Jumaat, 29 April 2011

BARALEK

OLEH: DASRIELNOEHA

Di kampung saya dulu sekitar tahun enampuluhan, lingkungan alamnya masih amat bagus dan disebut sebagai masih lestari. Banyak pohon di hutan, dan semak-semaknya masih asri yang dihuni oleh binatang seperti rusa, babi, kancil, juga harimau. Sungainya masih jernih. Batang Anai adalah sebuah sungai berair deras yang agak besar mengalir di tengah kampung. Sumber airnya berasal dari gunung Singgalang di daerah Padang Panjang.
Di kampung saya, di perut Batang Anai masih banyak ditemukan ikan garing, ikan kulari, ikan panjang, ikan mungkuih, situkah, kapareh, baung dan lain-lain.
Kalau ada mau perhelatan di kampung, biasanya pada tiga hari sebelum hari pesta, pemuda kampung mengadakan musyawarah untuk menangkap ikan untuk membuat pangek ikan. Pangek ikan merupakan lauk yang wajib ada sewaktu pesta pernikahan.
Di sepanjang Batang Anai biasanya ada cabang sungai yang disebut Anak Aie yang bisa panjangnya samapi tiga kilometer.
Nah, para pemuda ini esok harinya akan ”mengalah” atau menangkap ikan di Anak Aie ini.
Di hulunya atau ditempat air masuk yang biasanya lebarnya sampai 10 meter dipokok atau disumbat dengan menyusun batu-batu yang kemudian ditutup dengan lumpur sawah dan daun-daun. Anak Aie dikeringkan dengan menyumbat hulunya itu.
Setelah kering, mulailah beramai-ramai pemuda ini menangkap ikan yang terperangkap karena kekeringan. Biasanya dengan mudah dicokok ikan gariang, kulari, baung, mungkuhi biasanya yang paling banyak, udang, juga ikan panjang.
Dari hulu sampai kemuaranya Anak Aie ini ditelusuri untuk menangkap ikan.
Banyak juga yang dapat biasanya bisa sekitar lima puluh kilo. Setelah dirasa cukup untuk keperluan alek, sumbat di hulu kembali dibuka dan air akan mengalir lagi ke Anak Aie. Anak Aie ini biasanya digunakan untuk mengairi sawah.
Pada saat mengalah inilah kegiatan gotong royong dan kekompakan pemuda kelihatan. Biasanya kegiatan mengalah ini diberitahukan sekitar satu bulan sebelumnya ke semua anak negeri. Pemuda yang belajar di kota seperti di Padang, Padangpanjang, Bukittinggi akan pulang dan beramai-ramai mereka mengikuti acara mangalah ini.
Pada malam harinya, biasanya pangek ikan hasil mengalah ini sudah matang oleh ibu-ibu.
Dan pangek ikan kecil-kecil biasanya akan dimakan beramai-ramai oleh pemuda yang mengikuti acara mangalah siang harinya. Nah, malam hari ini akan meriah sekali, karena para gadis-gadis akan ikut ”menating” atau mengantarkan piring yang berisi lauk pauk kedepan para pemuda.
Dan kegiatan ini biasanya akan diiringi dengan meniup saluang oleh tukang saluang dan diiringi oleh dendang atau nyanyian oleh penyanyinya.
Nyanyiannya biasanya bernada sedih, kisah kasih asmara, kisah perantauan seperti lagu Singgalang, Mudiak Arau, Ondeh Mandeh, dan lain-lain.
Basaluang bisa sampai waktu subuh. Dan usainya biasanya setelah terdengar azan subuh.
Pada malam harinya akan dilanjutkan dengan acara “malam bainai”, yaitu memberi warna kuku si pengantin perempuan dengan inai, yaitu daun inai yang digiling halus dan kemudian ditempelkan ke kuku jari si perempuan.
Pada malam bainai ini rumah pengantin wanita akan ramai oleh para gadis-gadis, yang mencandai pengantin perempuan yang amat beruntung telah mendapatkan jodohnya.
Bila kebetulan pengantin laki-laki adalah memang pilihan hatinya, akan terdengarlah canda ria sipengantin dengan para teman-temannya.
Namun, bila seandainya si pengantin perempuan hanya dijodohkan oleh keluarganya yang merupakan laki-laki yang kurang disenanginya, biasanya pengantin perempuan akn merengut dan menangis. Ia akan dihibur oleh teman-temannya dengan nyanyian penganten.
Malam-malam ka tigo yo mamak,
Malam-malam ba inai, yo sayang,
Anak Daro yo mamak,
Jo Marapulai

Dan di rumah penganten laki-laki akan ramai oleh para pemuda teman-temanya karena diadakan acara batagak gala.
Batagak gala adalah pemberian gelar sesuai adat Minang terhadap seorang pemuda yang telah mendapatkan jodoh dan dinikahkan dengan seoraong wanita.
Gala atau gelar yang diberikan biasanya dicarikan oleh Mamak atau Datuak Suku si penganten, yang diambilkan dari gelar suku bapaknya. Dicarilah gelar yang sudah lama terletak atau si pemilik gelar sudah meninggal. Misalnya gelar Sutan Makhudum dari suku Koto. Sutan Bandaro dari suku Jambak, Sutan Rajo Ameh dari suku Jambak, sutan Pamuncak dari suku Panyalai, dan lain-lain.
Ada Sutan Mangkuto, Sutan Diateh, Sutan Pamenan, Rajo Sutan, namun semuanya diawali dengan sebutan Sutan, yang menandakan bahwa itu gelar orang Minang.
Setelah menikah dan mendapat gelar, laki-laki Minang akan dipanggil gelarnya, dan nama kecilnya akan jarang di sebut orang.

Baralek atau pesta dalam adat Minang memang suatu kegiatan bersama dan disebutnya dengan gotong royong.
Bila telah disepakati oleh kedua belah pihak kapan diadakan pesta pernikahan, maka disusunlah acara yang harus ditempuh.
Maka acara pertama adalah “mangalah”, kemudian diikuti dengan “batagak gala”, kemudian baru “baralek” atau pesta pernikahan.
Untuk memberi tahu orang kampung, maka akan diutus dua orang pemuda untuk penganten laki-laki dan dua orang gadis untuk penganten perempuan.
Si “pemanggil” mereka disebutnya, akan mendatangi semua rumah untuk memberi tahu akan acara pernikahan tersebut sekalian mengundang untuk datang.
Kami diutus oleh Datuk Rajo Khatib, penghulu kami untuk mengundang bapak/ibu/saudara/saudari datang untuk acara pernikahan anak kemenakan kami si Fulan dengan si Wati, tanggal lima hari Kemis untuk mengalah, hari Jum’at menikah dan batagak gala, serta hari Sabtu malam Minggu pesta pernikahan.
Demikian kalimat yang diucapkan oleh si pemanggil sambil ia mengeluarkan sirih dan kapurnya yang ia bawa.
Si empunya rumah, akan mengambil sirih atau hanya memegang dan menyobek saja sebagai syarat telah menerima berita.
Pada hari perhelatan biasanya ibu-ibu akan membawa beras 1 liter yang diserahkan ke rumah si penganten.
Dan satu hari sebelumnya para ibu-ibu akan datang ramai-ramai kerumah si penganten untuk “mamasak” lauk pauk seperti; pangek ikan, rendang, kalio, goreng taruang, gulai cubadak, gulai kamumu, pargedel, nasi kuniang, ayam singgang, wajik.
Suasana kekeluargaan akan terasa kental sekali saat ini. Semuanya bergembira. Dapur khusus dibuat di luar rumah untuk memasak makanan sebanyak itu.
Pada acara ini yang jadi raja sehari ”Marapulai” sebutan untuk penganten pria, dan ”Anak Daro” sebutan untuk penganten perempuan.
Pakaian marapulai adalah pakaian datuk dengan deta di kepala, sedangkan anak daro memakai suntiang di kepalanya.
Tamu undangan akan datang dengan masing-masing pihaknya.
Untuk urang sumando, ninik mamak, alim ulama dan cadaik pandai (orang terpandang di kampuan) akan datang pada malam sebelum acara perhelatan.
Semua hidangan diletakkan secara ”adat”.
Induk jamba biasanya, ikan besar yang digoreng tanpa dipotong-potong, ayam singgang, semur daging, pangek dagiang, akan diletakkan di pangka dan khusus untuk para ninik mamak dan alim ulama.
Mereka duduk dibawah tirai yang dipasang dilangik-langik, dan dinding ruangan ditutup tabir, dan lantai dialasi dengan permadani.
Hidangan yang lain seperti pangek ikan, gulai kamumu, goreng taruang, randang, goreng talue, kalio, akan diatur di bawahnya, yang diselang selingi dengan wajik dan nasi kuniang (beras ketan yang diwarnai dengan kunyit dimasak sehingga bewarna kuning).
Sebelum makan akan didahului oleh petatah petitih yang disebut dengan ”acara pasambahan”, yaitu berjawab kata yang disusun rapi menyangkut penyampaian terima kasih pada undangan yang telah datang, dan supaya makanan dimakan serta air minta diminum.
Namun, acara ini bisa memakan waktu samaoiu 1 jam lebih karena akan ada bumbu kata-kata dalam bahasa Minang yang diucapkan secara kias.
Pesambahan dimulai dengan kata pembukaan oleh si pangka auat tuan rumah, dan diteruskan oleh pengetua adat atau datuk, dan akan disambut oleh wakil alek atau tamu undangan.
Ada kata-kata seperti berikut:
Indak dikami pihak sipangka, anak kemenakan datuak Rajo Khatib, mahaturkan sambah kabakeh alek kami, kok dari lurah alah mandaki, dari bukik alah manurun, tampak jauah lah lah jaleh bana, tampak dakek lah tacogok, alah sanang hati kami, alah sajuak malah kiro-kiro, salam jo sambah kami haturkan kabakeh niniak mamak, alim ulama cadiak pandai, basa batuah, sarato alek kasadonyo.
Maminta ijin kami ka Datuak, yang mulie Datuak Rajo Khatib, ateh namo si pangka, sasudah baiyo kami badunsanak, tungku nan tigo sajarangan, kok bulek lah buliah di golongkan, kok picak nak dilayangkan, mamohon kami ka alek, untuak mamintak kasadiaan mancicipi hidangan kami, nan sangajo kaki katangahkan, mamanuhi aturan adat jo limbago iyo adat kita urang Minang nan kito junjuang pacik arek, indak kalapuak dek hujan, indak ka lakang dek paneh, adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah, ka nan Satu juo kito pulangkan. Sakian sambah kami hantakan, untuak alek nan kami muliakan.
Kemudian untaian kata pembuka ini akan disambut oleh yang dituakan di pihak tamu undangan.
Ka bakeh datuak Rajo Khatib, kami sampaikan sambah kami..
Dek kami lai baduo batigo, sanak sudaro nan a;ah rapek papek tangah rumah, ijinkanlah kami nak baiyo, buliah nak bulek kato jo mufakat,
Kemudian mereka berembuk sebentar, menyangkut kelengkapan hidangan dan susunan yang diketengahkan, apa ada salah janggalnya. Kemudian ia akan mnelanjutkan sembahan sebagai berikut.
Ka bakeh Datuak Rajo Khatib..
Sudah baiyo kami basamo, manilai alue jo patuik, bak kain salarai banang, pusek jalo tumpuan ikan, angin mandaru tandonyo badai, gabak dihulu tando ka hujan, alah patuik dek baturuik, alah rancak dek batali, tali dielo nyo manuruik, rancak basusun jari nan sapuluah, alah sanang hati kami, alah sero di kiro-kiro, kok duduak yo lah baselo, kok sanda yo lah babanta, alah tapek bana dek alek nan datang nangko, kami mandanga himbau dari jauah, kami mndanga barito dunsanak kami, urang sadang baralek, anak nan dapek jo jodohnyo, nan maundang kami kamariko, ka rumah rang kayo Siti Aminah, kamanakan dek Datuak Rajo Khatib, kan iyo baitu mah yo Datuak.

Iyolah, tapek bana dek Kari Marajo, baitu bana mukasuik kami, iyo gadang hati kami, alah datang urang kampuang alah datang dunsanak sadonyo, mamanuhi undangan kami, baitu ba adaik limbago kito. Adaik nan indak buliah kito langga, adaik nan diparadikkan, sajak enek moyang kito, turun tamurun sampai kini, kito junjuang tinggi kito hormati.
Bapulangkan sambah baliak ka Kari Marajo..

Ka bakeh Datuak Rajo Khatib..
Dek baitu bana putiahnyo hati Datuak sarato rangkayo nan punyo rumah, kok dipihak kami, nan sangajo mamijak janjang, basalam masuak rumah, iyo mangambirakan alek nangko, alah tapek dimato kami, indak ado lai salah janganyo, lah sasuai jo adaik kito, alah manuruik limbago nan dipusakoi, kami manunggu titah dari Datuak.

Ka bakeh Kari Marajo jo alek kasadonyo..
Kok baitu baritonyo, iolah sanang hati kami, alah sajuak malah kiro-kiro, hanyo kami mamintak bakeh Kari, kok ado ulama kito, mambacokan Bismillah kito samo-samo, kok hidangan mintak dimakan, kok aie mintak diminum.
Jungkekkanlah dek Kari, bia nak dipatiangkan pulo disiko.

Bismillah,...

Maka mulailah acara makan bersama dengan undangan semuanya.
Sedangkan untuk pesta esok harinya, itu mengikuti acara hidangan ala prasmanan biasa.
Yang menarik adalah saling kunjung antara keluarga penganten pada keesokan harinya.
Acara ini dimulai dengan ”acara jemputan”, yaitu datangnya utusan penganten perempuan pada malam hari untuk menjemput penganten laki-laki keesokan harinya.
Utusan ini biasanya ada tiga orang, yaitu dua orang dewasa laki dan perempuan serta seorang remaja yang bertugas membawa sirih dengan carano.
Utusan ini disambut oleh para ninik mamak penganten laki-laki secara adat, karena utusan juga datang secara adat dengan membawa sirih di carano.
Acara jemputan di akhiri dengan makan malam bersama, dan kemudian utusan minta diri pulang, dan mereka akan melapor kepada Datuak mereka, bahwa jemputan telah dilaksanakan dan telah disambut baik oleh pihak [enganten laki-laki.

Keesokan harinya, sekitar jam 10 pagi, datanglah arakan penganten laki-laki ke rumah penganten perempuan. Kalau dekat dengan jalan kaki yang dimeriahkan dengan musik rebana. Kalau jaraknya jauh misalnya antar kota, akan menggunakan mobil yang dihias.
Rombongan penganten laki-laki ini juga akan disambut dengan acara pasambahan, dan sepasang penganten akan bersanding di pelaminan.
Kemudian sebelum zuhur penganten laki-laki akan pulang kembali bersama rombongan.

Setelah waktu zhuhur, rombongan penganten perempuan akan berkunjung kerumah penganten laki-laki.
Mereka tinggal sampai lewat waktu ashar. Dan kemudian kedua penganten akan kembali kerumah anak daro dan marapulai dengan ”anak kabau” atau pengiringnya seorang lelaki remaja akan tinggal di rumah si anak daro.

Malamnya mulailah ”malam pertama” anak daro jo marapulai tersebut.
Dan resmilah mereka menjadi suami-isteri.
Selesailah alek ini.

Dan setiap baralek dikampuang saya dulu, selalu didahului oleh ”acara mangalah” di Batang Anai.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan