Khamis, 28 April 2011

MENYINGKIR

OLEH: DASRIELNOEHA

Menyingkir maksudnya adalah pindah tempat karena sesuatu hal. Orang menyingkir dulu biasanya menghindari sesuatu masalah yang bisa merugikan dirinya.
Berarti ia pergi ketempat lain atau menghindarkan dirinya dari suatu tempat ke tempat baru.

Pada masa perang saudara di Sumatera Barat antara pasukan PRRI dan Tentara Pusat atau pasukan APRI, banyak orang lari dari kampungnya menghindari bahaya perang seperti dituduh antek PRRI, dan kalau sudah demikian biasanya mereka hilang malam atau diculik oleh OPR dan akan menemui ajalnya.
Untuk menghindari terjadi malapetaka itu, mereka akan menyingkir ketempat lain.
Menyingkir ke tepi hutan, ke ladang, semua anak dan isteri dibawa. Periuk, kasur dan peralatan masak juga didegeng.

Di hutan akan dibuat pondok sementara, untuk menghindari gangguan dari orang jahat yang mengambil kesempatan dimasa kemelut itu. Semasa perang PRRI sering terjadi rampok, atau harta dirampas, bahkan ada gadis yang diperkosa, isteri PRRI yang lari ke hutan, atau janda diambil oleh OPR atau preman yang membonceng di air keruh.
*
Suatu senja di sebuah dusun di kaki Gunung Tandikek.

Etek Kamsinah, seorang janda nan semok bergegas berjalan di senja itu. Ia menuju sebuah rumah tembok yang bercat kapur putih, beratap seng yang telah kemerahan di sana sini karena dimakan karat. Namun rumah ini masih terbilang mewah dibanding rumah-rumah lain di dusun itu. Maklum penghuninya termasuk golongan bapangkek di sana.

Rumah yang dituju oleh etek Kamsinah adalah rumah angku palo. Angku Palo yang bernama Husin Dt Bandaro, adalah seorang yang dituakan dikampung yang diangkat oleh Camat Tandikek untuk mengurus dusun kecil yang hanya mempunyai rumah kurang dari lima puluh. Kebanyakan rumah itu hanya berdindingkan bambu yang dianyam, dan dikapur. Atapnya rumbia yang juga dianyam.

Husin Datuak Bandaro orangnya masih muda. Umurnya belum empat puluh tahun. Mungkin baru sekitar tiga puluh tujuh. Namun, buah pikirannya matang. Dan ia orang alim.

Hanya rumah Datuak Bandaro yang beratap seng.
Rumah ini menyolok diantara rumah-rumah yang lain. Rumah Angku Palo terletak di tengah kebon kerambil yang banyak. Serta banyak batang durian yang ditanam sebagai batas tanah dengan tanah orang lain.

Dengan memakai terompa kayu atau tengkelek Kamsinah berjalan tergesa-gesa di jalan yang agak berlumpur karena tadi sore turun hujan.
Setelah sampai di depan rumah itu, ia meletakkan tengkeleknya di jenjang batu, yang sedikit berlumpur, karena senja itu hujan masih rintik-rintik, etek Kamsinah menyapa dari halaman.

”Assalamulaikum”.

”Wa alaikum salam”, terdengar sahutan dari dalam rumah.

”Eh..uni, masuaklah ni”, sapa Hindun isteri datuak Bandaro.

Hindun adalah wanita cantik di dusun itu. Ia sudah sepuluh tahun kawin dengan datuak Bandaro seorang penghulu muda di dusun itu.
Umurnya terpaut 10 tahun lebih muda dari datuak Bandaro. Jadi masih kelihatan cantik. Wajahnya yang lonjong dengan dagu bak pauh dilayang serta kulit putih bersih sungguh mempesona. Banyak bujang dan duda yang kena hati pada Hindun.

Hindun dulu sekolah guru A atau SGA di Padangpanjang. Karena ketiadaan uang orang tuanya terpaksa sekolahnya berhenti di tengah jalan.
Hindun berhenti setelah kelas tiga. Dia tidak jadi tamat.

Tapi ia bisa juga jadi guru SR di Tandikek. Masa itu anak murid SR hanya sedikit. Satu kelas hanya 10 orang.
Gurunya hanya tiga orang termasuk Hindun. Hindun mengaja di tiga kelas sekali gus.

Kemudian Hindun dikawinkan oleh orang tuanya dengan datuak Bandaro.
Sayang perkawinan mereka belum juga di karunia-i anak.
Sepuluh tahun mereka menunggu belum juga punya keturunan.

Tentang hal ini, datuak Bandaro memang agak sakit kepala.
Betapa tidak, ia ingin sekali punya anak sebagai pelanjut keturunannya. Tapi Tuhan masih belum juga bepemberian buat mereka.
Datuak Bandaro bertanya-tanya. Apakah ia mandul atau Hindun yang kosong.
Ah, terserah Tuhanlah kata Bandaro dalam hatinya.
Karena ia tahu, soal anak, jodoh dan maut adalah kekuasaan Tuhan. Manusia hanya boleh berusaha, tapi Tuhan yang menentukan.

Datuak Bandaro memang orang taat beragama. Ia tergolong ulama di dusun itu.
Ia selalu berserah diri pada Tuhan.

Saat Hindun menikah dengan Bandaro, banyak pemuda yang patah hati. Mereka ada yang pergi ke gadung atau Bukittinggi, karena akan meracun hati melihat Hindun digandeng datuak Bandaro.

Namun sering juga beberapa pemuda yang tinggal di kampung menggunjingkan mereka di pos ronda. Terlebih si Pudin yang terkenal mata keranjang.

”Coba pinjamkan agak semalam ka aden, pasti tokcer mah”, kata si Pudin, seorang yang terkenal punya anak banyak di kampung itu. Isterinya dua.

”Kapunduang di ang, kata Aciak. Waang ia santiang mah, padusi sia nan mau jo waang, bau katiak ang sama dengan bau kapindiang tasapik”, kata Aciak sengit.

”Heh Aciak jangan sumbarangan. Sarawa kotok den bisa jadi obat ampuh untuk isteri mak datuak yang co bidadari tu. Dijamin hamil langsung. He..he..
*

”Eh, Hindun, ada angku Kapalo di rumah Ndun”, tanya Kamsinah.

”Ada ni, lagi mendoa sudah sembahyang, masuklah uni. Ada apa uni kok kelihatan risau benar. Apa masih belum pulang juga si Samsul lai.
Sambil menghenyakkan pantatnya yang bahenol, etek Kamsinah melipat ujung selendangnya. Rambut ikalnya kelihatan sedikit. Itu cukup menampakkan wajahnya yang manis. Walau umur etek Kamsinah sudah tiga puluh dua tahun, namun wajahnya masih kelihatan muda. Apalagi badannya yang sintal cukup membuat para duda dan lelaki di dusun itu menelan liur.

Statusnya yang janda cukup menyulitkan baginya. Itulah yang merisaukan hatinya kini.
Anaknya Samsul yang telah tamat STM di Pariaman, dan mulai bekerja di DKA Simpang Haru, sudah lima belas hari tidak ada beritanya. Biasanya sekali seminggu Samsul berkirim surat yang di antar Mak Kari tukang pos antar surat dari Kecamatan. Ini sudah lebih pula dua minggu, belum ada berita.

Menurut selentingan kabar, juga dari Mak Kari, mengatakan bahwa Samsul telah mendaftar jadi tentara PRRI di Padang. Dia telah berhenti bekerja di Stasiun Kereta Api Simpang Haru.

”Assalamulaikum”, kedengaran suara dari ruang tengah.

”Sudah lama kerumah kau Kamsinah”, tanya datuak Bandaro.

”Baru naik Ngku”, jawab Kamsinah.

”Uni, awak buatkan air ya”, tanya Hindun.

”Ndak usahlah repot Ndun, uni tidak lama doh”.

”Apa maksud kedatanganmu kesini Kamsinah”, tanya datuak Bandaro.

”Ia Ngku, mau menanyakan tentang si Samsul yang belum juga memberi tahu keadaannya”, kata Kamsinah.

”Usahlah engkau risau pula. Pelepas sajalah. Kan si Samsul sudah besar. Dia sudah bisa menentukan nasibnya sendiri”, kata datuak Bandaro.

”Jadi Angku sudah tahu keadaan si Samsul anak saya itu”, tanya Kamsinah.

”Ia sudah, menurut berita dari urang awak, anakmu Samsul sekarang sudah menyandang senjata. Dia masuk tentara berjuang dalam kompi Gunung dibawah komando Pak Husein di Solok”, di jelaskan oleh datuak Bandaro.

”Itulah nan merisau banak awak Ngku. Angku kan tahu awak kan janda. Takut di rumah sendiri. Dulu sekali dua minggu Samsul pulang dari Padang. Lai awak tidak sepi benar doh. Kini tentu dia sudah tidak bisa pulang lagi”, kata Kamsinah.
Awak takut Ngku. Si Tandan alah ilang pula. Kemana awak bergantung lagi Ngku.

Bujang Tandan adalah adik Kamsinah. Pemuda ini adalah salah satu begajulan dusun Tandikek. Ia tukang ampok. Suka pula mengganggu anak gadis orang.
Tapi ia sayang pada kakaknya. Ia menjadi pembela keluarga. Bahkan Samsul sering diberinya uang walau itu hasil uang berampok.
Air bening mulai menetes di sudut mata Kamsinah.

”Awak sungguh takut diganggu orang Ngku.

Terbayang olehnya godaan si Pudin yang sering ingin menyenggol pantatnya bila berpapasan pulang mandi dari pincuran di bawah tebing.
Bahkan dia sering bertemu Pudin yang icak-icak memancing di sungai kecil di tebing itu. Dia tahu betul kalau Pudin sebenarnya ingin mengintipnya mandi.
Pernah juga si Pudin menghanyutkan kembang kumango bercampur bunga tanjung dan kembang tujuh rupa sewaktu Kamsinah berenang di Lubuk.
Untunglah Kamsinah tidak mau mengambil dan menyenggol obat pekasih ini.

Dia sudah lebih satu tahun menjanda.
Dia juga jadi ragu. Sebenarnya naluri kewanitaannya masih normal.
Dan suatu saat lebih lagi bila malam dingin dan hujan turun dengan lebat di dusun itu, ia sebenarnya merindukan kehangatan lelaki. Dia ingin dipeluk lelaki saat malam dingin itu. Dia tidak mau tidur mencikukut sendiri. Sepi rasanya dunia ini bagiku, tangisnya dalam hati.

Kehangatan yang tidak lagi ditemukannya sejak setahun yang lalu.
Kehangatan itu dibawa mati oleh suaminya Samsudin yang meninggal karena kecelakaan sewaktu Truk yang dikemudikannya putus rem di kelok Singgalang Kariang. Truk yang bermuatan berat kelapa itu bergulung-gulung jatuh ke Batang Anai di bawahnya.
Samsudin dan sitokarnya Buyung Pilot, terjepit dan terhimpit badan truk. Keduanya menemui ajal mereka di kedinginan air Batang Anai yang mengalir deras keruh karena hujan lebat di Padangpanjang.

Sejak itu ia kehilangan suaminya. Samsudin sopir truk Padang Pekanbaru yang ia nikahi sewaktu mereka masih muda. Percintaan suami isteri itu membuahkan anak semata wayang, Samsul. Sejak suaminya meninggal hanya Samsul-lah tempat ia mencurahkan cinta ke anaknya itu. Selain Bujang Tandan adiknya yang preman itu.

Banyak laki-laki yang ingin melamar Kamsinah setelah kematian suaminya itu.
Tapi Tandan selalu menghalangi niat culas para hidung belang kampung itu dan juga dari kampung sebelah, yang mau menggoda kakaknya yang bahenol itu.
Mereka segan juga kepada Tandan.

Sekarang Samsul telah jadi tentara pula. Tentara PRRI yang harus perang menghadapi tentara pusat yang katanya telah mendarat di Padang. Akankah ia akan kehilangan sebuah permata hatinya lagi? Air mata makin deras turun dari pipinya.

”Sudahlah Ni, jangan menangis”, kata Hindun sambil memeluk bahu Kamsinah.

”Kamsinah, banyaklah berdo’a pada Tuhan, Samsul dan teman-temannya berjuang untuk mempertahankan daerah kita dari penodaan oleh tentara pusat. Ia merasa harus ikut untuk mempertahankan negeri kita dari ketidak adilan pemerintah pusat. Kau harus bangga dengan anakmu Samsul. Dia seorang pemuda pemberani.
Kalaulah aku diberi Tuhan anak laki-laki seperti anakmu Samsul, pasti saya suruh juga masuk jadi tentara PRRI. Saya akan suruh dia berjuang demi Sumatera Barat yang adil dan damai”, kata datuak Bandaro menyemangati Kamsinah.

*
Sir, berdenyut jantung dan darah Hindun mendengar Bandaro menyebut anak laki-laki itu.
Perkataan datuak Bandaro yang terakhir ini menusuk kedalam hati Hindun.
Ia jadi tersindir. Bandaro rupanya sangat menginginkan anak laki-laki. Tapi ia tidak bisa memberi Bandaro seorang anakpun. Ia kosong.
Memang begitulah yang dia alami. Dia merasa nasibnya malang benar.
Kalau kecantikan dia punya. Siapa pemuda di dusun itu yang tidak bermimpi untuk mempersunting Hindun, putri Haji Abu dan Amai Anah yang cantik itu.
Bahkan urang dari Malalak, Haji Hosen yang toke karambie cukie yang terkenal kaya itu ingin menjadikan Hindun untuk isteri Safril anaknya.
Namun yang beruntung adalah penghulu muda datuak Bandaro yang jadi suaminya.

Sudah beberapa minggu ini Hindun rajin salat malam untuk istikarah. Minta petunjuk pada Tuhan. Ia mohon Allah menyelamatkan perkawinannya.
Ia tidak ingin Bnadaro akan menceraikannya. Walau ia tahu Bandaro sangat mencintainya.

Dua hari yang lalu, sehabis shalat maghrib berdua, ia didekati Bandaro sambil memeluknya. Bandaro melihat Hindun termangu dengan air mata menggenang disudut matanya yang indah.

”Percayalah Ndun, akau tidak akan menceraikan adinda. Kau kan tahu betapa saya sayang pada adinda. Usahlah adinda berhati rusuh. Bagi saya apapun yang diberikan Allah akan saya terima dengan ikhlas”.

Hindun hanya diam saja. Ia merebahkan kepalanya ke pangkuan suaminya. Ia tahu suaminya sangat sayang kepadanya. Tapi ia juga tahu suaminya merindukan seorang anak.
Pernah ia melihat Bandaro termenung melihat gambar anak kecil pada guntingan koran Haluan yang dibawa Hindun pembungkus bawang dari pasar.
Memang dalam perkawinan mereka, Hindun masih belum bisa memberikan keturunan kepada Bandaro.
Hindun tahu kalau ia memang kosong rahim. Rahim Hindun hampo kata mak Isah dukun beranak.

Malam kemaren Hindun bermimpi.
Ia rasanya bertemu gaeknya, haji Sulaiman yang telah meninggal.
Haji Sulaiman berwasiat supaya Hindun merelakan suaminya mengambil isteri lagi. Tapi dengan satu syarat, bahwa mereka harus serumah. Dan perempuan itu, engkau sendiri yang mencarinya Ndun, demikian wasiat gaeknya. Hindun tersintak menjelang subuh malam itu.

”Hanya itu yang bisa menyelamatkan perkawinanmu Ndun”, demikian kata gaeknya dalam mimpi itu.

Mimpi habis haripun mulai terang.
Tapi kata-kata gaeknya terus membayangi Hindun sejak subuh itu.
Kini mimpi itu kembali terbayang dimatanya setelah mendengar kata-kata Bandaro kepada Kamsinah.
Uni Kamsinahkah perempuan yang diwasiatkan gaek kepadaku? Demikian pikiran Hindun senja itu.

*

”Tapi awak takut Ngku. Kalau-kalau terjadi apa-apa dengan Samsul. Kepada siapa lagi awak bergantung. Putus dan terbanlah dunia awak Ngku”, tangis Kamsinah makin deras.

”Itu tidak usah kau risaukan. Hidup mati ditangan Allah. Kan begitu yang diajarlan ulama kepada kita. Kau harus bangga seandainya umur Samsul ditentukan dalam peperangan oleh Tuhan. Berarti dia mati sahid. Lebih baik dari mati sakit. Dia langsung akan masuk surga. Begitu janji Allah dalam Qur’an yang kita pelajari di surau. Kau kan tahu itu”, kata datuak Bandaro lagi.

”Ia Ngku. Awak tahu itu. Tapi tidak telap oleh awak tinggal sendiri Ngku. Biarlah awak mati pula lagi”, tangis Kamsinah makin deras. Ia menangkupkan kepalanya kepaha Hindun.

”Kamsinah, ada satu lagi nan hendak aden tanya ke kau. Adikmu Bujang Tandan, sejak sebulan lalu sudah menghilang pula dari kampung. Kemana perginya dia?, tanya datuak Bandaro.

”Si Tandan, awak dengar dia di Pariaman. Dia masuk jadi OPR. Katanya dia anak buahnya Pak Bahar Kirai”, kata Kamsinah menjelaskan.
”Kenapa Ngku, ada apa dengan si Tandan?

”Patutnya kau harus meragukan adikmu itu. Kau sudah mendengar keganasan OPR? Banyak Ungku Surau di Lubuk Pandan, Sungai Sariak, Nareh nan tidak ada lagi di surau. Katanya dia disuruh melapor ke kantor OPR di Pariaman.
Kemaren ambo baru pulang dari Pariaman, melapor ke kantor Bupati. Bupati mengarahkan supaya kita membantu tentara pusat untuk memadamkan pemberontakan PRRI. Dan harus membantu OPR pula.
Menurut ambo kata pak Bupati ini bersayap.
Ambo dapat bisikan dari Kepala Desa Nareh, bahwa banyak ungku surau ini telah di bantai OPR. Karena banyak anggota OPR ini Kuminih. Kuminih bermusuhan dengan urang Surau.
Ambo takut si Tandan sudah kuminih pula kini.

”Astagfirullah Ngku. Dua hari lalu si Tandan bertemu ambo di Pasa. Dia dengan teman-temannya masuk pasa ke luar pasa. Entah apa yang dicarinya”.

”Ya itulah dia Kamsinah. Mulai hari ini kita harus hati-hati. Ambo dan Hindun besok akan berangkat menyingkir ke dalam hutan. Kita harus lari keluar. Rasanya tidak senang lagi hati di kampung. Kalau datang anak buah Bahar Kirai itu masuk kesini, alamat hidup ambo akan tamat pula.

Bandaro ingat ingat sewaktu di kantor Bupati di Pariaman, ia ditatap tajam oleh Bahar Kirai yang juga hadir di ruang rapat.
Ia sudah tahu alamatnya. Sepulangnya dari Pariaman ia berunding dengan Hindun isterinya untuk segera menyingkir. Ia merasa kini gilirannya akan diincer oleh OPR.

”Ngku, kalau mau ke dalam hutan biarlah awak turut ya Ngku. Awak sudah sendirian di dusun.
Apa kata Ngku dan Hindunlah, awak hanya menurut, asal hidup awak lai selamat”.


*
Diskusi dan pembicaraan di rumah tembok di dusun Tandikek itu akhirnya menjadi serius.
Diskusi yang terjadi dalam suasana perang saudara antara tentara Pusat dan PRRI yang sedang berontak.
Perang saudara ini banyak menorehkan kisah kemanusiaan yang penuh duka nestapa. Walau ada sedikit kisah gembira di dalamnya.
Termasuk kisah tiga anak manusia dalam cerita ini.
Datuak Bandaro, Hindun, dan Kamsinah.

”Tuan, kalau begitu bawaklah uni Kam turut dengan kita menyingkir. Biarlah kita hidup bertiga di hutan. Sesakit sesenang pulalah kita. Uni Kamsinah kan bako awak juga tuan. Jadi kita menolong saudara sendiri. Kasihan uni Kam, dia kesepian sejak ditinggal lakinya”, tiba-tiba Hindun bercirotet memberi saran kepada suaminya datuak Bandaro.
Ia berpikir saat inilah ia akan mengikuti anjuran gaeknya dalam mimpi kemaren itu.

”Hindun, kalau begitu kata adinda, ambo menurut saja”, jawab datuak Bandaro penuh arti.
Tapi apa adinda sudah pikir matang-matang. Kalau kita bertiga di pelarian, kan agak payah juga nantinya. Kita kan harus bergabung dengan pasukan PRRI di letter W. Kalau terjadi penyerbuan, apa kalian sudah siap lari masuk hutan keluar hutan, Apa kalian tidak takut kulit kalian akan luka-luka kena duri kacang paringek jo pandan rimbo. Hidup di hutan akan penuh sengsara.

”Saya rasa kami tidak akan menyusahkan tuan benar. Kami bisa membantu di dapur untuk memasak ransum pasukan. Dan awak kan pernah kerja di rumah sakit Padangpanjang sewaktu sekolah di SPG dulu. Bisalah awak membantu di kesehatan”, kata Hindun menjelaskan.

”Hindun, awak berterima kasih kepada adinda”, Kamsinah memeluk Hindun. Air matanya sudah berhenti kini.

”Ada satu lagi yang terasa di awak tuan”, kata Hindun melanjutkan perbincangan mereka senja itu.

”Apa yang terasa di adinda”, tanya Bandaro.

”Kalaulah boleh awak meminta ke tuan. Ikatlah uni Kam menjadi saudara awak”, kata Hindun berterus terang.

”Apa maksud adinda. Kamsinah kan memang saudara adinda. Bako itu saudara dekat dalam adat Minangkabau. Apa lagi”, tanya Bandaro kurang mengerti.

Atau Bandaro sebenarnya telah menangkap maksud Hindun.
Kalaulah maksud Hindun sesuai dengan yang ada di dalam pikiran Bandaro sekarang, pastilah Bandaro sangat setuju. Ia juga sudah lama memikirkan itu.
Mudah-mudahan memang begitu maksud Hindun, kata Bandaro dalam hatinya.
Ia pernah memikirkan untuk minta ijin Hindun mencari satu isteri lagi.
Ia ingin dapat keturunan.

”Tuan panggillah Mak Katik malam ini juga ke sini. Mintalah Mak Katik menikahkan tuan dengan uni Kam dihadapan awak”, suara Hindun terdengar lemah.

Dua butir air mata mengalir di pipinya yang licin. Walau menangis kecantikan Hindun tetap bersinar. Hindun orangnya baik. Ia gadis teladan di dusun itu. Hindun tidak genit. Ia tidak segenit Kamsinah yang bahenol.

Datuak Bandaro terdiam. Seakan ada petir di senja itu. Tapi petir itu tidak memekakkan telinga Bandaro. Malahan suara petir ini seakan seruling senja. Seruling senja yang membawa angin asmara.

Bandaro secara tidak sengaja melirik ke Kamsinah. Secara kebetulan pula Kamsinah melihat ke Bandaro. Hm, kau masih cantik Kamsinah kata Bandaro dalam hati.
Tuan masih gagah, apakah benar Hindun rela membagi kasihnya dengan awak? Kamsinah berpengharapan dalam hati.
Semua terdiam.
Sementara Kamsinah kelihatan bingung.

”Apa maksud adinda? Kenapa sebegini jauh jadinya?

Bandaro bertanya tidak percaya kepada isterinya.

Kamsinah juga tidak percaya tentang apa yang sedang di lontarkan oleh Hindun barusan.
Ia diminta menjadi isterinya datuak Bandaro? Tidak mungkin pikirannya. Ia yang janda. Dan datuak Bandaro orang terpandang di dusun itu. Siapa yang tidak kenal dengan datuak Bandaro. Sampai ke Pariaman namanya harum. Datuak yang sakti dan alim. Guru silat dan penghulu suku. Serta ulama pula.
Tapi hati kecilnya menyetujui usul Hindun. Bukankah Bandaro dulu adalah pujaan hatinya juga.
Memang waktu gadis dulu Kamsinah ingin dapat Bandaro jadi lakinya.

Tapi itu dulu. Nasib membawanya jadi isteri Samsudin. Dulu Kamsinah bekerja di warung mamaknya di Nareh. Disitulah ia ketemu Samsudin kalau berhenti dengan oto prah ataun truknya yang sedang memuat kopra untuk dibawa ke Padang. Atau sedang memuat ikan asin untuk dibawa ke Pekanbaru.

Ia kecewa saat anak pisangnya Hindun yang lebih muda dipersunting oleh Bandaro.
Sekarang malahan Hindun menawarkan durian runtuh kepadanya.
Diam-diam Kamsinah tersenyum di dalam hatinya.

”Ia uni. Biarlah kita hidup bertiga. Moga-moga dengan kehadiran uni di kehidupan kita, dapat tuan Bandaro keturunan. Karena dengan saya sudah sepuluh tahun kami masih hampa”, Hindun makin pelan suaranya. Suaranya memecah kesunyian mereka.

Kamsinah ternganga.
Datuak Bandaro juga ternganga.
”Hindun, apa adinda main-main. Ini etongan bukan sekadar etongan biasa. Ini etongan sampai ke akhirat. Saya harus mempertanggung jawabkannya ke akhirat”, jawab Bandaro penuh arti.

”Ia tuan Bandaro. Bukankah agama kita membolehkan laki-laki beristeri empat?, Hindun tersenyum kepada lakinya.

”Ia memang benar. Itu kalau kondisinya memungkinkan. Misalnya adinda sakit. Atau kalau ada perempuan yang harus diselamatkan demi kehormatan dan mempertahankan agamanya”, jelas Bandaro menguji kesetiaan Hindun.

”Ia tuan. Sekarang keadaan yang tuan terangkan itu sudah memenuhi sarat kehidupan kita. Saya sudah sepuluh tahun belum sanggup memberikan keturunan kepada tuan. Itu berarti saya punya kekurangan. Dan saya boleh dikatakan sakit.
Yang kedua, uni Kam sedang dalam teraniaya. Keadaan perang sekarang sangat rawan buat seorang janda seperti uni Kam.
Sudah jadi kewajiban tuan sebagai salah seorang ulama dusun untuk menyelamatkan uni Kam.
Bukankah nabi Muhammad juga pernah melakukan hal yang sama terhadap sahabatnya yang gugur setelah perang Badar.

Tidak ada yang salah dalam kehidupan kita tuan.
Yang ada hanyalah takdir yang harus kita jalani.
Hindun tersenyum penuh arti kepada suaminya.
Hindun tambah cantik dalam tangis dan tersenyum. Perempuan ini memang mulia hatinya. Ia merelakan suaminya kawin lagi. Bahkan dia sendiri yang memilihkan wanita mana yang harus dikawini oleh Bandaro.

Bandaro sungguh kagum kepada Hindun.
Ia tidak menyangka akan demikian tulus dan mulia hati Hindun.
Ia mencintai isterinya yang muda dan cantik itu.
Sekarang ia akan mempunyai seorang lagi yang juga cantik. Dan bahkan lebih seksi dan bahenol.
Kamsinah si janda muda yang ditinggal suaminya.

”Pergilah tuan sekarang juga kerumah Mak Katik. Waktu kita sudah singkat. Besok magrib kita sudah harus berangkat menyingkir. Uni Kam tidak usah pulang lagi. Disini sajalah uni sampai kita berangkat besok.

”Kalau begitu rundingannya, aku menurut sajalah. Baiklah aku berangkat. Jaga diri kalian setiap saat”, kata Bandaro beranjak ke pintu.
”Tapi apakah kita tidak harus meminta ijin mamak-mamak kita dulu kata Bandaro.

”Tuan, sekarang keadaan darurat. Urusan adat kita tunda dulu. Mempertahankan kehidupan lebih penting dari adat saat ini. Lagi pula nanti tuan titipkan surat pada Mak Katik. Biar mak Katik bisa menyampaikan kepada Mak Saleh di Nareh. Ibu awak juga sudah pernah awak beri tahu akan rencana awak ini. Dia hanya mengaminkan saja tuan. Abak akan disurati amak di Pekanbaru. Keluarga awak pasti setuju.

Ayah Hindun, haji Arifin berdagang hasil bumi di Pekanbaru. Dagangannya kerambil, ikan asin, kopi dan kulit manis. Semua dibawa dari Pariaman dengan truk. Gudangnya besardi Pasar Bawah. Dari Pekanbaru barang hasil bumi itu diangkut ke Singapura lewat Perawang.

”Awak dan uni Kam adalah seperinduan. Kami satu suara bila keadaan sudah begini. Usah tuan ragukan lagi. Bergegaslah tuan ke rumah mak Katik”.

*

Mak Katik dijemput Bandaro ke rumahnya.
Malam itu sehabis shalat isya, mak Katik mengawinkan datuak Bandaro dengan Kamsinah. Mak Katik sebagai angku kadi dan sekaligus sebagai saksi.
Hindun juga menjadi saksinya.

Walaupun menurut syarak agama Islam untuk sebuah akad nikah harus ada dua saksi laki-laki. Pernikahan ini tetap dilangsungkan karena keadaan darurat. Mak Katik menanyakan satu lagi saksi, seperti si Tandan adik Kamsinah, namun dia tidak pula ada di rumah. Pernikahan tetap dilakukan dan sah secara agama kata Mak katik.

Maharnya adalah sebentuk cincin milik Hindun. Ia serahkan cincin itu kepada datuak Bandaro.
Bandaro menyerahkan cincin itu sebagai mahar. Dan ia pasangkan ke jari manis Kamsinah. Dan sejak itu resmilah Kamsinah jadi isteri kedua datuak Bandaro.
Mak Katik mencatatkan agenda pernikahan itu dalam buku catatannya.
Namun, tidak sertifikat atau buku nikah waktu itu.

Malam itu juga mereka mendo’a selamat. Mak Katik yang berdoa’a.
Sekalian datuak Bandaro menitipkan dusun kepada Mak Katik. Karena besok ia akan berangkat menyingkir ke dalam hutan. Sepucuk surat buat mamaknya Kamsinah, mak Saleh di Nareh juga dititipkan.

Malam itu Bandaro bahagia. Ia tidur dengan Kamsinah di bilik Hindun. Hindun menyingkir ke dipan. Kelambu ditutupkan Hindun.

Lampu togok dimatikan.
Kamar pengantin itu gelap gulita kini.
Bandaro jadi mempelai kedua kalinya malam itu. Ia menikmati cintanya sebelah hatinya lagi dengan Kamsinah.

Hindun tidak bisa tidur, walau sepicingpun. Derit tempat tidur, serasa menghimpit ulu hatinya. Malam itu cintanya terbelah dua oleh kehadiran Kamsinah.
Ia telah mengorbankan sebuah miliknya yang berharga dalam hidup ini.

Namun ia bahagia. Ia telah berbuat demi kepercayaannya sebagi seorang muslimah yang baik. Ia menolong seorang saudaranya Kamsinah yang teraniaya. Sekali gus ia menolong dirinya sendiri. Hindun tahu ia kosong rahimnya. Tidak mungkin ia memberi keturunan kepada Bandaro.

Hal ini adalah pilihan terbaik yang ia lakukan. Walaupun pahit rasanya. Ya Allah gantilah dengan rasa manis di surga-Mu, kalau perbuatan hamba ini Engkau restui ya Allah. Hindun berdo’a sehabis shalat.

Tengah malam Bandaro menyangkik disamping Hindun.
Urusan utamanya sebagai suami telah selesai dengan Kamsinah. Kamsinah tertidur lelap.

Bandaro juga ingin mencurahkan cintanya kepada Hindun. Isterinya itu kini semakin cantik di matanya.
Hindun juga menerimanya dengan penuh kecintaan.

Malam itu sepi. Suara jangkrik bulan menyanyi nyaring di luar. Disela dekokan suara koncek di sawah sebelah dapur meningkahi musik asmara di kamar itu.
Suara musik alam bercampur dengan drama musikal di kamar rumah tembok di Tandikek malam itu.

Drama asmara anak manusia memang sungguh indah. Rasanya tidak pernah kering tinta untuk melukiskannya.
Walau dalam keadaan perang, kisah asmara masih bergelora.

Mereka bertiga, Bandaro, Hindun dan Kamsinah penghuni rumah tembok satu-satunya di Tandikek, besok akan berangkat ke dalam hutan. Atau keluar istilahnya waktu itu.
Mereka bermaksud untuk menyelamatkan nyawa mereka yang terancam karena perang.

Perang saudara ini telah menorehkan sebuah drama lain dalam kehidupan pelakunya.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan