Jumaat, 29 April 2011

BANG SAMIN SI TUKANG OJEK

OELH: DASRIELNOEHA

Di depan sebuah bank yang terkenal di Jakarta, tepat di seberang jalan ada sebuah jalan lagi yang agak kecil, gang disebutnya. Disana mangkal abang becak dan abang tukang ojek, ada belasan jumlahnya. Demikian juga di setiap mulut jalan di Jakarta dan juga di kota-kota besar lainnya di Indonesia akan kita temui hal yang sama. Si abang ojek menunggu penumpang untuk diantar kerumah di jalan-jalan yang sempit yang tidak dimasuki oleh bis kota atau taksi.
Siang itu Bang Samin seorang tukang ojek tengah terkantuk-kantuk menunggu nona-nona atau ibu-ibu pengunjung bank yang rumahnya tidak terlalu jauh dari dari situ. Perutnya keroncongan minta diisi, karena tadi dari rumah memang ia belum makan sama sekali, hanya minum kopi pahit di warung depan rumah yang itupun masih ia hutang. Bang Samin nanar menatap orang yang hilir mudik dan keluar masuk pintu bank. Alangkah enaknya kalau punya uang banyak demikian ia ngelamun, tidak usyah susah narik ojek atau mencari makan kesana kemari. Susah hidup di Jakarta sudah banyak ia alami, ia pernah jadi pemulung, pernah jadi tukang sapu pasar, pernah jadi kenek mobil sampah, semuanya penghasilannya hanya pas-pasan buat ia hidup dengan isterinya dan dua orang anak yang telah mulai masuk sekolah dasar. Sekarang ia narik ojek milik seorang tetangga orang kaya Ncim Linda dipanggil orang, juga tempat isterinya jadi buruh cucian. Untung masih ada orang kaya sebaik Linda, yang mempercayakan motor Yamaha bebek miliknya buat ia pakai mengojek. Ia harus setor tiga puluh ribu satu hari diluar uang bensin. Ia masih bersyukur dengan sedikit susah payah menunggu penumpang dan modal kehati-hatian dan sedikit pakaian rapi ia masih bisa dapat penumpang nona atau ibu-ibu yang minta diantar kesekitar daerah itu dengan biaya tarikan antara lima sampai sepuluh ribu. Ia pulang jam sembilan malam hari, dan masih dapat memberi uang sekitar dua puluh lima ribu buat isterinya setelah dipotong uang setoran buat Encim Linda dan beli bensin lima liter buat narik esok harinya. Masih lumayan pikirnya. Namun hatinya tergetar juga melihat orang kaya yang keluar masuk bank, pasti mereka banyak uang dan pasti hidupnya enak, demikian ia melamun.
Kapan aku bisa seperti itu, ah.. hidupku akan seperti ini terus? Namun cepat ia hapus lamunan itu dengan mengucap Astagfirullah...karena Bang Samin adalah seorang Muslim yang baik.
“Alhamdulillah” ucapnya, saya masih dapat rejeki dari Allah.
Ia mau menjadi seorang hamba yang baik, mencari rejeki dengan halal walaupun harus mandi keringat. Ia tahu dalam kitab juga di beri isyarat bahwa hidup bukanlah diukur dengan banyaknya harta, Allah tidak memandang makhluknya dari segi banyak sedikitnya harta mereka, namun akan dibedakan dengan ketaqwaan meraka.
Bang Samin kemudian berdoa’a “ Ya Allah teguhkanlah iman hamba, jauhkanlah hamba dari godaan syetan yang terkutuk, jauhkanlah hamba dari godaan harta dunia, relakanlah rejeki yang hamba terima dari Engkau, jadikanlah rejeki ini untuk membawa hamba dan keluarga hamba kesyurgamu, ya Allah ampunilah hamba yang naif ini, yang kadang-kadang dengan kelemahan hamba, hamba mengeluh hidup dalam kemiskinan, jadikanlah hamba orang yang pandai membaca isyarat-Mu ya Allah, ya Allah restuilah kehidupan hamba”, do’a Samin setiap sehabis sholat magrib dan pada setiap senja di mushola lantai dasar bank itu. Ia numpang shalat di situ, karena ia berteman baik dengan satpam bank itu.
Bang Samin mengakhiri lamunannya, karena ia tahu bahwa yang didepannya banyak godaan terbentang adalah sebagai isyarat Tuhan bagi hambanya yang mau membaca ayat-ayat-Nya. Sehabis itu ia merasa lega hatinya, karena ia tahu bahwa Allah masih sayang kepadanya.
“ Bang”, tiba-tiba ia dipanggil oleh Anita seorang pegawai bank langganannya. “Tolong antar aku kerumah dan nanti kita balik lagi, ya bang, sambil tangannya menyodorkan lembaran uang lima puluh ribu.
“Baik Non, tapi uangnya kebanyakan, non”, jawab bang Samin.
“Ah, gak itu buat abang”.
“Alhamdulillah, mari Non”.
Sewaktu kembali ke bank Anita menawarkan sesuatu kepada bang Samin.
“Bang, nanti temui saya di rumah sepulang dari kantor, saya akan bantu abang untuk mendapatkan bantuan kredit motor buat abang, jangan lupa ya bang”. “Baik non”, dan Bang Samin berdo’a dalam hatinya, “Ya Allah terima kasih atas rejekimu ini, peliharalah keselamatan Nona Anita, dan limpahkanlah rejekinya, Ya Allah Rabbalalamin”. Bang Samin sungguh bersyukur karena segera ia akan punya motor sendiri.
Sorenya sehabis sholat maghrib bang Samin denagn ditemani oleh isterinya datang menemui Anita, di rumah kontrakan Anita yang tak jauh dari kamar kontrakan Samin.
“Assalamulaikum”.
“Waalaikum salam”’ masuk bang jawab Anita. Bang Samin datang kerumah Anita dengan isterinya Salmah.
“Bang, ini kunci motor, dan itu motornya di samping rumah”, abang mulai hari ini narik ojek milik sendiri. Namun, buat sementara STNK atas nama saya, sampai cicilannya lunas. Abang kan bisa nyari uang dua puluh ribu setiap hari, minimum, dan setorkan kepada saya, uang itu buat nyicil kredit motor itu ke bank. Namun, bila abang bisa nyetor lebih banyak dari itu, alhamdulillah, nanti kreditnya bisa cepat lunas, dan STNK serta BPKB akan kita balik nama ke abang, abang ngerti kan? Anita menjelaskan kepada Samin.
“Ngerti Non, abang terima kasih banyak telah Non Anita bantu”, Samin suaranya bergetar karena menahan tangis bahagia di kerongkongannya.
“Ada lagi, ibu kan bisa buat kue jajan pasar, buat sarapan kawan-kawan kita di bank?, tanya Anita ke isterinya Samin.
“Bisa, non, dulu di kampung saya juga membuat kue buat di jual ibu saya di pasar”.
“Nah, cocok kalau begitu, mulai besok ibu buat kue apa saja seperti serabi, pastel, onde-onde, lima puluh bungkus setiap hari. Saya kasih ibu harga lima ribu perbungkus, terserah ibu buat berapa potong perbungkusnya. Ini uang persekot lima ratus ribu buat ibu belanja. Itu uang dari saya buat ibu, gak usyah dikembalikan, pakai buat modal, yang penting besok saya melihat ibu ngantarkan kue ke bank”. Setiap sore ibu ambil uangnya dari saya di sini.
“Terima kasih banyak non”, isteri Samin langsung merunduk mencium lutut Anita. Non Anita sungguh baik membantu keluarga kami.
“Bang dan ibu, kalian sudah saya anggap saudara saya sendiri. Dulu juga saya punya saudara seusia kalian. Tapi mereka berumur pendek. Mereka itu pedagang sayur di Jawa. Suatu hari mobil yang mereka tumpangi kecelakaan. Kakak saya dan suaminya itu meninggal. Saya ke hilangan mereka.
Sekarang, saya seakan melihat mereka hadir kembali melalui sosok abang Samin dan mpok Salmah. Saya serasa mempunyai saudara kembali.
“Non, kami merasa terhormat non Anita anggap sebagai saudara. Kami akan bela non Anita sebagai adik kami sendiri, percayalah non, nih si Samin orang yang dihormati di gang sini, akan jadi saudara yang akan membela non kalau ada orang yang mau jahatin, kata Samin sambil mencium tangan Anita.
“Mulai hari ini baju non biar saya yang nyuci ya, kata mpok Salmah.
“Jangan mpok, mpok hanya membuat kue yang enak saja. Saya punya pembantu mbak Karti yang mengurus urusan saya”.
“Baiklah, non”.
Begitulah bang Samin dan isterinya Salmah telah dirubah Tuhan nasibnya perantaraan seorang pegawai bank yang baik yang bernama Anita.
Tuhan Maha Penolong umatnya yang pandai bersyukur dan hidup ikhlas serta berbakti pada-Nya.

Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling taqwa dari neraka itu,
Yang menafkahkan hartanya di jalan Allah untuk membersihkannya,
Pada hal tidak ada seorangpun yang memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya,
Tetapi dia memberikan itu semata-mata karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi,
Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.
(AlQur’an surat Al Lail, ayat 17,18,19,20,21).

Tawassaw Bil Haaq:
• Keikhlasan dalam hidup berarti berserah diri pada hukum-hukum Allah sambil berusaha mendapatkan yang terbaik, itulah prinsip hidup sebagai seorang hamba Tuhan yang baik (abdillah).
• Dengan ikhlas hidup akan terasa lebih bermakna dan akan menjadi nilai lebih karena dapat memberikan makna yang sama buat orang lain.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan