Khamis, 28 April 2011

SELAMAT TINGGAL ADINDA

OLEH: DASRIELNOEHA


Ini kisah tentang nilai yang lain.
Ini kisah tentang nilai yang terbagi di hati dua anak manusia.
Ini tentang kisah cinta dua anak manusia.

Dua anak manusia yang saling mencinta. Mereka bertemu dalam satu acara di sebuah desa. Sudah menjadi kebiasaan di desa itu pada setiap hari lebaran, para pemuda mengadakan sandiwara yang diisi dengan acara drama, tari dan nyanyi oleh para pemuda dan pelajar serta mahasiswa dari desa itu. Bahkan desa-desa tetangga juga mengadakan acara serupa. Pengunjng dipungut bayaran karcis pertunjukan. Pertunjukan biasanya diadakan malam hari selama tiga hari berturut-turut. Juga diadakan lelang kue unuk mengumpulkan sumbangan dari pengunjung yang biasanya selain penduduk desa itu juga dari tetangga desa sebelah.
Uang yang terkumpul oleh panitia setelah dipotong ongkos-ongkos digunakan untuk pembangunan gedung SD tempat acara itu dilangsungkan. Jadi ini merupakan pertunjukan amal.

Sudah menjadi kebiasaan pula bagi sebagian perantau desa itu untuk pulang sekali setahun ke kampung halaman. Selain pengobat rasa rindu pada sanak saudara juga untuk sekalian beramal buat pembangunan desa.
Mereka pulang ke kampung seminggu puasa. Karena sekolah diliburkan selama bulan puasa mereka juga pulang membawa anak-anak mereka, baik yang masih kecil maupun yang sudah remaja.

Bagi yang pemuda dan gadis-gadis, mereka turut mengisi acara tarian dan nyanyian. Mereka berlatih bersama dibawah pelatih yang biasanya yang lebih dewasa yaitu para mahasiswa yang juga ikut libur selama bulan puasa itu.

Keluarga Pak Khaidir juga pulang seminggu puasa dari Medan.
Pak Khaidir dan keluarganya merantau ke Medan, karena Pak Khaidir menjadi pedagang leveransir kebutuhan perkebunan di Sumatera Utara, serta ia berdagang elektronik di Pasar Sentral Medan.

Pak Khaidir mempunyai seorang isteri yang cantik yang bernama Halijah. Ibu halijah mempunyai anak lima orang.
Yang tua seorang gadis remaja kelas 1 SMA di Medan bernama Haidarni. Adiknya juga seorang gadis bernama Astuti kelas 2 SMP, adiknya yang nomer tiga bernama Henny kelas 5 SD, dan yang nomer 4 masih kelas 3 SD laki-laki bernama Ahmad Jufri, sedangkan si bungsu belum sekolah bernama Lidia.

Haidarni terkenal kecantikannya. Ia mirip ibunya yang ayu. Disamping itu suaranya merdu dan juga pandai menari. Haidar ikut acara mengisi pertunjukan dengan menari serampang dua belas, tari piring, tari saputangan, serta menyanyikan beberapa lagu melayu Deli yang amat disukainya. Maklumlah ia dibesarkan di Medan.

Beberapa pemuda desa itu banyak yang tertarik dengan Haidar. Semuanya ingin menarik perhatian Haidar. Bahkan seorang mahasiswa teknik mesin dari Universitas Andalas pingin Haidar menjadi pacarnya. Banyak cara dilakukan oleh Khairul demikian nama sang pemuda untuk merayu Haidar. Diantaranya sewaktu berlatih lagu, Khairul yang main di grup band pada gitar melodi memainkan melodi yang indah sekali untuk menarik benang cinta di hati Haidar.

Zulman, seorang pemuda desa yang menjadi pedagang di Tanah Abang Jakarta yang pulang kampung waktu itu juga kelihatannya tertarik dengan kecantikan Haidar.
Zulman malahan memberikan sepotong baju untuk dipakai Haidar pada acara nantinya.
Untuk lebih menarik perhatian keluarga Haidar, adik-adik haidar dibelikan setiap hari permen yang harganya mahal. Serta semua pemain acara yang sedang berlatih ditraktir makan siang oleh Zulmi. Zulmi memang adalah orang berduit.
Perbuatan Zulmi ini menimbulkan kecemburuan di diri Khairul. Diam-diam dua orang ini bersaing untuk mendapatkan cinta Haidar.

Bagimana dengan Haidar sendiri?
Anehnya, malahan Haidar tidak menunjukkan ketertarikan kepada keduanya. Sikapnya kepada dua orang ini biasa-biasa saja.
Terus kepada siapa hati Haidar tertambatnya?

Adalah seorang pemuda desa itu juga yang ikut mengisi acara dalam latihan drama. Ia baru kelas tiga SMA di Padangpanjang. Namanya Ariel. Ariel memang seorang pemuda desa yang tampan. Ia baik hati dan dikatakan rendah hati. Ariel juga alim orangnya. Pintar ngaji dan rajin ke surau. Maklumlah dari kecil hidupnya memang di surau. Sejak kelas 3 SD Ariel tidak lagi tidur di rumah ibunya. Ia tidur di surau. Ia belajar ngaji dan juga menghapal pelajaran di surau yang sama.

Ariel terkenal kecerdasannya. Sewaktu lulus SMP di Kayutanam, ia adalah juara kabupaten Padang Pariaman. Nilainya 10 semua. Hanya Bahasa Inggeris yang bernilai 9.
Ariel sejak kelas 2 SMP telah berbicara bahasa Inggeris. Bahkan pernah suatu ketika seorang turis Jerman mau mengajak Ariel ke Jerman bersekolah. Sayang ibunya Ariel yang dipanggil Etek Niar tidak mengijinkan anak sulungnya itu pergi merantau jauh bersekolah.
Ayah Ariel ada berdunsanak juga dengan Pak Khaidir ayahnya Haidar.
Bedanya ayah Ariel adalah seorang tentara yang bertugas di Riau. Sehingga Ariel dan tiga adiknya hidup di desa dengan ibunya Etek Niar.

Ariel hidup sederhana di desa. Ia rendah hati karena ia tahu mereka orang miskin. Gaji seorang tentara waktu itu tidak cukup membiayai ibu dan adik-adiknya tinggal di kampung. Untunglah Etek Niar bisa membuat kue-kue yang dijual di Kedai nasi Dibawa Untuang kepunyaan kakaknya Ibu Halijah yaitu mak Tuo Zainab, yang juga mak tuonya Haidar.

Sedangkan Ariel sendiri sekolah di Padangpanjang dibiayai oleh sebuah perusahaan minyak dari Rumbai yaitu Caltex Pacific Indonesia melalui sebuah beasiswa anak berprestasi. Sewaktu Ariel lulus terbaik dari SMP, kepala sekolahnya menyurati perusahaan minyak ini minta beasiswa untuk Ariel. Dan CPI mengabulkannya. Sejak saat itulah Ariel bersekolah dengan beasiswa. Namun Ariel tetap berhemat hidup di Padangpanjang. Pakaiannya hanya 2 stel sja. Satu pakaian putih-putih seragam wajib sekolah, dan satu lagi hitam putih. Sepatunya sudah butut.

Tapi prestasinya di SMA Padangpanjang sangat baik. Ia selalu juara dua di sekolah. Ia menjadi kebanggaan sekolah karena keberaniannya. Ia diajarkan kakeknya bersilat. Dan Ariel juga seorang karateka andalan di kotanya.

Kalau ia pulang setiap hari sabtu sore ke kampungnya, Ariel selalu terlihat disawah. Ia mengerjakan beberapa petak swah milik ibunya di desa itu.
Ariel adalah kebanggan desa itu. Ia jauh dari hidup mewah teman sebayanya yang kebanyakkan hanya berfoya-foya dengan menonton bioskop dan telivisi.

Di rumah Ariel tidak ada televisi. Yang ada hanya sebuah radio Philips Ralin pemberian ayah Haidar, yaitu Pak Khaidir sewaktu pulang kampung dua tahun yang lalu.

Kepada Ariel lah cinta Haidar tersangkutnya.
Ariel juga menyadari hal ini. Ia juga diam-diam memuja gadis ini. Namun, secara terang-terangan seperti Khairul dan Zulmi ia tidak berani. Maklumlah ia anak orang miskin dan Haidar anak orang kaya. Ia merasa tidak sepadan dengan Haidar. Ia serasa pungguk merindukan bulan.

Namun, lirikan Haidar sewaktu latihan sandiwara meruntuhkan kalbu Ariel.
Sewaktu makan siang, kebanyakan orang bercengkerama sambil bergurau ria, Ariel malahan pergi kesurau menunaikan shalat zhuhur. Ia kembali setelah orang selesai makan siang.
Diam-diam Haidar menyembunyikan sebungkus nasi ramas masakan Dibawa Untuang yang setiap siang mengirimkan nasi bungkus itu.
Waktu Ariel datang dan kembali menekuni latihan Haidar duduk dekat Ariel.

”Uda Ariel, apakah uda tidak makan”, tanya Haidar.

”Saya masih kenyang Dar”, kata Ariel berdusta. Ia tahu perutnya masih keroncongan. Dan ia juga tahu pasti nasi bungkus telah habis oleh teman-teman dan kakak-kakak yang mahasiswa. Namun, bagi Ariel tidaklah mengapa. Karena ia sudah biasa makan sedikit, dan bahkan pernah tidak makan. Ia selalu puasa Senin-Khamis. Dan ia merasakan kelaparan sudah merupakan pengalaman harian baginya.

Di Padangpanjang ia tinggal diasrama tentara batalyon karena dititipkan ayahnya disitu. Ia makan seperti jatah tentara yang diberikan oleh ibu asrama atas perintah komandan batalyon yang temannya ayah Ariel. Jatah tentara juga sedikit. Lauknya hanya sepotong kecil ikan asin dan diacmpur rebus toge. Itulah makanan Ariel swaktu di SMA.

”Uda Ariel makanlah, ini Idar simpankan satu bungkus untuk uda”, kata Haidar sambil mengansurkan sebungkus nasi ramas ke Ariel.

”Idar makanlah buat Idar, saya masih kenyang”, kata Ariel merendah.

”Idar sudah makan dengan teman-teman yang lain, makanlah ini kan jatah uda”, kata Haidar lagi.

Ariel mengambil nasi bungkus itu. Dalam hatinya ia berdo’a. ”Ya Allah aku sangat berterima kasih kepadaMu bila perempuan ini Engkau takdirkan kelak akan menjadi jodohku”.

”Terima kasih Dar, alhamddulillah”, kata Ariel bergumam.

”Haidar pulang, tidak baik berduaan disini. Kamu Ariel pemuda miskin tidak tahu malu menggoda anak gadis orang. Tidak sepada dengan kamu. Haidar ini kemenakan saya akan dijodohkan dengan orang kaya nantinya”, sebuah terikan kemarahan datang dari seorang pemuda lain sungguh mengagetkan mereka berdua.
Gitar di tangan Ariel terjatuh.

Haidar langsung berdiri. Mukanya merah padam menanggung malu. Rupanya itu teriakan Begat adik ibunya Haidar. Begat adalah pamannya Haidar.
Begat terkenal pemuda tukang kelahi di kampung itu.

”Apa apaan Mak Begat ini. Bikin malu Idar saja”, teriak Haidar sambil menangis.

”Sudah pulang kamu, tidak usah latihan sandiwara lagi”, teriak Begat kembali marah.

”Ariel, pemuda tidak tahu diri, kamu jangan mendekati kemenakanku lagi. Dia tidak pantas buat kamu”, hardik Begat sambil mengepalkan tinjunya kepada Ariel.

*
Itulah sebuah peristiwa yang amat menyakitkan bagi Ariel. Cercaan Begat yang mengatakan ia sebagai anak miskin sungguh membekas di hatinya.

Sejak saat itu Ariel jadi pendiam. Ia sadar bahwa memang dari semua pemuda dan pelajar yang ikut latihan sandiwara tahun itu, hanya ia yang miskin.
Ariel bertekat dalam hatinya untuk meneruskan sekolahnya sampai ia menjadi sarjana. Ia akan membuktikan bahwa dengan sekolah ia akan bisa berhasil menjadi orang yang berguna. Kelak kepada Begat ia akan membuktikan bahwa ia tidak boleh dihina.
Penghinaan waktu latihan sandiwara itu ia terima dengan ikhlas sambil mengadu pada Tuhan.

*
Selesai sandiwara keluarga Haidar, ayah, ibunya dan dua adiknya kembali ke Medan.

Suatu petang, ibu Haidar datang menemui ibunya Ariel.
Ibu Haidar berpesan, kalau ada keperluan biaya sekolahnya Ariel bila inngin masuk ke perguruan tinggi, jangan sungkan untuk mengirim surat ke Medan. Ibu Haidar akan coba membantu.

Ibu Ariel yang juga teman sepermainan sewaktu kecil dengan ibu Haidar hanya mengucapkan terima kasih.

”Saya akan menyerahkan kepada Ariel, mana yang terbaik buat dia”, kata ibunya Ariel.

”Berikan kepada Ariel amplop ini”, kata ibu Haidar.

”Terima kasih”, kata ibu Ariel.

Mereka berdua tidak mempersoalkan kejadian sewaktu acara latihan sandiwara tempo hari. Haidar menceritakan kejadian itu pada ibunya. Begitulah, ibu Haidar merasa bersalah jadinya, karena Begat adalah adiknya sendiri.

Ariel tidak pernah menceritakan soal penghinaan Begat itu pada ibunya. Ariel hanya mengadu pada Tuhan sewaktu habir shalat. Ia berdo’a diberi rejeki setelah selesai sekolah, supaya Begat juga tahu bahwa dia bisa hidup wajar nantinya.

*
Hari Senin jam lima sore di Padangpanjang.
Ariel sedang dalam perjalanan pulang sekolah.
Tadi hatinya sedih. Ia tahu hari ini Haidar akan kembali ke Medan ke kotanya.

Ada rasa sendu di hati Ariel.
Ia menulis beberapa kalimat di buku tulisnya sewaktu habis jam pelajaran tadi.
Ia menulis puisi cinta
Wahai bulanku yang cantik jelita
Haidar seorang tempat hamba menorehkan kisah hati yang dilanda asmara
Bila engkau kembali ke kotamu
Ketahuilah aku, Ariel di sini tetap merindukanmu
Ariel, yang oleh mamakmu Begat, telah dihinakan
Tapi, itu ternyata menambah kuatnya akar cintaku padamu wahai Haidar adindaku,
Selamat jalan adinda.
Bila kelak kita tidak bersua
Karena aku akan pergi mencari sebuah temapt di ujung cita-citaku
Senantiasa kata cintaku padamu, tidak pernah bosan aku tuliskan
Selamat tinggal adinda
Kelak bila Tuhan menghendaki
Niscaya kita kan bersua

Salam cinta
Ariel

Puisi ini ia lipat dan masukkan kedalam sebuah amplop. Besok akan ia kirim ke alamat sekolah Haidar di Medan.

*
Tet,tet, tet.
Di penurunan jalan di depan Bioskop Jaya sebuah sedan mercedez berhenti.
Seorang ibu dan anak gadisnya keluar dari mobil dan memanggil Ariel.

”Ariel”.
Ariel mendekat.

”Eh Mak Tuo, dan Haidar, mau balik ke Medan?’ tanya Ariel.

”Ya kami akan kembali”.

”Pak Tuo”, kata Ariel mengulurkan tangan bersalaman kepda Pak Tuo ayahnya Haidar yang duduk di belakang stir.

”Ariel, rajin-rajin sekolah ya”, nanti kalau mau kuliah di Medan jangan lupa kasih tahu Pak Tuo”, kata ayah Haidar.

”Baik Pak Tuo, nanti saya lihat kemana saya akan kuliah, apakah Bandung, Padang atau ke Medan.

”Uda Ariel, Idar akan balik”, kata Haidar.

Mereka di biarkan agak jauh oleh keluarga itu.

”Ya, baik-baik di jalan, jangan lupa kirim surat”, kata Ariel

”Ya, Uda, maafkan Idar, dan juga maafkan Mak Begat ya”, kata Haidar.

”Ya, saya tidak apa-apa asal Idar tidak lupa sama saya yang miskin ini”, kata Ariel.
”Uda, ketahuilah, hanya Ariel yang Idar sayangi”. Dua butir air mata mengalir di pipi Haidar.

”Idar, jangan menangis, malu kita ketahuan Mak Tuo dan Pak Tuo”, kata Ariel.

”Tidak apa, justru ayah yang menyuruh Haidar untuk menemui uda”, kata Haidar pelan.

”Idar, aku berat berpisah denganmu”, kataku jujur.

”Apalagi Idar, berat rasanya pisag dengan uda. Uda Ariel, usahakan supaya uda bisa kuliah di Medan ya, biar kita bisa terus bersama”, kata Haidar makin pelan.
”Uda ini terimalah”, kata Haidar memberikan sebuah amplop kepada Ariel.

Haidar mengusap air mata di pipinya.

”Ini buat Idar”, kata Ariel memberikan amplop surat yang ia tulis di sekolah tadi.

Mereka bersalaman. Mereka mengucapkan salam perpisahan cinta yang tersirat dari gerak bibir dan mata mereka berdua.

Haidar, memasuki kembali mobil mercedez. Dan ia kembali ke Medan bersama keluarganya.

Ariel kembali menapakkan kakinya melangkah di aspal menuju tempat ia mondok.

”Aku akan jemput engkau Haidar. Tunggulah aku selesai jadi sarjana. Kemanapun akan aku kejar cintaku padamu.
Aku akan ke Bandung, Aku akan buktikan kepada mak Begat bahwa Ariel walaupun anak miskin punya otak yang encer buat sekolah ke universitas terbaik di negeri ini.

Kamu tunggu aku ya Begat. Aku akan pulang menyandang gelar insinyur di depan namaku.
Dan aku akan mendampingi kemenakanmu Haidar buat isteriku.
Ya Haidar yang aku cintai.

”Selamat jalan Haidar, tunggulah cintaku menjemputmu”, kataku dalam hati.

Aku membayangkan setelah selesai ujian SMA, akau akan berangkat ke Bandung dengan membawa ijazah dan surat-surat yang diperlukan untuk memasuki perguruan tinggi.

”Selamat tinggal adinda”, gumamku.

Aku telah sampai di halaman tempat mondok.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan