Khamis, 28 April 2011

MUTIARA

OLEH: DASRIELNOEHA

Hari itu aku kembali dibuat penasaran di lampu merah yang sama di perempatan Jalan Pemuda dan Jalan Pramuka.
Seorang anak perempuan sekitar umur lima tahunan, menyelinap diantara mobil-mobil yang berhenti. Anak itu wajahnya cantik, dan kulitnya putih bersih. Ia membawa sebuah kerincingan yaitu sebatang kayu yang diujungnya dijepitkan dua buah tutup botol. Bila ia goyang kerincingan itu dengan tangannya yang mungil akan berbunyi; criing..criing..criiing. Suara itu rupanya ia gunakan untuk menarik perhatian para pengendara, kemudian tangan mengulur memberikan uang recehan lima ratusan, dan kadang selembar uang ribuan, yang dimasukkan anak itu kealam sebuah kantong plastik. Yang menarik perhatianku adalah, anak itu berwajah cantik dengan gesit menyelinap dan mendatang mobil yang ramai berhenti di lampu merah itu, walaupun ia memakai baju kedodoran yang kumal. Pakaiannya yang rombeng tidak bisa menutupi wajahnya yang cantik mungil. Rambutnya panjang dan ia biarkan tergerai, menambah cantiknya wajah anak itu.

Tiba-tiba lampu hijau menyala. Aku membelok kekanan, dan aku perhatikan di kaca spion, anak itu menepi kearah pinggir, dimana menunggu seorang kakek-kakek tua. Aku penasaran. Aku akan mencari tahu siapa anak itu sebenarnya. Besok, hari Sabtu aku libur. Aku akan kembali ke lampu merah ini. Mudah-mudahan anak itu masih mengemis di sana.

Hari Sabtu itu aku sengaja mengajak isteriku untuk melihat anak itu. Isteriku setuju untuk ikut setelah menceritakan akan anak perempuan itu.

Aku berbelok kearah Rawamangun, dan berhenti dipinggir. Isteriku aku suruh menunggu di mobil. Secara kebetulan kami melihat anak itu masih ada dilampu merah. Hari itu jam sembilan pagi. Setelah lampu merah menyala lagi dari arah jalan Pemuda, anak itu ternyata telah dekat dengan tempat kami berhenti. Ia masih menengadahkan tangannya meminta belas kasihan orang. Tapi dimana kakek tua itu? Ia tidak kelihatan.

Aku dekati anak itu. Ia sekarang duduk dekat tiang jalan layang. Rupanya ia capek juga. Hari itu ia memakai celana longgar dan bajunya masih baju yang kemaren.
“Nak, capek ya, aku coba menegurnya.
“Iya pak capek, jawabnya.
“Kok kelihatannya kamu agak lemah, sakit ya, tanyaku.
“Nggak pak, cuma belum makan, katanya dengan suara kanak-kanaknya.

Tiba-tiba isteriku datang. Ia membawa dua bungkus nasi kuning yang ia beli dekat tempat kami parkir.
“Kakekmu mana?, tanya saya.
“Kakek, ia pulang, badannya agak panas.
“Dengan siapa kamu kesini?, tanyaku
“Sendirian”, katanya.
“Sendirian, rumah kamu dimana nak, apa tidak jauh”.
“Tidak, rumah kami disudut sana, dibelakang lapangan golf, katanya.
“Oh, kamu lapar ya nak, tanya isteriku.
“Iya, bu, katanya.
“Nih, ibu bawakan makanan. Makanlah, kata isteriku.
Ia menerima makanan itu dengan malu-malu.
“Makasih ya bu”, katanya.

Ia makan lahap sekali. Namun tiba-tiba ia berhenti. Dan ia mencoba membungkus kembali nasinya itu.
“Kenapa kamu berhenti makannya?, tanya isteriku.
“Untuk kakek, katanya.
“Makan saja buatmu, ini ada satu bungkus lagi buat kakekmu, kata isteriku sambil memberikan sebungkus nasi kuning lagi.
Ia kembali membuka bungkusan nasi kuning itu. Ia meneruskan makannya. Rupanya ia memang sedang lapar. Isteriku memberikan sebotol aqua gelas dan ia meminumnya.
“Siapa namamu nak?, tanya isteriku.
“Mutiara”.
“Mutiara, namamu bagus sekali.
“Ibumu mana? Tanya isteriku lagi.
“Tidak tahu, katanya.
“Oh, isteriku mulai sedih.
“Nak, kataku, bagaimana kalau saya antar kamu pulang. Lalu kamu istirahat saja ya di rumah sekalian menemani kakekmu yang sakit.
“Saya mau cari uang buat beli obat kakek. Ini baru dapat sedikit, katanya sambil memperlihatkan sebuah kantong plastik yang berisi uang recehan lima ratus tiga buah, dan uang ribuan dua lembar. Ia baru medapatkan tiga ribu lima ratus. Tak terasa ada air disudut mataku. Aku melirik isteriku. Ia menyeka air matanya dengan ujung jilbabnya.
“Kamu tidak usyah ngamen hari ini. Mari kita lihat kakekmu. Ini ibu kasih uang”. Kata isteriku.
Ia kelihatan bingung. Isteriku menarik tangannya.
“Ayo nak, tunjukkan pada ibumu dimana rumah kakekmu”.

Ia diam saja. Kami membawanya ke mobil. Alangkah lugunya anak ini pikirku. Justru keluguannya ini yang mencemaskanku. Ia bisa saja jadi korban. Ia bisa diculik dan diperkosa oleh lelaki hidung belang, dan lalu dijual ke sindikat penculik anak-anak yang akhir-akhir ini banyak di Jakarta.
Kami berbelok ke kanan disamping pom bensin dan belok kanan lagi. Ia menyuruh berhenti. Dan kami turun. Ia mengajak kami memasuki sebuah gang. Tidak jauh ada sebuah gubuk disamping tempat tumpukan sampah di gang itu.
“Kakek tidur di dalam”, katanya.

Ia membangunkan kakeknya. Kakeknya sudah tua, kurus dan wajahnya yang tirus kelihatan lelah dibalik kopiahnya yang telah kuning dimakan usia.
“Kek, ini bapak dan ibu, nyuruh saya pulang”, katanya.
“Ini uang, katanya sambil menyerahkan plastik uangnya pada si kakek.
“Pak, bu, kenapa cucu saya, kenapa ia bapak bawa pulang, tanya si kakek.
“Pak, Mutiara saya ajak kesini untuk ketemu bapak, katanya bapak sakit. Saya menyalami tangan kurus si kakek. Terasa panas sekali tangan itu. Dan tangan itu gemetaran.
“Ya saya hanya demam dari tadi malam, kemaren kehujanan.
“Kek, ini makanan diberi ibu”, kata Mutiara menyerahkan sebungkus nasi kuning.
“Bapak belum makan, makanlah nasi itu, kata isteri saya.
“Makasih ya bu”. Ia membuka bungkusan itu. Dengan tangan gemetar ia suap nasi itu. Ia susah makan.
“Apa bapak sudah makan obat”, tanya saya.
“Belum pak, Mutiara saya suruh ngamen buat beli obat. Tapi uangnya kelihatannya belum cukup.
Aku menyuruh isteriku untuk mencari obat ke apotik terdekat.
“Bapak istirahat saja, nanti ibu akan cari obat untuk bapak”.
“Ah tidak usyah repot pak, katanya.
“Pak, sudah lama bapak tinggal di sini? Taya saya.
« Sudah kurang lebih tujuh tahun », katanya.
« Sendirian saja ? tanya ku.
« Berdua dengan cucuku ini », katanya.
“Ibunya Mutiara kemana?, tanyaku.
“Panjang ceritanya pak, katanya.
“Apa bapak tidak keberatan menceritakannya tanyaku, sambil aku duduk di sebuah kursi bekas yang dipaku kembali.
“Silahkan bapak senderan saja”, kataku.

Sambil bersandar di atas sebuah dipan kayu reyot kakek itu mulai bercerita.
“Dulu saya adalah seorang tentara, katanya. Pangkat saya terakhir adalah kopral. Lalu saya minta berhenti karena saya tidak konsentrasi berdinas. Ada malapetaka menimpa saya. Anak laki-laki saya satu-satunya meninggal tergilas mobil sewaktu trucknya tabrakan di Pantura. Saya sedih sekali, dan bersamaan saya mengalami sakit kejang-kejang. Oleh komandan saya dinasihatin supaya saya minta berhenti dari dinas dan menerima uang pensiun ala kadarnya. Uang saya terakhir saya gunakan untuk membangun gubuk ini. Menempati sudut tanah pembuangan sampah RW sini. Untunglah pak RW mengijinkan. Isteri saya telah meninggal dua tahun lalu. Ia sakit paru-paru. Tidak mau sembuh karena kami tidak punya uang untuk beli obat. Ia berhenti sebentar karena batuk.

Tiba-tiba isteri saya datang.
“Pak, ini makan obatnya”. Ia dibelikan obat flu, obat batuk dan vitamin oleh isteri saya. Juga isteri saya membeli beras dan bahan lauk pauk. Isteri saya membelinya karena melihat ada peralatan masak disudut gubuk itu. Dan ada juga kompor minyak tanah.
“Ma duduk disini, kata saya menyodorkan kursi reyot tadi keisteri saya. Dan saya duduk diatas sebongkol batang kayu yang rupanya digunakan untuk tempat duduk di depan pintu gubuk itu. Setelah memakan obat, kakek meneruskan ceritanya.

Lima tahun yang lalu, ketika selesai sembahyang subuh, seperti biasa saya mengumpulkan kayu-kayu bekas di tumpukan sampah untuk dipakai masak pengganti minyak tanah. Tiba-tiba saya melihat sebuah kardus, namun kelihatannya kardus itu bergerak-gerak. Saya dekati dan saya buka. Ternyata didalamnya ada seorang bayi mungil dan masih merah. Saya memanggil isteri saya. Isteri saya membawa bayi itu kerumah. Dan kami melaporkannya ke pak RT dan pak RW. Kami minta ijin memelihara bayi itu. Kami namai dia Mutiara. Rupanya ia dibuang oleh ibunya yang tidak mengharapkan kehadirannya di dunia ini. Kakek terbatuk, dan ia berhenti sejenak.
Pantas, anak ini memiliki wajah yang cantik, pikirku. Pastilah ia hasil perbuatan seorang gadis cantik yang terlanjur dengan pacarnya. Gadis itu hamil dan melahirkan seorang bayi mungil dan cantik. Bayi itu ia buang ketumpukan sampah. Dan dipungut oleh sepasang suami isteri yang rupanya telah berangsur tua.
Kemudian Mutiara saya lihat memijit-mijit kaki kakeknya. Kakek melanjutkan ceritanya.
Namun, sayangnya pada saat Mutiara berumur tiga tahun, ia kehilangan neneknya. Isteri saya meninggal. Akhirnya ia saya pelihara sampai sekarang, dan ia saya ajak ikut ngamen di lampu merah, karena kami butuh uang untuk makan. Kami tidak punya pengahsilan lain. Dulu waktu isteri saya masih hidup, ia bisa dapat uang dengan menjadi buruh cuci rumah-rumah sekitar sini, namun setelah ia pergi putuslah sumber pendapatn kami. Dulu juga saya bisa dapat uang dengan mencuci mobil bapak-bapak pemain golf di depan. Namun sejak tahun lalu saya sudah tidak sanggup, karena tulang-tulang saya mulai ngilu dan sakitan digerogoti rematik. Akhirnya saya dan Mutiara jadi pengamen di lampu merah.
Kakek itu berhenti bercerita. Ia masih terbatuk. Ia meraih gelas aqua dan meminumnya.

“Pak kata isteri saya, kalau bapak mengijinkan saya akan membawa Mutiara ke rumah kami di Kelapa Gading. Tidak aman gadis cilik seperti dia berada di lampu merah. Kan sekarang banyak penjahat. Bapak boleh datang kapan saja bapak kangen dengan Mutiara.
“Begini saja pak, kata saya. Kalau bapak sudah sembuh, bapak tidak usyah mengamen lagi. Bapak datang dua kali seminggu kerumah kami di Kelapa Gading. Bapak tolong rawat tanaman di pekarangan. Nanti gaji bapak akan kami bayar. Bapak sekalian bisa melihat Mutiara.
“Alhamdulillah, saya mau, dan terima kasih pak, ibu katanya. Ia bangkit dan mencium kaki isteri saya.
Sejak saat itu tidak ada Mutiara lagi di perempatan jalan Pemuda dan jalan Pramuka. Mutiara yang dicampakkan oleh ibunya itu telah ada disebuah rumah yang pantas untuk anak seusia dia. Ia sudah pindah ke rumah kami di Kelapa Gading. Ia sudah kami masukkan sekolah SD. Dua kali seminggu kakeknya datang. Kami gembira melihat mereka bercengkerama di taman di depan rumah.

1 ulasan: