Jumaat, 29 April 2011

MENJALA IKAN

OLEH: DASRIELNOEHA

Dikampung ada sungai yang cukup besar yaitu Batang Anai. Batang Anai masih mengandung banyak ikan, ada garing, kulari, talingan-lingan, dan ada juga yang lebih kecil seperti baung, mungkuih, dan sitokah. Ikan ini sering ditangkap oleh penjala ikan. Penjala ikan ini adalah orang yang menangkap ikan disungai dengan menggunakan jala, atau jaring yang dijalin dari benang nilon kemudian diberi pemberat timah diujungnya.

Jala ini kemudian dilemparkan ketengah sungai yang ada ikannya. Ikan akan tersangkut di jala, dan lalu diambil dan dimasukkan kedalam keranjang.
Ada beberapa penjala ikan yang terkenal di kampung saya tahun enampuluhan dulu.
Ada Pak Sapar, ada Pak Labai namanya. Sering mereka menjual ikan garing, ikan kulari, ikan mungkuih hasil jala mereka ke ibu saya.

Waktu itu Batang Anai masih banyak ikannya. Belum kena racun atau ditangkap orang nakal dengan memakai strum.
Kalau mereka menjala ikan di malam hari biasanya hasilnya agak banyak. Bisa semalam mengumpulkan ikan sampai sepuluh kilo. Lumayan mereka jual bisa buat beli beras untuk makan keluarga mereka.

Kami juga dulu suka menangkap ikan di Batang Anai. Tapi kami tidak menggunakan jala. Selain susah, harga jala mahal, dan menangkap dengan jala kurang mengasikkan.
Kami menangkap ikan menggunakan kawat yang diruncingkan depannya dan ditembakkan dengan semacam pestol yang kami buat sendiri dari sebuah dahan kayu, dan diberi karen benen ban sebagai pelenturnya. Kami sebut penangkap ikan model ini dengan Panembak. Kalau menangkap ikan dengan jala, cukup melemparkannya saja ke air dari sebuah batu tempat berdiri. Tapi kalau menggunakan panembak, kita harus menyelam kedalam air mencari ikan dengan menggunakan sebuah teropong yang kami buat sendiri dari potongan dahan kayu dengan dilobangi dan diberi sebuah kaca untuk lensa yang akan digunakan dalam air. Modelnya harus disesuaikan dengan besarnya lekukan mata kita. Kayu yang digunakan biasanya dahan kayu surian, semacam kayu yang terkenal untuk pembuat perabot.

*
Di kampung dulu ada dongeng atau cerita lama mengenai penjala ikan yang selalu menjala malam hari.
Namanya Mak Haji orang kampung menyebutnya. Ia memang telah menunaikan ibadah haji ke Mekah.
Ia terkenal karena sering dapat menangkap ikan yang banyak dan besar-besar.

Ceritanya memang agak unik. Mak Haji sering menangkap ikan kalau hari hujan, sementara penjala lain takut turun ke Batang Anai kalau hari hujan, karena jangan-jangan nanti air gabuak atau air deras karena hujan di hulu. Bisa hanyut penjala kalau air terlalu gabuak.

Kabarnya Mak Haji berani turun kalau hari hujan lebat karena ia ditemani oleh seekor harimau peliharaannya. Inyiak Balang dipanggil namanya.
Kalau Mak Haji mau menangkap ikan malam hari, maka Mak Haji naik di punggung si belang. Ia bisa melompati batu-batu di tengah sungai untuk membantu Mak Haji menebarkan jala. Walau ditengah hujan deras Mak Haji bisa juga menangkap ikan.
Biasanya kalau air gabuak ikan akan keluar dari sarangnya karena suara air yang bergemuruh. Dan juga air akan menghanyutkan sampah dari arah Padangpanjang yang banyak membawa sisa makanan yang digemari ikan. Ikan baung besar-besar, ikan panjang, ikan gariang besar, dan ikan kulari ikan banyak keluar kalau air gabuak. Dan jala Mak Haji akan penuh dengan ikan yang bergelantungan.

Kalau sudah banyak ikan didapat, biasanya Mak Haji istirahat di pinggir Batang
Anai dan berteduh di balik batu besar, yang sekitarnya ditumbuhi oleh pohon tibarau atau sejenis bambu yang batangya rimbun dan kecil-kecil.
Dulu aku ingat kalau main ke Batang Anai, aku suka sekali mengambil batang tibarau ini untuk dibuat tongkat.

Si Belang ikut berteduh dibelakang batu itu. Ia menjaga Mak Haji. Mak Haji melemparkan beberapa ekor ikan baung besar kegemaran si Belang. Mak Haji biasanya membawa nasi bungkus dan beberapa telor ayam. Ikan akan dibakar dan dimakan dengan rebus telor ayam. Nikmat sekali kata Mak haji.

Mereka akan pulang kerumah kalau hujan telah teduh dan berhenti. SI Belang akan pulang kesarangnya di semak belukar di Baruah dan Mak Haji pulang ke rumahnya di pinggir ladang di Pasar Kerambil.

Cerita Mak Haji berteman dengan si Belang sang harimau itu juga unik.
Suatu hari di hutan dekat ladang Mak Haji di pinggir Batang Anai, ia mendengar suara mengaum namun lebih merupakan suara keluhan seekor harimau.
Mak Haji mendekat keareah suara dari rumpun bambu yang tumbuh di pinggir sungai Batang Anai. Disitu kelihatan seekor harimau besar sedang duduk dengan kaki terjulur dan telapaknya penuh dengan darah. Rupanya ia terinjak potongan batang bambu yang runcing dan langsung menusuk telapak kakinya.
Mak Haji mendekat dengan berani, karena ia kasihan pada harimau itu dan ia berkata.

”Oh, kau rupanya, kakimu berdarah tertusuk bambu. Kau mengejar babi kesini, rupanya babi lebih cerdik darimu. Kan kakinya kecil dan berkuku tidak akan tertusuk pancang ini. Kakimu besar dan tapakmu lembut pastilah akan mudah tertusuk”, kata Mak Haji.

”Tapi kamu janji dulu, aku tolong mengobati kakimu, tapi jangan engkau makan aku ya” kata Mak Haji lagi.

”Grmmmm, kata harimau itu, kelihatan air matanya meleleh menahan sakit.

”Baiklah tunggu sebentar, aku kepondok dulu mengambil kain paco untuk membalut lukamu, kamu tunggu disini”, kata Mak Haji lagi.

”Grmmmmm”, kata harimau itu lagi.

Mak Haji kembali ke pondoknya. Ia membuat obat luka dari gilingan daun tembakau dicampur daun si cerek dan daun singkong.
Ia tetesi minyak makan. Minyak ikan ini dibuat sendiri oleh Mak Haji.

Bila habis menjala dapat ikan situkah yang hitam besar dan ikan talingan-lingan jantan, biasanya selalu disisihkan, tiga ekor tiga ekor. Ikan ini dijemur. Dan bila telah kering, akan dicampur dengan ulat kelapa dan ditumbuk halus. Kemudian akan dilumuri dengan minyak kelapa yang dibuat sendiri. Itu dijadikan obat luka. Obat luka minyak ikan buatan Mak Haji ini manjur sekali.

Dan Mak Haji membawa beberapa lembar kain paco atau potongan kain yang bersih.
Kemudian ia datangi lagi rumpun bambu itu ketempat si harimau kejebak duri ranjau potongan bambu.

”Aden akan mencabut ranjau ini, kamu tahan sakitnya ya”, kata Mak Haji ke harimau itu.

”Grmmmmm”, kata harimau itu.

Dengan sekuat tenaga Mak Haji mencabut ranjau itu. Darah memancar dari luka di telapak kaki si harimau. Luka itu disiram oleh Mak Haji dengan air bekas gilingan tembakau yang dicampur dengan minyak kelapa. Ajaib, darah itu berhenti mengalir. Luka itu dalam dan ditumbok oleh Mak Haji dengan gilingan tembakau campur daun tadi. Dan kemudian diolesi minyak obat luka.
Lalu ia tutup dan balut dengan kain paco.

Kelihatan si harimau sudah bisa menyeringai dan tidak kesakitan lagi.
Si harimau kemudian menjilat kaki Mak Haji.

”Pergilah ke sarangmu, dan selama tiga hari kamu tidak boleh jalan dulu, atau kalau mau jalan, jangan kamu injakkan dulu telapak kananmu ini. Biar lukanya kering dan sembuh dulu”, kata Mak Haji lagi.

”Grmmmmm”, kata harimau itu sambil menghilang kedalam semak.

Mak Haji pulang kembali ke pondoknya.

Setelah dua minggu, pada malam hari bulan purnama, sewaktu Mak Haji mau tidur di pondok, ia kemudian mendengar auman suara harimau di belakang pondok dan suara ranting yang terpijak.
Ia kemudian keluar pondok. Dan ia melihat kembali si harimau tempo hari datang. Dan kakinya tidak pincang lagi. Rupanya telah sembuh lukanya. Anehnya di mulutnya ia menggunggung seekor anak kijang yang telah sekarat. Rupanya ia telah menangkap anak kijang itu.
Harimau itu membawanya kedepan pondok. Dan disana anak kijang itu dilepasnya.
Harimau itu melihat ke Mak Haji. Ia mengibaskan ekornya.

”Grmmmm”, katanya sambil kakinya mengaiskan anak kijang tadi.

”Oh, kamu mau berterima kasih dan memberikan anak kijang ini padaku ya”, tanya Mak Haji.

”Grmmmm”, aum harimau itu lagi, kemudian ia melompat dalam keremangan cahaya bulan di balik pohon durian dan terus masuk ke semak.

Mak Haji kemudian menyembelih anak kijang itu, dikuliti dan dagingnya dibakar serta dibuat dendeng untuk persiapan lauk.
Besoknya, sebagian dendeng itu ia letakkan di pinggir semak buat si Belang. Dan si Belang malam hari mengambilnya dan memakan dendeng itu.

Begitulah akhirnya antara Mak Haji dan si Belang terjalin persahabatan yang baik dan mereka saling tolong menolong.

Suatu hari Mak Haji akan menjala ikan ke Batang Anai. Namun rupanya hari gelap dan akan turun hujan. Ia jadi mengurungkan niatnya untuk menjala sore itu. Sehabis waktu maghrib hujan turun dengan lebatnya. Kemudian dibalik pondok ia mendengar auman si Belang. Ia lihat rupanya harimau sahabatnya itu sedang duduk menjolorkan kakinya. Mak Haji mendekat. Si harimau menggeserkan punggungnya ke Mak Haji.

”Oh kamu akan mengajak saya menaiki punggungmu ya”, tanya Mak Haji.

”Grmmm”, aum si harimau.

”Baiklah kalau kamu mau mengendong saya, ayok kita pergi untuk menjala ke Batang Anai. Kalau hujan begini biasanya banyak ikan yang mabok dan dengan mudah kita jala. Nanti kamu kan bisa makan baung yang banyak”, demikian kata Mak Haji.

Demikianlah, akhirnya Mak Haji terbiasa digendong oleh si Belang pergi menjala ikan kalau hari hujan lebat.
Dan mereka selalu dapat ikan yang banyak.

Bila orang kampung menanyakan, kenapa Mak Haji selalu mendapat ikan yang besar dan banyak, maka selalu dijawab oleh Mak Haji bahwa itu rejeki si Belang harimau peliharaannya.

Orang kampung hormat kepada Mak Haji dan juga agak takut kepadanya.
Pak Sapar dan Pak Labai pandai menjala ikan, karena diajari oleh Mak Haji bagaimana cara menjala ikan yang baik.
Tapi tidak diijinkan untuk ketemu si Belang.

”Nanti kalian takut, karena si Belang adalah harimau yang besar”, kata Mak Haji.

Sewaktu Mak Haji meninggal, di kuburannya di Rambai, selama tiga hari orang kampung tidak berani mendekat kesana, apalagi kalau sehabis waktu shalat Isya orang yang melewati kuburan itu agak takut.
Karena waktu itu si Belang ada di sana dan ia mengaum sejadi-jadinya.
Ia rupanya sedih ditinggal sahabatnya Mak Haji yang baik.

Itulah si Belang sang harimau yang bersahabat dengan seorang penjala malam hari, Mak Haji yang juga orang baik.

Sehabis itu kadang-kadang orang kampung suka melihat si Belang muncul di belakang rumah Mak Haji dan duduk di belakang dapur. Ia mengaum tiga kali dan kemudian menghilang.
Ia masih setia, sampai beberapa saat. Namun, sesudah itu ia tidak muncul lagi. Mungkin ia telah mengikuti Mak Haji menemui Sang Pencipta.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan