Khamis, 28 April 2011

POLISI ITU

OLEH: DASRIELNOEHA

Ini kisah seorang polisi yang bertugas di pinggir jalan.
Kisah ini terjadi di Balikpapan.

Seorang polisi muda dan berpenampilan rapi dengan seragam polisi lalu lintas.
Ia dengan senyum sedang memperbaiki sebuah sepeda motor yang rusak pada bagian lampu send-nya akibat terjatuh.

Seorang ibu separoh baya yang rupanya yang mengendarai sepeda motor itu berdiri disampingnya ditemani oleh seorang murid SMA.
Si Ibu barusan tersenggol sepeda motornya oleh sepeda motor seorang anak muda yang mengendarai dengan ugal-ugalan. Lampu sein motor itu copot dan tercampak dijalan, bautnya lepas.
Si polisi mengambilnya dan berusaha untuk memasangkan kembali.

Alangkah baik hatinya polisi itu. Ia melakukan itu tanpa pamrih apapun. Dan ia tidak minta bayaran pada ibu itu.

Itu persis saya ketahui, karena diam-diam saya memarkir mobil saya di pinggir jalan di depan tempat kejadian itu.
Saya amati melalui kaca spion saya, si ibu membuka dompetnya dan mengeluarkan uang kertas dua puluh ribuan dan mau memberikan kepada si polisi, namun saya lihat dengan masih tersenyum si polisi menolaknya. Itu dilakukan oleh polisi bukan karena kebetulan si putri ibu itu adalah seorang gadis yang cantik.

Bukan karena itu. Itu semata-mata terjadi karena polisi itu memang baik.

Kalaulah si ibu itu berpikiran ingin mengambil si polisi untuk menjadi menantu atau calon suami atau setidaknya menjadi pacar si gadis, itu bisa secara kebetulan saja. Dan kebetulan yang bisa saja terjadi.
Si polisi muda dan tampan, sedangkan sigadis cantik jelita. Mereka bisa menjadi pasangan yang serasi.

Bukan itu yang menarik perhatian saya. Yang menarik perhatian saya adalah kebaikan si polisi yang baru kali ini saya temui.
Jarang saya temui polisi seperti sang polisi yang saya temui di kota Balikpapan di sini.
Mungkin ini perintah komandannya. Berarti komandannya juga orang yang baik, saya membatin dalam hati.

Kalau seluruh polisi di tanah air ini seperti polisi muda tadi, atau komandannya seperti yang aku bayangkan, aku jamin Indonesia akan aman dan damai dari gangguan para penjahat. Tapi sayangnya harapan hatiku tidak terkabul.

*
Sementara di lain tempat.
Pagi itu hari Sabtu di ibu kota.

Di sebuah lampu merah dua buah sedan dihentikan oleh seorang polisi lalu-lintas. Dua orang ibu keluar dan menghadapi polisi yang berkumis tebal dengan topi polisi kuning putih, sedang melakukan negosiasi.
Kembali saya mengamati mereka melalui kaca spion saya.

Dua lembar uang kertas lima puluh ribu meluncur ketangan polisi itu yang dengan lihai cepat sekali melipatnya kedalam kantongnya. Saya tahu ibu itu tidaklah melakukan pelanggaran. Mereka cuma kebetulan berhenti agak kedepan di lampu merah yang tiba-tiba menyala pada hal mereka telah melewati garis marka.
Ibu itu kagok dan merem mendadak mobilnya.

Langsung saja datang pak Polisi menghampiri mereka.
Sang Polisi telah mengambil kesempatan itu mencari rejekinya di pagi itu dengan memanfaatkan konsep dasar sebuah ilmu fisika. Yakni konsep ruang dan waktu.
Serta sebuah konsep lain diantara keduanya, konsep kesempatan.

Polisi itu mempunyai ruang tempat ia bergerak bebas elakukan aksinya. Ya di pinggir jalan dan di lampu merah. Ia mempunyai waktu. Waktu tugasnya ia manfaatkan.

Namun, ia lupa bahwa di dunia ini ada hukum lain yang berlaku. Hukum yang diatur oleh Sang Pencipta Hukum itu sendiri. Hukum Kepatutan. Hukum Hak dan Kebenaran. Anehnya hukum ini bersifat dan mempunya dua dimensi. Ia mempunyai dimesi pada kwantum pertama yaitu hukum nyata.
Orang baik akan disukai orang. Orang jahat akan dibenci orang. Dan itu terbukti dan itu nyata adanya.
Namun, ada dimensi lain. Dimensi ini sukar dinyatakan dengan rumus matematik rumit yang mengenalkan integral dan differential sampai lipat empat. Pada salah satu rumus untuk memecahkan peliknya hukum kwantum adalah dengan bantuan integral dan diferesial. Pada hukum yang satu ini belum bisa dibuktikan. Itu karena ia memiliki dimensi lain yang tidak terukur, yaitu akal manusia yang Diciptakan-Nya juga.

Seperti orang baik dan patuh pada ajaran Tuhan. Namun, didunia ia tidak beruntung. Tetap saja ia miskin.
Tapi kenapa ia kelihatannya gembira, dan tak pernah menyesali hidupnya yang pas-pasan. Itu karena ia paham akan makna hidup ini. Ia memahami benar untuk apa ia dihidupkan oleh-Nya.
Tubuh kasatnya diatur oleh-Nya. Tubuhnya terdiri dari berbagai dimensi. Bahwa ada dimensi lain di tubuhnya. Ada partikel lain yang mengalir di tubuhnya yang orang lain tidak punya. Ia mempunyai sesuatu yang lebih yang menghidupkan semua sel tubuhnya. Sel itu bernama Sel Keikhlasan. Ia ikhlas menerima rejeki yang telah ditetapkan oleh Penciptanya. Ia berusaha seperti orang lain. Apaun hasilnya ia serahkan kepada Kehidupannya yang ia tahu Diatur oleh-Nya.

Bagaimana mengukur sebuah keikhlasan dengan sebuah besaran matematika? Atau bisakah diukur dengan ilmu statistika non-parametrika yang rumit itu?
Jawabannya juga rumit.
Namun, kalau kita mengerti akan Ajaran-Nya dengan baik, jawabannya sebenarnya mudah. Ya itu, tergantung partikel mana yang mengaliri kwantum kedua di tubuh kita ini.

Polisi itu tidak menyadari bahwa sel ini juga ada ditubuhnya. Tapi sel ini dikalahkan oleh sel merah yang jahat yang juga mengaliri darahnya. Sel iblis si penggoda. Yang mengukur orang dengan sikap keserakahan dan tidak pernah puas. Itu menggoda sang polisi di lampu merah.

Terjadilah kisah-kisah diatas. Kisah-kisah buat pelajaran bagi yang mau mengambil hikmah dari kisah itu.

Kita menyebutnya oknum polisi.
Artinya Pribadi polisi yang tidak baik, dan yang baik. Bukan instansi polisinya.

Itulah dunia.
Itulah yang kita lihat.
Karena kita ada di dunia ini, dan berjalan serta hidup di dunia itu juga.
Jadi kejadian itu telah kita saksikan.
Dan mungkin akan kita saksikan lagi selanjutnya.
Karena waktu itu terus berputar dan ruang itu selalu dilewati waktu itu.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan