Khamis, 28 April 2011

PENYERBUAN TABING

OLEH: DASRIELNOEHA

Air Tawar terletak kira-kira 7 kilometer dari Padang arah jalan ke Bukittinggi.
Disini terletak dua kampus perguruan tinggi yaitu Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Padang, dan Universitas Andalas (Unand).
Kedua kampus ini berdampingan ibarat saudara kembar.

IKIP mendidik mahasiswanya menjadi guru, sedangkan Unand mendidik mahasiswa menjadi sarjana beberapa ilmu terapan seperti Ilmu dan Teknologi Pertanian, Ilmu dan Teknologi Peternakan, Ilmu Pasti dan Ilmu Alam.

Sedangkan untuk sarjana Hukum terletak di Muaro, Kedokteran di Pondok dan Jati, serta Ekonomi juga di Jati.

Pada tahun 1957, saat akan meletus peristiwan PRRI, mahasiswa IKIP dan Unand sedang asyik-asyiknya kuliah.
Namun, semuanya berubah setelah adanya pengumuman di Sungai Dareh atas berdirinya PRRI.
Ahmad Husein menghimbau partisipasi generasi Sumatera Barat untuk ikut andil mempertahankan martabat daerah yang sedang diinjak-injak oleh pemerintah pusat.
Dalam pidatonya di lapangan sepak bola di depan Fakultas Peternakan, pada bulan January 1958, apa apel mahasiswa Unand, Husein berpidato berapi-rapi akan perlunya Sumbar bangkit untuk memajukan daerah termasuk Unand dan IKIP, yang dikatakan sedang dianak tirikan oleh Pusat dibanding dengan UI, Gajahmada di Jawa.
Makanya kita harus berani melawan pusat untuk menuntut hak kita, demikian Husein membakar semangat mahasiswa waktu itu.

Makanya setelah 15 February, dilakukan pendaftaran besar-besaran tentara pelajar yang diikuti oleh ratusan mahasiswa Unand dan IKIP serta ada juga pelajar STM dan SMA di beberapa kota di Sumbar, ramai diikuti oleh mereka.

Terbentuklah beberapa kompi pelajar, yang dilatih secara kilat bagaimana cara menggunakan senjata dan bertempur.

Sebenarnya waktu latihan yang pendek itu hanya lebih banyak pada kegiatan baris berbaris dan pidato untuk membangkitkan semangat bertempur, belumlah cukup untuk menguasai ilmu perang dan kemiliteran secara benar.

*
Anisah, gadis kelahiran Solok, ikut mendaftar jadi anggota palang merah.
Waktu itu Anisah masih kuliah di IKIP jurusan Bahasa Indonesia.

Kemaren ia pulang kampung.
Ayah Anisah, Mak Kari yang jadi guru sekolah rakyat di Solok juga ikut PRRI. Kari diajak oleh mamak rumahnya kopral Salim yang telah jadi tentara dan anak buah Pak Husien.
Waktu Anisah mengatakan dan minta ijin ajahnya mau ikut palang merah di Padang, ayahnya menyetujuinya.
Hanya ibunya yang keberatan. Maklumlah Anisah adalah putri satu-satunya. Adiknya masih duduk di SMA Solok dan itu laki-laki.

Tapi setelah Anisah mengatakan bahwa tugas palang merah adalah hanya di rumah sakit dan tidak ikut perang, ibunya akhirnya mengalah.

Anisah mempunyai pomle seorang mahasiswa fakultas Peternakan Unand bernama Rustam. Rustam anaknya ganteng. Rambut ikal lebat dan dagunya kekar dengan sedikit brewok. Maklumlah ia anak seoarng nelayan dari Naras dan juga pesilat tangguh.

Mereka saling mencintai satu sama lain.

Sebelum Anisah meminta ijin ayahnya untuk masuk palang merah, ia telah mendiskusikan hal itu dengan Rustam kekasihnya.

*
Pantai Padang sore itu kembali ramai oleh pasangan anak muda yang menikmati deburan ombak pantai.
Deburan ombak itu membawa alunan suara cinta yang merasuk kedalam sukma para pasangan remaja yang menikmatinya dengan duduk di loneng tembok pantai, di kerimbunan pepohonan yang tumbuh di pantai itu.
Mereka sedang berpomlean.

Para nelayan juga sibuk mempersiapkan perahu mereka untuk melaut.
Setiap sore sebuah perahu nelayan yang dimuati dengan bekal untuk perjalanan semalam dan sebuah lampu sitarongkeng dinaiki oleh tiga orang nelayan.
Setelah didorong ketengah air, lalu mereka mendayung sekitar satu jam ketengah untuk memancing ikan ambu-ambu dan ikan pinang-pinang yang pada musimnya banyak di laut.

Sore itu pulang kuliah di Pantau Padang di Muaro.
Sepasang muda mudi sedang asyik duduk makan rujak di kedai di pinggir pantai Padang yang terkenal itu.
Ada banyak kedai rujak dan limun yang dibangun oleh para isteri nelayan di pantai itu.

Rustam dan Anisah, seperti pasangan lainnya sedang memandang indah deburan ombak pantai Padang yang seakan nyanyian asmara yang mengalun indah.

Rustam mengajak Anisah turun ke air.
Sambil berjalan memainkan ombak di kaki dan bergandengan tangan dua muda mudi yang dimabuk asmara itu berjalan gontai.

”Sah, saya telah mendaftar menjadi tentara kemaren”, kata Rustam memecah kesunyian mereka.

Suara Rustam terdengar seperti getaran petir di telinga Anisah. Suara itu diselingi oleh gempuran ombak pantai yang berdebur dengan suara gemuruh.
Suara ombak pantai Padang memang spesifik. Sering dijadikan madah buat lagu asmara.

”Uda, sudah mendaftar kemaren”, Anisah mengulang dengan pertanyaan.

”Ya Sah, saya dan enam orang teman mendaftar di Dodik Simpang Haru. Minggu depan kami akan menjalani latihan di Padang Besi Indarung. Ada banyak juga mahasiswa Unand yang mendaftar. Juga banyak temanmu dari IKIP yang ikut”, kata Rustam.

Anisah hanya terdiam. Sambil mempererat genggamannya di tangan Rustam, ia berhenti melangkah.

Sekarang di pipinya yang bak pauh dilayang, mengalir dua butir air bening. Ia tahu apa artinya mendaftar jadi tentara pelajar. Minggu lalu sewaktu Letkol Husein berpidato di lapangan sepakbola didepan kampus IKIP, ia mendengar bahwa sekarang perjuangan suci mengadapi perang dengan tentara pusat seakan menjadi panggilan bagi para mahasiswa.
Perang, ya perang, berulang Husien mengatakan kata-kata itu dalam pidatonya.

Perang berarti menggunakan senjata untuk saling bunuh.
Akankah nantinya Rustam ikut terbunuh?
Itu yang ada dibenak Anisah sekarang.

”Anisah, kenapa kenapa Isah menagis”, tanya Rustam.

”Saya tidak mau kehilangan uda Rustam”, kata Anisah pelan.

”Saya tidak akan terbunuh sayang. Dan lagi soal mati hidup, kan ada di tangan Tuhan. Isah tidak usah ragu melepas uda”, kata Rustam membujuk.

”Da, perang ini tidak tahu kapan usainya. Yang jelas pasti tentara pusat akan segera kemari. Uda akan bertempur. Dan uda akan jadi korban..

Air mata Anisah semakin deras. Rustam mengambil ujung selendang Anisah. Ia mengusap pipi lembut kekasihnya. Basah selendang itu kini.

”Kalau begitu, Anisah minta ijin uda untuk daftar jadi palang merah. Kemaren Putri mengajak Anisah untuk mendaftar”, kata Anisah.

”Jangan sayang, kamu tinggal di kampus sajalah. Kasihan kuliahmu kan tinggal setahun lebih saja lagi.

”Uda, aku juga mau turut menyumbangkan tenagaku untuk daerah kita. Toh sudah pasti kuliah akan tutup selama pergolakan”, kata Anisah.

Mereka kembali ke pondok jualan.
Rujak yang tadi mereka pesan telah hampir habis.
Rustam memanggil Etek Ami penjual rujak. Dan ia membayar dua piring rujak yang mereka pesan.

”Kamu pasti tidak akan diijinkan oleh ayahmu. Sudah minta ijin belum”, tanya Rustam.

”Belum da, besok rencananya Isah mau pulang. Putri juga pulang. Sekalian siap-siap untuk latihan di Rumah Sakit tentara Simpang Haru.

”Ya, kalau memang ayahmu mengijinkan, baiklah mari kita sama-sama berjuang. Kalau umur kita sama panjang, dan jodoh kita direstui Tuhan, kita akan tetap ketemu”, kata Rustam sambil merangkul bahu Anisah.

”Yang jelas saya tidak mau kehilangan kamu dewiku”, kata Rustam.

Hari semakin petang. Sebentar lagi maghrib akan datang. Rembang petang matahari mau turun di ujung kaki langit di lepas laut sana memang indah.
Warna langit yang kuning kemasan bercampur kemerahan perlahan turun ke kaki langit.

Mereka beranjak pergi. Naik oplet kearah Air Tawar.
Dua sejoli itu duduk terdiam di atas oplet tua jeep Wilis yang rumah-rumahnya terbuat dari kayu.
Sebentar lagi mereka akan berpisah. Dipisahkan oleh pergolakan daerah yang mereka akan turut ambil bagian di dalamnya.

*
Hari baru jam sembilan di Air Tawar.
Hanya beberapa mahsiswa IKIP yang terlihat pergi kuliah pada pagi itu.
Unand telah dua minggu libur. Karena beberapa dosen ada yang ikut latihan di Padang Besi.
Yang tidak mendaftar jadi tentara memilih pulang kampung.

”Assalamualaikum”.

”Wa alaikum salam, eh uda Rustam”.

Rustam muncul pagi itu di tempat kos Anisah di Air Tawar.

Anisah sudah memakai pakaian putih-putih. Ia bersiap akan menuju Simpang Haru rumah sakit tentara tempat ia kini mulai bertugas jadi perawat yang disebut anggota palang merah.

”Sudah mau berangkat Sah”, tanya Rustam.
”Ya da, saya barusan mau menyetop oplet ke Simpang Haru”, kata Anisah.

Rustam datang dengan pakaian tentaranya. Sebuah senjata LE tersandang dibahunya.

”Uda kelihatan gagah dengan seragam ini”, kata Anisah.

”Isah juga makin cantik dengan pakaian palang merah”, balas Rustam.

”Sah, keadaan semakin genting. Tadi malam kami di berikan briefing oleh komandan di asrama Simpang Haru. Semua pasukan disiagakan. Kita sedang siaga satu menghadapi peperangan. Aku diperintahkan bersama kompi B Mawar bertugas di sekitar lapangan Tabing. Dan kompi A Melati bertugas di sepanjang pantai Ulak Karang.
Menurut berita intelijen, akan ada pendaratan pasukan APRI hari ini.
Sah, keadaan serius sekarang.
Kalau terjadi sesuatu pada kita, saya mohon kerelaan Isah”.

Rustam mengeluarkan sebuah bungkusan dari kantong celananya. Ia berikan kepada Anisah.
Anisah mulai basah matanya. Ia mengerti ari kata Rustam barusan. Akan ada perang sebentar lagi.

Ah, kenapa harus ada perang? Kenapa Husein tidak mau mengalah dengan pemerintah pusat? Kenapa pula harus berontak? Pertanyaan itu menggayut di benak Anisah. Seperti itu pula pertanyaan di sebahagian tentara PRRI muda yang di gabung dalam kompi pelajar itu.

”Sah, ini sebuah cincin yang saya beli di toko emas di Padang kemaren. Isah simpanlah cicncin itu. Cincin itu bertuliskan nama kita. Ia menjadi saksi cinta kita berdua”.

”Uda, kita harus segera bicara dengan ayah saya. Juga kita harus ketemu mak dan abak uda. Kita bicarakan ke pada mereka. Mari kita langsung bertunangan saja.
Ibu saya pernah menanyakannya kemaren sewaktu minta ijin menjadi palang merah”, kata Anisah.

”Sebenarnya memang baiknya begitu Sah. Tapi sekarang waktunya kelihatannya tidak mungkin lagi. Pakailah cincin itu. Anggaplah kita sudah berikatan”.

Anisah membuka kotak beledru biru itu. Sebuah cincin emas seberat 8 gram berkilauan. Di bagian dalam bertuliskan ”Anisah-Rustam”.
Rustam memasukkan cincin itu ke jari Anisah.
Cincin polos berbentuk ring itu pas benar di jari manis Anisah.

Tiba-tiba terdengar sayup-sayup dengungan pesawat terbang. Makin lama deru mesinnya makin keras.
Rustam melihat kelangit arah ke Gunung Padang. Dari sana di balik awan kelihatan iringan pesawat terbang.

”Isah, cepat sembunyi. Mereka telah datang. Aku harus segera gabung dengan pasukanku”.

”Jaga diri uda”.

”Assalamualaikum”.

Rustam terus berlari ke arah mudik. Larinya cepat menuju ke lapangan udara Tabing bergabung dengan pasukannya.

Ada lima pesawat terbang berputar-putar disepanjang pantai antara Ulak Krang dengan Tabing.
Kelihatan dengan jelas dari perut pesawat keluar pasukan payung terjun dari udara.
Paling banyak diterjunkan di sekitar lapangan udara Tabing.
Segera saja terjadi pertempuran di sana.

Rupanya itu adalah pasukan payung tiruan. Ternyata yang diterjunkan yang pertama itu adalah boneka kayu yang didandani mirip tentara yang berbaju loreng.
Pasukan PRRI yang kebanyakan anggotanya adalah mahasiswa dan pelajar itu tertipu. Mereka menembaki boneka kayu itu.
Peluru banyak yang mereka habiskan percuma.
Komandan kompi becarut bungkang.

”APRI kalera, dikicuhnya awak”.

Danki segera berlari sambil menunduk, dan bersusah payah mengumpulkan anak buahnya sekitar Tabing.
Segera ia kembali mengumpulkan pasukan untuk konsolidasi.

Lima pesawat yang pertama kedengaran menjauh. Tetapi segera diganti dengan kedatangan tiga pesawat pembom dan dua pesawat penerjunan pasukan.
Kembali pasukan payung terjun di seputar bandara.
Kali ini lapangan udara Tabing dihujani oleh bom dari pesawat.

Pasukan loreng yang terjun kali ini benar pasukan dari APRI.
Kembali terjadi tembakan seru. Pertempuran kembali pecah. Pasukan APRI yang terlatih perang dari kesatuan lintas udara Brawijaya dan Siliwangi berhadapan dengan pasukan PRRI yang terdiri dari mahasiswa dan pelajar yang masih hijau dengan suasana pertempuran.
Sungguh tidak seimbang keadaan perang siang itu. PRRI segera menjadi sasaran empuk pasukan APRI.

Hanya lima belas menit lapangan udara Tabing dikuasai oleh pasukan pemerintah pusat.

Para pasukan kompi B dan kompi A banyak yang menjadi korban. Yang luka dan masih hidup segera di tawan. Mereka dikumpulkan di hanggar lapangan udara.

*
Sejak mendengar bunyi pesawat pagi itu, dan setelah Rustam lari kearah Tabing, Anisah kembali masuk ke kamarnya.
Ia mengambil tas palang merah. Ia tidak jadi ke rumah sakit di Simpang Haru.

Anisah menyetop oplet menuju ke Tabing.
Setelah turun dari oplet, Anisah berlari kearah lapangan terbang.
Pertempuran terjadi di sana.

Banyak korban berjatuhan di pihak PRRI. Tentara yang masih muda-muda itu meringis dan meregang nyawa tersambar pecahan peluru mortir.
Mereka diserbu oleh pasukan APRI.

Anisah segera menolong para korban pertempuran itu. Baju putihnya kini sudah terpercik oleh darah para korban.

Di ujung landasan, dibawah pohon ketapang, seseorang menyeret badannya yang telah berlumuran darah.

”Tolong”, panggil orang itu.

Anisah segera berlari kearah orang itu.
Disampingnya empat mayat telah tercabik pecahan bom.

”Uda”, Anisah terpekik manakala melihat yang terluka berat itu adalah Rustam kekasihnya.

”Sah”, kata Rustam parau. Dari mulutnya keluar darah. Punggungnya robek kena pecahan bom.

Anisah segera membuka tas palang merahnya. Perbannya sudah habis terpakai untuk membalut luka para korban.
Sambil menangis ia membuka baju Rustam. Air matanya makin deras melihat dada bidang kekasihnya berlumuran darah.
Dua botol obat merah yang masih tersisa ia tuangkan ke luka Rustam. Rustam terluka parah. Ia kebatkan baju Rustam ke punggungnya yang ternganga. Darah terus mengalir.

Kaki kirinya juga patah dan terlihat tulang keringnya. Anisah membuka bajunya. Ia tidak peduli walau hanya tinggal kutang saja. Kulit putihnya belepotan darah Rustam. Kaki itu ia balut dengan robekan bajunya.

”Sah, jaga dirimu. Aku sudah tidak tahan lagi. Mataku mulai kabur Sah”, kata Rustam tertahan-tahan.
Rustam kehilangan banyak darah. Itu membuatnya lemah dan hampir pingsan.

”Uda luka parah, jangan banyak bicara dulu”, kata Anisah sambil menangis.
Anisah memeluk tubuh kekasihnya.
Jemarinya ia sisirkan ke rambut ikal Rustam.
Rustam tersenyum kepada kekasihnya.

Kabut mesiu masih tebal di seputar lapangan terbang. Tembakan masih terdengar sayup-sayup di pantai. Rupanya ada pertempuran juga di sana. Pasukan katak angkatan laut mendarat di pantai Tabing.
Mereka segera mengadakan pembersihan dan memburu para PRRI yang ada di pantai.

”Sah, aku cinta padamu. Selamat ting...gal..Sah”.

Sambil tersenyum di bibirnya akhirnya Rustam menutup matanya.
Rustam membawa cinta Anisah bersama nyawanya yang melayang ke angkasa di lapangan udara Tabing. Rustam terkorban oleh pertempuran pagi itu.

Anisah meraung sambil tetap memeluk jasad Rustam.

”Udaaaa”.

Tragedi itu telah terjadi.
Dua kekasih itu telah terpisahkan oleh maut. Maut itu sungguh cepat datangnya. Pagi jam sembilan tadi mereka masih saling tersenyum menyatakan cinta mereka. Mereka masih saling mencium cincin pemberian Rustam.
Kini salah satu telah tiada.

Perang memang kejam. Perang hanya menyisakan duka dan nestapa. Cinta dua anak manusia, Anisah dan Rustam terenggut siang itu.

Rustam telah pergi. Ia menjadi korban pertempuran di lapangan udara Tabing antara PRRI dengan APRI.

Anisah memandang tubuh Rustam yang telah kaku. Ia menggenggam tangan kekasihnya itu.
Air matanya makin deras.

”Udaaa”, suara Anisah parau. Separau cintanya yang kandas.

Ia memandang muka Rustam. Sesungging senyuman terbayang di bibirnya. Wajah ganteng kekasihnya itu mulai kelihatan membeku. Anisah mengusap muka itu. Ia memegang brewok yang mulai tumbuh lebat di wajah itu.
Tangan Rustam ia lipatkan di dadanya.
Tangan Anisah berlumuran darah Rustam, di jari manisnya lekat sebuah cincin yang diberikan Rustam tadi pagi, terbungkus darah Rustam sendiri.
Rustam telah pergi selamanya membawa cinta mereka berdua.

Pesawat udara AURI telah menghilang.
Bekas pemboman meninggalkan lobang di landasan pacu. Asap mesiu bekas pertempuran masih tercium.

Anisah masih terpana dan berlinang air mata.
Ia masih memangku jasad Rustam.
Jasad yang masih tersenyum dan berkata-kata jam sembilan pagi tadi. Sekarang telah hilang nyawanya bersama cinta mereka yang telah dihancurkan oleh peperangan.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan