema pengajiannya.
Banyak orang terpesona dengan penampilannya yang kharismatik. Ia memang tampan. Banyak ibu-ibu dan remaja putri mengidolakannya. Ustdaz kita tahu akan hal ini. Sebenarnya isterinya cantik, dan juga seorang yang pandai ceramah. Sampai pada suatu hari.
Ustadz ini menjadi gunjingan orang. Apa masalahnya?
Rupanya ustadz kita ini kawin lagi dan ia mempunyai isteri kedua. Lalu apanya yang salah? Bukankah ustadz juga manusia biasa? Ia yang mengambil isteri yang sah. Kalau kebetulan isteri keduanya ini adalah bekas seorang sekretaris di perusahaan milik sang ustadz, dan kebetulan juga amat cantik, itu sebenarnya adalah kebetulan saja.
Pada hal diberitakan bahwa isteri ustadz telah merestui suaminya beristeri lagi. Jadi semuanya sah dan halal secara syar’i.

Rupanya ibu-ibu pengajian seluruh penjuru tanah air protes dan tidak menerima perbuatan ustadz kawin lagi ini. Ustadz mengerti dan ia buat sementara menghindar di mata publik. Ia tidak lagi muncul di telivisi dan suaranya menghilang di radio. Rupanya ibu-ibu terutama tidak menerima nilai baru yang dimunculkan si ustadz. Si ustadz kawin lagi dan memadu isterinya yang pertama. Ibu-ibu tidak terima dan bersimpati ke isteri pertama ustadz. Ibu-ibu terlukai perasaannya. Rupanya perasaan ibu-ibu ini sama, tidak rela kalau suami kawin lagi.

Padahal, Nabi kita Muhammad SAW kan mengijinkan umat Islam laki-laki mengawini wanita sampai empat orang, dan Beliau sendiri isterinya ada sembilan orang.
Demikian suatu hari setelah peristiwa itu, si ustadz kita memberikan ceramah soal poligami ini. Ini bukan pembelaan diri kata ustadz, tapi mencoba mengikuti jejak Rasulullah sebisanya kita.

Ibu-ibu berkata, itu kan Nabi, ia bisa adil. Lelaki sekarang tidak akan bisa seperti Nabi, pokoknya kita tidak rela protes ibu-ibu ini.
Rupanya ada nilai lain dimata ibu-ibu dalam menyikapi masalah muamalah perkawinan ini.

Memang Islam mempunyai nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang namun semuanya harus bersandar kepada Hukum Tuhan dan Sunah Rasul. Namun, nilai itu menjadi debat yang berkepanjangan bila telah menyentuh kehidupan sehari-hari seperti perkawinan dan pengalaman sang ustdaz kita yang kedua ini.

“Nah, bapak-bapak itulah cerita saya tentangan nilai-nilai manusia yang bisa kita ambil hikmah didalamnya”, kata saya menutup pengajian pagi di jalan yang biasa kami jalani untuk olah raga. Jalan yang itu-itu juga, Jalan Gading Raya yang amat berarti bagi kami grup manula ini.

Angin pagi yang berembus menyejukkan badan. Dan juga ia menyejukkan hati yang beroleh kelapangan setelah mendiskusikan materi kehidupan yang berlandaskan aturan agama.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan