Jumaat, 29 April 2011

AYAHKU TELAH PERGI

OLEH: DASRIELNOEHA

Melepas kepergian ayah yang aku cintai.

Ayah yang aku sayangi
Ayahku meninggal tanggal 27 July tahun 1996 dalam usia 69 tahun. Ia lahir tahun 1927, disebuah kampung kecil bernama Kandangampek di Sumatera Barat.
Ini tanggal bersejarah dalam kehidupanku. Karena hari itu aku kehilangan orang yang aku cintai dan aku hormati. Ayahku yang mengajarkan aku anaknya yang paling tua untuk hidup dengan berjuang.
Hidup ini penuh perjuangan anakku, suatu hari ayah menasihatiku, sewaktu aku lulus SD dan ia masih tentara waktu itu. Oleh karena itu hidup tidak boleh malas. Nasihatnya ini selalu aku ingat dan aku camkan. Inilah pemicu semangat waktu aku bekerja.
Ayah yang jadi tentara sejak jaman Jepang. Ia dan empat saudaranya laki-laki semuanya masuk menjadi tentara. Yang bungsu menjadi polisi dan disekolahkan ke Sekolah Polisi Sukabumi. Ayah menjadi infanteri bersama kakaknya. Kakaknya meninggal dalam kedinasan. Sedangkan adiknya polisi meninggal di Jakarta saat ada pertemuan di Markas Kepolisian Jakarta. Sedangkan tugasnya terakhir di Kupang Timor.
Namun, aku ingat aku test masuk ke Akabri tahun 1971 setelah lulus SMA, ayah tidak mengijinkan. Ia tidak mau aku mati tertembak di medan pertempuran. Aneh, padahal ia sendiri seorang tentara. Ia mau aku menjadi seorang insinyur, agar ibuku yang miskin bisa terbantu. Karena gaji insinyur lebih besar dari gaji seorang tentara, demikian kata ayahku.
Pada saat aku bekerja di Balikpapan, Kalimantan Timur pada sebuah perusahaan perminyakan, kira-kira jam sepuluh pagi tanggal 23 July, 1996, ada telpon dari Uni Nen kakak isteriku di Padang, yang mengabarkan ayah saya sakit dan sekarang sedang dirawat di Rumah Sakit Yarsi Padangpanjang. Uni Nen mengatakan ayah meminta saya supaya pulang.
Pada saat itu saya merasakan ada perasaan risau dihatiku. Pada hal sebulan yang lalu ada telpon dari adikku yang nomor tiga mengatakan ayah sakit, aku biasa-biasa saja. Namun sekarang perasaanku tidak enak. Aku memberi tahu bagian personalia perusahaan, bahwa aku harus ke Padangpanjang melihat ayahku yang sedang sakit. Hari itu juga aku mencari tiket pesawat Balikpapan-Jakarta-Padang. Aku berangkat sendiri, karena isteriku harus menjaga anak-anakku di Balikpapan.
Jam lima sore dengan taksi dari Pelabuhan Udara Tabing Padang aku sampai di rumah sakit Yarsi di Padangpanjang. Aku dapati ibuku, adikku Yasril yang nomor tiga, adikku Nusyirwan yang nomor empat atau yang bungsu, sedang duduk disamping ayahku yang terbaring antara sadar dengan tidak. Melihat aku datang, ibuku membisikkan ketelinga ayah. Aku lihat beliau membuka matanya. Ia berkata lemah; ”Anakku telah datang, kenapa telat nak? ”Yah aku menempuh perjalanan dengan berganti pesawat, bagaimana keadaan ayah?, tanyaku. Kulihat ia tersenyum. ”Ayah sudah shalat?, tanyaku.
”Ayah belum shalat ashar”, kata ibu.
”Yah, kataku mari kita shalat, aku akan mengambil udhuk dulu”, kataku.
Selesai mengambil udhuk aku mendekati ayah, dan aku berbisik ketelinganya.
”Yah, ikuti aku shalat, ayah gerakkan mata ayah saja, aku akan jadi imam”, kataku.
Aku ingat dulu waktu aku masih di SMP aku sering diajarkan kakek jadi imam, dan ayah serta kakek jadi makmumku. Untuk latihan kata kakek.
Aku shalat ashar disamping ranjangnya. Sambil aku berdo’a, ”Ya Allah kuatkan ayahku untuk shalat bersamaku. Ijinkan ia shalat sambil berbaring dalam sakitnya. Ia sedang sakit Ya Allah. Kalau engkau ijinkan ia sembuh, maka sembuhkanlah ia, namun, bila Engkau takdirkan ia harus segera menghadap-Mu, kembalikanlah ia kepada Engkau dalam keadaan husnul khatimah”.
Selesai berdo’a aku usap wajahnya. Aku urut kakinya, dan aku rasakan kakinya telah mulai dingin. Tidurlah yah bisikku. Ibuku mencoba meneteskan bubur kebibirnya yang cenderung terkatup, ia telan sedikit, dan sisanya meleleh kembali keluar bibirnya. Ayahku rupanya sudah lemah badannya.
Aku tanya ibu, apa yang diderita ayah sebelum masuk rumah sakit. Ibu bilang dua hari yang lalu ayah mengeluh badannya lemah dan selera makannya patah. Dia tidak mau makan, dan ibu merasakan badannya panas. Dan langsung dibawa ke rumah sakit. Di rumah sakit ayah di periksa dan dokter memutuskan ayah harus transfusi darah karena Hbnya turun banyak. Keesokan harinya ayah membaik dan ia bisa jalan dengan dibimbing ibu ke mushala belakang untuk shalat. Namun malam kemaren kembali ayah melemah dan kembali dipasang slang transfusi dan infus. Aku paham bahwa organ dalam ayahku kelihatannya mulai kehilangan fungsinya. Apakah karena umur ayah yang tua? Rasanya belum tua benar. Umur ayah tahun ini adalah 69 tahun. Tapi aku kembali teringat bahwa dalam AlQur’an Allah mengatakan bahwa soal umur tidak bisa diatur manusia, hanya Allah yang Maha Kuasa. Umur seseorang bisa panjang bisa pendek tergantung ajalnya atau masa tempuhnya di dunia yang juga Allah yang Menentukan. Rupanya masa perjalanan ayahku di dunia ini mendekati selesai. Jadi ia kemungkinan sedang dalam proses kembali ke Tuhan.
Jam enam aku temui dokter jaga rumah sakit untuk menanyakan bagaimana sakit ayahku. Dokter mengatakan, bahwa ayah lemah dan organ dalamnya juga lemah. Sudah dicoba untuk transfusi darah, karena Hbnya turun. Aku tanyakan apakah bisa dibawa ke rumah sakit yang lebih besar supaya bisa dirawat lebih intensif, ke Padang atau ke Jakarta misalnya. Dokter bilang kita coba dulu merawat pak, kalau keadaannya agak kuat bisa kita bawa. Sekarang beliau lemah sekali.
Pada keesokan harinya keadaan ayah tidak membaik juga. Aku menasihati ibuku supaya bersabar dan merelakan bila ayah memang akan dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Ibuku hanya diam, namun air mata meleleh dipipinya. Aku tahu ibuku sangat mencintai ayahku. Ibuku kawin masih sangat muda dengan ayahku. Ibu baru berusia lima belas waktu tahun 1950 mereka menikah, dan ayah sudah berusia 23 tahun dan menjadi tentara muda yang gagah. Ia disuruh pulang kampung oleh komandannya waktu itu untuk segera beristeri agar bisa menemani ayah yang bertugas di Bengkalis Kepulauan Riau. Setahun kemudian pada tahun 1951 bulan Nopember lahirlah anak mereka seorang bayi laki-laki yang cakap sekali kata ibuku. Bayi itu adalah aku anak pertama mereka. Sejak saat itu ibuku selalu ikut kemanapun ayah pergi. Mereka pindah-pindah tempat sesuai kemana ayah ditugaskan. Ayah dan ibuku tidak pernah berpisah.
Malam harinya saya, ibu, adikku yang bungsu, kami membaca surat yasiin untuk mendo’akan kesembuhan ayah.
Tiba-tiba ada suara ribut-ribut di teras rumah sakit. Banyak orang menggotong orang-orang yang luka-luka. Aku keluar dan menanyakan ke seorang perawat, ada apa sebenarnya. Ada kecelakaan di Batipuh pak, kira-kira 10 kilo kearah Timur Padangpanjang. Sebuah bis antarkota, menabrak tiang jembatan dan terjun kesungai. Ada yang mati, dan banyak yang luka-luka. Sebagian yang luka dibawa ke RSU dan sebagian ke Yarsi.
Malam itu aku ikut membantu merawat para penumpang yang luka, ada sekitar lima belas orang, mereka dibaringkan saja di lantai, karena Yarsi rumah sakit kecil ini kehabisan tempat tidur.
Tengah malam aku sudah kelelahan dan aku mencari penginapan, untuk istirahat.
Paginya, aku kembali ke rumah sakit untuk melihat ayah. Keadaan ayah makin buruk. Ia kehilangan kesadaran. Dan slang transfusinya telah dicabut dokter, karena pembuluh darahnya mengecil dan cenderung darah tidak mau masuk lagi. Sedangkan slang infus masih jalan. Aku raba kaki ayah. Kakinya benar-benar telah dingin. Aku tahu ayahku sedang menghadapi kematiannya. Aku kembali berdo’a pada Allah agar diberikan kemudahan jalan bagi ayahku untuk pergi.
Jam sembilan malam kurang sedikit, setelah aku ajak ayah dengan berbisik untuk shalat isya, aku lihat ayah tersenyum, tangannya menggapai sesuatu. Oleh ibuku diangsurkan kopiah putih hajinya kekepalanya. Tangannya kembali diam. Ayahku bersama ibu sempat pergi menunaikan ibadah haji pada tahun 1993. Waktu enam bulan keberangkatan, ibu menelpon ke Balikpapan. Ia mengabarkan kalau ayah juga ingin pergi bersama ibu ke Mekah. Sekarang ayah mulai sakitan. Namun, kata ibu setelah diperiksa kerumah sakit, dokter mengatakan bahwa ayah cukup kuat untuk berangkat haji tahun ini. Ibu menanyakan kalau aku ada uang untuk membiayai ayah sekalian alangkah senangnya hatinya. Dengan gembira aku jawab, ”Tolong katakan pada ayah, bahwa aku akan segera kirim biaya. Berangkatlah ibu berdua ayah”, kataku.
Dirumah aku diskusikan dengan isteriku menyangkut telpon ibu. Isteriku mengatakan, segera kirim uang ke Padang, kapan lagi kita menyenangkan hati orang tua kita, demikian kata isteriku menegaskan. Aku mengucapkan terima kasih atas persetujuan isteriku. Demikianlah rupanya selama melaksanakan rukun haji ayah sehat-sehat saja. Sejak saat itu ayah tidak pernah melepaskan kopiah hajinya. Rupanya pada saat terakhirnya ini beliau juga mau mengenakan kembali kopiahnya.
Aku melihat napas ayah sudah dilehernya. Aku bisikkan kalimah shahadat ketelinganya. Dan ia tersenyum. Dan napas terakhir itu keluar dari bibirnya yang masih tersenyum. Lalu ia diam untuk selama-lamanya. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiuun. Ayahku telah tiada rupanya. Hari ini tanggal 27 Juni tahun 1996. Aku tutupkan kedua mata ayah, dan kedua tangannya aku lipatkan kedadanya. Aku berbisik, pergilah dengan tenang ayah yang kami cintai, pergilah engkau pahlawan keluarga, maafkanlah segala kesalahan kami, terutama aku yah, aku anakmu yang pertama, kalaulah aku tidak sempat menyenangkanmu, kalau aku kurang berbakti kepadamu, dan selama ini aku selalu jauh dari ayah, dan kurang memperhatikan ayah, maafkan aku ya yah. Pergilah ayah dengan damai. Temuilah Tuhan dengan senyum wahai ayahku tercinta. Tidak terasa air mata meleleh dipipiku. Aku menggigit bibir menahan kesedihan karena kepergian orang yang aku sayangi, orang yang aku hormati, ayah yang aku banggakan.
Aku lihat ibu terisyak. Ia menahan tangisnya. Ibu mencium pipi ayah.
”Uda, maafkan awak. Kalau awak banyak berdosa pada uda, maafkanlah awak ya da. Uda sudah awak maafkan, walau awak tahu uda tidak ada salah pada awak, ataupun pada orang lain. Uda orang baik di masyarakat”.
Lalu ibuku menangis. Kecintaannya yang terbawa ayah yang telah pergi tidak kuasa ia tahan di dadanya. Kesedihannya ia tumpahkan dalam tangisan di kamar rumah sakit Yarsi Padangpanjang.
”Pak, maafkan Wan ya pak, awak banyak bersalah pada apak, maafkan Wan pak”, kata adikku yang bungsu dalam tangisannya. Kami memanggil apak pada ayah kami.
Kemudian aku mencari dokter. Rupanya ia telah pulang. Aku menemui kepala perawat. Aku mengabarkan bahwa ayahku telah tiada jam sembilan tepat tadi. Perawat itu datang ke kamar. Ia menyenter mata ayah yang sudah tidak berkedip lagi. Memang, ayah telah pergi katanya. Lalu ia kekantor untuk membuat surat kematian. Aku menanyakan ambulan untuk membawa ayah pulang ke Kandangampek, kira-kira dua belas kilometer kerah selatan PadangPanjang. Kebetulan ambulan lagi terpakai. Setelah menyelesaikan pembayaran rumah sakit, baru tiga jam kemudian, dengan ambulan rumah sakit, kira-kira jam duabelas tengah malam jenazah ayah kami bawa pulang.
Jam satu tengah malam jenazah ayah sampai di rumah disambut oleh tangisan adikku perempuan Dadiarti dan Yasril.

Menyiapkan pekuburan
Dinihari itu saya dan adik-adik dengan dibantu oleh tetangga, kami menyiapkan penyelenggaran penguburan ayah kami.
Rumah ibu saya yang sempat saya renovasi ukurannya kecil. Sekarang rumah ini terasa sempit dengan kedatangan tetangga untuk melayat jenazah ayah.
Sebagian mereka membantu segala sesuatu yang perlu dikerjakan. Semangat gotong royong di kampung kami ini masih terasa kental. Apalagi kebanyakan mereka juga saudara dan tetangga dekat.
Sehabis shalat shubuh, saudara-saudara kami, Pudin, uda Tius, Win suami adik saya, dan beberapa pemuda pergi menggali kuburan di bukik Rambai tempat pekuburan keluarga kami. Di Bukik Rambai banyak di kuburkan nenek, kakek, bapak, ibu dan saudara yang telah mendahului menghadapnya dikuburkan. Disana dikuburkan nenekku yang aku panggil Amak, Darama namanya. Juga kakak nenek yang aku panggil Mak Ayang, Ramalah namanya. Juga kakak Mak Ayang yang aku panggil Nek Tuo Tan. Juga di sana dikuburkan kakak mereka Datuak Rajo Khatib Tuo. Ada kuburan Inyiak, kuburan gaek Lenggang, kuburan Tuo Ana, kuburan uda Nipon Ketek, pak tuo Aripin, kuburan Darnalis anak Tuo Ana, kuburan si ’Ai, adik Darnalis yang meninggal ketika masih sekolah SD. Ada juga kuburan adikku Syafril yang meninggal karena infeksi diarhea berat waktu masih berumur tiga tahun, dan kuburan lainnya.
Kuburan untuk ayah digali persis disamping kuburan nenek.
Jam tujuh pagi saya, Yasril, Wan, dan seorang kakak isteri saya yang bernama Uda Ambo, kami memandikan ayah. Kami bersihkan tubuh beliau untuk terakhir kalinya, sambil berdoa pada Allah agar dosanya diampuni dan arwahnya diterima Disisi-Nya.
Ibu duduk disamping saya, ia ikut menggosok tubuh ayah.
”Tek Nian (aku memanggil etek pada ibu, kebiasaan sejak kecil) jangan menangis, relakan kepergian apak”, kataku.
Jam setengah sembilan, jenazah selesai kami bungkus atau dikapani dengan kain putih. Jenazah diletakkan di ruang tengah untuk memberi kesempatan pelayat melihat ayah terakhir kalinya. Banyak yang datang, karena beliau banyak punya teman sampai kedesa tetangga Kayutanam. Bekas teman-temannya seperjuangan dulu yang masih hidup pada berdatangan. Kira-kira jam sebelas kuburan sudah siap digali.
Tiba-tiba sebuah bis berhenti di depan rumah. Rupanya isteri saya telah datang dari Balikpapan. Karena kemaren malam juga ia saya telpon memberi tahu kalau ayah telah tiada. Ia langsung berlari mendapatkan jenazah ayah yang terbaring di ruang tengah. Ia menangis. Karena ia sangat sayang pada ayah saya. Ayah semasa hidupnya juga sangat sayang pada isteri saya.
”Pak, maafkan kesalahan Idai ya pak, kalau Idai kurang memperhatikan apak, maklum kami jauh. Sekarang apak telah pergi. Cucu apak juga minta dimaafkan. Ma, sampaikan maaf kami pada gaek, kata mereka”.
Anak-anakku yang tiga orang perempuan memanggil gaek pada kakeknya.
Isteriku memberikan sebuah surat ucapan belangsungkawa dari kantorku Total E&P Indonesie Balikpapan yang diberikan pada ibu. Isteriku langsung memeluk ibu. Mereka bertangisan berdua.
Kemudian jenazah diusung ke halaman rumah, untuk upacara pemberangkatan ke mesjid atau mushala tempat ayah sering jadi imam shalat.
Aku mulai berpidato untuk melepas jenazah.
”Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuuh. Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rojiuun. Sesungguhnya semua yang bernyawa akan kembali kepada-Nya.
Aku anak ayah yang tertua, dan atas nama keluarga kami, kami mengucapkan terima kasih atas bantuan yang telah bapak/ibu, saudara/saudari berikan selama penyelenggaraan jenazah ayah saya.
Atas nama keluarga, saya menyampaikan maaf dari ayah saya, bila seandainya semasa hidup beliau, beliau ada berbuat keteledoran dan kesalahan baik sengaja maupun yang beliau tidak sengaja, dan mungkin tanpa beliau sadari, telah menyakiti hati bapak/ibu saudara/saudari, saya mohonkan rasa maafnya.
Dan bila ada beliau mempunyai utang yang rasanya belum beliau bayar, mohon ditagihkan kepada saya. Saya mohonkan semua ini agar supaya arwah ayah saya tidak punya beban untuk menghadap hari pengadilan-Nya, supaya ia diterima-Nya. Wassalamulaikum warahmatullahi wa barakatuuh”.
Kemudian jenazah ayah diangkat oleh saudara-saudaranya menuju ke mushala.
Dimushala itu saya bertindak jadi imam shalat jenazah. Dalam bacaan shalat, saya terisak menangis. Terbayang ayah saya ditempat ini jadi imam waktu saya pulang kampung dua tahun lalu. Sekarang ia telah terbujur kaku didepan kami orang yang turut menyalatkan beliau sebelum tubuhnya dikembalikan ketanah tempat asal semua manusia.
Selesai shalat jenazah jenazah diangkat ke kuburan yang berjarak kira-kira lima ratus meter dari situ. Sesampai di Bukik Rambai, jenazah diturunkan. Aku melompat dan turun ke dalam lobang kuburan, aku dan adikku Yasril dan Pudin, menerima jenazah ayah. Aku miringkan wajah beliau ke arah kiblat, karena begitu perintah agama, aku buka ikatan kain kafan, ditutup dengan sehelai papan, dan kemudian pelan-pelan ditimbun dengan tanah. Kembali aku berdo’a dan meminta maaf ke ayah. Aku naik, dan mulailah kami bergantian menimbun lobang kuburan itu sampai selesai. Selesai pulalah tugas ayahku di dunia ini. Ia telah menutup ceritanya di dunia ini sejak tanggal 27 Juni tahun 1996, untuk seterusnya aku lanjutkan karena aku yang kemudian bertanggung jawab kepada keluargaku sebagai anak beliau yang tertua.
Saya, isteri saya, ibu, adik-adik, kami masih tinggal dikuburan kira-kira sejam kemudian. Kami membaca AlQur’an Surat Yasiin yang dipimpin isteriku. Selesai membaca AlQur’an aku memimpin do’a. Dan kembali kami beringsut pulang.
”Yah, Apak, kami pulang, tidurlah dengan tenang, sampai hari kiamat tiba sesuai janji-Nya pada kita.
Assalamualaikum. Dan Bukik Rambaipun kami tinggalkan.

Disana ayah kami tinggalkan buat selamanya.

Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rojiuun.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan