Jumaat, 29 April 2011

KISAH URANG BUNIAN

OLEH: DASRIELNOEHA

Urang Bunian artinya orang yang bersembunyi. Mereka adalah semacam makhluk manusia rimba dan suka bersembunyi dan tidak mau kelihatan sama orang, dipercaya tinggal dihutan-hutan di kaki Gunung Tandikek di Sumatera Barat.
Keberadaan mereka oleh orang tua-tua dahulu sekitar tahun enampuluhan dipercaya memang ada. Tapi belum pernah ada yang bertemu. Mereka suka dijadikan untuk pertakut kepada anak kecil.
Tahun enempuluhan dulu kampung kami di Kandang Ampek masih lengang. Kendaraan bermotor atau oto disebutnya tidak seramai sekarang. Hanya satu-satu bus dan parahoto lewat di jalan raya. Saya ingat mereknya Chevrolet, dan menghidupkannya searang sitokar atau keneknya menggunakan sebatang besi yang ujungnya bengkok, dan dimasukkan kecelah yang ada didepan grill mobil. Disebut dengan engkol. Si kenek mobil mengengkol beberapa kali sampai mobil berbunyi menderum, dan barulah mesinnya hidup. Kalau mati lagi, akan diengkol ulang oleh sitokar. Kasihan sitokar ini, kalau hari panas dia akan bermandi keringat mengengkol mobil berulang kali. Kalau hari hujan terpaksa ia berbasah-basah mengengkol mobil.

Pada waktu itu listerik belum masuk kedesa. Penerangan memakai lampu minyak tanah atau dibuat dari sebatang bambu sariak yang diberi sumbu dari ijuk atau sabut kelapa yang disebut colok.

Kalau mau tidur, lampu colok ini dimatikan. Kalau dibiarkan hidup, selain memboroskan minyak tanah, ia juga menghasilkan abu atau jelaga yang membuat lubang hidung menjadi hitam pada pagi harinya.

*

Anak kecil tidak boleh main jauh dari rumah. Takut diculik oleh orang Bunian kata nenek.
« Siapa urang Bunian itu nek », tanya saya.
”Urang Bunian yang berumah ditengah hutan diatas sebatang pohon, dia suka dengan anak kecil. Kalau ketemu anak kecil akan diculiknya dan dijadikan budak untuk pengusir ayam dan pengayak beras”, kata nenek saya menakuti saya.

Biasanya kami langsung ciut kalau mendengar cerita nenek ini. Tidak berani lagi pergi ke hutan atau ke Batang Anai untuk menangkap burung atau ikan.
Tapi kadang kami acuhkan saja. Dan memang kami tidak pernah diculik oleh Urang Bunian, karena kami belum pernah berjumpa dengan mereka sekalipun.

Nenek saya lalu menceritakan kisah Urang Bunian yang menculik Nenek Timah di Subarang.

Subarang adalah sebuah kampung dibalik Batang Anai yang terletak di pinggir hutan dan kaki bukit. Penduduknya jarang, tapi disana banyak sawah dan luas sekali piringnya. Saya suka ke sana karena ada Anduang saya yang ibu dari ayah saya tinggal di Subarang. Nenek ada saya dua, satu saya panggil Mak Angih, yaitu ibu dari ibu saya. Mak Angih yang memelihara saya sejak kecil karena ibu masih mengikuti ayah saya yang seorang tentara yang tinggal dan suka berpindah-pindah di daerah Riau Kepulauan. Nenek saya dari pihak ayah yaitu yang saya panggil Anduang. Anduanglah yang menceritakan kisah ini.

Kembali ke cerita penculikan nenek Timah.
Sambil memperbaiki letak suginya atau tembakau isap, Anduang menghirup kopinya sehabis shalat maghrib.
Saya dan seorang teman saya si Amir yang suka tidur di rumah saya mendengar kisah yang sering diceritakan Anduang. Saya pergi ke Subarang dari Kandang Ampek bersama ayah saya dan Amir yang ikut. Kebetulan besok hari minggu kami tidak sekolah. Saya menginap di rumah Anduang.
Begini kisahnya.
Suatu hari nenek Timah sakit. Ia terbaring lemah di rumahnya di pinggir sawah di Subarang. Nenek Timah hidup hanya berdua dengan cucunya yang masih sekolah dasar. Ibu si anak atau anak dari nenek Timah sudah meninggal dunia.
Pada saat tengah hari tepat, kira-kira jam duabelas, matahari bersinar dengan teriknya. Nenek Timah masih mengerang sakit karena badannya panas.
Tiba-tiba pintu rumahnya terbuka. Ia biarkan saja. Ia sangka cucunya si Nur yang pulang dari sekolah.
Tapi rupanya bukan si Nur yang datang. Tetapi seorang anak muda berpakaian serba hitam dengan sebuah destar hitam menutupi kepalanya. Anak muda yang tampan itu tersenyum kepada nenek Timah.
Dengan lemah nenek Trimah menegur si pemuda.
”Ada apa anak datang kemari?
“Assalamualaikum nek, saya Bujang Selamat datang kesini disuruh raja Dang Putera untuk mengundang nenek ke istananya. Raja mau menikahkan putrinya dengan putra raja dari Jambi. Ia mau minta tolong nenek untuk menghias pengantin”, jelas sang pemuda.
Memang nenek Timah adalah seorang perias penganten di Subarang dan juga sering diundang ke Kandang Ampek kalau ada orang baralek.
“Tapi nenek sedang sakit, tidak mungkinlah nenek meninggalkan rumah, badan nenek masih lemah dan kepala sangat terasa sakit”, kata nenek Timah.
“Tidak usah kawatir nek, saya membawa obat untuk nenek”, katanya sambil menyerahkan sebotol kecil yang berisi cairan bewarna cokelat kepada si nenek. Minumlah air itu niscaya sebentar sakit nenek akan hilang dan badan terasa segar”, kata si pemuda menjelaskan.
“Baiklah, nenek minum”, kata nenek Timah sambil ia membuka tutup botol dan meminum isinya. Rasanya pahit-pahit manis. Rupanya obat itu terbuat dari remasan daun sicerek yang dicampur dengan madu dan pinang sinawa.
Si nenek lalau duduk. Ia merasa heran. Badannya agak terasa enakan. Kemudian si pemuda memberikan sebuah bungkusan kecil buat nenek Timah.
“Makanlah beras itu buat penguat tubuh nenek supaya siap untuk berangkat”, kata si pemuda lagi.
Nenek Timah menerima bungkusan itu dan ia membuka isinya. Tapi nenek Timah heran melihat butiran beras yang halus dan mengkilat putih bersih. Ini bukan beras kata hatinya, tapi ini adalah telur semut.
Dengan ragu nenek meletakkan bungkusan itu diatas meja.
“Makanlah nek jangan ragu, itu adalah beras penguat tubuh”, kata Bujang Selamat lagi.
Akhirnya beras itu dimakan juga oleh nenek Timah. Rasanya manis dan enak serta gurih di lidah.
Benar juga, setelah beras yang telur semut itu masuk perut, sebentar kemudian tubuh terasa kuat dan nenek bisa turn dengan enteng dari tempat tidurnya.
“Mari kita berangkat nek”, kata Bujang Selamat.
“Tapi bagaimana dengan cucu saya yang segera pulang sekolah”, kata nenek.
“Tinggalkan saja dia barang sebentar, nanti sebelum maghrib kita juga sudah kembali kesini. Nanti nenek akan saya antar dengan kereta kuda lagi”, jelas Bujang Selamat.
Kereta kuda? Pikir si nenek. Anak muda ini kesini naik bendi? Kenapa tidakkedengaran ringkik kudanya pikir si nenek lagi.
”Sebenarnya anak siapa ya?, tanya nenek Timah lagi. Ia merasa ragu dengan tampilan si anak muda itu. Belum pernah ia melihat orang muda dan sebaik anak ini di Subarang.
“Saya utusan raja nek”, jelas Bujang Selamat.
“Raja? Raja dimana? Apa raja dari Pagarruyung?, pikiran si nenek mulai dikacaukan mendengar penjelasan si anak muda.
”Bukan raja Pagarruyung, tapi raja negeri kami di kerajaan Beringin Keramat namanya”, kata si anak muda lagi.
”Kerajaan Beringin Keramat?, belum pernah saya mendengar nama kerajaan seperti itu, heran si nenek.
”Iya nek, kerajaan kami ada di atas angin dibalik awan limbubu di puncak sebuah beringin rimbun dan yang paling tinggi di kaki Gunung Tandikek”, jelas si anak muda.
”Nenek tidak mengerti dimana daerahnya itu”, kembali nenek bertanya dengan heran.
”Sekarang memang nenek belum tahu, karena kan belum pernah kesana. Nanti juga nenek akan tahu dan nenek akan menjadi tamu istimewa raja Dang Putera dengan isterinya Dewi Kayangan di istana Beringin nan Indah itu”, jelas si pemuda.
”Baiklah kata nenek Timah, mari kita berangkat”.
Nenek Timah mengambil bungkusan peragatnya untuk menghias penganten yang selalu ia bawa. Ia juga membawa sebuah peti yang berisi alat-alat suntiang dan kembang goyang lengkap dengan inai dan gincu untuk mempercantik seorang penganten.
Ia juga membawa sirih tanya-tanya untuk membantu ia membaca jampi-jampi agar si penganten kelihatan sangat cantik waktu ia hias.

Setelah mengunci pintu, ia dan Bujang Selamat naik kesebuah bendi yang rupanya telah disiapkan di bawah pohon durian di depan rumah.
Bendinya dihias dengan cantik sekali. Kepala kuda yang putih bersih dihias dengan jambul yang terbuat dari benang tujuh ragam. Pegangan kuda dari kayu jati yang mengkilat dengan gagang dari emas. Rumah bendi terbuat dari kayu yang berukir indah sekali. Tempat duduknya dari kapas tebal yang dibungkus kain beledru bewarna biru dan kelihatan masih baru. Nenek Timah naik ke bendi itu. Peragatnya di letakkan di lantai bendi. Bendi itu tercium harum sekali, seperti bau kesturi bercampur kayu kenanga.
Nenek Timah heran. Belum pernah ia melihat bendi demikian indah. Kalau ia ke Padangpanjang, ia juga naik bendi ke pasar. Tapi bendi di Padangpanjang kelihatan kotor dan jorok. Selalu tercium bau ciik kuda. Ini beda sekali. Bendi indah dan harum milik siapa ya? Pikir nenek Timah tidak habis mengerti.
”Nek, kita akan berangkat, tolong nenek duduk yang tenang, karena perjalanan kita cukup jauh, dan bendi ini akan terbang sekali-sekali untuk mempercepat sampai”, kata Bujang Selamat.
Nenek Timah makin bingung mendengar perkataan anak muda itu. Ia hanya diam saja. Bendi akan terbang? Bendi apa pula ini pikirnya. Bagaimana caranya kuda bisa terbang bersama bendinya, tidak mungkinlah. Memang, dulu pernah ia mendengar cerita tentang kuda terbang, atau semacam binatang yang bersayap dan bisa terbang. Burak namanya. Kabarnya burak inilah kendaraan nabi Muhammad sewaktu beliau isra’ dan mi’raj. Terbangnya secepat angin. Apa kuda ini keturunan burak?, pikir nenek Timah. Tapi kelihatannya ia tidak punya sayap. Ia kuda biasa. Tapi memang badannya tegap dan ramping, kepalanya tegak dan pandangan lurus kedepan.
Ah, terserahlah, yang penting aku akan lihat kemana bendi ini berjalan ke kerajaan Beringin Keramat itu.
”Hua...huaa..ayo berangkat Gumarang, kita harus cepat sampai”, kata Bujang Selamat ke kuda putih itu.
”Hiik..hiik..hiik”, kata kuda itu tiga kali.

Bendi terangkat. Nenek Timah terkejut dan ia berpegang erat-erat ke tonggak dibelakang tempat duduknya. Kuda Gumarang itu melompat dan ia melewati pohon durian dengan mudah, dan hup..ia melompati tabek di belakang pohon durian dan melewati sawah dengan kencangnya.
Benar juga bendi ini bukan berjalan di jalan biasa. Tapi bendi ini terbang dan melayang diatas persawahan dan ladang.
Pelan-pelan dan samar-samar Nenek Timah melihat dua sayap muncul dari sebelah kiri-kanan pinggang kuda itu. Ini dia burak itu. Atau ini mungkin cucunya burak itu, pikirnya.
Tidak lama mereka telah berada diatas batang Anai. Samar-samar kelihatan airnya yang memutih dibawah sana. Oh ya itu dia jembatan gadang di dekat bukik pekuburan Pasar Kerambil. Kuda dan bendi itu melayang terbang ke arah mudik mengikuti alur batang Anai. Tak lama kelihatan Bukik Rambai yang juga merupakan pandam pekuburan orang Kampung Apa dan Kandang Ampek. Kemudian kuda itu terbang melintasi batang Anai dan melewati stasiun kereta api Kandang Ampek terus ke barat menuju bekas perkebunan Belanda Bern.
Di bawah kelihatan lubuk jernih mata air Bulakan yang memancarkan air dari celah batu yang berasal dari perut Gunung Tandikek. Mata air ini adalah sumber air bagi orang Kandang Ampek, Kampung Apa, Pasa Kerambil, Guguak, Pasar Surau, Pasar Jua dan terus ke Kayutanam. Airnya jernih sekali. Ia mengairi sawah, tabek, dan mengalir melalui Batang Tarok dan Banda Gadang.
Airnya bisa langsung di minum.

Tidak lama kuda terbang ini telah melewati hutan lebat di kaki gunung Tandikek.
“Nek, siap-siaplah, sebentar lagi kita akan sampai”, kata Bujang Selamat lagi.
Kuda dan bendi itu terbang agak meninggi sekarang. Mereka memasuki awan putih seperti kapas. Udara terasa makin dingin. Nenek Timah memasang baju hangatnya dan melilitkan selendangnya kelehernya. Ia terbatuk-batuk sekarang.

Kemudian kuda itu menukik turun. Dibawah kelihatan samar-samar banyak rumah-rumah yang cantik-cantik. Tapi, modelnya aneh. Semuanya seperti bulat telur. Rumah siapa ini?, pikir nenek Timah.

Tak lama kemudian mereka telah berada di atas tanah lapang dengan rumput hijau dan indah sekali. Kuda dan bendi itu berjalan pelan sekarang. Di kiri kanan kelihatan berjejer tanaman puding segala macam warna. Ada puding gerai dengan warna daunnya kuning campur merah yang cantik sekali. Ada puding gadang dengan warna daun lebar cokelat dan hitam diselingi warna ungu yang kelihatan anggun. Disana bermain kupu-kupu yang sedang mengisap madu dari bunga ros merah, kuning, jingga, ungu, putih yang berkelompok ditanam sesuai dengan warna. Ada juga bougenville yang bewarna merah darah dan bewarna ungu yang sanagt cantik. Semua ditanam di halaman sebuah istana yang dicat putih bersih, di belakang sebuah pohon beringin raksasa dengan daun yang lebat sekali. Ada dua buah pohon beringin ini, dikiri kanan seakan ditanam sebagai tiang gapura pintu masuk ke istana itu.

”Nenek turun di sini, nanti akan dijemput oleh dayang-dayang istana”, kata Bujang Selamat.
Memang, kemudian kelihatan dua orang putri dayang-dayang dengan pakaian sulaman yang indah datang menghampiri.
Nenek Timah turun dari bendi. Peragatnya di berikan oleh Bujang Selamat ke salah seorang dayang –dayang.
“Nenek Timah, mari masuk ke istana. Putri Mayang Taurai telah menunggu”, kata salah satu dayang-dayang.
Dengan dibimbing kiri kanan oleh dua dayang-dayang itu nenek Timah berjalan memasuki istana melalui karpet merah menyala. Serambi istana telah dihiasi dengan umbul-umbul pucuk kelapa dan pucuk enau. Sesampai di serambi ia dibimbing memasuki sebuah pintu di samping kiri.
“Nek, kita ke kamar ganti dulu”, kata seorang dayang-dayang.
Di dalam kamar ganti itu banyak sekali bergantungan baju-baju yang indah-indah. Ada baju kurung, ada baju adat berenda-renda. Ada bermacam selendang beraneka warna.
Nenek Timah di pakaikan sebuah baju kurung dari sutera bewarna kuning gading dengan bunga-bunga suplir melingkar. Cantik sekali. Rambutnya disisirkan oleh dayang-dayang tadi. Badannya disemproti dengan minyak parfum dari Arab yang harum sekali. Kepalanya ditutupi dengan sebuah selendang panjang dengan warna yang sama. Dia dipakaikan sebuah terompah dari beledru dengan warna kuning yang sama. Di lehernya digantungkan kalung-kalung emas bercampur batu akik yang dirangkai indah sekali. Juga dipakaikan gelang-gelang keroncong dari emas yang kalau tangannya digerakkan akan berbunyi gemerincing.
Nenek Timah menjelma menjadi seorang wanita yang cantik anggun. Sebenarnya nenek Timah belum tua amat. Umurnya baru empat puluh lima tahun. Namun karena kemiskinan dan turun kesawah tiap hari serta mencari kayu bakar buat memasak, badannya jadi kurus kering dan kelihatan sangat tua.
“Nek, sekarang kita akan memasuki kamar ganti Tuan Putri Mayan Taurai”, kata seorang dayang-dayang.
Melalui sebuah lorong dibalik kamar itu, mereka keluar dan belok ke kiri. Disana ada ruangan yang luas sekali. Ada banyak wanita disana. Mereka merangkai bunga dan menggunting kain paco untuk hiasan kamar penganten putri. Semuanya berpakaian baju kurung warna putih seragam. Belum pernah nenek Timah menyaksikan persiapan perkawinan semeriah ini. Ia membathin, benar-benar raja yang kaya yang sedang bermenantu. Pantas semeriah ini.
Seorang dayang membuka sebuah pintu berukir yang indah sekali. Mereka memasuki sebuah kamar yang luas yang penuh dengan hiasan bergelantungan. Lampu kristal besar kelihatan menggantung persis di tengah ruangan. Mepet ke dinding belakang menempel sebuah tempat tidur besar dari kayu jati dengan ukiran kepala naga dan ular yang sedang berkejaran. Pinggir-pinggir tempat tidur telah ditempeli kain beledru warna pink dan biru selang seling warna hijau lembut. Kasurnya kelihatan tebal sekali dengan bantal-bantal besar dn kecil berselang seling diatus diatas kasur. Rupanya ini kamar pengantenya. Pikir nenek Timah.
Di sebelah kanan menempel lemari besar dan juga dari kayu jati berukir.

Diatas sehelai permadani Persia yang mahal dan indah duduklah seorang putri cantik yang sedang ditemani oleh lima orang dayang-dayang yang sedang mengipasi dan membersihkan kuku-kuku kaki si putri.

Melihat nenek Timah datang, sang putri menoleh.

“Selamat datang nek di kerajaan, nenek sudah lama saya tunggu”, suara lembut merdu sekali.
“Perkenalkan saya Putri Mayang Taurai, anak raja Dang Putera dan putri Ibunda Dewi Kayangan”, kembali sang putri memperkenalkan.
“Ijinkan hamba yang jelek ini memasuki istana tuan putri. Kalau hamba lancang tolong dimaafkan, maklum hamba hanya orang kampung Subarang yang miskin.
”Nek, kami sudah tahu siapa nenek, dan kami telah menganggap nenek keluarga kami juga”, jelas sang putri.
Supaya nenek tidak canggung akan saya terangkan pada nenek sebuah peristiwa dimana sejak itu nenek masuk orang yang harus diperhatikan oleh ayahanda hamba Raja Dang Putera.

Nenek mungkin ingat, sewaktu suami nenek masih hidup, pak Haji Ahmad yang guru ngaji di Subarang, dia pernah tidak pulang satu hari. Dan kemudian satu bulan setelah itu ia jatuh sakit, dan Tuhan memanggilnya.
Sewaktu beliau hilang satu hari, sebenarnya beliau kami undang kemari atas perintah ayahanda. Saya waktu itu masih kecil. Juga Pangeran Dang Kelana kakak saya masih remaja. Kakak saya punya peliharaan seekor murai yang pandai bicara. Sewaktu kami main-main ke negeri bawah angin, begitu kami menyebut kampung nenek, terjadi sebuah kecelakaan kecil. Karne asyiknya saya main-main di lubuk jernih dipinggir ladang nenek, dan pangeran dang Kelana sedang asyik berburu seekor anak kancil, burung murainya juga terbang bermain-main. Rupanya seorang anak kampung sedang mencari burung dengan katapelnya. Dan ia membedik murai kami. Kenalah sayapnya dan patah.
Pengeran marah sekali. Untung saya bisa menyabarkan.
Saya bilang kita tarok murai ini diatas batu dipinggir lubuk. Sebentar lagi haji Ahmad akan datang dan ia akan mengambil udhuk di sini. Kami bersembunyi dibalik pohon langsat disamping lubuk.

Benar, pak haji Ahmad suami nenek datang. Ia melihat seekor burung murai batu terletak sakit sayapnya patah diatas sebuah batu. Ia nampaknya kasihan. Ia bersihkan luka sayap burung kami. Kemudian ia beri obat daun singkong yang ia kunyah dan dibalutnya dengan sobekan serban hajinya sayap burung itu.
Perbuatannya tidak lepas dari pandangan kami berdua.

Tidak lama setalah pak haji selesai berwudhuk, burung kami siuman dan melompat kebalik pohon. Lalu kami ambil. Kami melihat pak haji tersenyum puas dan ia pulang kerumah nenek.

Kami kembali ke kerajaan dan melapor kepada ayahanda. Ayahanda kelihatannya simpati dengan perbuatan haji Ahmad dan menyuruh pesuruh istana datang ke rumah nenek untuk mengundang pak haji ke istana.
Nah, setelah Pak Haji kami jamu di istana, dan ayahanda berpesan supaya Pak Haji jangan menceritakan pengalamannya di kerajaan kami. Mungkin nenek melihat setelah pulang kembali kerumah, Pak Haji berubah jadi pendiam.

Namun, kami juga turut sedih setelah kemudian Pak Haji meninggal. Nenek mungkin tidak menyadari bahwa pada hari Pak Haji meninggal sebenarnya saya dan kakak saya datang kerumah nenek. Kami membawa bunga tanda dukacita. Namun kehadiran kami pasti tidak terlihat oleh orang kampung Subarang. Karena memang demikianlah takdir kita masing-masing.

Demikian sebagai pembuka pembicaraan sang Putri Mayang Taurai menceritakan beberapa kejadian yang tidak disadari oleh Nenek Timah selama ini.
”Jadi nak Putri ini dari suku mana ya”, tanya nenek Timah.
”Nek, ceritanya panjang sekali”, kata Putri. Dulu kami ini adalah keluarga kerajaan Pagarruyung yang pertama. Karena sesuatu yang tidak terelakkan, karena sudah menjadi nasib pula, maka jadilah kami kaum yang terbuang. Dan karena sumpah kerajaan oleh Raja Pagarruyung yang pertama Dang Tuanku, maka anak keturunan dari nenek kami ”diminta supaya tidak terlihat” oleh semua rakyat Pagarruyung.
”Kenapa demikian tuan Putri”, tanya nenek Timah pula.
”Nenek kami dulunya adalah seorang selir raja Pagarruyung, yang tidak diakui oleh istana. Karena nenek kami adalah seorang dayang-dayang yang diambil dari tanah jajahan kerajaan diseberang sana, dari sebuah pulau di kerajaan Melayu.
Karena kecantikan dayang-dayang itu, diam-diam raja menaruh hati. Dan raja lalu menjadikannya selirnya, tanpa diketahui oleh Bundokanduang sang permaisuri raja.
Ketika diketahui bahwa sang selir hamil, maka ributlah Bundokanduang. Ia menyuruh untuk mengusir si selir. Rajapun cepat mengambil sikap. Ia segera menikahkan sang dayang-dayang yang telah ia peristeri dengan seorang bujang perawat kuda istana, Pandeka Kilek namanya.
Pandeka Kilek dan Sang dayang-dayang diungsikan ke sebuah hutan laranganan di kaki Gunung Tandikek. Dan karena kesaktian sang raja yang bersumpah supaya anaknya yang dikandung oleh si selir diselamatkan, ia menyumpah keturunannya itu tersembunyi dari penglihatan orang banyak.
Suatu saat si selir mau melahirkan, dan terjadilah patuih tungga di siang hari.
Gelegar petir mengagetkan orang semua. Karena hari panas betinting, tidak ada setetes pun hujan, tapi petir tengah hari itu keras luar biasa. Sebatang pohon kelapa sampai hangus terbakar.

Lahirlah seorang putri yang cantik sekali. Dan sejak itu keturunan kami tersembunyi di tengah hutan dan tidak terlihat oleh orang banyak.

Jadilah kami Orang Bunian. Keturunan kami bermukim disini. Dan kami juga sering menjemput orang kampung yang kami nilai baik, namun sering dikucilkan oleh masyarakat karena kemiskinannya. Kami bawa mereka kemari dan kami beri penghidupan di kerajaan Beringin ini. Tapi, mereka segera menjadi orang Bunian juga.

Demikianlah nek, kerajaan ini berkembang. Kami juga sering datang kepasar ke tempat orang biasa berdagang. Kami juga sering ke Malalak, ke Kayutanam, ke Kandang Ampek, ke Padangpanjang, ke Silaing, ke Batipuh, dan ke Sungai Limau dan ke Singkarak.

Cuma kaum kami tidak boleh ke tanah Agam. Karena tanah Agam adalah tanah sakti dan mulia. Ilmu Bunian akan tertolak disini. Kalau ada yang berani keluar dan memijak tanah Agam, maka dirinya akan terlihat dan ia akan mengalami malapetaka.

Dan itu pernah kejadian, seorang pemuda kami memburu kijang sampai ke batas Sungai Buluah, dan rupanya ia terpikat seorang gadis cantik yang sedang menyiang sawah disana. Ia mendekati si gadis, tanpa ia ketahui bahwa dirinya telah nyata, dan ia ditangkap orang kampung, karena penampilannya berbeda. Untunglah ia diselamatkan oleh orang tua si gadis, dan ia akhirnya menikah dengan gadis itu dan tidak pernah balik lagi ke Beringin.

”Nek, mari hiaslah diri saya, karena nanti sore calon suami saya akan datang dari tanah Jambi”, sang Putri raja meminta nek Timah untuk menghias dirinya.
”Baiklah”, kata nenek Timah.

Sang Putri Mayang Taurai di dandani oleh nenek Timah dengan eloknya. Mukanya yang cantik dan putah itu diberi pupur dari bedak beras halus yang dicampur dengan bungatanjung sehingga harum dan membuat muka si putri raja makin bercahaya. Pipinya dimerahi dengan halusan bunga kesumba dicampur dedak beras pulut yang dihaluskan. Bahan ini diracik oleh nenek Timah sendiri. Itulah kelebihan nenek Timah dalam merias penganten. Ia selalu dicari orang. Bibir sang putri diberi gincu, yang dibeli oleh ayahnya di Persia sewaktu beliau menunaikan ibadah haji.
Jadilah Putri Mayang Taurai seperti seorang dewi yang baru turun dari kayangan.
Ia adalah Putri Raja Urang Bunian.

Demikianlah nenek Timah menghias putri raja Bunian di kerajaan Beringin di kaki Gunung Tandikek, yang segera melangsungkan perkawinannya dengan seorang anak Raja dari Jambi yang juga keturuan dari orang Bunian yang mendiami hutan keramat Bukit Dua Belas.

Sorenya menjelang maghrib ia kembali diantar oleh kuda terbang dan Bujang Selamat kembali ke rumahnya di Subarang. Nenek Timah di hadiahi kalung dan gelang emas buat cucunya oleh sang Putri Raja.

Pagi-pagi sekali si Upik cucu nenek Timah terkejut melihat neneknya teridur di depan tangga rumah.
Ia bangunkan neneknya.
”Nek, bangun hari sudah shubuh. Kenapa nenek tidur di luar”, tanya Upik.
Nek Timah bangun, ia ke pancuran. Ia diam saja. Kemaren ia dipesankan oleh Putri Mayang Taurai, supaya tidak menceritakan kerajaan Bunian itu.

Cerita Nek Timah tetap tersimpan rapat sampai ia menghembuskan napas terakhirnya, dan cucunya Upik tetap menyimpan rahasia ini.
Hidup Upik Nur kini telah berubah, dan setelah ia menikah dengan Udin petani teman sekampung di Subarang. Perhiasan hadiah kerajaan Bunian yang ia simpan selama ini setelah neneknya meninggal, kemudian ia jual. Dan uangnya mereka pakai untuk modal dagang dan mereka pindah ke Pekanbaru. Disinilah Upik hidup bersama suaminya. Cerita tentang neneknya yang hilang seharian tetap ia simpan, karena ia tidak tahu sampai sekarang kemana neneknya pergi dan dari mana nenek dapat perhiasan itu. Itu tetap jadi teka teki sampai sekarang.

Demikian nenek saya mengakhiri ceritanya.
Dan memang kami tidak berani ke hutan sendirian sejak saat itu. Kami takut diambil oleh Orang Bunian.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan